AIR MATA DARI RASUL TERCINTA
Seberapa besarkah cinta anda padanya?
Waktu
itu muncul secara tiba-tiba seseorang mengucapkan salam. Kemudian ia
berkata, “Bolehkah saya masuk?”. Ia meminta ijin untuk masuk. Akan
tetapi Fathimah binti Rasulillah tidak berkenan dirinya masuk. Beliau
tidak mengijinkan orang itu untuk masuk sambil berkata dengan lemah
lembutnya, “Ma’afkan saya. Anda tidak boleh masuk ke dalam karena ayah
saya kebetulan sedang sakit”. Fathimah kemudian berpaling dan menutup
pintu dari dalam rumah.
Fathimah
kembali ke pembaringan dimana ayahnya sedang terbaring sakit. Ayahnya
yang tercinta membuka matanya dan bertanya kepada Fathimah, “Siapa tadi,
wahai anakku?”
“Aku tidak tahu, ayah. Ini kali pertama aku bertemu dengannya, ayah”, Fathimah menjawab dengan lembutnya.
Kemudian
Rasulullah menatap wajah puterinya itu dengan tatapan bergetar
seolah-olah ia hendak mengingat-ingat setiap lekuk wajah puterinya itu.
“Ketahuilah satu hal, anakku! Dialah yang akan menghilangkan semua
kesenangan yang fana ini; dialah yang hendak memisahkan hubungan
kekerabatan dan pertemanan di dunia ini. Dialah malaikat pencabut
nyawa”, Rasulullah menjelaskan pada puterinya.
Demi
mendengar itu Fathimah terhenyak seolah-olah mendengarkan sebuah bom
yang diledakkan di dekatnya. Tangisan Fathimah meledak. Ia menangis
tersedu-sedu dan tidak pernah tangisan dirinya itu, sepilu dan sepedih
itu. Rasulullah kemudian menyuruh puterinya itu untuk mempersilahkan
masuk sang malaikat pencabut nyawa itu. Kemudian ia masuk ke rumah.
Malaikat
pencabut nyawa (Izrail) datang menuju tempat dimana jasad Rasulullah
terbaring lemah. Rasululah bertanya mengapa Jibril tidak datang bersama
dengannya. Kemudian Jibril pun dipanggil dan datang. Jibril telah siap
menyambut kedatangan Rasulullah di langit. Jibril sudah siap menyambut
ruh suci dari kekasih Tuhan yang pernah memimpin dunia dengan keadilan,
kebenaran, dan penuh kelembutan.
“Wahai
Jibril. Jelaskanlah kepadaku apa hak-hak yang akan aku dapatkan dari
Allah?”, Rasulullah bertanya kepada Jibril dengan nada bicara yang
sangat lemah.
“Pintu-pintu
langit akan terbuka dan para malaikat akan berbaris rapi menyambut
kedatangan ruh sucimu. Surga akan memanggil-manggilmu dan tidak sabar
akan kedatanganmu”, Jibril berkata. Semua perkataan Jibril itu
seolah-olah sama sekali tidak membuat Rasulullah tenang karena masih
terlihat kedua mata Rasulullah menyimpan kekhawatiran yang mendalam.
“Tuanku, apakah engkau tidak berbahagia dengan berita ini?”, tanya Jibril.
“Ceritakan kepadaku nasib dari umatku nanti di masa yang akan datang!”
“Janganlah kau khawatir, tuanku, ya Rasulullah! Aku telah mendengar Allah berfirman: Aku akan haramkan surga untuk setiap orang kecuali setelah umat Muhammad masuk kedalamnya“, Jibril mencoba menenangkan.
Waktu
merambat makin dekat dan makin dekat. Waktu untuk mencabut ruh suci
sang Nabi makin dekat. Izrail sebentar lagi akan menunaikan tugasnya.
Dengan perlahan dan hati-hati ruh suci Nabi ditarik. Tubuh Rasulullah
mulai mencucurkan keringat; urat lehernya menegang.
“Jbril, ternyata yang namanya sakaratul maut itu
sakit sekali”, Rasulullah berkata dengan gumaman lemah. Fathimah,
puteri Rasulullah menutup kedua matanya menahan kesedihan yang teramat
sangat. Imam Ali (as.) duduk di dekat Fathimah mendudukan kepalanya
dalam-dalam; sementara itu Jibril memalingkan mukanya tidak kuat melihat
pemandangan yang sangat mengharukan itu.
“Apakah
aku tampak menjijikan bagimu, wahai, Jibril. Sehingga engkau
memalingkan wajahmu dariku?’, Rasulullah bertanya kepada sang penyampai
wahyu. “Siapakah gerangan orangnya yang sanggup dan kuat melihat kekasih
Allah sedang menghadapi sakaratul maut. Oleh karena itu aku memalingkan
wajahku darimu, wahai tuanku”, Jibril berkata.
Tidak berapa lama berselang, Rasulullah mengeluarkan suara dari tenggorokkannya karena rasa sakit yang teramat sangat.
“Ya,
Allah. Betapa sakitnya sakaratul maut ini. Berikanlah rasa sakit ini
kepadaku semuanya dan jangan berikan sedikitpun kepada umatku”. Tubuh
Rasulullah kemudian terasa dingin; kedua kakinya dan dadanya tidak bisa
lagi digerakkan. Bibir mulia beliau bergetar seolah-olah ingin
mengutarakan sesuatu. Imam Ali (as.) mendekatkan telinganya ke arah
mulut beliau yang suci. Rasulullah berbisik: “Ushiikum bis salati, wa maa malakat aimanuku” (jagalah shalat dan urusilah urusan orang-orang lemah yang ada di sekitarmu)”.
Di
luar ruangan terdengar tangisan sahut menyahut; tangisan yang satu
disusul oleh tangisan yang lain–lebih keras dan lebih keras. Para
sahabat Nabi saling berpegangan tangan satu sama lain seolah-olah ingin
memperkuat dan menghibur hati sahabatnya yang lain. Fathimah binti
Muhammad, puteri Nabi, menutupi wajahnya yang basah dengan air mata yang
bercucuran sejak tadi. Imam Ali sekali lagi mendekatkan telinganya ke
dekat mulut Rasulullah yang sekarang sudah tampak membiru.
“Ummati, ummati, ummati”,
(Ummatku, ummatku, ummatku) (dengan kalimat itu Rasulullah berwasiat
agar Ali bin Abi Thalib mengurusi urusan umat Muhammad sepeninggal
beliau). Setelah mengucapkan kalimat itu, Rasulullah pun berangkat
menuju kekasihnya dengan tenang. Innalillahi wa inna ilayhi roji’un.
DAPATKAH KAMI MEMBALAS CINTAMU WAHAI MUHAMMAD-KU?
Allahumma
Shali ‘Ala Muhammad wa ‘ala Ali Muhammad (Ya, Allah curahkan shalawat
dan salam kepada Muhammad dan juga kepada keluarga Muhammad)
Berapa
besar dan dalamkah cinta Rasulullah kepada kita? Sesungguhnya,
Rasulullah-lah yang lebih pantas kita cintai daripada apapun di dunia
ini seperti yang diceritakan dalam sebuah riwayat di bawah ini.
Thawban, sahabat yang setia
Thawban
adalah salah seorang budak belian yang telah dibebaskan oleh
Rasulullah. Ia selalu bersama Rasulullah baik itu ketika Rasulullah ada
di rumahnya maupun ketika beliau sedang melakukan perjalanan. Setelah
Rasulullah meninggal, ia tetap berdiam diri di rumahnya di Syiria selama
bertahun-tahun dan kemudian ia pindah ke Mesir untuk tinggal di sana
juga selama beberapa tahun lamanya. Ia berada di Mesir ketika pasukan
Muslimin menguasai Mesir. Thawban meninggal pada usia 51 tahun.
Diceritakan
dalam beberapa riwayat bahwa dirinya itu sangat mencintai Rasulullah
(saaw.); begitu cintanya hingga dirinya hampir tidak sanggup kehilangan
Rasulullah walaupun hanya beberapa saat saja. Pada suatu ketika
Rasulullah melihat Thawban dalam keadaan bersedih hati tampak dari
wajahnya yang kusam dan muram. Ia kelihatan tampak lemah dan tidak
bertenaga. Rasulullah bertanya pada dirinya, “Hai, Thawban! Ada apakah
gerangan dengan dirimu sehingga tampak muram dan kusam wajahmu?”.
Thawban menjawab dengan penuh kesopanan, “Ya, Rasulullah! Aku tidak
sedang sakit juga tidak sedang mengalami rasa sakit sedikitpun, akan
tetapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Aku khawatir dengan
kedekatan dirimu dengan Allah. Aku mungkin nanti akan kehilangan
kesempatan untuk masuk surga; sedangkan dirimu itu akan berada di sana,
di tempat yang tinggi, malah. Aku sendiri walau masuk surga misalnya,
tempat kedudukanku tidak akan setinggi kedudukanmu. Aku akan berada di
tempat yang rendah di sana. Oleh karena itu, kemungkinan aku tidak bisa
berjumpa dengan dirimu. Itulah yang merisaukan pikiranku selama ini. Aku
tidak sanggup dan tidak kuat kalau aku tidak bisa lagi melihat wajah
sucimu”.
Pada saat itulah turun sebuah ayat kepada Rasulullah. Ayat itu berbunyi:
“Dan
barangsiapa yang menaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS. An-Nisaa: 69) [lihat Bihar al-Anwar, vol. 2, 68]
“Wahai, Rasulullah! Sesungguhnya aku sangat mencintai dirimu!”
A’isyah
melaporkan dalam sebuah riwayat bahwa seseorang datang kepada
Rasulullah dan berkata kepada beliau, “Ya, Rasulullah! Sesungguhnya, aku
ini sangat mencintaimu. Malah kecintaanku padamu ini melebihi dari
kecintaanku pada keluargaku sendiri. Aku lebih mencintaimu daripada aku
mencintai anak-anakku. Apabila aku sedang berada di rumah dan aku sedang
memikirkan dirimu, maka aku tidak bisa menahan diriku hingga aku bisa
datang menemuimu dan memandang wajah dirimu yang suci itu. Apabila aku
sedang berpikir tentang kematianku dan kematianmu, aku tahu bahwa engkau
nantinya akan masuk ke surga dan engkau akan ditempatkan di tempat yang
tinggi–tempat yang paling baik untuk para nabi. Tapi apabila aku masuk
surga, aku takut dan bertanya-tanya: ‘Apakah aku akan bisa bertemu
dengan dirimu?'”
Rasulullah
tidak berkata-kata. Beliau terdiam. Beliau terdiam hingga Jibril
menyampaikan sebuah ayat yang diturunkan oleh Allah untuk disampaikan
kepada Rasulullah. Ayat itu berbunyi:
“Dan
barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shidiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS. An-Nisaa: 69)
[lihat: Silsilat al-Ahadith as-Sahihah; #2933)
RASULULLAH BERSAMA ENAM SAHABAT SETIANYA
Pada
tahun ketiga setelah Hijrah, beberapa orang dari suku Ozal dan Qarih
yang bermukim di sekitar kota Mekah (dan tampaknya masih memiliki
kesamaan asal-usul dengan orang-orang Qurays) datang menemui diri
Rasulullah (saaw.) yang mulia dan berkata, “Ya, Rasulullah! Beberapa
orang dari suku kami telah memilih Islam dan memeluk Islam sebagai agama
mereka. Sekarang perkenankanlah kami untuk meminta kepada tuan agar
sudi untuk mengirimkan beberapa orang Muslim kepada kami untuk mengajari
kami tentang agama Islam, tentang Al-Qur’an ul-Karim, tentang ajaran
dan aturan serta hukum-hukum Islam”.
Demi
mendengar ini, Rasulullah yang mulia (saaw.) memilih enam sahabatnya
untuk pergi dengan perwakilan dari suku Ozal dan Qarih itu. Pemimpin
dari enam orang sahabat itu ialah Marand bin Abi Marthad atau Asim bin
Sabit.
Rasulullah
(saaw.) kemudian mengirimkan sekelompok utusannya yang terpilih untuk
berangkat dengan perwakilan dari suku tersebut meninggalkan kota
Medinah. Mereka berjalan meninggalkan kota Medinah hingga akhirnya
mereka tiba di sebuah pemukiman suku Hozail dan mereka beristirahat di
sana. Para sahabat Rasulullah yang diutus itu beristirahat dan
melepaskan lelah di sana sambil mengumpulkan tenaga untuk meneruskan
perjalanan. Tiba-tiba ketika mereka sedang beristirahat sekelompok orang
dari suku Hozail datang dan menyerang mereka dengan sebilah pedang
terhunus di tangan.
Dengan
segera para utusan Rasulullah itu menyadari apa yang sedang terjadi.
Mereka dengan cepat bergegas menjemput senjata-senjata yang mereka bawa
untuk mempertahankan diri mereka.
Para
penyerang para utusan Rasulullah itu berjanji bahwa mereka tidak
memiliki maksud untuk membunuh akan tetapi bermaksud untuk menyerahkan
mereka kepada orang-orang Qurays di kota Mekah untuk mendapatkan bayaran
uang. Mereka telah memiliki kesepakatan dengan orang-orang Mekah. Tiga
orang dari mereka termasuk Asim bin Sabit menjawab, “Kami tidak bisa
menerima perlakuan kaum Musyrikin”. Akhirnya para utusan Rasulullah itu
balik menyerang dan bertempur habis-habisan hingga akhirnya mereka
menemui kesyahidan.
Sementara
itu 3 orang utusan Rasulullah yang lain yaitu Zaid bin Dasaneh, Khabib
bin Oday, dan Abdullah bin Tariq menerima usulan dari kelompok penyerang
itu dan akhirnya mereka setuju untuk berserah diri dan ikut beserta
kelompok penyerang untuk menemui orang-orang Qurays di kota Mekah.
Orang-orang
dari suku Hozail itu kemudian memberangus mereka dan mengikat mereka
dengan seutas tali yang kuat dan kemudian mereka semua berangkat ke kota
Mekah. Abdullah bin Tariq, ketika makin mendekati kota Mekah, mencoba
untuk melonggarkan tali ikatan yang mengikat kedua tangannya dan ia
berhasil mencapai pedang yang masih ada di pinggangnya akan tetapi
orang-orang Hozail itu mengetahui apa yang ia lakukan dan mereka tidak
mau mengambil resiko lebih buruk dengan membuang waktu terlalu banyak
membiarkan seorang tawanan yang sedang ingin membebaskan dirinya.
Orang-orang Hozail itu dengan cepat mendekati Abdullah bin Tariq dan
kemudian membunuhnya.
Zaid
bin Dasaneh dan Khabib bin Oday diakhir perjalanan mereka akhirnya
ditukar dengan dua orang suku Hozail yang menjadi tawanan orang-orang
Mekah. Jadi orang-orang Hozail sebenarnya telah melakukan kesepakatan
dengan orang-orang Qurays di kota Mekah dimanan untuk setiap tawanan
dari suku Hozail akan ditebus dengan seorang tawanan dari kaum
Muslimin.
Safwan
bin Umayyah dari suku Qurays membeli Zaid bin Dasaneh. Ayahnya Safwan
terbunuh dalam peperangan Badar atau Uhud jadi ia bermaksud untuk
membalas dendam terhadap Zaid bin Dasaneh. Ia ingin membunuh Zaid bin
Dasaneh.
Zaid
bin Dasaneh dibawa keluar kota Mekah. Orang-orang Qurays berkumpul
semua untuk menyaksikan adegan demi adegan dimana Zaid bin Dasaneh akan
dibunuh. Zaid bin Dasaneh datang berjalan dengan tegap. Langkahnya pasti
tak sedikitpun gurat keraguan di wajahnya; tak sedikitpun rasa
ketakutan tergambar di matanya.
Abu
Sufyan melihat adegan yang berlangsung itu dengan perasaan hati
gembira. Ia mengira bahwa inilah saatnya yang ia nantikan dimana ia bisa
memaksa Zaid bin Dasaneh untuk mencaci maki diri pribadi Nabi yang suci
karena menyangka bahwa Zaid bin Dasaneh akan ketakutan dan ia akan
mengorbankan keimanannya demi kehidupan atau nyawanya. Abu Sufyan
mendatangi Zaid bin Dasaneh dan kemudian ia berkata, “Apakah kamu ingin
bertukar tempat dengan Muhammad agar dirimu selamat dan kami tidak usah
memotong lehermu. Kamu bisa pulang kepada isterimu dan anakmu dengan
aman dan nyaman”.
Zaid
bin Dasaneh menjawab, “Demi Allah aku tidak akan senang apabila melihat
sebuah duripun menusuk kaki suci Nabi sementara aku beristirahat dengan
tenang dan santainya di rumahku bersama isteri dan anak-anakku”.
AbU
Sufyan memandang Zaid dengan tatapan tajam menusuk seraya membuka
mulutnya lebar-lebar seakan-akan tidak percaya dengan jawaban yang
diberikan oleh Zaid. Ia kemudian berpaling dan menghadap kepada
orang-orang Qurays, “Demi Allah, aku tidak pernah melihat teman atau
sahabat seseorang yang sebegitu cintanya ia kepada orang itu seperti
cintanya teman-teman Muhammad kepada diri Muhammad”.
Para
sahabat Nabi Muhammad mencintai Muhammad secinta-cintanya hingga bahkan
mereka tidak rela melihat Nabi Muhammad terkena duri di kakinya.
Demi
melihat cinta seperti ini, Abu Sufyan, salah seorang musuh Islam dan
musuh Rasulullah nomor wahid, mengakui bahwa ia tidak pernah melihat
seseorang yang sangat dicintai oleh orang-orang lain seperti Muhammad
yang dicintai para sahabatnya.
Setelah
beberapa saat setelah kesyahidan Zaid bin Dasaneh, tibalah saatnya bagi
Khabib bin Oday untuk digantung hingga mati. Ia juga dibawa keluar kota
Mekah. Khabib bin Oday meminta waktu sebentar kepada mereka untuk
mengijinkan dirinya mendirikan shalat terlebih dahulu untuk menyongsong
kesyahidannya yang hanya menunggu berlalunya waktu yang sudah kian
mendekat. Mereka mengijinkan Khabib bin Oday untuk shalat dan kemudian
shalatlah dia dalam shalat yang sangat khusyu dan penuh dengan
penyerahan diri kepada Allah. Khabib menunaikan shalatnya dengan cepat.
Kemudian
ia kembali kepada orang-orang Qurays sambil berkata, “Demi Allah
seandainya aku tidak takut bahwa kalian akan mengira bahwa diriku shalat
berlama-lama itu karena aku takut pada kematian maka aku akan shalat
lebih lama dan lebih khusyu lagi”.
Mereka
akhirnya membawa Khabib ke sebuah pohon yang ditentukan. Kemudian
Khabib bin Oday berdo’a kepada Allah. Suara do’anya yang begitu
menyentuh hati dan penuh konsentrasi terdengar oleh orang-orang begitu
menyentuhnya do’a yang tinggi nilai spiritualnya itu hingga beberapa
orang terjatuh ke tanah.
Apa yang diucapkan Khabib dalam do’anya? Khabib berdo’a sebagai berikut:
Kami telah menunaikan tugas yang diberikan oleh Nabimu yang suci
Beritahukanlah kepada junjunanku itu bahwa kami telah mati
Ya, Allah! Lihatlah apa yang telah diperbuat orang-orang dzalim kepadaku
Musnahkanlah mereka seperti mereka memusnahkan kami satu per satu
(Oleh as-Syahid, Morteza Motahhari)
CERITA TENTANG KEHORMATAN RASULULLAH
Seorang
Yahudi kehilangan sebuah cincin yang sangat berharga bagi dirinya.
Untungnya seorang Muslim yang kebetulan juga orang miskin menemukan
cincin tersebut. Ketika orang Muslim yang miskin ini mengetahui bahwa
cincin itu milik dari orang Yahudi itu maka ia segera mengembalikan
cincin itu kepadanya. Orang Yahudi itu tersenyum dan kemudian bertanya
kepada orang Muslim miskin itu: “Tahukah kamu betapa berharganya cincin
ini?”
Orang Muslim menjawab: “Ya, aku tahu”
“Kamu
menemukan cincin ini sedangkan kamu ini orang miskin dan sangat
memerlukan bantuan tapi kamu tetap mengembalikan cincin berharga ini
kepadaku?”, kata orang Yahudi itu.
“Betul sekali tuan, memang itu yang aku lakukan”, Muslim yang miskin itu menjawab.
Orang
Yahudi itu kemudian bertanya lagi, “Pernahkah terbersit dalam benakmu
untuk menjual cincin ini hingga kamu bisa memenuhi kebutuhanmu malah
kamu bisa hidup senang. Kemudian kamu ngomong kepada orang-orang bahwa
karena cincin yang ditemukan itu milik orang Yahudi maka kamu merasa
memiliki alasan untuk menjualnya dan tidak mengembalikannya?”
Orang Muslim itu kemudian menjawab, “Mengapa aku harus berpikiran seperti itu?”
“Mengapa juga kamu mengembalikan cincin ini padahal aku khan tidak tahu bahwa kamu yang menemukan cincin ini?”
Dijawab
oleh si Muslim yang miskin itu, “Kami orang Islam percaya kepada hari
pembalasan. Aku berkata pada diriku sendiri seandainya aku tidak
mengembalikan cincin ini kepada pemiliknya, maka nanti pada saat
penghitungan amal-amalan manusia pada hari Kiamat, Nabi saya, Nabi
Muhammad bersama dengan nabimu, Nabi Musa akan duduk bersama. Kamu
mengeluh kepada Nabi Musa dan kemudian Nabi Musa akan mengeluh kepada
Nabiku, Nabi Muhammad. Nabi Musa akan bercerita kepada Nabi Muhammad
bahwa ada salah seorang umatnya telah melakukan perbuatan buruk. Pada
saat itu, aku yakin bahwa Nabi Muhammad tidak akan dapat menjawab
pertanyaan itu. Aku telah mengembalikan cincin ini kepadamu hingga nanti
pada hari pembalasan, aku bisa menyelamatkan kehormatan Nabiku, Nabi
Muhammad.
————————————————————
Catatan moral :
berpikirlah sebagai seorang Muslim, bertindaklah sebagai seorang
Muslim, dan cintailah Allah, cintailah Rasulullah! Itulah hidup sejati
seorang Muslim!
————————————————————
(alhassanain/syiahali/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar