Dalam sebuah forum dialog lintas umat beragama, sebelum menyampaikan ceramah, saya mengajukan dua pertanyaan untuk dijawab secara tertulis lalu dikumpulkan.
Pertama, perputaran bumi, matahari, dan planet di jagat semesta ini dikendalikan oleh satu Tuhan atau banyak Tuhan? Kedua, Tuhan yang kita sembah itu sama atau beda? Ketika jawaban tertulis dikumpulkan, jawaban pertama seragam. Bahwa semesta ini diciptakan dan dikendalikan oleh satu Tuhan. Argumen paling sederhana, ibarat pesawat terbang, jika banyak yang mengatur, pasti akan bertabrakan. Jadi, peserta meyakini bahwa yang paling logis dan mudah diterima nalar adalah hanya satu Tuhan yang paling berkuasa yang menguasai dan mengatur semesta ini. Yang menarik adalah jawaban nomor dua. Peserta yang jumlahnya sekitar 80 itu terbelah menjadi dua dan skor hampir seimbang. Bahwa mereka menyembah Tuhan yang berbeda.
Dari jawaban di atas, lalu saya majukan pertanyaan baru. Karena di ruang ini terdapat beragam pemeluk agama dan meyakini Tuhan yang berbeda, bumi yang kita huni dan matahari yang setia menyinari kita semua ini, pemeluk agama apa yang paling berhak mengklaim sebagai penghuni paling sah dalam pandangan Tuhan? Andaikan Tuhan menagih rekening matahari, ibarat PLN menagih uang listrik, kelompok agama apa yang paling berhak mengumpulkan sebagai mandataris Tuhan? Saya hanya sekadar melemparkan pertanyaan, tidak untuk dibahas pada forum itu.
Perdebatan abadi
Keyakinan dan pencarian manusia terhadap Tuhan sudah berlangsung berabad-abad. Banyak teori yang menjelaskan mengapa dalam diri manusia terdapat dorongan dan kebutuhan bertuhan. Banyak juga filsuf dan saintis yang membangun teori bahwa keyakinan tentang Tuhan itu palsu dan ilusi akibat dari kelemahan diri manusia menghadapi teka-teki hidup yang tak terjawab. Namun, jika dikumpulkan dan ditimbang, argumen dan keyakinan tentang Tuhan jauh lebih kuat. Dalam hal ini faktor pewahyuan dan kenabian amat sangat berperan.
Jika muncul perdebatan di kalangan saintis, penyelesaiannya lebih mudah mengingat obyek yang diperdebatkan masih dalam wilayah empiris. Pembuktiannya bersifat induktif dan positif. Di sini bukti (proof) empiris yang dijadikan rujukan. Namun, keyakinan terhadap Tuhan yang digunakan adalah argumentasi berdasarkan penalaran dan merujuk pada wibawa kitab suci serta pengalaman beragama, mengingat obyek yang diperselisihkan sifat abstrak, immateri. Yang namanya pengalaman beragama pun sulit dibuktikan jika menggunakan pendekatan sains.
Misalnya pengakuan Muhammad ketika bermeditasi di Gua Hira ditemui Malaikat Jibril. Di situ kekuatan pribadi Muhammad yang dikenal sebagai orang yang tak pernah berbohong dan kandungan berita yang disampaikan menjadi bahan para sahabat untuk membangun argumentasi, apakah mau percaya atau menolak. Namun, jika orang minta bukti empiris, lalu ramai-ramai mengajak Muhammad ke Gua Hira untuk berjumpa Malaikat Jibril, tentu tidak bisa diulangi lagi. Itu pengalaman beragama yang sangat privat. Begitu juga pengalaman isra-mikraj. Namun, akan berbeda dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah, pembuktiannya bersifat historis dan disaksikan banyak orang.
Meskipun abstrak, tak terbantahkan bahwa keyakinan pada Tuhan dan ajaran-Nya sangat besar pengaruhnya pada kehidupan seseorang dan komunitasnya. Banyak peradaban agung lahir dari keyakinan dan gerakan keagamaan. Monumen-monumen besar dengan arsitektur yang indah, juga dilahirkan dari keyakinan dan dorongan keagamaan. Seperti Candi Borobudur, gereja-gereja tua di Eropa, dan bangunan masjid di Timur Tengah, semua memiliki nilai arsitektur sangat tinggi sebagai persembahan pada Tuhan atau lebih tepat sarana menyembah Tuhan.
Namun, di sisi lain, tak terbilang lagi jumlahnya, peperangan dan tindak kekerasan meletus juga karena motivasi keagamaan. Ini bermula dari adanya keyakinan setiap agama memiliki jalan keselamatan (salvation) yang dijanjikan Tuhan, terutama keselamatan di akhirat. Keyakinan dan konsep keselamatan ini lalu berkembang pada penilaian bahwa di luar agamanya tidak ada jalan keselamatan. Artinya, orang yang berbeda agama berarti kafir, semuanya calon penghuni neraka. Sikap terhadap orang kafir ini ada tiga pilihan. Satu, mereka diajak dengan baik-baik agar ikut menjadi umat seiman dan seagama. Kedua, dibiarkan dan dihargai pilihan keyakinan agamanya dengan tetap menjaga persahabatan sesama manusia. Ketiga, diperangi karena orang kafir berarti melawan Tuhan yang mereka sembah yang berarti juga posisinya sebagai lawan mereka.
Konflik dan perang dengan motif keagamaan selalu mengandung logika paradoksal. Menawarkan kedamaian dan keselamatan dengan cara ancaman dan kekerasan. Meneriakkan misi Tuhan yang Maha Pengasih sambil mengintimidasi dan membunuh. Melakukan kekejaman dan pembunuhan, tetapi dianggap tindakan suci (holy war). Jika tidak ada cara pandang dan pendekatan baru, maka perbedaan pemahaman dan keyakinan agama akan selalu memicu konflik dan kekerasan. Tidak mengagetkan jika muncul sekelompok masyarakat ingin menemukan Tuhan di luar doktrin dan komunitas agama. God and spirituality without religion. Untuk apa beragama kalau agama bukannya menjadi kekuatan perdamaian dan peradaban.
Produk kultural dan ideologi
Meyakini dan mengikatkan diri sebagai komunitas umat beriman (the community of believers) sangat berbeda sifat dan implikasinya dari ikatan seseorang sebagai warga negara (citizen). Kewarganegaraan (citizenship) ditandai dengan kartu tanda penduduk dan paspor sehingga seseorang terikat wilayah dan hukum positif di mana dia tinggal. Adapun komunitas umat beragama menganggap hukum Tuhan di atas hukum positif dan tidak mengenal batas wilayah. Mereka merasa sebagai anggota Kerajaan Langit meskipun realitasnya lahir, tumbuh, dan tinggal di bumi. Mereka ada yang terobsesi membangun kejayaan langit, tetapi kadang dengan membuat kerusakan di muka bumi.
Namun, ada juga yang berpandangan bahwa misi agama itu untuk membangun kemakmuran dan kedamaian di muka bumi. Keselamatan akhirat itu reproduksi dan akibat dari prestasi membangun proyek kemanusiaan selama hidupnya. Oleh karena itu, pilihan dan praktik keberagamaan seseorang merupakan pilihan dan perjuangan moral. Sebuah tindakan moral meniscayakan dua syarat. Pertama, seseorang beragama berdasarkan pilihan bebas, bukan produk ancaman dan intimidasi. Kedua, moral itu muncul dalam konteks hubungan sesama manusia. Seseorang dikatakan bermoral baik jika berhasil membangun hubungan yang baik sesama manusia. Dalam konteks ini, ajaran Islam sangat jelas dan tegas bahwa ukuran dan ujian keimanan itu selalu dikaitkan dengan perbuatan baik terhadap sesamanya. Oleh karena itu, menyebarkan agama dengan ancaman justru merusak prinsip ajaran Islam. Kesalehan dan ketulusan tak akan muncul dari situasi terpaksa.
Jika nalar sepakat hanya ada satu Tuhan, tetapi mengapa terdapat ragam agama? Terdapat pandangan, naluri, dan kebutuhan beragama itu mirip naluri dan dorongan manusia untuk berbicara guna mengekspresikan perasaan dan pikirannya. Maka, bahasa yang akan digunakan adalah bahasa yang dia kenal dan familiar sejak kecil. Berbahasa tidak hanya mengucapkan kata-kata, sesungguhnya bahasa juga berfungsi dalam ranah pemikiran dan tindakan. Meminjam frasa Heidegger, language is the house of being. Sementara itu, setiap orang adalah anak kandung bahasa dan budaya yang membesarkannya yang pada urutannya keterikatan pada identitas budayanya berkembang menjadi sikap ideologis.
Oleh karena itu, pluralitas bahasa, sebagaimana agama, tak terelakkan. Pada tataran metabahasa dikatakan, There is only One Language, but everyone speaks with a language. Ungkapan serupa juga bisa diberlakukan pada ranah agama: There is only One True Religion but every believer tends to only embrace a religion.
Saya sangat sadar, menyikapi perbedaan bahasa dan agama tentu berbeda. Di sini saya hanya menganalogikan keragaman keduanya karena dorongan intrinsik yang muncul dari dalam, lalu seseorang terlahir disambut oleh budaya yang berbeda. Dalam bahasa tak ada janji-janji keselamatan hidup sebagaimana agama.
Peran institusi negara
Mengingat subyek yang bertuhan dan beragama itu manusia yang sama-sama tinggal di bumi yang sama dengan matahari yang juga sama, pilihan keyakinan dan tawaran keselamatan hidup yang melampaui batas dunia hendaknya jangan menghancurkan tata kehidupan di bumi. Yang mesti diusahakan adalah terjadinya kesesuaian (taufik) antara kehendak Langit dan kreasi manusia di bumi. Tuhan yang diyakini sebagai sumber kasih mesti diwujudkan dalam kehidupan sosial yang diikat dengan tali kasih (silaturahim). Sikap keberagamaan hendaknya mendatangkan rahmat bagi semesta.
Sesungguhnya fitrah manusia untuk bertuhan seiring dengan fitrah manusia untuk hidup merdeka, damai, dan teratur. Oleh karena itu, sejarah mencatat, proses panjang bagaimana manusia membangun perserikatan dan lembaga sosial sejak yang primitif sampai modern bernama negara untuk menjaga kedamaian dan kemerdekaan. Zaman dahulu ikatan suku dan agama sangat kuat, terlebih lagi ketika bergabung sentimen suku dan agama, maka kekuatannya kian solid sehingga mendorong jadi kekuatan misionaris-ekspansionis untuk memperluas pengaruh agama, militer, dan ekonomi.
Gejolak politik dan kekerasan yang terjadi di Timur Tengah akhir-akhir ini sulit dipisahkan antara sentimen keagamaan, perebutan sumber ekonomi, dan ekspansi militer. Ketiganya berjalin berkelindan dengan implikasi wajah agama jadi muram dan seram.
Di zaman modern, konstruksi negara cenderung lebih rasional dan warganya semakin plural. Kehadiran negara diperlukan untuk melindungi warganya, apa pun asal-usul etnis dan agamanya. Jadi, jika agama menjanjikan pada pemeluknya keselamatan di akhirat, negara memiliki tugas menjanjikan keselamatan warganya di dunia. Cukup menarik direnungkan, hubungan agama dan negara di Indonesia memiliki cita-cita sangat ideal, yaitu mempertemukan agenda agama dan negara sebagaimana tertera dalam Pancasila. Negara memberi wadah dan fasilitas bagi penyebaran agama, agama menjadi sumber kekuatan moral dalam kehidupan bernegara.
Sejak dulu di bumi Indonesia yang satu tumbuh beragam agama. Mereka mungkin sekali meyakini Tuhan Yang Esa, sebagai pencipta dan pengatur semesta, tetapi mengambil jalan yang berbeda-beda sehingga muncul pluralitas agama dan aliran kepercayaan. Adalah tugas negara untuk melindungi keselamatan warganya tanpa membedakan keyakinan agamanya.
*)Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
(MahdiNews/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar