Sebuah
rombongan kecil yang terdiri dari orang-orang yang setia dan patuh pada
Rasulullah tampak berjalan gontai. Segukan tangis lirih dan terasa
mengiris-iris hati yang pilu terdengar dari mereka. Wajah-wajah mereka
lusuh tertunduk tersembunyi dalam tutup-tutup kepala yang jatuh menaungi
kepala-kepala mereka. Rombongan itu berjalan tanpa mengeluarkan bunyi
berarti ke sebuah tempat sunyi yang khusus untuk menguburkan salah
seorang manusia suci yang mereka cintai. Mereka berjalan dalam kegelapan
malam pada bulan Jumadil Tsani, hari ketiga di tahun sebelas Hijriah.
Rombongan itu menyusuri jalan-jalan kota Madinah. Terasa segar dalam
ingatan baru beberapa lama lewat mereka melakukan hal yang sama untuk
manusia suci lainnya, Muhammad Al-Mustafa. Sekarang giliran puterinya
yang tercinta…………Fathimah Az-Zahra (as).
Dalam
rombongan itu ada anak-anak dengan ayah mereka beserta teman-teman
dekat dari sang ayah; mereka semua berjalan dalam kebisuan dan
kesabaran. Pada wajah-wajah mereka tampak kepasrahan dan keridhoan akan
apa yang telah menimpa mereka selama beberapa hari ini. Akan tetapi
meskipun begitu sesekali masih terdengar tangis yang tertahan di
tenggorokan; air mata mengucur deras dengan tangisan yang lirih sekali
hampir tak terdengar seakan ingin menyembunyikan kepedihan yang telah
menimpa mereka agar tidak ada orang yang mendengar mereka di kegelapan
malam karena memang mereka tidak ingin seorangpun tahu di kota Madinah
itu bahwa mereka sedang melakukan sebuah perbuatan yang akan direkam
baik oleh sejarah.
Seorang
ayah yang tadi disebutkan di atas ialah Imam Ali (as); sementara
anak-anak yang turut bersamanya ialah putera-puterinya. Ada Imam Hasan
(as) di sana; ada Imam Husein (as), ada Zainab, dan ada Umm Kultsum yang
berjalan gontai dalam kebisuan di belakang ayahnya. Bersama mereka ada
para sahabat pilihan yang sangat setia kepada Nabi baik ketika Nabi
masih hidup atau ketika sudah wafat. Mereka adalah Abu Dzar, Ammar bin
Yasir, Miqdad al-Aswad, dan Salman Al-Farisi.
Ketika
setiap mata dari penduduk Madinah tertutup; ketika tak ada suara
sedikitpun dari mereka, rombongan surga itu meninggalkan rumah Imam Ali
membawa usungan tandu berisi jenazah suci dari puteri sang Nabi,
Fathimah az-Zahra. Anak-anaknya sekarang mengantar jenazah ibunya itu ke
sebuah pemakaman yang sunyi yang sudah ditentukan.
Akan tetapi dimanakah ribuan penduduk kota Madinah yang seharusnya ada di tempat?
Ketika iringan pengantar jenazah puteri Nabi itu lewat?
Mengapa tak seorangpun dari mereka datang melawat?
Mengapa pemakamannya dilangsungkan pada saat dianggap sangat tidak tepat?
Mengapa harus dilangsungkan di kegelapan malam yang pekat?
Fathimah
memang merencanakan itu semua sebelumnya. Fathimah telah memberikan
wasiat kepada Imam Ali agar para penduduk kota Madinah itu tidak datang
ke pemakamannya. Ia ingin dikuburkan pada malam hari dan ingin agar
kuburannya disembunyikan dari pengetahuan penduduk kota Madinah.
Ada
kesunyian yang mencekam di sana. Tiba-tiba terdengar tangisan agak
keras dan parau memecah kesunyian yang tadi. Tangisan itu datang dari
pahlawan padang pasir yang musuh manapun pasti akan ngeri dan
menyingkir. Tangisan itu sekarang terdengar lebih keras seakan
menghabiskan rasa kepenasaran karena sedari tadi tangisan itu ia tahan.
Ia berkata dalam tangisannya:
“Ya,
Rasulullah! Salam bagimu, wahai kekasihku. Salam dariku dan dari
puterimu yang sekarang ini akan datang kepadamu dan ia sangat bergegas
meninggalkanku untuk sampai kepadamu. Ya, Rasulullah, rasa luluh lantak
terasa pada diriku dan rasa lemah tak berdaya telah menggerogoti diriku.
Itu tak lain karena engkau dan puterimu telah meninggalkanku. Tapi aku
sadar semua ini milik Allah dan kepadaNyalah segala sesuatu itu kembali (QS. 2: 156).
Semua
yang telah dititipkan itu akan diambil kembali; semua yang pernah kita
miliki itu akan diambil lagi oleh pemiliknya yang sejati. Sementara itu
kepedihan dan kesedihan Ali, tetap bermasayam dalam dirinya baik siang
maupun malam hari. Tak ada batasan jelas untuk Ali kapan ia bersedih dan
kapan ia terbebas dari kesedihannya itu. Kepergian dua orang yang
dicintainya sangat mengguncang dirinya. Perasaan itu akan tetap pada
dirinya hingga dirinya nanti bertemu lagi dengan yang dicintainya……yaitu
pada hari dimana ia dipanggil oleh Allah untuk menghadapNya. Imam Ali
kembali mengadu kepada Rasulullah dalam rintihan yang lirih……”Ya,
Rasulullah, puterimu pastilah akan mengadukan kejadian yang sedang
menimpa umat ini. Puterimu ingin umat ini bersatu kembali. Puterimu
ingin agar engkau datang kembali agar bisa mempersatukan umat yang sudah
bercerai berai ini. Dan engkau nanti akan bertanya padanya secara
rinci. Engkau akan bertanya mengapa umat ini menentang keluarga nabi.
Mengapa mereka mengkhianati apa-apa yang telah ditentukan oleh Nabi. Dan
mengapa mereka melakukan hal ini padahal kematianmu itu baru saja
terjadi dan umat masih merasakan kejadian ini!”
“Salam
untuk kalian berdua! Salam perpisahan dariku yang sedang berduka bukan
dariku yang telah tak suka kepada kalian berdua. Kalau aku pergi dari
pusara kalian, itu bukan karena aku merasa bosan kepada kalian. Dan
kalau aku berlama-lama di pusara kalian, itu bukan karena aku tak lagi
percaya dengan kuasa Tuhan dan apa yang telah Tuhan janjikan kepada
orang-orang yang tengah ditimpa kepedihan.”
Setelah
menguburkan Fathimah az-Zahra (as), rombongan berisi keluaga dekat Nabi
dan para sahabat pilihannya segera bergegas kembali ke rumahnya masing-
masing sehingga tidak ada satu orangpun di kota Madinah yang tahu
dimana Fathimah dikuburkan.
Sesampainya
mereka di rumah, anak-anak dengan segera sadar bahwa mereka telah
ditinggalkan oleh ibunya. Mereka merasakan kesepian yang mencekik. Imam
Ali segera menghibur mereka supaya kesedihan tak terlalu larut membawa
pikiran mereka. Akan tetapi itu tidak mudah dilakukan. Imam Ali mencoba
menenangkan diri mereka dan kemudian ia sendiri masuk ke dalam kamar dan
kemudian larut dalam tangisan yang sendu. Pahlawan Badar, Uhud,
Khaybar, Khandaq dan beberapa perang lainnya itu merasakan kelelahan
yang luar biasa dalam menahan kepedihan dan akhirnya ia lampiaskan dalam
tangisan. Tangisan karena rasa cinta dan kehilangan; bukan tangisan
manja dan penuh keputus-asaan.
Mereka semua telah melalui serangkaian kejadian yang menyesakkan sepeninggal Rasulullah. Pengangkatan Imam Ali di Ghadir Khum
telah dilupakan secara sengaja oleh banyak orang; tanah Fadak sudah
dirampas; rumah mereka telah diserang oleh para utusan khalifah pertama;
pintu rumah keluarga Nabi yang dibakar menimpa Bunda Fathimah
az-Zahra—pintu itu mematahkan beberapa tulang iganya dan menggugurkan
kandungannya. Isteri sang Imam harus terbaring sakit di ranjangnya
selama beberapa hari setelah itu; terbaring sendirian dan terisolasi
dari dunia luar dan kemudian meninggal dalam kepedihan yang menyesakkan!
Salah satu sudut pandang tempat bernama Ghadir Khum
Malam
hari itu setiap anak terpaksa saling menghibur untuk meredakan
kesedihan mereka. Mereka berkumpul dalam satu kamar dan tidur
kelelahan……………hari-hari yang berat akan masih menyambangi mereka satu
demi satu. Sementara itu Bunda Fathimah menyaksikan mereka dengan wajah
sendu.
MENGAPA KUBURANNYA DIRAHASIAKAN?
Hingga
detik ini tidak ada seorangpun yang tahu persis dimanakah kuburan dari
sayyidah Fathimah (as) yang kepadanya Rasulullah selalu memberikan
pernghormatan yang penuh takzim. Rasulullah selalu senantiasa berdiri
menyambut apabila Fathimah datang menjenguk. Rasulullah seringkali
didengar orang berkata: “Fathimah itu adalah bagian dari diriku.
Siapapun yang menyakiti diri Fathimah akan berarti menyakiti diriku.”
Rasulullah juga seringkali berkata: “Barangsiapa yang menyakiti
Fathimah, ia berarti menyakitiku; barangsiapa yang menyakitiku, berarti
ia telah menyakiti Allah!”. Rasulullah juga seringkali berkata: “Allah
menjadi sangat marah karena kemarahan Fathimah; dan merasa senang dengan
rasa senang Fathimah.” Sejarah telah mencatat bahwa Fathimah dikuburkan
di sekitar Jannat al-Baqi di Madinah akan tetapi tidak ada seorangpun
yang tahu tempat persisnya; tak ada seorangpun yang bisa menunjukkan
dengan pasti di mana makam dari puteri Nabi yang suci itu.
Baca disini:
http://ahlulbaitnabisaw-sejarah.blogspot.com/2015/07/usaha-usaha-untuk-mencari-dan-membuka.html
Baca disini:
http://ahlulbaitnabisaw-sejarah.blogspot.com/2015/07/usaha-usaha-untuk-mencari-dan-membuka.html
Di mana Maqam Fatimah Az Zahra
Masalah ini juga telah disepakati kebenarannya oleh dua mazhab, Sunnah dan Syi'ah. Orang yang insaf dan berakal tidak akan dapat lari kecuali harus mengatakan bahwa Abu Bakar berada pada posisi yang keliru dalam perselisihannya dengan Fatimah, dan ia tidak bisa menolak fakta bahwa Abu Bakar pernah menzalimi Penghulu Alam semesta ini. Mereka yang menelaah sejarah ini dan mengetahui seluk-beluknya secara rinci akan tahu pasti bahwa Abu Bakar pernah mengganggu Siti Fatimah az-Zahra' dan mendustakannya secara sengaja, agar Fatimah tidak mempunyai alasan untuk berhujjah dengan nash-nash al-Ghadir dan lainnya akan keabsahan hak khilafah suaminya dan putra-pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib.
Kami telah temukan bukti-bukti yang cukup kuat dalam hal ini.
Seandainya Abu Bakar memang berniat baik dan keliru maka kata-kata Fatimah telah cukup untuk menyadarkannya. Tetapi Fatimah masih tetap marah padanya dan tidak berbicara dengannya sampai beliau wafat. Karena Abu Bakar telah menolak setiap tuntutan Fatimah dan tidak menerima kesaksiannya, bahkan kesaksian suaminya sekalipun, akhirnya Fatimah murka pada Abu Bakar sampai beliau tidak mengizinkannya hadir dalam pemakaman jenazahnya, seperti yang dia wasiatkan pada suaminya Ali. Fatimah juga berwasiat agar jasadnya dikuburkan secara rahasia di malam hari tanpa boleh diketahui oleh mereka yang menentangnya.[2]
Untuk pembuktian ini saya sendiri telah berangkat ke Madinah untuk memastikan kebenaran fakta sejarah ini. Di sana kudapati bahwa pusaranya memang masih tidak diketahui oleh siapa pun. Sebagian berkata ada di Kamar Nabi, dan sebagian lain berkata ada di rumahnya yang berhadapan dengan Kamar Nabi. Ada juga yang berpendapat bahwa pusaranya terletak di Baqi', di tengah-tengah pusara keluarga Nabi yang lain. Tapi tiada satupun pendapat yang berani memastikan dimana letaknya.
Alhasil, aku berkesimpulan bahwa Fatimah az-Zahra' sebenarnya ingin melaporkan kepada generasi muslimin berikutnya tentang tragedi yang disaksikannya pada zamannya, agar mereka bertanya-tanya kenapa Fatimah sampai memohon pada suaminya agar dikebumikan di malam hari secara sembunyi dan tidak dihadiri oleh siapa pun. Hal ini juga memungkinkan seorang muslim untuk sampai pada sebuah kebenaran lewat telaah-telaahnya yang intensif dalam bidang sejarah .
Aku juga mendapati bahwa penziarah yang ingin berziarah ke kuburan Utsman bin Affan terpaksa harus menempuh jalan yang cukup jauh agar bisa sampai ke sudut akhir dari wilayah tanah pekuburan Jannatul Baqi'. Di sana dia juga akan dapati bahwa kuburan Utsman berada persis di bawah sebuah dinding, sementara kebanyakan sahabat lain dikuburkan di tempat yang berhampiran dengan pintu masuk Baqi'. Hatta Malik bin Anas, imam mazhab Maliki, seorang tabi'it-tabi'in (generasi keempat setelah Nabi) juga dikuburkan dekat dengan istri-istri Nabi. Hal ini bagiku bertambah jelas apa yang dikatakan oleh ahli sejarah bahwa Utsman dikuburkan di Hasy Kaukab, sebidang tanah milik seorang Yahudi.
Pada mulanya kaum muslimin melarang jasad Utsman dikebumikan di Baqi'. Ketika Mua'wiyah menjabat sebagai khalifah dia beli tanah milik si Yahudi, kemudian memasukkannya sebagai bagian dari wilayah Baqi', agar kuburan Utsman juga termasuk di dalamnya. Mereka yang ziarah ke Baqi' pasti akan dapat melihat hakekat ini dengan jelas sekali. Aku semakin heran ketika kuketahui bahwa Fatimah az-Zahra' AS adalah orang pertama yang menyusul kepergian ayahnya. Antara wafat Rasul dengan wafat Fatimah hanya dipisahkan selang waktu enam bulan saja.
Demikian pendapat sebagian ahli sejarah. Tapi anehnya beliau tidak dikuburkan disisi makam ayahnya! Apabila Fatimah Zahra' berwasiat agar dikebumikan secara rahasia, dan beliau tidak dikuburkan dekat dengan pusara ayahnya seperti yang disebutkan di atas, lalu apa pula gerangan yang terjadi dengan jenazah putranya Hasan yang tidak dikuburkan dekat dengan pusara datuknya Muhammad SAW?
Ummul-mukminin Aisyah melarang jasad Hasan dikebumikan di sana. Ketika Husain datang untuk mengebumikan saudaranya Hasan di sisi pusara datuknya, Aisyah datang dengan menunggangi baghalnya sambil berteriak, "jangan kuburkan di rumahku orang yang tidak kusukai!" Bani Umaiah dan Bani Hasyim nyaris perang. Tetapi Imam Husain kemudian berkata bahwa dia hanya membawa jenazah saudaranya untuk "tabarruk" pada pusara datuknya, kemudian dikuburkan di Baqi'. Imam Hasan pernah berpesan agar jangan tertumpah setetes pun darah karenanya. Dalam konteks ini Ibnu Abbas mendendangkan syairnya kepada Aisyah:
Kau tunggangi onta[3]
Kau tunggangi baghal[4]
Kalau kau terus hidup
kau akan tunggangi gajah
Sahammu kesembilan dari seperdelapan
tapi telah kau ambil semuanya
Kau tunggangi baghal[4]
Kalau kau terus hidup
kau akan tunggangi gajah
Sahammu kesembilan dari seperdelapan
tapi telah kau ambil semuanya
Ini adalah contoh dari rangkaian fakta yang sungguh mengherankan. Bagaimana Aisyah mewarisi semua rumah Nabi sementara istri-istri beliau berjumlah sembilan, seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Abbas di atas?
Apabila Nabi tidak meninggalkan harta waris seperti yang disaksikan oleh Abu Bakar kerananya dia melarangnya dari Fatimah, lalu bagaimana Aisyah dapat mewarisi pusaka Nabi? Apakah ada dalam AlQuran suatu ayat yang memberikan hak waris pada isteri tapi melarangnya dari anak perempuan? Ataukah politik yang telah merobah segala sesuatu sehingga anak perempuan diharamkan dari menerima segala sesuatu dan si isteri diberi segala sesuatu? Saya akan membawakan suatu kisah yang diceritakan oleh sebagian ahli sejarah. Cerita ini ada kaitannya dengan hak pusaka ini.
Ibnu Abil-Hadid al-Mu'tazili dalam bukunya Syarhu Nahjil Balaghah
pernah berkata: "Suatu hari Aisyah dan Hafshah datang kepada Utsman
pada periode pemerintahannya. Mereka minta agar pusaka Nabi tersebut
diberikan kepada mereka. Sambil membetulkan cara duduknya, Utsman
berkata kepada Aisyah:" Engkau bersama orang yang duduk ini pernah
datang membawa seorang badui yang masih hadas menyaksikan Nabi SAW
bersabda: "Kami para Nabi tidak meninggalkan harta pusaka." Jika memang
benar bahwa Nabi tidak meninggalkan sebarang warisan, lalu apa yang
kalian minta ini? Dan jika memang Nabi meninggalkan warisan pusaka,
kenapa kalian larang haknya Fatimah? Lalu Aisyah keluar dari rumah
Utsman sambil marah-marah dan berkata: "Bunuh si naâtsal. Sungguh, dia
telah kufur." [5]
Referensi:
[1] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal.19; Syarh Nahjul Balaghah Oleh Ibnu Abil Hadid.
[1] Tarikh al-Khulafa jil. 1 hal.19; Syarh Nahjul Balaghah Oleh Ibnu Abil Hadid.
[2] Shahih Bukhori jil.3 hal.36; Shahih Muslim jil. 2 hal. 72.
[3] Mengimbas peperangan Jamal ketika beliau menunggangi onta.
[4] Mengimbas ketika beliau menunggangi baghal dalam usaha menghalangi Hasan dari dikuburkan dekat pusara datuknya.
[5] Syarh Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid jil. 16 hal. 220-223.
(alhassanain/ahlulbaytku/syiahali/ABNS)
(alhassanain/ahlulbaytku/syiahali/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar