Oleh: Rudhy Suharto
Pertanyaan paling mendasar dalam dunia ilmu pengetahuan adalah bagaimana bentuk epistemologi Islam itu? Dewasa ini berbagai usaha telah dilakukan sebagai upaya untuk memahami kerangka dasar epistemologi Islam agar dapat dibedakan dengan Barat. Usaha ini menuntut perhatian dan motivasi yang lebih untuk membedah permasalahan ini. Dan akan lebih berhasil guna jika pendekatan analitis kritis seperti ini dilestarikan dengan memberikan definisi yang jelas dan tegas tentang konsep-konsep yang digunakan di dalam epistemologi.
Dalam teori ilmu pengetahuan Islam, terma yang sering digunakan untuk istilah ilmu pengetahuan adalah ‘ilm. Terma ‘ilm dalam bahasa Arab berkonotasi lebih luas dibandingkan sinonimnya dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lain yang digunakan di Eropa. Dalam terma Inggrisnya ‘ilm biasa disebut knowledge yang cakupan makna dan konotasinya lebih miopik. Knowledge yang digunakan di dunia Barat berarti keterangan tentang sesuatu baik bersifat ilahiah atau ragawi. Sedangkan ‘ilm, menurut Wahid Akhtar, adalah meliputi seluruh aspek yang terdiri dari teori, aksi dan edukasi. Terma ‘ilm ini bagi peradaban Islam dan Muslimin memberikan satu nuansa tersendiri.
Dalam konsep Islam ‘ilm adalah Islam, Islam adalah ilmu. Meskipun kaum teolog memiliki keragu-raguan untuk menerima validitas kesetaraan itu. Namun pada kenyataannya dalam diskusi-diskusi mereka tentang konsep kesetaraan ilmu itu menerima bahwa betapa fundamentalnya konsep seperti itu bagi peradaban Islam. Dapat dikatakan bahwa Islam adalah titian ilmu pengetahuan. Tidak satupun agama atau ideologi yang menekankan sedemikian rupa tentang betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kelangsungan peradaban ummat manusia.
Di dalam kitab suci al-Quran, menurut Wahid Akhtar (Tawhid, Vol.XII, No.3, Teheran), terma ‘alim disebutkan pada 140 tempat, sedangkan ‘ilm pada 27 tempat. Secara keseluruhan total ayat yang menyinggung masalah ‘ilm atau derivatif dan kata-kata yang berhubungan dengannya disebut sebanyak 704 kali. Media ilmu pengetahuan semisal buku ( al-Kitab ), pena (qalam) dan tinta ( midad )dan sebagainya disebutkan hampir sebanyak terma ‘ilm didalam al-Quran. Qalam diulang pada dua tempat, al-kitab pada 230 ayat dimana al-kitab dengan menggunakan terma al-Quran dinyatakan dalam 81 ayat. Kata-kata yang sehubungan dengan penulisan termaktub dalam 319 ayat. Sementara kita tahu bahwa dalam rangka pencapaian ilmu pengetahuan media buku dan pena sangat esensial dan wahyu yang mula-mula diturunkan berisi titah ilahi untuk membaca. Terma iqra (bacalah!) sebagai wahyu pertama yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.
Berdasarkan al-Quran, Allah paling awal mengajarkan pada Adam nama-nama segala sesuatu. Allah merupakan guru pertama dan pemandu mutlak bagi manusia. Pengetahuan diberikan secara khusus pada Adam dan tidak diberikan secara merata pada makhluk-makhluk Tuhan lainnya bahkan malaikat sekalipun. Dalam kitab hadis Usul al-Kafi dikisahkan sebuah hadis dari Imam Musa al-Kazim as. bahwa ‘ilm itu terdiri dari tiga jenis, yaitu: ayatun muhkamahfaridatun ‘adilah (kewajiban-kewajiban), sunnat al-qaimah (sunnah Rasulullah saw). (ayat-ayat Tuhan yang tak-terbantahkan), Hadis ini menyiratkan bahwa ‘ilm adalah suatu pencapaian dimana diwajibkan atas kaum muslimin untuk mencarinya meliputi teologi, filsafat, ilmu hukum, ilmu etika, ilmu politik dan ilmu hikmah yang diwariskan oleh baginda Rasulullah Saw.
Selain dinyatakan dalam ratusan ayat akan urgensinya ilmu pengetahuan, kita juga mendapatkan dalam ratusan hadis Rasulullah saw. yang menekankan pentingnya pencarian ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Kaum Muslimin – selama masa keterbelakangan dan keterpurukannya – memberikan batasan pencapaian ilmu pengetahuan hanya pada ilmu teologi saja suatu sikap yang secara umum menggejala namun merupakan suatu blunder besar bagi peradaban Islam.
Dalam hal ini al- Ghazali termasuk salah seorang yang patut disalahkan atas kejatuhan ini, dimana ia hanya menonjolkan dimensi spiritual Islam saja dengan mengabaikan dimensi intelekual dan filosofis Islam. Meskipun begitu, al-Ghazali pernah melewati masa skeptisme yang penuh gejolak namun sejatinya ia dalam pencarian suatu keniscayaan (certainity) yang ia temukan didalam pengalaman mistisnya tidak dalam dunia ilmu pengetahuan. Atas upaya seperti itu, harus diakui bahwa al-Ghazali telah membuka garda bagi kaum muslimin dalam pembebasan dari taklid buta dan membantu kaum muslimin melakukan pendekatan kepada tujuan dari ilmu pengetahuan itu.
Dalam dunia Islam, istilah ma’rifat (gnosis) dipisahkan dengan ilmu pengetahuan dalam artian pencapaian informasi melalui proses logis. Dalam dunia non-Islam yang didominasi oleh tradisi Yunani, hikmah ( wisdom ) dipandang lebih tinggi derajatnya dibanding dengan ilmu pengetahuan. Akan tetapi dalam Islam ‘ilm bukan sekedar ilmu pengetahuan namun ‘ilm bersinonim dengan ma’rifat . Ilmu pengetahuan ( knowledge ) dianggap memiliki derivasi dari dua sumber yakni : aql dan ilmu hudhuri ( ilmu pengetahuan yang dicapai melalui pengalaman spiritual ).
Patut untuk diperhatikan bahwa dalam al-Quran dan hadis Rasulullah saw menyatakan perlunya kerja-kerja intelektual, khususnya pada masalah ijtihad. Dalam madzhab Sunni qiyas ( suatu metode deduksi analogis yang diajukan oleh Imam Abu Hanifah) digunakan sebagai instrumen ijtihad, namun guru dan pembimbing spritualnya yakni Imam Dja’far al-Shadiq as. memberikan spektrum yang luas bagi akal dalam melakukan ijtihad. Pada seluruh literatur fiqh dan usul al-fiqh ditemukan bahwa peranan akal dalam ijtihad lebih ditekankan ketimbang qiyas, karena qiyas hanyalah bentuk argumen logika yang semu (quasi-logical argument) sedangkan akal mencakup totalitas fakultas rasional yang dimiliki manusia.
Olah-latih intelektual (akal) ditegaskan secara signifikan dalam seluruh literatur Islam dimana akal memainkan peranan penting dalam pengembangan berbagai ilmu pengetahuan – baik yang bercorak ilmiah maupun tidak – dalam dunia Islam. Pada abad ke-duapuluh seorang pemikir Islam asal India bernama Muhammad Iqbal dalamReconstruction of Religius Thought menandaskan bahwa ijtihad adalah prinsip dinamis bukunya dalam raga ummat Islam.
Dalam dunia Islam tidak terdapat adanya perbedaan antara hikmah dan ilmu pengetahuan. Mereka yang membuat dikotomi seperti itu telah menjerumuskan kaum Muslimin untuk tidak bercorak pemikiran Islami. Para filosof seperti al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Sina dipandang sebagai hakim (filosof) dan dalam kapasitas seperti ini mereka lebih superior ketimbang ‘ulama’ dan fukaha. Miskonsepsi seperti ini telah menggiring al-Ghazali untuk menyerang dan mengkritik Para filosof tersebut.
Islam adalah agama yang mengajak ummatnya untuk berfikir kritis, analitis dan melakukan olah intelektual serta menjadikannya kendaraan untuk sampai pada kebenaran hakiki. Meskipun kita lihat para pemikir Islam menggunakan berbagai jalan dalam rangka mencapai tujuan. Seperti para filosof yang mendedikasikan diri mereka pada metode berfikir logis dan ilmiah dan hal ini mengakibatkan adanya cibiran oleh para sufi. Walaupun beberapa filosof diantara mereka semisal Ibnu Sina, al- Farabi, dan al-Ghazali menempuh jalan spiritual dalam mencari kebenaran dalam‘ilm tidak dapat diterjemahkan hanya sekedar beberapa stasiun (maqam). Sebagaimana telah disebutkan bahwa ilmu‘ilm seyogyanya diterjemahkan juga sebagai ma’rifat ( gnosis) pengetahuan.
Dalam mengkaji ilmu pengetahuan, pertanyaan penting yang menyeruak yaitu bagaimana seseorang dapat mengatasi keraguannya tentang doktrin ke-Tuhanan, kesemestaaan dan kemanusiaan. Diyakini secara umum bahwa dalam Islam – menurut orang-orang beriman – tidak satu tempat pun untuk meragukan dan menanyakan akan eksistensi Tuhan, kerasulan Muhammad Saw., injunksi Tuhan dan Islam mengharuskan para pemeluknya melakukan penghambaan totalitas atas apa yang diperintahkan keatasnya. Keyakinan yang bersifat umum ini merupakan sebuah temaram dalam pancaran sinar ilmu Islam dalam memandang akal.
Dalam persfektif usuluddin, setiap muslim diharuskan untuk menerima tawhid, nubuwwah, dan ma’ad (dalam(a’dl) dan imamah ) dengan menggunakan kriteria rasional dan landasan pengalaman eksistensial seseorang. keyakinan fundamental syiah termasuk didalamnya keadilan Ilahi Konsep semacam ini menubuwatkan skeptisisme dan keraguan dalam Islam sebelum sampai pada stadium keniscayaan dalam keyakinan beragama.
Term ‘ilm bila dirujukkan dengan banyak ayat al-Quran diartikan sebagai cahaya (nur), dan Allah juga diatributkan sebagai puncak cahaya (ultimate light). Hal ini berarti bahwa ‘ilm secara umum sinonim dengan cahaya Allah. Dan cahaya ini tidak seluruhnya menyinari orang-orang beriman. Jika cahaya itu kemudian menjadi temaram maka ini disebabkan karena seringnya awan keraguan menyelimuti domain pemikiran manusia. Kesangsian atau keraguan sering ditafsirkan dalam al-Quran sebagai kegelapan, begitupun keawaman juga dideskripsikan sebagai kegelapan dalam banyak ayat suci al-Quran.
Bila Allah digambarkan sebagai cahaya dan ilmu pengetahuan disimbolisasikan sebagai cahaya Tuhan. Maka natijahnya adalah keawaman (kebodohan) adalah kegelapan sementara makrifat (baca: ‘ilm) adalah cahaya. Dalam ayat kursi Allah berfirman: Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi …. Allah adalah pemimpin orang-orang beriman dan Dia membimbing orang-orang beriman dari kegelapan kepada cahaya. Kegelapan sering kali ditafsirkan sebagai penafian ( kekufuran ) dan cahaya sebagai penerimaan ( keyakinan ) pada Tuhan. Kita juga jumpai didalam banyak ayat suci al-Quran serta hadis-hadis Rasulullah saw yang menekankan bahwa cahaya hanya dapat digapai oleh mereka yang berjuang mengentaskan kegelapan.
Dan kebanyakan para filosof Islam mengembara untuk menemukan keniscayaan hakiki dengan menggunakan pendekatan skeptisisme. Skeptisisme dalam pengertian umum sejatinya tidak selaras dengan ajaran Islam. Jalan skeptisisme masih dapat diterima hanya bila ia menuntun kita dari kesangsian pada keyakinan. Metode skeptikal di atas memiliki dua aspek, yaitu: penafiannya terhadap ilmu pengetahuan dan penerimaannya untuk mengatasi kesangsian. Para filosof Islam telah melewati aspek yang kedua, dikarenakan adanya seruan untuk tidak bersikap taklid buta dengan pakem yang ada.
Dalam Islam ‘ilm tidak direstriksi hanya pada pencapaian ilmu pengetahuan, tetapi ‘ilm mencakup aspek sosio-politik dan moral. Ilmu pengetahuan tidak hanya pewartaan atau informasi namun ia menuntut orang-orang beriman untuk memanifestasikan keyakinannya dan berjuang untuk mewujudkan cita-cita Islam. Teori ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam tidak hanya terpaku pada teori epistemologi.
Namun Islam memadukan insight (pengetahuan yang dalam ), ilmu pengetahuan, dan amal sosial dalam satu rumusan untuk dikonsumsi oleh ummat manusia. Rasulullah saw mengatakan: suatu waktu malaikat Jibril as mendatangi Adam as. Ia menawarkan pada Adam iman, moralitas (haya) dan rasio dan meminta Adam untuk memilih salah satunya. Ketika Adam memilih rasio ( akal ), maka moralitas dan iman diminta untuk kembali ke Surga. Moralitas dan iman berkata pada Jibril bahwa mereka diperintahkan oleh Allah untuk menyertai rasio kemanapun ia pergi. Hadis ini mengindikasikan betapa komprehensifnya arti intelegensia dan ilmu pengetahuan dan betapa kuat korelasi antara fakultas rasio, iman dan moralitas dalam Islam.
Gagasan kesetaraan bahwa ‘ilmu adalah Islam, menurut Wahid Akhtar, terbukti memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan penyebaran berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan fenomena sosial dan fisikal serta proses argumentasi logis dalam pengambilan hukum dan justifikasi doktrin Islam yang bersumber dari al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Ilmu pengetahuan ilmiah yang meliputi ilmu pengetahuan fisikal dan natural dicari dan dikembangkan oleh ahli sains dan matematika Islam secara meluas pada dekade-dekade awal abad pertama hijriyah. Upaya ilmiah ini menemukan momentumnya pada pendirian bayt al-hikmah dibawah rezim emperium abbasiyah pada masa khalifah al-Ma’mun.
Dengan demikian tuduhan yang direka oleh para orientalis Barat yang menyatakan bahwa al-Quran dan Sunnah tidak mengandung konsep sains dan filsafat. Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya bahwa kaum Muslimin tidak hanya berlandaskan al-Quran dan Hadis saja atau bahkan mewajibkan kaum Muslimin merujuk pada berbagai sumber namun mereka juga dibekali dengan piranti panduan prinsipil yang menyediakan landasan aman bagi perkembangan ilmu-ilmu agama dan ilmu yang bercorak sekularistik.
Dalam beberapa hadis bahkan dikatakan tentang prioritasnya usaha pembelajaran daripada melakukan ibadah ritual keagamaan. Dan hadis-hadis yang mengindikasikan bahwa tidurnya seorang ulama lebih berharga dibandingkan perjalanan haji seorang awam dan partisipasinya dalam jihad fii sabilillah. Tinta seorang ulama lebih sakral ketimbang tetesan darah seorang martir (syuhada). Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib as bersabda bahwa ganjaran keimanan seorang beriman akan diberikan pada hari pembalasan kelak diukur dengan derajat kelimuan dan penyebaran ilmunya.
Islam tidak pernah mentolerir pernyataan bahwa hanya ilmu teologi yang bermanfaat sedangkan ilmu pengetahuan empiris memiliki kesia-siaan. Konsep semacam ini umumnya dikemas oleh para ulama semi-literal dan skripturalis atau oleh mereka yang menghendaki lestarinya kegelapan dalam Islam dan taklid buta agar mereka tidak memberontak terhadap elite penguasa tiran atau pada ulama yang terkooptasi dengan kekuasaan. Sikap ini kemudian melahirkan hujatan dan kecaman tidak hanya pada ilmu pengetahuan empiris tetapi juga pada ilmu kalam dan metafisika, dengan penghujatan seperti ini berekses pada keterpurukan dan kejatuhan ummat Islam dalam percaturan sosial dan politik.
Bahkan hingga hari ini dapat kita temukan menggejalanya sindroma ini pada sebagian besar dalam segmen komunitas Islam berasal dari orang umum atau kalangan ulama. Sindroma dan sikap anti ilmu pengetahuan seperti ini melahirkan beberapa pergerakan yang dianggap elementer (beranggapan ilmu teologi sudah adekuat bagi kaum Muslimin) yang menjabarkan asimilasi dan disseminasi ilmu pengetahuan empiris yang oleh mereka dapat melemahkan keimanan kaum Muslimin.
Meskipun Islam belahan timur mengalami kerterpurukan dalam ranah filasafat dan sains, akan tetapi pada masa pemikir-pemikir Islam yang bermukim di Barat, filsafat dan sains kemudian bermekaran karena usaha-usaha yang tak kenal lelah dari para pemikir Islam seperti Ibnu Rushd, Ibnu Tufail, Ibnu Bajah dan Ibnu Khaldun yang merupakan bapak sosiologi dan sejarah filsafat. Sejarah filsafat dan masyarakat karya Ibnu Khaldun merupakan peletak batu pertama atas pemikir Islam dalam dunia ilmu etika dan politik yang muncul kemudian seperti Miskaway, al-Dawwani dan Nasiruddin al-Tusi. Sedang al-Farabi memberikan perhatian penuh pada filsafat sosio-politik yang tertuang dalam Madinat al-fadilah, Ara’ ahl al-madinat, al-Millah al-fadilah, Fusul al-madang, Sirah al-Fadilah, K. al-Siyasah al-madaniyyah dan sebagainya. senarai karya-karyanya antara lain.
Ummat Islam adalah komunitas yang tidak pernah mengabaikan masalah sosial, ekonomi dan politik yang terjadi didalam masyarakat. Mereka menyumbangkan banyak hal terhadap peradaban dan pemikiran manusia melalui penelusuran dan pengkajian mendalam terhadap ragam ilmu pengetahuan meskipun dengan berbagai resiko seperti dihujat sebagai ahli bid’ah atau bahkan dituduh pagan. Muslim sejati dan teguh dalam menjaga kredonya seperti al-Ghazali, Ibnu Rushd, Ibnu Bajah, al-Haytam, Ibnu ‘Arabi dan Mulla Sadra atau pemikir-pemikir Islam abad dua puluh seperti Muhammad Iqbal, Sayyid Ahmad Khan dan Abu ‘ala Al-Mawdudi adalah orang-orang yang tidak terlepas dari fatwa pagan (kufur) oleh mereka yang bertaklid buta dan menentang prinsip ijtihad, riset dan pikiran-pikiran kritis.
Dengan demikian tidaklah berlebihan bahwa epistemologi Islam telah berjasa bagi tumbuh suburnya kultur kuriositas dan cara berpikir rasional bagi keberlangsungan atmosfer sehat dalam pencarian ilmu pengetahuan yang mencakup praktek sekaligus teorinya.[]
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar