Samra Hussain bertekad mengunjungi sebuah masjid Syiah untuk melaksanakan salat Jumat. Sudah lama Samra ingin merasakan petualangan salat di masjid yang berbeda. Bersama putranya, Samra bersiap dan segera menuju mobil. Namun insting dalam dirinya melawan. Ketika melewati rambu lalu lintas di jalur bebas hambatan, Samra mulai bertanya-tanya dalam dirinya mengapa dia melakukan hal ini. Apa tujuannya? Kenapa dia merasa penting untuk salat di masjid yang berbeda? Salat di masjid suni saja Samra merasa tidak sering melakukannya, lalu kenapa dia mencoba untuk pergi ke masjid Syiah? Bagaimana kalau seseorang memusuhinya? Bagaimana jika salat orang-orang Syiah sangat berbeda dan mereka tahu kalau dia hanyalah orang asing? Jika kecemasan, kegelisihan, dan ketakutan sudah pernah Samra lewati ketika mengunjungi gereja atau sinagog, mengapa maka mengapa tidak dengan masjid Syiah, pikirnya.
Segera setelah melihat tulisan Masumeen Islamic Centre, Samra panik. Dia segera mengambil syal dari kursi belakang mobilnya dan memakainya dengan rasa takut. Frustasi dengan model syal yang dipakainya, Samra melemparkan kembali syal tersebut ke belakang. Melewati tempat parkir, Samra mengira akan mendapati kegaduhan sebagaimana yang dia temui di masjid suni. Samra terkejut karena masih banyak tempat kosong dan kendaraan diparkir dengan cara yang beradab. Mendapatkan tempat parkir, Samra berjalan menuju pintu masuk wanita bersama putra kecilnya.
Samra menaiki anak tangga menuju sebuah ruang terbuka. Setelah sepatu dan mantelnya diletakkan, Samra berjalan menuntun putranya menuju ruang salat yang besar. Ketika tiba, Samra hanya melihat tiga wanita. Samra menyapanya dengan senyum dan salam; merekapun tersenyum balik. Samra bingung. Haruskah dia memberi tahu mereka kalau dirinya hanyalah seorang ahlusunah yang sedang berkunjung? Tapi Samra merasa itu bukan waktu yang tepat. Samra berjalan menuju rak buku dan mengambil sebuah buku tentang Quran untuk dibaca sebelum khotbah dimulai. Mengherankan bagi Samra, putranya kali ini sangat tenang dan malu-malu ketika duduk di sampingnya. Samra juga memperhatikan sekeliling ruangan dan melihat kaligrafi Quran dan doa-doa dalam Bahasa Arab untuk nabi dan keluarganya.
Tak lama, Samra melihat pintu terbuka dan dua wanita masuk berjalan; salah satu di antaranya membawa bayi. Samra menyapanya dengan senyum dan salam, merekapun membalas senyum dengan ramah. Seorang wanita tua duduk di atas kursi membaca Quran dengan suara pelan. Samra melihat televisi layar data di depan ruangan. Seorang imam memulai khotbahnya dengan mengucapkan: “Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Aku menasihati kalian dan diriku untuk bertakwa kepada Allah.” Cara bicara dan bahasa tubuh khatib begitu tenang. Tak lama bagi Samra untuk mulai menyukainya.
Khotbah Jumat tersebut membahas lebih dalam makna Al-Karim yang merupakan salah satu asma Allah. Khatib menjelaskan bahwa kata “karim” menandakan segala sifat positif dan dengan kemurahan hati diberikan kepada orang lain demi kebaikan mereka. “Inilah sebabnya Allah disebut Karim. Nabi saw. juga dikenal sebagai rasul karim. Namun bukan hanya manusia saja yang karim, Allahpun menyebut Qurannya dengan Karim,” kata sang khatib. Ketika nama nabi saw. disebut, seluruh jemaah salat serempak membacakan salawat baginya.
Khatib Jumat juga menegaskan bahwa Allah disebut sebagai Al-Karim bukan hanya karena Dia akan mengampuni kesalahan manusia, tetapi juga tidak akan membuat kita malu dengan kesalahan yang lalu. Itu berbeda dengan kebanyakan manusia, yang meskipun telah memaafkan, terkadang masih mengungkit di hadapan orang lain untuk membuatnya malu. Allah juga disebut Al-Karim karena Dia memberikan sebelum manusia meminta dari-Nya. Ketika manusia meminta, Dia memberikan lebih dari yang manusia harapkan. Khatib itu kemudian mengatakan, “Kita telah melupakan Allah. Kita telah menyia-nyiakan karunia-Nya.” Karim secara makna adalah seseorang yang memiliki posisi atau kemampuan untuk membalas dendam tapi tetap memaafkan, merujuk pada nabi dan keluarganya.
Tiba-tiba, sebuah doa dalam Bahasa Arab dibaca oleh khatib dan seluruh jemaah salat berdiri. Samra mengira salat sudah dimulai, tetapi kemudian mereka semua duduk kembali. Kemudian khatib mengisahkan tentang cucu nabi, Imam Husain. Pernah suatu ketika seseorang bertanya pada Imam Husain mengapa ia tidak pernah menolak pengemis. Imam Husain menjawab, “Aku meminta pada Allah nikmat-Nya dan aku cinta berada di dekat-Nya. Aku malu karena masih membutuhkan Allah, karenanya aku tidak akan menolak pengemis.” Penjelasan khatib tentang makna dibalik kalimat Imam Husain membuat Samra berpikir bahwa manusia sering kali pelit atas apa yang Allah berikan, sehingga Allah-pun “pelit” kepada kita.
———————————
Tibalah waktu salat Jumat. Para wanita yang berjumlah lima belas orang bangkit berdiri. Putra Samra sudah tertidur pulas. Ketika Samra hendak meluruskan barisannya, dia memperhatikan bahwa semua orang memiliki batu kecil di tempat sujudnya. Samra tidak tahu benda apa itu, tapi yang jelas dia tidak memilikinya. Samra mulai merasa gugup, khawatir jika seseorang bertanya tentang batu itu. Tapi mengherankannya, tidak ada seorangpun yang bertanya; bahkan tidak ada yang peduli.
Meski salatnya sedikit berbeda, Samra terus memperhatikan sekeliling dan mencoba mengikuti gerakannya. Misalnya, tidak ada yang menyilangkan tangannya di dada sebagaimana yang biasa dilakukan muslim suni; mereka semua meluruskan tangannya di samping tubuh. Jemaah salatpun tidak langsung melakukan rukuk, tetapi mengangkat tangan untuk kunut terlebih dahulu sebagai simbol berdoa, lalu kemudian rukuk. Kesunyian yang muncul di antara jeda bacaan salat membuat Samra bisa mendengar suara tidur putranya. Sebuah pengalaman salat yang begitu menenangkan Samra.
Bacaan ketika sukuk dan sujudpun terdapat sedikit perbedaan, pikir Samra. Ketika duduk, imam salat kemudian membaca syahadat. Perbedaan terakhir yang Samra lihat ada di akhir salat. Ketika imam mengucapkan salam, tidak ada seorangpun yang menggerakkan kepalanya ke samping sebagaimana yang biasanya suni lakukan. Semuanya mengakhiri salat begitu saja. Sesuatu yang mengherankan bagi Samra karena dia belum pernah melihatnya. Ketika Samra hendak meninggalkan tempat salat, ia mendengar suara panggilan (ikamah) untuk kembali melakukan salat. Kebingungan, Samra tetap berdiri. Tapi ia tidak punya waktu bertanya salat apa yang mereka lakukan. Lagi-lagi, Samra hanya bisa mengikuti salat. “Apakah ini salat tambahan? Ataukah ini salat Jumat sesungguhnya?” pikirnya.
Setelah salat berakhir, Samra melihat dua wanita muda meninggalkan ruangan bersama bayinya. Samra mulai mengikuti mereka. Di luar, Samra mengatakan bahwa dia adalah seorang ahlusunah yang sedang berkunjung dan dia bertanya tentang salat yang kedua. Mereka tersenyum. Salah seorang dari mereka memulai jabat tangan dan Samra menerimanya dengan senang. “Selamat datang,” kata salah seorang wanita itu. “Bagaimana menurutmu?” Samra mengatakan bahwa dia menyukainya, dan meskipun berbeda, dia tetap mengikutinya. Dua wanita itu tersenyum dan mengatakan bahwa salat kedua itu adalah salat Asar. Jelas bagi Samra, ternyata muslim Syiah melakukan salat Asar setelah melakukan salat Jumat. Samra mengucapkan salam perpisahan pada wanita tersebut dan kembali ke ruangan salat. Putra Samra masih menikmati tidurnya dengan tenang, dan dia pun membangunkannya dengan perlahan.
Perjalanan pulang, Samra merasa bersyukur pada Allah karena mengizinkannya merasakan pengalaman ini. Samra memang selalu ingin salat di masjid Syiah. Tidak ada satupun tuduhan dan rumor tentang Syiah yang benar dalam pengalamannya. Mereka tidak menyekutukan Allah, sebagaimana yang dituduhkan. Mereka tidak meminta pertolongan pada Imam Husain sebagaimana isu beredar. Tidak diragukan kalau mereka sangat menyayangi keluarga nabi. Tapi seharusnya memang seluruh muslim demikian, karena Quran mengatakan bukanlah muslim yang sesungguhnya kecuali jika mencintai nabi dan keluarganya.
Pengikut Syiah hanya berdoa dan memohon kepada Allah. Samra mengatakan tidak ada yang berhak menuduh jika pengikut Syiah hanyalah berpura-pura di hadapannya. Karena Samra datang tiba-tiba. Orang yang tahu kalau Samra seorang suni hanyalah dua wanita yang didatanginya selepas salat.
Pertanyaannya, akankah Samra salat di masjid itu lagi? “Tentu saja!” jawabannya. Samra sangat menikmati pengalamannya. Khatib masjid tersebut luar biasa, jemaah wanitanya bersahabat, orang-orang memarkirkan kendaraannya dengan baik, dan lebih penting lagi, mereka semua muslim yang mengimani Tuhan, Quran, dan nabi saw. yang sama!
Sumber: Disadur dari Hussain, Samra (Desember 2013). “A Sunni Muslim prays at a Shia mosque”. For the Love of GOD, dengan izin penulisnya.
(ejajufri/MahdiNews/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar