Oleh: Mohammad Adlany
Fana dalam makna leksikalnya adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana. Kata fana digunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti: “Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu,” Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata “fanin” (hancur) berhadapan dengan kata “yabqa” (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.
Sedangkan fana dalam makna
gramatikalnya adalah tidak memandang, tidak memperhatikan, dan tidak
menyaksikan keberadaannya sendiri. Yang pasti hal ini tidak berarti
asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa seseorang
yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi dirinya
sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam hatinya.
Makna gramatikal fana tidak
bersesuaian dengan makna leksikalnya. Fana dalam makna gramatikalnya
adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya
sendiri. Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri,
melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan
hanya Dia yang dipandang.
Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif
Abu Said Harraz mendefenisikan
fana sebagai berikut, “Fana adalah fananya seorang hamba dari memandang
penghambaannya, dan baqa adalah baqanya seorang hamba dengan penyaksian
Ilahi.[1]
Qusyairi menyatakan, “Setiap kali
Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan
segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana
dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya.”
Mir Syarif Jurjany juga
mengungkapkan, “Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut fana,
sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa.”[2]
Maqam Fana dalam Irfan
Di dalam Irfan terdapat dua istilah:
- Maqam;
- Hal.
Maqam adalah suatu derajat dan
tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari (dengan kehendak sendiri)
oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan,
tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu, secara
umum maqâm itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan
lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus
menerus dan bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam
praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan diri sendiri telah
mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm tertentu yang
pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan
pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan
kerja keras, maka maqam yang telah digapainya itu tidak akan turun dan
sirna dengan mudah.
Sementara pengertian “hal” berlawanan dengan maqâm
tersebut. “Hal” adalah suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri
seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan
spiritual. Karena perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka
sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian “hal”
adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus
menerus mengalami suatu perubahan.
Manusia dalam maqam fana tidak
menyaksikan dirinya sendiri, penghambaannya,
kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya
di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.
Dalam kondisi demikian, fana tidak
lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan
merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya
dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, “Puncak fana adalah baqa
dan abadi di hadapan Yang Haq.” Inilah yang dalam istilah irfan
dinamakan “fana fii Allah” (fana dalam sifat-sifat Tuhan).
Pada maqâm fana, manusia di
hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya,
keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya.
Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa
saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah
melalui perantara atau dengan perantara.
Bagi para pesuluk dan pencari
makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan,
akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap, “Ya
Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… sedemikian
sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya.” Inilah puncak dan
akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada pada kondisi
melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan “menyirnakan” segala
sesuatu secara sempurna selain-Nya. Di sinilah dia mendengar dengan
pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan
lisan Tuhan.
Realitas fana ini tidak sampai
pada penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya
diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan
hakikat zat-Nya.
Bagaimana Mencapai Maqâm Fana
Ketika antara manusia dan Tuhannya
terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta
kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan
menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di
hadapan suci Tuhannya.
Apabila dia tidak memiliki
dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya
serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat
mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara
terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.
Yang pasti bahwa dalam perjalanan
dan suluk irfani ini terdapat banyak tingkatan-tingkatan dan
tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini. Akan
tetapi, maksud dari “liqa ullah” (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, “Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata.”[3]
Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran,
karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin “menyaksikan” sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm
fana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus
meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan
perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan. Seorang hamba yang
berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia
tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.
Allah Swt berfirman, “Barangsiapa
yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal
dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun
dalam penghambaan kepada Tuhannya.”[4]
Nabi Musa As pun menjadi tidak
sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian
Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, “Tuhanku Engkau
tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk
keterikatan dan kebergantungan.”[5]
Akan tetapi, persoalan yang sangat
mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar
para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha
Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud
dengan perantara-perantara tersebut?
Untuk memahami dan mengerti makna
ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak
pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya “Arbain Hadis”.
Beliau dalam kitab itu mengungkapkan, “Setelah mencapai ketakwaan yang
sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati
dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme
dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan,
nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha
Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir
suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para
pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat
Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Zat Suci Tuhan hanya terdapat
satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk sebagian
pembesar para pesuluk sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya
(hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya
bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini
dia “memandang” pancaran eksistensial Tuhan[6] dan kefanaan zatnya sendiri.”[7]
Dengan kandungan makna yang kurang
lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan
suatu doa yang mulia, munajat sya’baniyah: “Ya Ilahi anugerahkan
kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata
hati merobek hijab-hijab cahaya.”[8]
Adalah sangat mungkin manusia
mencapai suatu derajat yang antara dia dan Tuhannya hanya terhijabi
cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah mungkin manusia
menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab cahaya antara
dia dan Zat Suci Tuhan. Para pesuluk yang sempurna akan mampu melewati
hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna. Dalam kondisi
puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha
Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha
Benar. Dia melihat dengan “mata” Tuhan, mendengar dengan “telinga”
Tuhan, dan berucap dengan “lisan” Tuhan. Inilah puncak dan akhir fana
dalam Tuhan (fana fillah).
[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]
Referensi:
[1] . Kata fana pertama kali digolongkan ke dalam bagian istilah irfani oleh Abu Said Kharraz.
[2] . Khuramsyahi,Bahauddin, Hafiz Nameh, Intesyarat Surusy, hal. 975.
[3] . Qs. An’am: 103
[4] . Qs. Kahfi: 110
[5] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Maudhu’I Quran Karim, jld 7, hal. 255.
[6]
. Suatu pancaran yang menyebabkan hadirnya keberadaan segala sesuatu
selain Tuhan. Pancaran inilah yang menyebabkan terwujudanya segala
sesuatu di alam dan seluruh makhluk. (Penerjemah)
[7] . Imam Khomeni qs, Arba’ina Hadis, hal. 454.
[8] . Biharul Anwar, jld 91, hal. 98; Mafatihul Jinan Munajat Sya’baniyah.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar