Oleh: Mohammad Adlany
Intuisi mistikal, Jalan Menggapai Pengetahuan Hakiki
Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme atau Irfan
memiliki kesatuan pandangan dalam permasalahan yang esensial dan
substansial ini dimana mereka menyatakan bahwa pencapaian dan
penggapaian hakikat segala sesuatu hanya dengan metode intuisi mistikal
dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan penalaran dan
argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengatahuan
adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur
penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin,
dan penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin
serta penyatuan dengannya.
Dengan ungkapan lain, yang lebih fundamental dalam perolehan pengetahuan dan makrifat hakiki adalah pensucian jiwa dan tazkiyah
hati, sementara akal, analisa pikiran dan demonstrasi rasional sebagai
“teman” dalam perjalanan itu. Namun dengan syarat bahwa “teman” ini
sebelumnya telah mengenal secara benar tujuan utama perjalanan atau
filosofi penciptaan manusia. Dengan begitu, dia akan benar-benar bisa
menjadi “teman” yang baik dan sangat membantu dalam proses meraih
makrifat hakiki.
Para urafa dan sufi beranggapan bahwa segala makrifat dan pengetahuan yang bersumber dari intuisi-intuisi, musyahadah, dan mukasyafah
lebih dekat dengan kebenaran daripada ilmu-ilmu yang digali dari
argumentasi-argumentasi rasional dan akal. Mereka menyatakan bahwa
indra-indra manusia dan fakultas akalnya hanya menyentuh wilayah
lahiriah alam dan manifestasi-manifestasi-Nya, namun manusia dapat
berhubungan secara langsung (immediate) yang bersifat intuitif
dengan hakikat tunggal alam (baca: Sang Pencipta) melalui
dimensi-dimensi batiniahnya sendiri dan hal ini akan sangat berpengaruh
ketika manusia telah suci,lepas, dan jauh dari segala bentuk
ikatan-ikatan dan ketergantungan-ketergantungan lahiriah.
Makrifat, syuhud, dan pengetahuan dalam istilah Tasawuf dan
Irfan adalah penyaksiaan hakikat-hakikat dengan mata batin dan hati
setelah melewati tingkatan-tingkatan pensucian jiwa dan telah sampai
pada kualitas-kualitas kejiwaan yang konstan. Pengetahuan intuitif dan
irfani adalah sejenis pengetahuan yang bersumber dari hati (qalb, heart), pensucian, dan tazkiyah
jiwa; atau suatu bentuk pengetahuan yang tak berdasarkan pada
empirisitas, indrawi, akal, pikiran, dan argumentasi rasional, melainkan
bersumber dari mata air sair suluk, menapaki jalan-jalan spiritual, tahzib dan tazkiyah jiwa, dan penjernihan hati. Pengetahuan seperti ini tidak dapat disamakan dengan pengetahuan hushuli yang bersumber dari suatu konsepsi-konsepsi rasional, melainkan suatu pengetahuan syuhudi, intuisi, immediate (langsung), kehadiran, dan hudhuri.
Sadruddin Qunawi menyatakan, “Jalan-jalanya ahli Irfan dan
Tasawuf adalah mencapai, mengetahui, dan menyaksikan segala sesuatu
dengan intuisi, musyahadah, dan mukasyafah, walaupun
hal-hal yang diketahuinya itu tidak dapat diargumentasikan secara
rasional dan tak bisa dibuktikan dengan penalaran akal-pikiran.”[2] Menurutnya, segala bentuk makrifat dan pengetahuan itu hanya dihasilkan dari jalur syuhud,
intuisi, dan “menyatu” dengan realitas yang tertinggi dan suci (baca:
Tuhan) serta pengalaman internal. Dengan dasar ini, para filosof murni
telah dipandang larut dalam wacana-wacana pikiran dan konsepsi akal yang
tidak secara murni dan hakiki mengungkapkan apa hakikat-hakikat yang
sebenarnya. Para filosof, dengan metodologi rasional, tidak bisa
menampakkan hakikat-hakikat segala sesuatu dan bahkan telah terhijabi
dengan metode-metodenya sendiri sedemikian sehingga tidak mampu lagi
menyaksikan realitas-realitas sebagaimana mestinya.
Pengetahuan jenis ini, menurut Al-Gazali, merupakan ilmu mukasyafah
dan batin, ia mengungkapkan, “Pengetahuan ini adalah bersumber dari
suatu cahaya yang terpancar dan termanifestasikan ke hati yang telah
tersucikan dari segala bentuk sifat-sifat tak terpuji dan tercela. Dari tajalli dan
manifestasi inilah akan terwujud begitu banyak intuisi dan mukasyafah.
Segala perkara yang diketahuinya dengan tidak jelas dan kabur akan
menjadi hal yang sangat nyata, jelas, dan jernih setelah dia mendapatkan
pengetahuan hakiki tersebut.[3]
Dalam risalah Qusyairiyyah tertera ungkapan yang
berbunyi, “Hati adalah wadah bagi makrifat-makrifat, dan akal adalah
rukun dan tiang makrifat, akan tetapi, akal telah terhijabi, lemah, dan
tidak dapat menjangkau pengetahuan terhadap hakikat-hakikat segala
sesuatu… dan pengetahuan intuisi ini akan lahir ketika langit hati telah
menjadi jernih dan terang serta menerima pancaran “cahaya matahari”
dari wilayah suci yang paling tinggi dan mulia.”[4]
Satunya Perspektif para Arif Mengenai Pengetahuan Intuitif
Jalaluddin Hamayi membagi aliran-aliran penting tasawuf itu
menjadi tiga bagian dan beranggapan bahwa perbedaan mendasar
aliran-aliran tersebut berada dalam tahapan-tahapan perjalanan spiritual
(seir wa suluk), adab-adab, dan tradisi-tradisi, “Tasawuf
Islam memiliki aliran-aliran dan silsilah-silsilah yang beragam dimana
setiap aliran tasawuf mempunyai kekhususan dalam akidah, adab, tradisi,
dan syiar-syiar yang menjadikannya berbeda satu dengan lainnya. Namun,
secara umum kita bisa membagi seluruh aliran tasawuf menjadi dua bagian:
Pertama, ahli zuhud, riyadhah, ibadah, zikir, dan pikir; Kedua, ahli wajd, hal, raqsh, dan sima’.
Sebagai contoh, kita bisa katakan bahwa aliran Naqsyabandiyah tergolong
bagian pertama dan Qadiriyah termasuk bagian kedua, dan kedua aliran
tersebut ini banyak dijumpai di negara Iran. Aliran Naqsyabandiyah biasa
disebut sebagai Sufi dan aliran Qadiriyah sering dinamakan Darwis.
Sementara aliran tasawuf Maulawi adalah suatu aliran yang mengumpulkan
semua karakteristik dari kedua aliran tersebut, Naqsyabandiyah dan
Qadiriyah.[5]
AKan tetapi, semua aliran-aliran itu tidak meragukan bahwa segala pengatahuan diperoleh lewat jalur musyahadah, mukasyafah
dan penyingkapan hati yang kesemuanya dipengaruhi oleh bentuk riyadhah
dan pelaksanaan amalan-amalan sunnah (nawafil). Begitu pula mereka
berkeyakinan bahwa tidak ada ilmu dan pengetahuan yang lebih tinggi
selain dari pengetahuan intuitif dan irfani. Akan dikatakan, “Maulawi
dan aliran lain tasawuf beranggapan bahwa segala pengetahuan rasional
dan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh lewat proses belajar dan
mengajar adalah bukan ilmu dan pengetahuan hakiki. Mereka menyamakan
pengetahuan tersebut dengan seni-seni, keterampilan, dan pengetahuan
sosial. Seluruh petunjuk dan perhatian aliran ini mengarah kepada
pengetahuan intuitif, ainul yaqin, ilmu hati, dan ilmu laduni yang bersumber dari pencerahan kejiwaan, kesucian hati, kekuatan ruh, mukasyafah, musyahadah hati, sair dan suluk, dan riyadhah. Pengetahuan ini juga berbeda dengan ‘ilmul yaqin
(pengetahuan yang berpijak pada pendekatan rasional dan demontrasi
filosofis). Kaum urafa dan para sufi berkeyakinan bahwa seseorang yang
mata hatinya terbuka dan mendapatkan pencerahan jiwa serta menemukan
harta karun yang nilainya tak terbatas itu (akal yang tercerahkan dan
pengetahuan intuitif), maka dia tidak lagi membutuhkan ribuan kitab,
merujuk pada perpustakaan, bersabar dalam penderitaan menuntut ilmu, dan
tidak lagi menganggap bernilai segala pengetahuan hushuli.”[6]
Berkaitan dengan makrifat tasawuf dan irfani, Doktor Abdul
Husain mengatakan, “Pengetahuan tasawuf adalah pengetahuan intuitif dan
syuhudi. Para sufi dan urafa memandang segala sesuatu dan
kondisi-kondisi alam dengan pengetahuan tersebut. Tolok ukur
kebenarannya adalah penyerahan total hati dan bukan pembenaran akal.
Mukasyafah dan musyahadah serta ilham-ilham emanatif lebih diterima
daripada argumentasi, burhan, demontrasi rasional, dan metode deduksi
dan induksi. Mereka mengenal kebenaran dan menafikan segala bentuk
keraguan serta keheranan dengan upaya pencerahan jiwa dan pensucian
hati, menolak segala bentuk burhan dan argumentasi sempit akal. Akan
tetapi, pencapaian kondisi yang demikian ini membutuhkan riyadhah dan
suluk spiritual, dan tanpa meniti dan menapaki jalan ini, mustahil hati
dan jiwa manusia bisa menerima pancaran cahaya-cahaya suci Ilahi yang
dengannya dia dapat menyingkap hakikat-hakikat segala sesuatu. Oleh
karena itu, seseorang yang telah berhasil mencapai maqam dan derajat
suci ini niscaya akan memandang bahwa pengetahuan intuitif dan irfani
jauh lebih pasti dan benar daripada pengetahuan yang diperoleh secara
argumentasi akal dan demontrasi rasional. Dari dimensi ini, para sufi
tidak berupaya menetapkan eksistensi Tuhan, akan tetapi dengan berusaha
“merasakan” dan “menyingkap” eksistensi-Nya.”[7]
Untuk lebih jelasnya permasalahan ini, alangkah baiknya kita mengutip pandangan-pandangan para urafa dan sufi.
Pandangan Para Urafa Mengenai Pengetahuan Irfani
1. Syaikh Isyraq
Syaikh Isyraq tidak menganggap bahwa pengetahuan intuitif
(baca: pengetahuan irfani) itu mendahului pengetahuan rasional, dan
mukadimah pengetahuan intuitif adalah pensucian dan pencerahan jiwa
dimana merupakan pendahuluan pembahasan rasional yakni ilmu logika.
Menurutnya, dengan keberadaan ilmu logika itu dimana tertutup jalan
untuk mengetahui sesuatu dengan metode intuisi, maka ilmu tersebut bisa
digunakan, walaupun tidak secara mutlak. Dia dalam hal ini menyatakan,
“Apabila sesuatu tidak diketahui dan hal itu tetap tidak dipahami
walaupun dengan metode mengingatkan dan memberikan pengertian kepada
subjek serta tertutup jalan untuk memahaminya dengan metode intuisi,
sebagaimana yang dialami oleh para filosof, maka dalam hal ini tak
terdapat cara lain kecuali mengurutkan dan menyusun perkara-perkara yang
diketahui untuk dipakai menyingkap perkara-perkara yang belum
dipahami.”[8]
Dari ungkapan dan penjelasan Syaikh Isyraq tersebut dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa kebutuhan terhadap ilmu logika dalam keadaan ketiadaan
kemungkinan menggunakan metode intuisi (kasyf wa syuhud). Oleh
karena itu, di akhir kitabnya, Hikmah al-Isyraq, dia berkata, “Sebelum
memulai mempelajari kitab ini harus menjalani riyadhah dan pensucian
jiwa selama empat puluh hari…”[9]
Di tempat lain dia menyatakan, “Walaupun sebelum menulis
kitab ini, Hikmah al-Isyraq, saya telah menyusun suatu risalah kecil
yang berhubungan dengan filsafat Aristoteles, akan tetapi kitab ini
berbeda dengan risalah tersebut dan mempunyai metodenya sendiri yang
khusus. Semua kajiannya tidak diperoleh dari jalur pemikiran dan
argumentasi rasional, melainkan dicapai dengan metode intuisi dan
menjalani amal-amal kezuhudan. Pandangan-pandangan kami yang tidak
digapai lewat jalur argumentasi-argumentasi rasional, bahkan dicapai
dengan metode mukasyafah dan musyahadah, tidak dapat diragukan dan dibatalkan oleh para peragu dan pengiritik.”[10]
Dawud bin Mahmud Qaishary menyatakan bahwa makrifat dan
pengetahuan intuitif itu adalah mengetahui makna-makna gaib dan
perkara-perkara hakiki yang berada dibalik hijab lahiriah dengan
pengetahuan tertinggi (haqqul yaqin) atau pengetahuan menengah (ainul yaqin).[11]
2. Muhyiddin ‘Arabi
Muhyiddin dalam Fushushul Hikam menyatakan, “Makrifat dan pengetahuan intuitif ini tidak dijangkau oleh akal dan argumentasi rasional, melainkan dengan mukasyafah Ilahiah.”[12]
Menurut Ibnu Arabi, akal tak bisa mengetahui dan memahami
hakikat-hakikat segala sesuatu yang metafisik dan perkara-perkara yang
berhubungan dengannya. Manusia dapat mencapai makrifat dan pengetahuan
intuitif hanya dengan perantaraan mukasyafah dan musyahadah serta hadirnya manisfestasi intuitif dalam hati yang berbentuk tunggal (bashit)
namun meliputi semua hakikat-hakikat segala sesuatu. Dalam
pandangannya, makrifat dan pengetahuan itu merupakan realitas yang
bersifat nonmateri yang teremanasi dan termanifestasikan dari nama-nama
Tuhan dalam jiwa dan hati manusia. Ibnu Arabi beranggapan bahwa asas dan
pondasi dari segala eksistensi dan keberadaan adalah manifestasi dan
tajalli, segala maujud merupakan manifestasi dari cahaya-cahaya gaib
Ilahi dalan wilayah makrifat-Nya. Dari makrifat dan ilmu Tuhan ini
terpancar eksistensi dan maujud di alam penciptaan, oleh karena itu,
makrifat pada dasarnya adalah emanasi Tuhan.
Di tempat lain dia mengungkapkan, “Akal hanya menerima
makrifat dan pengetahuan, bukan menggapainya. Sebagaian ilmu dan
makrifat itu bisa dijangkau lewat argumentasi rasional, namun sebagian
besar makrifat dan pengetahuan tidak dapat dihasilkan dengan demontrasi
rasional, melainkan didapatkan dengan hati dan intuisi, karena terdapat
pengetahuan-pengetahuan yang sangat dimungkinkan dan diyakini
keberadaannya oleh akal, akan tetapi tidak mampu dicapai oleh pikiran
itu sendiri. Oleh karena itu, akal tidak mempunyai batasan dari sisi
penerimaan pengetahuan-penngetahuan yang diyakini, walaupun pengetahuan
tersebut tidak dapat dipahami dan dijabarkan oleh pikiran. Pikiran hanya
bisa menangkap objek-objek fisik dan pengetahuan kepada hakikat-hakikat
alam dan metafisika hanya diperoleh dari jalur mukasyafah dan
wahyu Ilahi. Paling tingginya makrifat adalah pengetahuan terhadap Tuhan
yang tidak dihasilkan dengan akal, karena akal tidak dapat menjangkau
dan mempersepsi Tuhan itu. Akal manusia hanya bisa memahami dan
mengetahui sesuatu yang mempunyai kesamaan dari aspek spesies, genus,
atau esensi. Tuhan hanya dijangkau dan dicapai dengan intuisi, mukasyafah, musyahadah, dan wahyu serta hati,”[13]
Dia berkeyakinan bahwa makrifat intuitif dan hakiki hanya
dapat dicapai dengan amal-amal shaleh, takwa, dan menapaki jalan-jalan
kebenaran, hal ini berbeda dengan pengetahuan yang dihasilkan dari
metode argumentasi rasional yang sarat dengan berbagai kritikan,
keraguan, dan kontradiksi.[14]
Lebih lanjut dia juga menyatakan, “Dengan termanifestasinya
cahaya-cahaya Ilahi pada hati manusia maka akan tersingkap segala hijab
yang menghalangi pandangan batin manusia. Dengan demikian, alam gaib dan
alam malakuti akan hadir dan terungkap baginya, bahkan alam materi itu
sendiri akan nampak dan muncul dalam “warna” yang lain.”[15]
3. Mulla Husain Kasyani
Mulla Husain Kasyani menyatakan, “Makrifat dan syuhud serta
segala sesuatu diliputi oleh Al-Haq (Tuhan) secara esensial. Allah
berfirman: Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya
Dia menyaksikan segala sesuatu?[16].
Karena seorang salik telah sampai pada maqam ketuhanan tersebut
(sebagaimana firman-Nya) maka dia senantiasa “menyaksikan” cahaya-cahaya
gaib dan hakikat-hakikat segala sesuatu.”[17]
4. Allamah Hasan Zadeh Amuly
Beliau mengungkapkan bahwa karena seorang salik telah
terlepas dari segala kesibukan dunia, telah mensucikan jiwanya dari
segala sifat buruk, menyempurnakan dirinya dengan suluk dan riyadhah
syariat serta argumentasi akal, dan telah mengkondisikan dirinya untuk
menerima rahmat Tuhan, maka ia layak sebagaimana firman-Nya: Jika kamu
bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan)
pembeda (antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu)[18].”[19]
5. Allamah Muhammad Taqi Ja’fary
Muhammad Taqi Ja’fary menuliskan tentang persepsi dan pengenalan intuitif (syuhudi)
sebagai berikut, “Maksud dari pengetahuan dan makrifat intuitif adalah
hubungan langsung jiwa dengan realitas yang bukan fisik dan nonrasional…
Secara hakiki syuhud adalah penyaksian internal dengan pencahayaan
khusus terhadap suatu realitas dimana cahaya dan penyaksiaannya lebih
kuat dan terang daripada penglihatan indrawi dan pengenalan rasional.
Dan dengan memandang kondisi-kondisi jiwa yang beragam dalam hubungannya
dengan realitas-realitas hakiki, maka keberadaan bentuk penyaksian
seperti itu tidak dapat diingkari dan ditolak. Pengenalan dan
penyaksiaan intuitif ini lebih banyak hadir dalam bentuk seperti
mimpi-mimpi benar dan dalam keadaan fana daripada dalam keadaan alami.”[20]
Mengenai pengenalan emanatif dia menyatakan, “Pengenalan emanatif (isyraqi)
adalah emanasi dan pancaran realitas hakiki atas pikiran manusia tanpa
membutuhkan pendahuluan-pendahuluan yang bersifat indrawi dan
pemikiran-pemikiran yang telah terkonstruksi padanya sebelumnya…Isyraqi
atau emanasi adalah suatu bentuk pencerahan pemikiran seperti
pencahayaan fisikal yang menerangi dan memberikan cahaya kepada
benda-benda fisik. Bahkan lebih dari itu, pencerahan terhadap pikiran
tersebut yang dalam bentuk emanasi sama seperti hukum-hukum cahaya,
yakni akan juga terpancar bersama dengan pencerahan dan pencahayaan itu
sendiri, sebagai contoh: pengenalan realitas alam eksistensi dimana akan
menghadirkan makna “kebesaran”, “keluasan”, dan “keuniversalan” itu.
Bentuk pengenalan seperti ini adalah bersifat emanatif dimana lebih
tinggi dari segala pengenalan indrawi dan pemikiran-pemikiran filsafat
serta kalam, yang walaupun semua pengenalan indrawi dan filsafat serta
kalam mengenai alam eksistensi tersebut bisa dipandang merupakan
pengkondisian dan pendahuluan untuk menerima emanasi Ilahi. Begitu pula
seseorang yang mendapatkan perasaan bahwa setiap partikular dari alam
eksistensi ini mencitrakan dan menyuarakan keuniversalan, maka perasaan
tersebut dikategorikan sebagai perasaan emanatif.”[21]
Lebih lanjut dia mengutarakan perbedaan antara pengenalan
intuitif dan pengenalan emanatif, “Faktor-faktor yang menghadirkan
pengenalan dan pengetahuan intuitif adalah sama dengan yang mewujudkan
makrifat-makrifat emanatif, perbedaan di antara keduanya hanya terletak
pada subjek dan ranahnya, yakni subjek yang dicahayai dan dicerahkan
oleh pengetahuan intuitif tidak akan keluar dari subjek tersebut, hanya
subjek tertentu yang menjadi fokus musyahadah dan mukasyafah, hal ini sebagaimana satu objek fisik yang menjadi subjek suatu pengkajian dan observasi.”[22]
Dia kemudian mendefinisikan pengetahuan intuitif sebagai
berikut, “Pengetahuan dan makrifat intuitif adalah pengetahuan kepada
alam dengan segala partikular-partikular dan hubungan-hubungannya,
seperti suatu hakikat yang nampak sangat jelas dan terang sedemikian
sehingga setiap bagian merupakan penjelmaan dari realitas dan maujud
universal yang abadi dan kekal, serta segala bentuk hubungan ilmiah
dengan partikular-partikular tersebut adalah berhubungan dengan maujud
yang maha sempurna dengan perantaraan manifestasi-manifestasinya.
Membicarakan mengenai bentuk pengenalan dan pengetahuan seperti ini
tidak dengan orang yang tidak meyakini keberadaannya dan tidak pula
dengan orang yang sama sekali tidak mempersiapkan dirinya untuk
menggapai pengetahuan jenis ini, karena kalau hal itu dilakukan sama
dengan membicarakan kelezatan berhubungan dengan lawan jenis dengan
anak-anak yang belum balig dimana sama sekali tidak akan bisa memahami
dan mengetahui apa-apa yang dibicarakan itu serta mereka akan menyatakan
bahwa pembicaraan dan ungkapan tersebut tidak lain hanyalah hayalan
belaka dan kemudian akan menjadi bahan-bahan permainan dan canda mereka
saja.”[23]
6. Ayatullah Jawady Amuly
Berhubungan dengan pengetahuan intuitif, Ayatullah Jawady
menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai pengetahuan dan makrifat
intuitif dapat menyaksikan hakikat-hakikat dengan mata batin dan bisa
pula mendengar kalimat-kalimat yang tidak mampu disaksikan dan
didengarkan oleh orang lain. Sebagaimana orang lain dapat merasakan
panasnya api dan mendengarkan suara-suara yang beragam serta mengenal
semua pemilik suara-suara tersebut dan makna-makna yang berhubungan
dengannya, begitu pula orang-orang yang mempunyai bentuk pengenalan
intuitif dapat “menyaksikan” segala sesuatu yang berbeda dan
perkara-perkara yang beragam serta “mendengarkan” suara-suara yang
bermacam-macam dengan tanpa sedikitpun keraguan dan kebimbangan. Keadaan
dan kondisi yang dicapai oleh orang-orang seperti ini, pertama-tama
akan dialaminya di alam mimpi yakni dia senantiasa mendapatkan dan
menyaksikan mimpi-mimpi yang benar dan nyata berkaitan dengan
hakikat-hakikat di masa lampau, sekarang, dan akan datang atau
berhubungan dengan kejadian-kejadian yang bertempat jauh dan dekat.
Semua peristiwa-peristiwa tersebut dia saksikan dan dengarkan dengan
mata dan telinga batin.
Yang pasti bahwa mata dan telinga tersebut yang dapat
menyaksikan dan mendengarkan hakikat-hakikat seperti itu tidak secara
khusus berhubungan dengan manusia yang sementara tidur, seseorang yang
dalam keadaan terbangun pun tidak akan dapat melihat sesuatu yang
bertempat sangat jauh itu atau mencium bau dari sesuatu tersebut. Nabi
Ya’qub As dapat melihat dan mencium baju Nabi Yusus As yang berada
sangat jauh di luar kota Mesir saat itu, sebagaimana tertera dalam
al-Quran surah Yusuf ayat 94 yang berbunyi, “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal”
Bentuk perasaan seperti tersebut di atas tidak secara
khusus hanya dialami oleh Nabi Ya’qub As saja, melainkan juga sama
dengan apa-apa yang didengar dan dialami oleh Al-Hur di Karbala atau
suatu panggilan yang didengar oleh Imam Husain As di tengah perjalanan
menuju Karbala.
Penglihatan-penglihatan dan pendengaran-pendengaran yang
terjadi dan dialami oleh para nabi, rasul, dan orang-orang saleh itu
sama sekali tidak berhubungan dengan keadaan tidur, melainkan semua
orang yang berupaya membersihkan dan mensucikan hatinya dari segala
bentuk kekotoran dan mencapai tingkatan spiritual tertentu niscaya akan
mengalami kenyataan-kenyataan tersebut serta mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan intuitif yang dengannya dia mengenal hakikat
alam semesta. Akan tetapi, karena di awal perjalanan spiritual, ruh dan
jiwa manusia masih dalam keadaan yang lemah, dengan demikian
indera-indera lahiriahnya dan kesibukan-kesibukan fisiknya senantiasa
menggangu dan menghalangi terwujudnya penglihatan-penglihatan dan
pendengaran-pendengaran batinnya. Oleh karena itu, dalam keadaaan dia
tidur dimana dengan terputusnya segala kesibukan dan gangguan fisikal,
maka akan tercipta suatu kondisi yang sangat sesuai untuk dia memulai
perjalanan internalnya dan pengaktualan kesempurnaan-kesempurnaan
batinya, yaitu menyaksikan dan mendengarkan hakikat-hakikat segala
sesuatu dalam mimpi. Apabila semua kesibukan fisikal dan halangan alami
tidak lagi efektif menghambat pengelanaan spiritual seseorang, maka
apa-apa yang benar dan hakiki yang dia saksikan dan dengarkan di alam
mimpinya itu niscaya dia juga akan saksikan dan dengarkan dalam keadaan
tidak tidur dan terbangun.[24]
Referensi:
[1] . Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Fushushul Hikam, Syarh Janady, hal. 8.
[2] . Abdullah Fatimi Niya, Farjam-e ‘Isyq, hal. 77.
[3] . Muhammad Al-Gazali, Ihya al-‘Ulum, jilid pertama, hal. 297.
[4] . Risalah Qusyairiyyah, hal. 117 dan 118, penerjemah: Furuzanfur.
[5] . Jalaluddin Hamayi, Maulawi Nameh, jilid pertama, hal. 593. Dan Abdul Husain Zarin Kub, Arzesy-e Mirats-e Sufiyah.
[6] . Ibid, hal. 537 dan 538. Dan Ta’liqah Abul ‘Ala’ ‘Afifi ‘Ala Fushusul Hikam, Fatihatul Kitab, hal 3.
[7] . Abdul Husain Zarin Kub, Arzesy-e Mirats-e Sufiyah, hal. 100.
[8] . Sihabuddin Suhrawardi, Syarh Hikmah al-Isyraq, hal. 50-52.
[9] . Ibid, hal. 561.
[10] . Rujuk: Mukadimah Hikmah al-Isyraq. Dan Husain Nashr, Seh Hakim Musalmon, penerjemah: Ahmad Orom, hal. 85. Serta Gulam Muhsin Ibrahimi Dinani, Syu’a-e Andisye waSyuhud dar Falsafe-ye Suhrawardi.
[11] . Dawud Qaishary, Muqaddame-ye Fushushul Hikam, hal. 22.
[12] . Muhyiddin ‘Arabi, Fushushul Hikam, Fash Adam, hal. 69.
[13] . Muhyiddin ‘Arabi, mukadimah Futuhat Makiyyah, dan risalah Al-Washaya dari kumpulan risalah-risalah Ibnu ‘Arabi.
[14] . Ibid, jilid kedua, hal. 298.
[15] . Ibid, jilid pertama, hal 166 dan jilid kedua, hal. 637.
[16] . Qs. Fushshilat: 53.
[17] . Mulla Husain Kasyani, Lub Libab Matsnawi, hal. 393.
[18] . Qs. Al-Anfal: 29.
[19] . Hasan Hasan Zadeh, Hezar wa Yek Nukteh, nukteh 229.
[20] . Muhammad Taqi Ja’fary, Syarh-e wa Tafsir-e Nahjul Balaghah, jilid ketujuh, hal. 81-82.
[21] . Ibid, hal. 83.
[22] . Ibid, Syenokht az Didgoh-e ‘Ilmy wa az Ddgoh-e Quran, hal. 189.
[23] . Ibid, hal. 233. Begitu pula rujuk, Tafsir wa Naqd wa Tahlil Matsnawi, jilid kelima belas.
[24] . Abdullah Jawady Amuly, Syenokh Syenosy dar Quran, hal. 407-409.
[25] . Ibid, jilid pertama, 255, 265, 259, 264, 266, 269, 270, 272- 274, 323, 325, 326, 328, 350.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar