Oleh: Mohammad Adlany
Dalam pandangan irfan, manusia pesuluk adalah manusia yang
dengan menapaki jalan-jalan spiritual ia kembali ke tempat asalnya,
menyirnakan jaraknya dengan Dzat Tuhan, dan meniadakan dirinya sendiri
dengan kedekatan kepada-nya (fana dalam asma dan sifat Tuhan) serta
mengabadikan dirinya dengan kebersamaan dengan-Nya (baqa dengan
dzat-Nya). Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu
menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka
kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Insyiqaq: 6)
Oleh karena itu, sair suluk irfani bersifat senantiasa
bergerak dan tidak konstan. Gerak dan perjalanan ini memiliki awal dan
akhir, derajat dan tingkatannya yang harus dilewati dan ditapaki. Adalah
sangat mungkin menggapai “hakikat” kesempurnaan manusia dan maqam
kedekatan kepada Tuhan dengan melewati “tharikat” yang merupakan batin
“syariat”. Dari dimensi ini, kita akan menemui kata-kata seperti
“syariat”, “tharikat”, dan “hakikat” dalam ungkapan-ungkapan para urafa.
Azizuddin Nasafi, salah seorang urafa di pertengahan abad ketujuh, dalam kitabnya, Insanul Kamil,
menuliskan, “Syariat adalah perkataan para nabi dan tharikat adalah
perbuatan para nabi serta hakikat adalah penglihatan batin (musyahadah
dan mukasyafah) para nabi. Seorang salik pertama-tama harus menuntut
ilmu syariat yang merupakan suatu kewajibannya dan amal tharikat yang
juga merupakan kemestiannya harus dikerjakan sedemikian sehingga dia
mendapatkan cahaya-cahaya hakikat sebatas kemampuan dan usahanya.
Seseorang yang menerima apa-apa yang disabdakan oleh nabi dan rasul
dikategorikan sebagai ahli syariat dan apabila dia juga mengamalkan
apa-apa yang dikerjakan oleh para nabi dan rasul digolongkan sebagai
ahli tharikat. Dan jika seseorang menyaksikan apa-apa yang disaksikan
oleh para nabi dan rasul disebutkan sebagai ahli hakikat. Seseorang yang
mempunyai ketiga dimensi tersebut tergolong sebagai sosok yang sempurna
dan khalifah segenap makhluk. Namun, seseorang yang sama sekali tidak
memiliki ketiga aspek itu merupakan sosok yang rendah atau digolongkan
sebagai binatang ternak. “Pada hakikatnya begitu banyak dari kalangan
jin dan manusia yang kami masukkan ke dalam neraka dikarenakan mereka
memiliki hati yang tidak dapat menyingkap hakikat dengan perantarannya
dan mereka mempunyai mata yang dengannya tidak dapat melihat hakikat
serta mereka mempunyai telinga yang dengannya tidak dapat
mendengarkannya. Mereka seperti binatang kaki empat atau lebih rendah
darinya.”[1]
Yang pasti, dalam dimensi syariat terdapat
ungkapan-ungkapan para urafa Islam yang mungkin bertolak belakang dengan
aturan-aturan fikih.[2]
Seorang arif ternama, Sayyid Haidar Amuli, memaparkan tiga
tingkatan syariat, tharikat, hakikat untuk menyelesaikan sangkaan
tentang adanya perbedaan dan pertentangan di antara tiga dimensi itu.
Menurutnya, ketiga dimensi ini yang memiliki nama-nama yang berbeda
hanya menceritakan satu kenyataan dan realitas. Perbedaan di antara
ketiga hal itu hanyalah bersifat nisbi bukan hakiki.
Dalam sebagian ungkapannya, Sayyid Haidar Amuli menyatakan,
“ … ketika perkara ini menjadi kenyataan, maka ketahuilah bahwa
“syariat” adalah sebuah nama yang ditentukan untuk jalan-jalan Ilahi
yang mana memiliki rukun-rukun, cabang-cabang, keringanan-keringanan,
motivasi-motivasi, niat-niat, kebaikan-kebaikan,
kesempurnaan-kesempurnaan. Dan “tharikat” adalah mengambil yang terbaik
dan yang paling kuat di antara jalan-jalan Ilahi itu, dan setiap metode
dan cara yang paling baik, paling kuat, paling hati-hati, dan paling
sempurna yang dijalani oleh manusia dinamakan dengan “tharikat”, baik
yang bersifat perkataan, perbuatan, sifat, dan hâl[3].
Sementara “hakikat” adalah pembuktian dan penegasan sesuatu
dengan cara penyingkapan hati dan penyaksian intuitif… dan hal ini
sebagaimana perkataan suci Rasulullah saw kepada Harits, “Wahai Harits
bagaimana ketika kamu bangun di pagi hari? Harits berkata, “Saya bangun
di pagi hari dalam keadaan sebagai mukmin hakiki…”.”[4]
Beliau lebih lanjut menyatakan, “… jadi imannya kepada
hal-hal yang gaib adalah benar dan “syariat”, dan penyaksiannya mengenai
surga, neraka, dan arasy adalah “hakikat”, begitu pula kezuhudannya
dari dunia, shalat malamnya, puasanya adalah “tharikat”. Dan dari
penyingkapan ini, sebagaimana telah disebutklan terdahulu, Tuhan telah
mengabarkan dalam kitab suci-Nya, “Tidaklah seperti yang kamu
sangka. Seandainya kamu mengetahui ‘ilmul yakin, sungguh kamu
benar-benar akan melihat neraka Jahîm kemudian sungguh kamu benar-benar
akan melihatnya (surga) dengan ‘ainul yakin. (Qs. At-Takatsur: 5-7)
Yakni seperti itulah, apabila kalian mengetahui dengan ‘ilmul yaqin maka setiap cermin yang anda saksikan nampaklah neraka. Dengan demikian, setiap cermin yang disaksikan dengan ‘ilmul yaqin niscaya anda akan melihat realitas itu. Di ayat lain, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya itu adalah haqqul yakin” (Qs. Al-Waqiah: 95). Sesungguhnya inilah haqqul yaqin. Tingkatan pertama adalah “‘ilmul yaqn” yang sederajat dengan “syariat” dan tingkatan kedua adalah “‘ainul yaqin” yang sederajat dengan “tharikat” serta tingkatan ketiga adalah “haqqul yaqin” yang sederajat dengan “hakikat”…”[5]
Syariat bersumber dari kata syar’ yang bermakna
“jalan dan cara”. Dan dalam istilah diartikan “kumpulan pengajaran untuk
pembentukan manusia yang berasal dari Tuhan yang dijelaskan dan
dijabarkan oleh para nabi dan rasul serta diletakkan untuk diamalkan dan
diimplemantasikan”. Dengan ungkapan lain, syariat adalah kumpulan dari
kitab suci (al-Quran), sunnah Nabi saw, dan sunnah para Imam Ahlulbait
yang dapat mengantarkan manusia kepada tujuan penciptaannya jika
dipelajari, diamalkan, dan dilaksanakan.
Tharikat diambil dari kata thariq yang memiliki
makna “menapaki atau meniti jalan”. Dalam istilah irfan berarti
“menapaki derajat-derajat insani dan meniti tingkatan-tingkatan
pencapaian kesempurnaan akhir manusia”.
Hakikat diambil dari kata haq yang mempunyai makna
“sesuai dengan kenyataan dan realitas eksternal” dan dalam istilah
memiliki arti “penyingkapan hakikat-hakikat eksistensi dan penggapaian
puncak keyakinan (haqqul yaqin)”
Pada hakikatnya, pengamalan syariat tidak lain adalah
penapakan derajat-derajat kesempunaan manusia dan penitian
tingkatan-tingkatan kesempurnaan serta menyebabkan pendalaman makrifat
dan penguatan keimanan manusia. Dengan kata lain, hakikat adalah
batinnya tharikat, dan tharikat ialah batinnya syariat.
Syahid agung dan filosof besar, Murtadha Muthahhari,
menyatakan berkaitan dengan tiga istilah tersebut, “Salah satu perkara
yang menjadi perbedaan mendasar antara urafa dan fukaha adalah
perspektif khusus urafa berkenaan dengan syariat, tharikat, dan hakikat …
para fukaha menyatakan bahwa syariat (hukum-hukum dan aturan-aturan)
berpijak pada kemashlahatan-kemashlahatan. Dan
kemashlahatan-kemashlahatan ini merupakan sebab-sebab dan jiwa syariat.
Sementara para urafa berkeyakinan bahwa kemashlahatan-kemashlahatan yang
terkandung dalam hukum-hukum agama sama seperti tingkatan-tingkatan dan
derajat-derajat yang mengantarkan manusia kepada maqam kedekatan kepada
Tuhan dan penggapaian hakikat. Para urafa percaya bahwa batin syariat
adalah jalan yang dinamakan dengan tharikat, dan akhir dari jalan ini
adalah hakikat… yakni yang pertama adalah lahir dan yang kedua adalah
batin serta yang ketiga adalah batinnya batin.”[6]
Dengan ungkapan lain, ingin atau tidak, manusia niscaya
senantiasa berada dalam perubahan dan pergerakan. Nah, kalau perubahan
dan pergerakan ini bersesuaikan dengan syariat maka setiap langkah akan
mendekatkan kepada nilai-nilai kemanusiaan dan hakikat.
Bahkan, setiap kali kualitas kemanusiaannya bertambah maka
sebatas itu pula hakikat itu tersingkap sedemikian sehingga mencapai
maqam kedekatan kepada Tuhan dan terwarnai dengan nilai-nilai ketuhanan.
Dengan demikian, sirnalah segala macam keraguan dan
kebingungan dari hatinya dan terhapuslah segala bentuk kelemahan dan
kerendahan dalam lembaran wujudnya serta dirinya berubah menjadi cermin
Ilahi sehingga dia dapat mengarahkan manusia lain di jalan itu.
Maka dari itu, beramal kepada syariat tidak lain adalah tharikat, dan buah dari tharikat adalah hakikat.
Akan tetapi, karena kuantitas dan kualitas
perbuatan-perbuatan, dan niat-niat, serta keimanan manusia berbeda-beda
maka hasil dari syariat yakni tharikat dan perolehan hakikat pada setiap
individu pun beragam dan bertingkat, bahkan pada sebagian individu
tidaklah tercapai, namun pada manusia-manusia sempurna seperti
Rasulullah saw dan para Imam Suci Ahlulbait berada pada tingkatan
kemuliaan yang tertinggi dan cahaya paling tinggi.
Dari dimensi bahwa Tuhan Yang Maha Bijaksana tidak
menciptakan satu makhlukpun termasuk manusia dengan sia-sia dan tanpa
tujuan. Tujuan penciptaan maujud-maujud materi dengan perkembangannya
yang bersifat alami itu dan kesempurnaan maujud-maujud non materi
(seperti malaikat dan …) yang bersifat sekaligus itu adalah dihadirkan
oleh Tuhan bersamaan dengan penciptaan mereka (karena itu tidak ada lagi
perubahan kesempurnaan pada wujud mereka).
Namun karena manusia-manusia bersifat bebas dan memiliki
ikhtiar maka kehendak dan keinginan mereka juga sangat berpengaruh dalam
pencapaian dan penggapaian tujuan penciptaannya.
Setiap niat dan kehendak untuk melakukan suatu pekerjaan
adalah membutuhkan penentuan tujuan-tujuan, manfaat-manfaat,
akibat-akibat, dan konsekuensi-konsekuensinya. Tanpa pengenalan dan
pengetahuan maka tujuan yang dinginkan itu tidak akan tercapai hanya
dengan kehendak, iradah, keinginan, dan perbuatan.
Akan tetapi, manusia tidak mampu mengenal dan mengetahui
kesempurnaan dirinya dan jalan menggapainya tanpa bantuan wahyu dan
kalam suci Ilahi. Bukti dari hal ini adanya pebedaan pemikiran dan
perspektif yang sangat tajam di antara kaum inteletual dan cendekiawan
berkenaan dengan persoalan tersebut. Dari dimensi ini akan menjadi jelas
kebutuhan kepada Tuhan lewat jalur wahyu dan pengutusan para nabi dan
kitab-kitab suci.
Tuhan yang karena Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana maka
mustahil membiarkan manusia dalam keadaaannya sendiri, dan dengan
pengutusan para rasul dan kitab-kitab Ilahi Dia menunjukkan jalan menuju
tujuan penciptaannya dengan perantaraan khalifah dan para wakil yang
diutus oleh-Nya. Apabila manusia mengikuti akal sehat dan fitrah sucinya
maka dia tidak akan tertipu dengan propaganda-propaganda sesat duniawi,
dengan demikian, dengan mudah dia menerima dan pasrah terhadap
perintah-perintah dan larangan-larangan Ilahi dalam semua dimensi
kehidupannya.
Kumpulan ajaran-ajaran Ilahi ini dan penjelasan terperinci
para nabi serta penafsiran para wali-wali agama dikenal dengan nama
“syariat”. Manusia yang melaksanakan syariat adalah para musafir yang
sedang berjalan ke arah Tuhan yang pada satu sisi manusia sebagai
pesuluk dan pada sisi lain suluknya tidak lain adalah ajaran-ajaran
Ilahi atau syariat.
Manusia yang terus berjalan di atas jalan ini dan tetap
(istiqomah) dalam pengamalan dan keyakinannya kepada syariat maka akan
semakin mendekatkannya kepada tujuan penciptaannya. Keimanan dan
pengamalan sempurna kepada syariat adalah penapakan di atas jalan
kemanusian, dan penitian khusus ini dinamakan dengan “tharikat”.
Safar dan perjalanan ini bertolak belakang dengan mayoritas
suluk-suluk yang lain. Tujuan penciptaan adalah juga tempat tujuan itu
sendiri, yakni dengan setiap langkah yang diambil di jalan ini akan
berhadapan dengan pandangan baru dan ketertarikan lain serta pengaruhnya
terhadap jiwanya akan berakibat pada perubahan dan kesempurnaannya
secara perlahan-perlahan.
Dengan ungkapan lain, dengan memperhatikan kualitas dan
kuantitas serta latar belakangnya, maka manusia akan sampai pada
tujuannya sendiri dan dengan langkah-langkah selanjutnya tujuan ini
adalah memperluas wilayah penyingkapan hakikat-hakikat dan memperdalam
kedekatan kepada Tuhan, dengan demikian akan sampai pada derajat yang
dinamakan dengan “hakikat”.
Berkenaan dengan persoalan di atas, Ayatullah Hasan Sodeh
Amuli menyatakan, “… manusia adalah makhluk yang abadi, dan yang
membentuk manusia berdasarkan al-Quran, irfan, dan filsafat adalah ilmu
dan amal perbuatannya… ini adalah makanan jiwa sebagaimana makanan badan
adalah air dan gandum… yakni makanan lahiriah menyebabkan kuatnya badan
dan makanan batiniah berpengaruh pada kelestarian jiwa manusia… makanan
yang diserap oleh jiwa akan menyatu secara eksistensial dengan jiwa dan
untuk selamanya tinggal serta berhubungan secara terus menerus.
Jadi, manusia senantiasa dalam suatu proses membentuk
dirinya siang dan malam untuk suatu keabadian… manusia harus menjaga dan
mengontrol kondisi dirinya sendiri. Manusia harus mengetahui dan
memahami sehingga dapat menapaki jalan yang benar dan sempurna… Tuhan
Yang Maha Suci telah menciptakan suatu “industri” yang sangat
menakjubkan yakni wujud manusia merupakan suatu “industri” yang paling
besar di alam eksistensi ini. Disamping “industri” itu terdapat suatu
kitab yang memberikan petunjuk tentang bagaimana cara pemanfaatannya
yang benar dan bagaimana cara perawatannya…
Kita tidak memiliki petunjuk-petunjuk praktis selain
al-Quran al-karim dan hadis-hadis serta doa-doa yang telah diberikan
oleh Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbaitnya yang suci yang secara
utuh juga bersumber dari lautan Ilahi al-Quran yang tak terbatas.” …
Dalam irfan teoritis dan praktis, kita tidak akan
mendapatkan perkataan yang lebih tinggi dan ucapan yang sangat bernilai
dari ungkapan-ungkapan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya yang suci.
Apa-apa yang dibutuhkan oleh seorang manusia dalam memenuhi segala
makanan jiwa dan ruhnya sendiri untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan
terdapat dalam al-Quran dan perkataan suci para Imam Ahlulbait.
Kedekatan kepada Tuhan adalah menyatu dengan sifat-sifat
rububiyah-Nya dan berakhlak dengan akhlak malakuti-Nya, yakni manusia di
dalam suluk kesempurnaannya mengalami perkembangan ilmu dan amal
sedemikian sehingga sampai pada suatu derajat yang menyatu dengan sifat
rububiyah-Nya.
Yang pasti bahwa tingkatan-tingkatan itu tetap ada, sebagaimana Tuhan berfirman dalam surah Mujadalahayat 11, “dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat.”
Tingkatan yang paling tinggi adalah seorang manusia yang telah
mengaktualkan segala potensi secara sempurna dan telah menjadi manusia
sempurna, akan tetapi kesempurnaan setiap manusia bergantung kepada
keluasan wujudnya sendiri dan sejauh mana dia menempatkan dirinya di
jalan kesempurnaan.
Dalam irfan praktis, manusia akan sampai pada tingkat
dimana akan terbuka mata batinnya (mata barzakh), yakni dia akan
menyaksikan manusia-manusia itu sesuai dengan hakikat dan kondisi
batinnya…
Untuk para arif dan wali-wali Tuhan memandang bahwa hari
kiamat telah terjadi di dunia ini, hal ini juga disabdakan oleh Imam Ali
As yang merupakan Imamnya para arif, orang-orang bertakwa (muttaqin),
dan para pengesa Tuhan (muwahhidin), “Apabila tirai dan hijab terbuka
maka keyakinanku tidak akan bertambah.” Dunia dan akhirat adalah suatu
hijab dan tirai bagi kita, namun tidak ada satu pun yang menghijabi
Amirul Mukminin Ali As.”[7]
Di akhir jawaban ini, saya akan mengutip ucapan seorang
arif, Imam Khomeni, yang menjelaskan tingkatan-tingkatan dan
derajat-derajat manusia yang tidak lain adalah menggambarkan derajat
akhirat, barzakh, dan dunia itu sendiri. Beliau memaparkan bahwa setiap
makrifat dan pengetahuan untuk manusia niscaya bersesuaian dengan
tingkatannya masing-masing. Dia menyatakan, “Segenap pengetahuan yang
bermanfaat terbagi ke dalam tiga pengetahuan, pertama adalah suatu
pengetahuan yang berhubungan dengan kesempurnaan akal dan
kewajiban-kewajibannya. Kedua ialah suatu pengetahuan yang berkenaan
dengan perbuatan-perbuatan hati dan kewajiban-kewajibannya, dan ketiga
adalah suatu pengetahuan yang berkaitan dengan amal-amal hati dan
hal-hal yang terkait dengan aspek lahiriah manusia… setiap tingkatan
dari tingkatan-tingkatan ini… adalah sedemikian berhubungan satu sama
lain dimana terdapat pengaruh timbal balik antara satu tingkatan dengan
tingkatan-tingkatan lainnya, baik dari aspek kesempurnaan maupun dari
dimensi kekurangannya. Seperti, apabila manusia ingin menjalankan
ibadah-ibadah lahiriah maka harus sesuai dengan perintah-perintah para
nabi. Ibadah-ibadah yang dijalankan itu akan berpengaruh kepada kondisi
hati dan jiwanya yang akan berujung kepada kebaikan akhlaknya (tingkatan
barzakh) dan kesempurnaan akidahnya (tingkatan dunia). Hal ini sama
berlakunya ketika seseorang senantiasa mensucikan akhlak dan
membersihkan batinnya yang akan berpengaruh kepada dua tingkatan lain
(tingkatan akal dan dunia), sebagaimana kesempurnaan iman dan
hukum-hukum akidah berpengaruh kepada dua tingkatan yang lain (tingkatan
barzakh dan dunia). Bahkan, kata “berhubungan atau berpengaruh”
(pengaruh satu tingkatan dengan tingkatan-tingkatan lainnya) yang
digunakan untuk mengaitkan satu tingkatan dengan tingkatan lainnya
hanyalah bersifat majasi, karena tidak ada kata lain yang pas untuk bisa
digunakan mengungkap realitas itu, maka harus dikatakan, “satu hakikat
yang memiliki manifestasi-manifestasi.”[8]
Lebih lanjut beliau katakan, “Dalam bentuk apa pun, wahai
saudaruku yang mulia!… Dimanapun tingkatan kamu maka berupayalah dan
tingkatkanlah keikhlasan dirimu serta bersihkanlah hatimu dari segala
bentuk hayalan jiwa dan bisikan setan. Yang pasti, kamu akan memperoleh
hasilnya, akan kamu temukan jalan menuju hakikat, dan akan terbuka
bagimu jalan petunjuk serta Tuhan Yang Maha Tinggi akan melindungimu.”[9]
[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]
Referensi:
[1] . Azizuddin bin Muhammad Nasafi, Insanul Kamil, hal. 3
[1] . Azizuddin bin Muhammad Nasafi, Insanul Kamil, hal. 3
[2] . Murtadha Muthahhari, Osyno-i bo Ulume Islami, hal. 82
[3] . Suatu derajat spiritual yang belum tetap (penerjemah).
[4]. Sayyid Haidar Amuli, Jami’ul Asrar wa Manba’ul Anwar, penerjemah: Sayyid Jawad Hasyemi, hal. 266-267.
[5] . Sayyid Haidar Amuli, Jami’ul Asrar wa Manba’ul Anwar, penerjemah: Sayyid Jawad Hasyemi, hal. 267-268.
[6] . Murtadha Muthahhari, Osyno-i bo Ulume Islami, bagian Irfan, hal.80-82.
[7] . Ayatullah Hasan Sodeh Amuli, Dar Osmone Ma’rifat, hal 46-52.
[8] . Ruhullah Musawi Khomeni, Cehel Hadits, hal. 386.
[9] . Ibid, hal. 394.
(teosophy/ABNS)
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar