SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Prof.Dr.Jalaluddin Rahmat, M.Sc

Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang pemuka mazhab Ahlus Sunnah yang besar. Ia terkenal sebagai muhaddits (periwayat hadis). Kedalaman ilmunya dan keluasan pengaruhnya di kalangan kaum Muslimin sangat disegani Khalifah Al-Mutawakkil.

Imam Ahmad sering dimintai nasihat dalam menunjukkan hakim-hakim (qadhi) kerajaan. Ketika Al-Mutawakkil hendak mengangkat Al-Tsalji sebagai qadhi, Imam Ahmad merasa keberatan. “Jangan angkat dia, karena dia pembuat bid’ah dan penurut hawa nafsu,” kata Imam Ahmad. Al-Mutawakkil memperhatikan sarannya.

Karena ketinggian martabatnya di hadapan raja, para ulama lain merasa irihati terhadapnya (Ah, betapa sering orang menutupi kerendahan akhlak dengan jubah ulama!). Mereka mencari jalan untuk mendiskreditkan Imam Ahmad.

Dikatakan kepada Al-Mutawakkil bahwa Imam Ahmad itu Syi’ah, membaiat. pengikut Ali, dan melindungi seorang ‘Alawi di rumahnya. Waktu itu, tidak ada tuduhan yang lebih berat daripada itu. Al-Mutawakkil mengirim tentara.

Rumah Imam Ahmad dikepung. “Tuduhan ini dibuat-buat. Aku tidak tahu-menahu,” kata Imam Ahmad, “Aku menaati raja dalam suka dan duka.” Lalu ia disuruh bersumpah bahwa ia tidak melindungi pengikut Ali di rumahnya.

Rumah Imam Ahmad kemudian digeledah — kamar anak-anak, kamar wanita, bahkan sumur. Tidak ada bukti apa pun tentang ke-Syi’ah-an Imam Ahmad.

Sejarah, memang, tidak pernah mencatat Imam Ahmad sebagai Syi’ah. Ia pemuka mazhab Hambali. Lalu apa salah beliau? “Salah”-nya sedikit: di dalam Musnad Ahmad-nya, ia banyak meriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaan Ahlul-Bait dan Ali bin Abi Thalib (karramallahu wajhah). Abdullah, putra Imam Ahmad, pernah berkata: Aku mendengar ayahku (Imam Ahmad) berkata: “Tidak ada seorang pun di antara para Sahabat yang memiliki fadha’il (keutamaan) dengan sanad-sanadnya yang shahih seperti Ali bin Abi Thalib.”.

Menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat paling utama adalah keyakinan Syi’ah. Begitu anggapan umum, waktu itu. Orang membuktikan ke-Syi’ahan seseorang dengan menanyakan siapa yang paling utama di antara para sahabat.

Ahlus-Sunnah akan menyebut dengan urutan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan seterusnya. Sedangkan Syi’ah akan memulai urutan pertama sahabat itu dari Ali.

Pada suatu kali, Abdullah bin Ahmad bin Hambal menanyai ayahnya, “Bagaimana pendapat Anda tentang tafdhil (urutan keutamaan) sahabat?” Ahmad bin Hambal menjawab, “Dalam khilafah: Abu Bakar, Umar, Utsman.”.

“Lalu bagaimana. dengan Ali?” tanya Abdullah.
.
“Wahai anakku,”• kata Ahmad bin Hambal, “Ali bin Abi Thalib termasuk Ahlul-Bait dan orang tidak dapat diperbandingkan dengan mereka!”.

Pada kali yang lain, serombongan orang datang menyelidik, “Hai Abu Abdullah, bagaimana pendapat Anda tentang hadis – Ali pembagi neraka?”.

Ahmad :Lalu apa yang kalian tolak? Bukankah Nabi s.a.w. pernah berkata kepada Ali: “Tidak mencintaimu kecuali mukmin, dan tidak membencimu kecuali munafik.”.

Orang-orang : Betul (Nabi Saw berkata begitu).

Ahmad : Di mana orang mukmin menetap?
Orang-orang : Di surga.
Ahmad : Di mana orang munafik menetap?
Orang-orang : Di neraka.
Ahmad : Kalau. begitu, Ali adalah pembagi neraka.

Pernyataan-pernyataan Imam Ahmad inilah yang memperkuat tuduhan Syi’ah kepadanya. Bukankah Syi’ah adalah mazhab yang mengikuti Ahlul-Bait — dengan Ali sebagai rujukannya. Lagi pula Ahmad bin Hambal banyak meriwayatkan hadis dari perawi-perawi yang bermazhab Syi’ah. Salah seorang gurunya yang dihormatinya adalah Abdurrahman bin Shalih, seorang Syi’ah. Ahmad bin Hambal diperingatkan untuk tidak bergaul dengannya. Tetapi ia membentak, “Subhanallah, kepada orang yang mencintai keluarga suci Nabi kita berkata — jangan mencintainya? Abdurrahman bin Shalih adalah tsiqat (orang yang dapat dipercaya).”.

Tuduhan Syi’ah terhadap Ahmad bin Hambal ini untungnya tidak berakibat parah. Rumahnya digeledah dan ditinggalkan. Ahmad bin Hambal tetap mengajar seperti biasa. Lain halnya dengan Imam Syafi’i. Beliau beserta 300 orang Quraisy diseret dalam keadaan terbelenggu dari Yaman (menurut suatu riwayat, dari Makkah) ke Baghdad. Mereka dihadapkan kepada Harun Al-Rasyid. Seorang demi seorang dipancung di depan Khalifah.

Imam Syafi’i selamat, setelah ia mengucapkan salam kepada Harun Al-Rasyid. Ia sempat menasihati raja dan membuatnya menangis. Begitu, kata sahibul-hikayat. Kita tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi karena riwayat mihnah Imam Syafi’i ini bermacam-macam. Yang disepakati ialah kenyataan bahwa salah satu tuduhan kepada Imam Syafi’i ialah bahwa ia Syi’ah. Sebagian penyair mengejek Imam Syafi’i:

Mati Syafi’i dan ia tak tahu
Apakah Tuhannya Ali, atau Allah

Imam Syafi’i tentu saja tidak menganggap Ali sebagai Tuhan. Kalau Syi’ah diartikan sebagai mazhab yang menganggap khilafah adalah hak Ali, maka Imam Syafi’i bukanlah Syi’ah. “Jika Syi’ah berarti mencintai keluarga Muhammad,” kata Imam Syafi’i dalam salah satu bait, syairnya, “maka hendaknya kedua kelompok menjadi saksi bahwa aku ini Syi’ah.” Imam Syafi’i menggunakan kata “Rafidhi” untuk menyebut Syi’ah – gelaran yang lazim diberikan orang di zaman itu bagi pengikut Syi’ah.

Imam Syafi’I banyak menulis syair yang mengungkapkan kecintaannya kepadaAhlul-Bait. Beberapa di antaranya kita kutipkan di sini:
Kalau kulihat manusia
mazhab mereka tenggelam dalam samudera kesesatan dan kebodohan
dengan nama Allah aku naiki perahu keselamatan
yakni keluarga al-Musthafa, penutup para rasul
Kupegang tali Allah tempat bergantung mereka
Sebagaimana kita pun diperintah berpegang pada tali itu
Hai keluarga Rasulullah
kecintaan kepadamu diwajibkan Allah
dalam Al-Quran yang diturunkan
Cukuplah bukti ketinggian sebutanmu
Tidak sempurna shalat tanpa shalawat bagimu.

Inilah sebagian syair Imam Syafi’i, yang menyebabkannya dituduh Syi’ah. Ahli jarhhadis, Ibn Mu’in, ketika ditanya oleh Imam Ahmad mengapa ia menuduh Imam Syafi’i sebagai Syi’ah, menjawab: “Aku memperhatikan tulisannya tentang ahlul-baghiy (kaum pemberontak), dan aku melihat ia berhujjah dari awal sampai akhir dengan Ali bin Abi Thalib.” Rupanya, ini juga sebabnya mengapa di tempat lain – menurut Al-Khathib – Yahya bin Mu’in berkata, “Syafi’i tidak tsiqat!”.

Celaan-celaan demikian tidak mengurangi kecintaan Imam Syafi’i kepada ahlu-bait. Suatu hari ia mengemukakan masalah agama.

Seseorang berkata, “Engkau bertentangan dengan Ali bin Abi Thalib.” Imam Syafi’i berkata, “Buktikan ucapanmu dari Ali bin Abi Thalib, supaya aku ratakan pipiku di atas tanah dan aku berkata aku telah salah.” Begitu cintanya Imam Syafi’i kepada Ali bin Abi Thalib, sehingga ia tidak mau berbicara di dalam suatu majelis yang di situ ada. keturunan Ali (Lihat Fihrist Ibn Al-Nadim, halaman 295).

Kita tidak ingin menguraikan lebih lanjut kecintaan para imam Ahlus-Sunnah kepada ahlul-bait. Tidak perlu juga kita sebut bagaimana Abu Hanifah (Imam Hanafi) membantu pemberontakan ahlul-bait yang dipimpin Imam Zaid bin Ali; sehinga para. ulama mengatakan, “Secara fiqh Abu Hanifah Sunni; secara politik, ia Syi’ah.”.

Tentu saja, label (gelaran) Syi’ah lebih sering digunakan untuk mendiskreditkan orang ketimbang mendiskripsikannya.

Indikator yang dipergunakan seringkali sangat sederhana: kecintaan kepada keluarga. Rasulullah Saw.

Al-Hakim, penulis Al-Mustadrak, dituding oleh Al-Dzahabi sebagai Syi’ah, karena meriwayatkan keutamaan Ali dan hadis Ghadir Khum.

Abdur-Razzaq bin Hamam, ahli hadis, dituduh Syi’ah karena mencintai Ali dan membenci pembunuhnya.

Ibn Jarir Al-Thabari penulis sejarah Islam abad ketiga, menurut Ibn Atsir (Al-Kamil8:49), dilempari dengan batu dan dikuburkan malam-malam. Ia juga dituduh Syi’ah karena dalam tarikhnya ia meriwayatkan hadis Ali bin Abi Thalib sebagaiwashiy (pembawa wasiat) dan khalifah Nabi s.a.w.

Yang paling menarik, Ibn Abdul-Barr, yang sangat memusuhi ahlul-bait dituding oleh Ibn Katsir sebagai Syi’ah karena meriwayatkan hadis yang mengecam Mu’awiyah.

Buku ini, Teladan Suci Keluarga Nabi, terjemahan dari Is’af Al-Raghibin, ditulis oleh seorang ‘alim yang bermazhab Syafi’i, dan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dalam buku ini ia meriwayatkan keutamaan keluarga Rasulullah Saw. dari hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlus-Sunnah.

Boleh jadi ia, dan juga penulis pengantar ini, akan didiskreditkan sebagai Syi’ah: hanya karena meriwayatkan ahlul-bait. Namun, kita yakin, zaman ini adalah zaman ilmu pengetahuan, zaman keterbukaan. Hanya orang-orang yang sempit pikirannya yang akan menyederhanakan persoalan dalam prasangka dan fanatisme mazhab.

Kecintaan pada ahlul-bait bukan monopoli Syi’ah. Seluruh kaum Muslimin diperintahkan untuk itu – apa pun mazhabnya. Seperti diriwayatkan Muslim – dan dituliskannya juga dalam buku ini – keluarga Rasulullah s.a.w. adalah pusaka yang kedua (setelah Al-Quran) yang ditinggalkan Rasulullah s.a.w. untuk kaum Muslimin.

Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan bergeser telapak kaki anak Adam pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang 4 hal: dari usianya, untuk apa ia habiskan, dari tubuhnya, untuk apa ia rusakkan; dari hartanya, dari mana ia peroleh dan ke mana ia infaq-kan; dan dari kecintaan kepada kami ahlul-bait.” (Kanzul-Ummal 7: 212); diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath).

Ibn Khalliqan dalam Wafiyat Al-A’yan bercerita tentang Al-Nasa-i, penulis kitab hadis Sunan Al-Nasa-i. Al-Nasa-i tiba di Damaskus. Ia didesak orang untuk meriwayatkan keutamaan Mu’awiyah. Kata Al-Nasa-i, “Aku tidak menemukan keutamaan Mu’awiyah kecuali sabda Rasul tentang dirinya – “Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya.” Banyak orang marah. Mereka mengeroyoknya, memukulinya sampai babak-belur Dalam keadaan parah, ia dibawa ke Al-Ramlah dan meninggal dunia di sana.

Ibnu Hajar di dalam Tandzib Al-Tandzib bercerita tentang Nashr bin Ali. Ia meriwayatkan hadis tentang keutamaan Hasan dan Husein: “Siapakah yang mencintai aku, mencintai keduanya, mencintai kedua orangtua mereka , ia bersamaku dalam derajat yang sama di hari kiamat.”  Al-Mutawakkilmencambuknya 1.000 kali.

Ja’far bin Abdul-Wahid berulang kali mengingatkan Khalifah: “Hadza min Ahlis-Sunnah” (Dia ini dari Ahlus Sunnah). Barulah Khalifah menghentikan hukuman cambuknya.

Hari ini, umat Islam telah demikian maju dan terbuka, sehingga – saya (Jalaluddin Rakhmat) berharap – penulis pengantar, penerbit, dan pembaca buku ini tidak mengalami nasib, seperti Al-Nasa-i dan Nashr bin Ali.

Ketika Karen Armstrong menulis Muhammad: Prophet of Our Time, ia mengisi salah satu babnya dengan ayat-ayat setan. Karena ia pernah belajar sastra inggris, Armstrong menggunakan teknik-teknik cerita yang dramatis. Seorang muslim Indonesia yang tinggal di Amerika terkagum-kagum dengan tulisan Armstrong. Ia dipuji sebagai orang barat yang memberikan pengertian yang benar tentang Nabi Muhammad dan agama Islam. Ketika ia membaca terjemahannya dalam bahasa Indonesia, ia membaca kata pengantar dari KH. Jalaluddin Rakhmat yang biasa di panggil dengan Kang Jalal ini. “Saya baru tahu bahwa selama ini saya tidak bisa kritis membaca tarikh Nabi,” katanya dalam blognya di internet. Dalam pengantar buku itu Kang Jalal menulis:
“Para penguasa politik menciptakan naratif Nabi yang sesuai dengan kepentingan politiknya. Para pendusta yang tampak saleh mencemari naratif Nabi dengan imajinasinya. Dongeng-dongeng mereka masuk ke dalam perbendaharaan hadis. Hadis adalah berita tentang perkataan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifat –fisik dan mental — yang dinisbahkan kepada Nabi SAW. Hadis adalah bahan utama tarikh Nabi. Bila sebagian sumber hadis adalah rekaan para penguasa dan para pendusta, apa yang terjadi pada tarikh Nabi?

Kita menemukan naratif Nabi yang tidak menggambarkan kesucian, kemuliaan, dan keagungan Nabi. Bayangkan biografi Anda ditulis oleh musuh-musuh Anda? Kisah-kisah Nabi seperti itu bertebaran pada kitab-kitab hadis dan tarikh. Kaum Munafik membacanya dengan senang. Peneliti non-Muslim berusaha memahaminya dengan latar belakang kebudayaannya.”

Jika kita tersinggung dengan naratif Salman Rushdie, kenapa kita tidak sakit hati dengan cerita-cerita Nabi yang melecehkan kemuliaannya; hanya karena kisah-kisah itu terdapat dalam kitab kuning atau disampaikan oleh ustaz-ustaz dan kiyai-kiyai yang soleh. Tentu saja tersinggung dengan mengadakan demonstrasi hanya akan mengantarkan penghina Islam dalam ketenaran global. Kisah itu akan terus diulangi. Alih-alih logika kekuatan, kita harus menggunakan kekuatan kekuatan logika. Buktikan bahwa kisah-kisah itu tidak bisa dinisbahkan kepada Manusia Pilihan, yang disapa Tuhan dengan indah: Innaka la’ala khuluqin azhim! Sesungguhnya engkau di atas akhlak yang agung.

Sebagaimana disebutkan dalam kata pengantar buku : Al-Mustafa edisi pertama (Buku yang ditulis oleh Kang Jalal), buku ini ditulis untuk mengembalikan kemuliaan dan kesucian Manusia Pilihan ke dalam cerita besar kita, Our grand narrative. Kaum mukmin yang sejati berusaha untuk menuliskan kisah hidupnya dengan pola kisah Nabi Saw. Celakalah dia, kalau kisah Nabi yang ditirunya, yang menjadi landasan misi hidupnya, adalah kisah yang keliru.

Al-Mushthafa (buku kritik historis sirah nabawiyah versi Jalaluddin Rakhmat)

Tarikh Rasulullah saw sangat penting bagi kaum muslim. Tarikh merupakan kumpulan hadis. Dari hadis, orang-orang yang saleh mengambil sunah yang dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan merujuk kepada tarikh, kaum muslim menjalankan ibadahnya, mengembangkan akhlaknya, merencanakan perjuangannya, mengarahkan misi dan menetapkan tujuan hidupnya.

Rasulullah saw. adalah Al-Mushthafa, manusia pilihan yang disucikan. Dibandingkan dengan semua nabi dan pendiri agama lainnya, pencatatan kehidupan Nabi Muhammad saw. adalah yang paling lengkap dan paling terperinci.

Sayangnya, dalam perkembangan zaman, orang-orang yang tidak bertanggung jawab telah memasukkan hal-hal yang tidak pantas ada pada diri Rasulullah ke dalam hadis. Berita-berita dusta dinisbatkan kepada Rasulullah saw. Orang awam yang saleh menganggap berita dusta itu hadis dan mereka beragama berdasarkan hadis yang dipercayainya. Untungnya, sepanjang sejarah muncul para ulama yang mengkritisi hadis dan tarikh Rasulullah saw., kadang-kadang dengan risiko dianggap mengingkari sunah Rasul.

Jalaluddin Rakhmat melanjutkan upaya analisis kritis pada tarikh Rasulullah saw. dengan menggunakan metode historis berdasarkan aliran politik perawi hadis. Karena itu, buku ini akan sangat berguna bagi kaum muslim yang ingin menjalankan sunah Rasul yang sahih dan meyakinkan.
Buku AL-MUSHTHAFA ini diterbitkan salah satu penerbit Simbiosa. Terbit pada Mei 2008 dan tebalnya 300 halaman.

DAFTAR ISI:
Mengapa Perlu Studi Kritis?
Abduh: Penyebaran Dusta
Al-Madain: Dampak Kebijakan Muawiyah
Tarikh Nabi saw sebagai Dasar Agama
Kasykul KERANCUAN PENGERTIAN HADIS DAN SUNAH
Kerancuan Pengertian Hadis
Kerancuan Pengertian Sunah
Khatimah
Tarikh Nabi saw dalamTimbangan
Rasulullah adalah Uswatun Hasanah
Riwayat Wahyu Pertama
Pengujian Tarikh Nabi saw. dengan Al-Quran
Kritik Matan Hadis
Kontradiksi dalam Periwayatan Azan
Abu Bakar menjadi Imam salat pada hari-hari terakhir Rasulullah saw.
Metode Historis dalam Kkritik Hadis
Fungsi Analisis Historis.
Analisis Situasi Politik.
Analisis Aliran Politik Rijal
Masyarakat Jahiliah
Situasi Jazirah Arab Secara Geografis
Peranan Perempuan dan Kedudukannya di Zaman Jahiliah
Pengetahuan Arab Jahiliah
Keistimewaan Akhlak Arab Jahiliah
Seputar Masa Muda Al-Mushthafa
Kehidupan Rasulullah saw.
Kisah Bahirah
HARBU AL-FUJJAR (perang orang-orang durhaka)
HILFU AL-FUDHUL (Sumpah Setia)
Pernikahan Dengan Khadijah
Menjelang Bi`tsah
Peristiwa Membangun Kakkbah
Nabi saw. Sangat Pemalu dan Sangat Rendah Hati
10 Versi Turunnya Wahyu yang Pertama Kepada Rasulullah
Siapa sebenarnya Waraqah bin Naufal, Addas, Bahirah dan Nusthur?
Apa yang sahih dalam permulaan wahyu ini?
Jenis-Jenis Wahyu Menurut Al-Quran
Bagaimana datangnya wahyu kepada Rasulullah?

(syiahali/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top