Oleh: Mahdi Hairi Yazdi
Teori Emanasi[1]
Karena sebagaimana telah kami tunjukkan bahwa teori “kehadiran dengan penyerapan”[2]
kami didasarkan sepenuhnya pada analisis emanasi, maka kami harus
membahas hubungan “menurun” antara Prinsip Pertama (baca: Tuhan) dan
tindak emanatifnya (manifestasi-manifestasi-Nya di alam ) di satu pihak,
dan hubungan “menaik” di antara emanasi itu sendiri (yakni
derajat-derajat manifestasi-Nya yang ada di alam) dengan Prinsip
Tertinggi (baca: Tuhan) di lain pihak.
Dalam tradisi filsafat Islam, teori emanasi mengenai
hubungan “iluminatif menurun” (yakni dari Prinsip Pertama hingga ke alam
terendah materi) diawali oleh Ibnu Sina dalam penjelasannya mengenai
doktrin Aristoteles tentang kausa efisien Pertama (Sebab Hakiki atau
Tuhan).[3]
Dalam salah satu karyanya yang masyhur, al-Isyarat wa al-Tanbihat,[4]
Ibnu Sina secara matematis merumuskan doktrinnya tentang “emanasi”
dengan cara berikut, “Emanasi (suatu bentuk penciptaan di alam
nonmateri) adalah perwujudan dan pemanifestasian sebuah eksistensi dari
yang lain, dan bergantung pada eksistensi lain tanpa perantaraan materi,
instrumen, ataupun waktu. Tetapi, sesuatu yang didahului oleh
non-eksistensi dalam waktu tidak akan membutuhkan perantara. Tindak
emanasi, karenanya, mempunyai derajat yang lebih tinggi dari tindak
penciptaan (penciptaan dalam hubungannya dengan alam materi) dan
kontingensi.”[5]
Seperti bisa kita lihat dengan jelas, ini adalah definisi
leksikal emanasi yang dengannya perhatian kita ditarik kepada kenyataan
bahwa emanasi memiliki keutamaan atas gagasan penciptaan dan kontingensi
sepanjang tidak diperantarai, atau bahkan didahului, oleh waktu,
ataupun materi. Untuk menjelaskan bahasanya, Ibnu Sina selanjutnya
memberi garis besar bukti metafisik doktrinnya tentang emanasi:
“Gagasan bahwa suatu kausa yang membuat A menjadi wajib-ada
berbeda dengan gagasan bahwa kausa itu membuat B juga menjadi
wajib-ada. Jika eksistensi keduanya (yakni A dan B) pasti disebabkan
oleh satu hal, maka yang satu ini (sebagai sebab) harus (dari perspektif
yang berbeda) dipandang memiliki bentuk-bentuk (kausasi) yang berbeda
dan realitas-realitas yang berbeda pula …
Dengan demikian, segala sesuatu yang mewajibkan dua hal
atau terwujud darinya dua maujud secara sekaligus, sedemikian rupa
sehingga tak satupun dari keduanya melalui dan dengan intervensi yang
lain, maka hakikat wujudnya adalah berangkap atau tidak tunggal (yakni
hakikat wujudnya itu terbentuk dari suatu rangkapan dan merupakan
gabungan dari dua atau lebih bagian).”[6]
“Dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa mesti ada suatu
substansi intelektual yang darinya muncul suatu substansi intelektual
yang lain dan suatu benda langit. (Sekarang) jelas bahwa (dalam hal ini)
kedua benda itu berasal dari satu (substansi), karena memiliki dua sisi
(kausasi) yang berbeda.
Tetapi, mengenai Prinsip Pertama (baca: Tuhan), kemajemukan
nilai kausal dan variasi kausasi ini adalah mustahil. Hal ini karena
Prinsip Pertama adalah mutlak satu dan tunggal (tidak berangkap atau basith)
dalam setiap pengertian (yang dapat dipahami). Sebab, Dia terlalu mulia
untuk berada dalam mode yang berbeda-beda dan kebenaran yang beraneka
ragam, sebagaimana yang dimaklumi sebelumnya.
Tetapi, (kemajemukan) ini tidak mustahil jika merujuk pada
hal-hal dan maujud-maujud yang selain dari Prinsip Pertama. Dengan
demikian, dari yang Satu (baca: Tuhan) tidaklah mungkin teremanasi dan
terwujud lebih dari satu realitas dan maujud…
(Mengenai wujud-wujud emanatif ini atau makhluk), tidak ada
himpunan dua mode realitas yang berbeda yang tidak berkaitan dengan
salah satu wujud ini: (yakni) masing-masingnya merupakan wujud yang
mungkin (mumkin al-wujud) jika jika dipandang dalam hakikat dirinya sendiri, dan sebagai “wujud wajib” (wajib al-wujud nisbi)[7] jika dipandang dalam hubungannya dengan Prinsip Pertama (Wajib al-Wujud Mutlak).
Juga, masing-masing mereka mengetahui dirinya sendiri (dengan ilmu
hudhuri), dan juga mengetahui prinsipnya. Dengan demikian, dengan
mengetahui prinsip eksistensinya, dan dengan cara dimana ia terkait
dengannya, setiap wujud emanatif ini memunculkan satu wujud, dan dengan
mengetahui dirinya sendiri sebagaimana adanya, ia memunculkan yang
lain.”[8]
“Seluruh pokok masalah yang diperbincangkan adalah bahwa Prinsip Pertama, sebagai Wujud Wajib (Wajib al-Wujud)
yang tunggal secara absolut, hanya melahirkan satu wujud (yakni akal
pertama) yang sepenuhnya bergantung pada sumber-Nya. Dengan cara yang
sama, eksistensi yang kedua (akal pertama dalam filsafat Peripatetik),
sepanjang dituntut oleh ketunggalan atau ke-basith-an wujudnya,
melahirkan eksistensi ketiga (akal kedua) yang juga sepenuhnya
bergantung pada prinsip yang terdekat dengannya yang sebelumnya
bergantung pada Prinsip Pertama.
Karena keseluruhan cahaya emanasi melimpah dari Prinsip
Pertama eksistensi, dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa setiap wujud
emanatif dicirikan oleh keadaannya sebagai efek imanen, atau aksi
emanatif prinsipnya sendiri. Karena itu, bila digambarkan sebagai efek
imanen, atau aksi emanatif dari sumber mereka, semua wujud emanatif
memiliki, menurut doktrin ini, dua persamaan: Mereka bersifat mungkin (mumkin al wujud)
dalam dirinya sendiri dalam pengertian bahwa mereka secara mutlak
bukanlah apa-apa tanpa hubungan iluminatif dengan sumber mereka; dan
mereka semua adalah “wujud wajib” jika dipandang dalam kerangka hubungan
mereka dengan Prinsip Pertama tersebut, yang merupakan Wujud Wajib
(baca: Tuhan) dalam esensi dan tindakannya. Prinsip Pertama adalah unik
dalam hal bahwa ia adalah Wujud Wajib dalam dirinya sendiri (wajib al-wujud bi dzatihi),
tetapi wujud-wujud emanatif ini semuanya bersifat mungkin dalam dirinya
sendiri dan pada saat yang sama wujudnya bersifat wajib berkat Tuhan (wajib bi ghayrihi).”[9]
Titik sentral yang menjadi isu dalam doktrin yang agak aneh
ini adalah bahwa hierarki emanasi menyiratkan kontinuitas dan
ketergantungan total mode emanasi yang lebih rendah pada prinsip yang
terdekat dengannya, yang pada gilirannya sepenuhnya bergantung pada
prinsip terdekatnya sendiri.
Sebagaimana halnya emanasi yang pertama
(akal pertama) sepenuhnya bergantung pada Prinsip Pertama, maka mode
emanasi yang kedua (akal kedua) juga sepenuhnya bergantung pada prinsip
terdekatnya, dan dengan eksistensi-eksistensi yang lainnya pun
bergantung pada prinsip terdekatnya, dan segala maujud pun bergantung
pada akhirnya dengan Prinsip Pertama. Jika C menyiratkan B, dan B
menyiratkan A, maka secara logis adalah benar bahwa C menyiratkan A. Ini
adalah silogisme hipotesis atau aturan transitivitas. Kita lihat bahwa
dalam sistem emanasi ini adalah mungkin bahwa seluruh alam, dengan semua
kejamakan khasnya, telah beremanasi dari dan tereduksi kepada Tuhan
sebagai Prinsip Pertama eksistensi. Ini mungkin terjadi tanpa
perantaraan materi, ruang, waktu, atau unsur pengganggu dan pemutus
apapun dalam sistem emanasi tunggal. Untuk memberikan bukti yang lebih
tekstual tentang sistem hirarki ini, kami akan merujuk lagi kepada
wacana lain dari doktrin Ibnu Sina:
“Prinsip Pertama memancarkan atau mewujudkan suatu
substansi akal pertama. Substansi ini dalam kenyataannya adalah (wujud
emanatif) yang terpancarkan. Melalui perantaraan substansi emanatif ini,
Prinsip Pertama (sekali lagi) memancarkan substansi akal kedua bersama
sebuah benda langit. Dengan (cara hirarki) ini terlahirlah substansi
akal lain dari substansi kedua ini dan muncullah benda langit yang lain.
Hal ini terus berlangsung hingga substansi akal kesepuluh (akal yang terakhir) yang tidak lagi melahirkan suatu benda langit.”[10]
Filosof yang terkenal sangat matematis Nashir Al-Din Thusi
(w. 672/1274), menyumbangkan komentarnya kepada doktrin hierarki ini
dengan cara berikut:
“Dengan asumsi bahwa Prinsip Pertama A, dan bahwa dari A
lahir hanya satu benda B, maka B akan ditempatkan dalam peringkat
sebagai kejadian pertama dalam jajaran efek A.
Selanjutnya bisa diterima bahwa C lahir dari A dalam
kaitannya dengan B, dan dari B sendiri (yang bergantung pada A) lahir
yang lainnya D…
Dengan cara inilah berbagai benda, bahkan yang termasuk
dalam peringkat yang sama, bisa muncul dari wujud tunggal atau basith
(yakni Prinsip Pertama atau Wajib al-Wujud).[11]
Untuk lebih jelasnya, di sini kami merujuk kepada makalah
St. Thomas Aquinas mengenai masalah ini. Beliau menggarisbesarkan
doktrin emanasi Ibnu Sina dalam kalimat-kalimat berikut, “Oleh karena
itu, pemikir-pemikir lain, dengan mempertimbangkan masalah ini dan juga
masalah-masalah serupa, menegaskan bahwa wujud segala sesuatu
sesungguhnya berasal dari prinsip pertama dan tertinggi yang kita sebut
Tuhan, tetapi tidak secara langsung melainkan dengan aturan tertentu.
Karena Prinsip Pertama segala sesuatu adalah mutlak satu dan basith
(tak berangkap), mereka berpendapat bahwa hanya sesuatu yang tunggal
yang bisa muncul dari-Nya. Dan meskipun efek ini lebih sederhana dan
lebih tunggal daripada hal-hal yang lebih rendah lainnya, ia tak
memiliki ketunggalan Prinsip Pertama sepanjang “keberadaan” itu bukan
miliknya sendiri tetapi sebuah substansi yang memiliki “keberadaan”.
Substansi ini mereka namakan akal pertama, yang darinya mereka katakan
mungkin lahir pluralitas wujud-wujud. Karena jika dengan akal pertama
dapat diperoleh pemahaman (dengan hudhuri) tentang Prinsip Pertamanya
yang sederhana, maka mereka mengatakan bahwa akal kedua lahir darinya.
Kemudian, sesuai dengan pemahamannya tentang diri sendiri (juga dengan
hudhuri) dengan merujuk pada substansinya sebagai akal, ia menghasilkan
jiwa langit pertama: tetapi sesuai dengan pemahamannya tentang diri
sendiri dengan merujuk pada aspek potensial wujudnya, maka ia melahirkan
jasad pertama. Dan dengan demikian, sesuai dengan urutan menurun
tertentu hingga ke jasad yang paling rendah, mereka menentukan urutan
segala sesuatu dari Prinsip Pertama. Inilah pendapat Ibnu Sina yang
tampaknya dipraanggapkan dalam Kitab tentang Sebab-sebab.”[12]
Sebelum melangkah lebih lanjut kepada pendapat St. Thomas
tentang gagasan emanasi, kita harus mencatat bahwa kata “potensial”
(potentia) yang digunakan oleh St. Thomas tidaklah konsisten dengan kata
“mungkin” (bil quwwah yang merupakan lawan dari bil fi’il)
sebagaimana yang digunakan oleh Ibnu Sina. Barangkali St. Thomas ingin
menawarkan kepada kita terminologinya sendiri mengenai masalah ini,
tetapi kita harus berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan antara dua
penggunaan istilah tersebut. Pencampuradukkan macam ini bisa membawa
kepada pengkaburan pembedaan yang dengan jelas dibuat oleh Ibnu Sina,
dalam kitab Isyarat bab Logika, antara “potensialitas materi” dan “kemungkinan mode” (modal possibility).[13]
Kemungkinan penerapan dari yang disebut pertama terbatas dalam wilayah
benda material (yakni wujud-wujud spasiotemporal), sementara yang kedua
mencakup segala sesuatu yang bukan Wujud yang Wajib, mulai dari akibat
pertama (akal pertama) hingga bagian terakhir dari dunia yang mungkin
(selain benda material). Karenanya, efek pertama tidak pernah memiliki
potensialitas di dalamnya. Bahkan seandainya St.Thomas benar-benar
mempunyai penggunaan terminologis khusus untuk kata potensial, kita tak
dapat menggunakannya di sini sepanjang membicarakan teori Ibnu Sina.
Sekarang marilah kita kembali ke pokok-pokok utama
pembicaraan yang diajukan oleh St. Thomas mengenai teori ini, untuk
menemukan apakah pokok-pokok itu bisa mencegah kita mengandalkan doktrin
Ibnu Sina.
“Tetapi, segera tampak dengan jelas bahwa posisi ini
terbuka bagi kritik. Karena kebaikan alam semesta adalah lebih kuat
daripada kebaikan alam partikular yang manapun. Karena watak yang baik
dan yang akhir adalah sama, maka jika seseorang menarik kesempurnaan
akibat dari maksud pelaku, berarti ia merusak watak kebaikan dalam
efek-efek partikular alam atau seni …”[14]
St. Thomas bertanya apakah emanasi, menurut ajaran Ibnu
Sina adalah “tanpa sengaja”. Sekalipun begitu, St. Thomas tidaklah
benar-benar jelas dalam apa yang dimaksudkannya dengan “kesengajaan”.
Boleh jadi ditafsirkan sebagai kehendak dan kesadaran. Dengan demikian,
keberatannya adalah bahwa prinsip emanasi tidak konsisten dengan emanasi
itu sendiri, yang diniatkan dan dikehendaki oleh suatu pelaku yang
sadar akan tindakannya. Kalau begitu, “keharusan” mode di pihak pelaku
adalah faktor bagi implikasi yang didakwakan bahwa “setiap tindakan
wajib yang berasal dari wujud aksi intensional hanya dalam hal bahwa
tindak emanasi adalah operasi yang wajib dan nonrasional dari pelaku,
yang bukan berasal dari kehendak dan pengetahuannya. Aksi intensional
adalah
(a) tindakan yang bukan merupakan operasi yang wajib, dan
(b)
lahir dari kehendak dan pikiran si pelaku.
Dipahami secara demikian,
emanasi dapat dipertanyakan karena pada prinsipnya keharusan tidak
kompatibel secara logis atau metafisik dengan pengetahuan dan kehendak.
Lebih jauh, jika si pelaku aksi-aksi yang bebas dan sengaja itu adalah
Wujud yang Wajib dalam esensinya, bagaimana mungkin pelaku yang sama
bertindak sebagai wujud kontingen (mumkin al-wujud) menurut pengetahuan
dan kehendaknya?
Sekali lagi tampak bahwa ada ketidakserasian anlogis antara
doktrin bahwa Tuhan adalah Wujud Yang Wajib dalam esensi dengan doktrin
bahwa tindakan Tuhan bersifat sengaja (ikhtiari) menurut kehendak dan
pengetahuan-Nya. Dengan perkataan lain, Wujud yang Wajib dan Mutlak
menyiratkan emanasi-Nya yang wajib dan pada saat yang sama kehendak
serta pengetahuan Tuhan menyiratkan kontingensi atau kemungkinan, baik
dalam emanasi maupun sifat-sifat Tuhan. Seandainya inilah keberatan
St.Thomas terhadap doktrin emanasi, haruslah dikatakan bahwa ini adalah
persoalan serius yang sama yang disadari oleh Ibnu Sina dan banyak
filosof lain ketika mereka membicarakan masalah “Wujud yang Wajib”.
Dapatkah Tuhan menjadi Wujud yang Wajib dalam esensi-Nya,
tetapi menjadi wujud yang kontingen dan mungkin dalam kehendak dan
pengetahuan-Nya tentang alam semesta dan dalam penciptaan-Nya dan,
karena itu, dalam semua Sifat-Nya? Ini adalah pertanyaan yang ditanyakan
oleh Ibnu Sina dan hampir semua muridnya segera setelah mereka
mengetengahkan doktrin emanasi. Pendapat umum yang mereka ambil dalam
menghadapi pertanyaan ini adalah bahwa sebagai wujud yang mutlak tunggal
dan sederhana, wujud yang wajib dalam esensinya adalah wujud yang wajib
dalam setiap aspekdan sifat wujudnya (wajib al-wujud bi al-dzat huwa wajib al-wujud min jami’ al-jihat)[15].
Jika demikian halnya, maka emanasi Tuhan mestilah dengan sendirinya
lahir dari Tuhan dan dengan sendirinya diketahui dan dikehendaki oleh
Tuhan. Ini karena Tuhan sebagai pelaku emanasi adalah Wujud yang Wajib
dalam esensi-Nya dan dengan demikian Dia adalah Wujud yang Wajib dalam
pengetahuan, kehendak, dan perbuatan-Nya. Sekiranya Prinsip Pertama
segala sesuatu adalah mutlak satu dan sederhana dalam esensinya, maka
setiap cacat dalam kesempurnaan dan munculnya privasi dalam esensi-Nya
pasti akan mengubah keadaan kesederhanaan dan kemustian mode-Nya menjadi
kompleksitas dan kontingensi. Kesimpulannya, karena Tuhan adalah Wujud
yang Wajib, maka Dia memiliki pengetahuan yang pasti tentang Diri-Nya
dan tentang alam semesta dan Dia juga memiliki kehendak yang pasti,
emanasi yang pasti, dan sebagainya.
Sekalipun begitu, makna “pengetahuan pasti” Tuhan tentang
alam semesta dan “kehendak pasti”-Nya mengandung pengetahuan menjadi
pokok pembicaraan kita di sini. Tetapi, bagian pertanyaan yang lain,
yang bukan pokok masalah yang kita perbincangkan, tapi termasuk dalam
masalah kehendak bebas (free will) dan determinisme, akan kita bahas di
tempat yang semestinya.[16]
Harus ditegaskan bahwa sepanjang menyangkut pengetahuan Tuhan dan
emanasi-Nya, yang pasti, kita sepakat dengan filsafat pencerahan bahwa
ini adalah sejenis pengetahuan dengan kehadiran dan tak mungkin yang
lain. Seandainya ia adalah suatu bentuk pengetahuan representasional,
baik transenden ilahi ataupun bukan, niscaya keberatan St. Thomas akan
benar-benar dapat diterima.[17]
Tuhan mengetahui emanasi-Nya seperti kita mengetahui penginderaan,
imajinasi, fantasi dan jasad kita. Tuhan mengatur dan mendominasi
seluruh alam semesta seperti kita dalam kaitannya dengan tubuh pribadi
dan kemampuan kesadaran pribadi kita. Sebaliknya, seperti halnya kita
sendiri tidak mempunyai pengetahuan representasional fenomenal tentang
tubuh dan kemampuankesadaran kita sendiri selain dengan cara
introspeksi, maka Tuhan juga tidak memiliki pengetahuan yang sengaja
–dalam pengertian representasional- tentang emasani-Nya yang adalah
eksistensi alam semesta. Dan Diaterlalu luhur untuk memiliki pengetahuan
introspektif tentang Diri-Nya. Konsekuensinya, pengetahuan Tuhan
tentang alam semesta pastilah melalui kehadiran.
Pertanyaan bagaimana Tuhan mengetahui alam semesta sebagai
emanasi-Nya sendiri adalah isu yang terlalu besar untuk dibicarakan di
sini. Persoalan ini merupakan isu problematik baik dalam bahasa filsafat
biasa maupun dalam filsafat pencerahan. Akan tetapi, suatu tinjauan
ringkas mengenai masalah ini akan menjelaskan isu yang sedang kita
bahas.
Nashir Al-Din Thusi, penafsir Ibnu Sina yang paling
masyhur, memberikan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana segala sesuatu
dengan perbedaan yang jelas dan urutan tertentu lahir dari-Nya, sebagai
prinsip emanasi sederhana Yang Tunggal dan mutlak dengan akal. Thusi
mula-mula menyuguhkan penjelasannya mengenai bagaimana Tuhan mengetahui
efek pertama. Selanjutnya dia menjawab pertanyaan berikut: Bagaimana Dia
mengetahui alam semesta dengan semua perbedaan dan tata tertibnya?
Berikut ini adalah garis besar penjelasan Thusi yang termasyhur:
Kita telah memahami bahwa Prinsip Pertama
mengetahui Diri-Nya sendiri tanpa dideferensiasi melalui perantaraan
representasi antara realitas-Nya (dzatihi) dan kesadaran akan
realitas-Nya dalam eksistensi, kecuali dalam evaluasi intelektual atas
mereka yang merenungi realitas-Nya (yang berbedadari kesadaran akan
realitas-Nya).
Kita juga telah memutuskan bahwa
pengetahuan-Nya tentangDiri-Nya adalah kausa efisien bagi
pengetahuan-Nya tentang efek pertama. Nah, jika Anda hendak melakukan
penilaian Anda dengan benar bahwa kedua sebab yang terlihat itu, yakni
realitas-Nya sendiri dan kesadaran-Nya sendiri akan hal itu, dalam
eksistensi adalah satu dan sama dan sesungguhnya tak bisa berbeda, maka
Anda telah membuat diri Anda terikat untuk melakukan penilaian
selanjutnya, atas dasar yang sama, bahwa kedua efek itu, yakni realitas
efek pertama dan bentuk pengetahuan-Nya mengenai realitas tersebut,
adalah satu dan sama dan sesungguhnya tak pernah bisa berbeda. Akan
tetapi, tidak ada perbedaan apapun bisa dibuat dengan sebenarnya untuk
membedakan realitasnya dari pengetahuan tentang realitas tersebut dengan
melekatkan yang disebut belakangan kepada eksistensi yang disebut
terdahulu.
Hasilnya adalah bahwa eksistensi efek pertama
tak lain hanyalah tingak mengetahuinya Prinsip Pertama itu, tanpa
keharusan bagi-Nya untuk mendekatinya dengan meletakkan representasi
(shurah) dalam Diri-Nya.
Karena substansi-substansi terpahami yang
terpisah ini, termasuk efek pertama, menyadari segala sesuatu yang
buksan efek mereka sendiri melalui representasi-representasi di dalam
diri sendiri, dan di lain pihak mereka semua juga menyadari Prinsip
Pertama, dan karena adalah pasti bahwa setiap eksistensi di dunia
hanyalah efek dari Diri-Nya semata, maka dengan sendirinya semua bentuk
eksistensi, baik yang partikular maupun yang universal,
direpresentasikan dalam substansi-substansi ini.
Prinsip Pertama mengetahui
substansi-substansi yang bisa dicerap ini sebagaimana adanya: artinya,
dengan representasi-representasi apapun yang telah mereka simpan dalam
diri mereka. Tetapi, dia mengetahui tidak melalui representasi dalam
Diri-Nya melainkan dengan kehadiran realitas substansi-substansi itu
sendiri dan realitas bentuk-bentuk. Dengan cara ini Dia mengetahui dunia
eksistensi sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang tampak kepada
Diri-Nya.[18]
Beginilah filsafat emansi Ibnu Sina dipahami oleh muridnya
yang termasyhur dan disepakati oleh hampir semua penafsir dan para
filosof terkait lainnya. Kita telah melihat dalam analisis yang hebat
ini bahwa hubungan Tuhan dengan emanasi-Nya (yakni eksistensi alam
semesta) tidaklah, dan tak bisa, dengan pengetahuan disengaja, melainkan
hanya melalui pengetahuan melalui kehadiran yang dinisbatkan kepada
Tuhan, yaitu kehadiran dengan identitas yang dicontohkan dalam
pengetahuan Tuhan tentang realitas-Nya sendiri, dan kehadiran dengan
emanasi, semisal pengetahuan tentang Tuhan dalam hubungan dengan
emanasi-Nya. Keduanya adalah pengetahuan dengan kehadiran, sebab dalam
kedua kasus tersebut tidak ada representasi ataupun citra mental yang
menempatkan dirinya di antara realitas hal yang diketahui dan rasa
mengetahui.
Mengenai filsafat pencerahan, sebuah jawaban ringkas
terhadap persoalan bagaimana segala sesuatu lahir dari Tuhan melibatkan
pertama-tama penjernihan ambiguitas dalam kata “pengetahuan”, yang hanya
mungkin berarti pengetahuan dengan representasi. Kita perlu mengganti
“pengetahuan” dengan “kesadaran” agar bisa diterapkan pada ilmu hudhuri,
jika teori pengetahuan dengan kehadiran hendak dipertahankan. Kedua,
sebagai filosof pencerahan, kita harus sepakat dengan pemikiran bahwa
Prinsip Pertama harus sadar akan semua kejamakan ini, di samping efek
pertama yang telah terlebih dahulu disediakan-Nya. Sekalipun demikian,
kenyataannya adalah bahwa karena seluruh jajaran kejamakan di alam
semesta ini, ditinjau dari sudut pandang “kontinuitas” dan
“ketergantungan”, adalah emanasi tunggal yang diperluas[19]
dari Prinsip Pertama, yang seluruhnya diketahui oleh Tuhan dalam
pengetahuan-kehadiran-Nya. Dengan demikian pengetahuan Tuhan tidaklah
melalui representasi ataupun kontemplasi, yang merupakan pengetahuan
dengan korespondensi dan tak punya arti apa-apa sebagai
pengetahuandengan kehadiran.
Pada titik ini saya ingin mengakui kekurangpahaman saya
tentang kritik Thomistik terhadap teori emanasi Ibnu Sina yang
menegaskan: “Kita tidak boleh mnyatakan bahwa dari Prinsip Pertama
–mengingat bahwa Dia tunggal dalam esensi-Nya- hanya lahir satu efek,
dan bahwa dari eujud yang lainlah, sesuai mode komposisi dan
kemampuannya, lahir kejamakan, dan seterusnya.”[20]
Melihat nilai permukaan penafsiran ini, tampaknya ia secara eksplisit
membuatpertanyaan bahwa pendapat Ibnu Sina adalah: karena sumber pertama
adalah kausa efisien yang independen bagi efek pertama, begitu pula
efek pertama juga mesti dihitungsebagai kausa efisien yang independen
terhadap jajaran pertama kemajemukan, dan seterusnya. Dalam
kenyataannya, sebagaimana dinyatakan oleh penafsiran Thomistik terhadap
pendirian Ibnu Sina, ada hierarki efek-efek lain. Dari sini, efek
pertama itu sendiri melahirkan, menurut mode komposisinya, suatu
kemajemukan yang tidak bisa dilahirkan oleh Prinsip Pertama. Karena itu,
Prinsip Pertama tak memainkan peran apa-apa atas seluruh kemajemukan
alam semesta.
Nah, jika inilah yang benar-benar ingin dikatakan oleh Ibnu
Sina, atau siapapun yang mengetengahkan doktrin seperti ini, maka ini
bagaikan senjata makan tuan yang mengingkari seluruh pokok pendapat
teori emanasi yang dicoba untuk ditegakkan oleh doktrin tersebut. Karena
arti emanasi sama sekali tidak menerima kausasi independen. Jika
kemajemukan alam semesta lahir dari suatu wujud selain Dia sendiri, maka
wujud inilah kausa efisien bagi eksistensi kemajemukan, bukan Prinsip
Pertama. Dengan sendirinya wujud independen dalam kausasi seperti itu
tak lagi merupakan emanasi. Sepanjang pengetahuansaya, emanasi dalam
ajaran Ibnu Sina mesti dicirikan oleh keadaannya yang mutlak bergantung
pada sumbernya baik dalam wujud maupun dalam tindakannya. Karena ia
adalah tindak imanen dari sumbernya, maka ia tidak bisa bertindak
sendiri. Menjadi tindak imanen bagi suatu pelaku berarti mutlak hadir
didalam, dan identik dengan, realitas agen itu sendiri. Juga merupakan
aturan bahwa suatu tindak imanen dalam esensinya adalah imanen dalam
semua ciri intrinsiknya, yang di antaranya adalah kausasi yang mesti
dibahas di sini.[21]
Hubungan antara emanasi dan pelaku emanasi, dan
sebalilknya, telah dijelajahi secara filosofis oleh Shadr Al-Din Syirazi
(w. 1050/1640) ketika dia memaparkan bagaimana emanasi pada umumnya
harus dipahami:
Semua eksistensi yang mengambil “kemungkinan” sebagai
modalitas logis mereka, dan semua realitas yang terkait, dan tergolong
kepada Yang Lain, mesti dipandang sebagai nilai-nilai yang berbeda
(i’tibarat) dan sifat-sifat yang berbeda dari eksistensi Wujud Wajib.
Mereka adalah sinar-sinar dan bayangan-bayangan dari Cahaya
Swa-Substantif. Bayangan-bayangan ini,ditinjau dari sudut pandang
individuasinya (huwiyyah), sama sekali tidak independen. Bahkan mustahil
untuk membayangkan mereka sebagai entitas-entitas independen dan tak
tergantung. Hal ini karena ‘sub-ordinasi’ dan keadaan ‘dimiliki oleh’
Yang Lain, maupun kebutuhan dan ketergantungan pada Yang Lain, adalah
seluruh bentuk realitas mereka. Akan tetapi tidaklah benar untuk
menganggap bahwa ada sesuatu dalam esensi mereka yang bertanggung jawab
atas keadaan terkait dengan dan dimiliki oleh Yang Lain, dan dengan
demikian bergantung pada Yang Lain; sama sekali tidak. Alih-alih,
satu-satunya kebenaran yang bisa dibayangkan tentang realitas mereka
adalah dengan menggambarkan mereka sebagai ‘ketergantungan’ murni
terhadap Yang Lain, bahkan bukan sesuatu yang bergantung pada Yang Lain.
Dipahami secara demikian, mereka tak memiliki realitas dalam diri
mereka sendiri yang bisa dibayangkan oleh kemampuan intelektual kita
selain semata-mata sebagai pendudukan dan sub-ordinasi dari satu
Realitas. Dari ini, jelas bahwa tidak ada sesuatupun di dunia realitas
selain Realitas Tunggal. Tiada sesuatu selain ini kecuali sebagai
manifestasi, pameran, perspektif, secara spesifik, berkas sinar,
bayangankecemerlangan, dan penampakan dari kehebatan yang tak terbatas
dari Realitas Tunggal ini.[22]
Atas dasar teori emanasi inilah kami berusaha mendasarkan analisis mistisisme kami.Versi emanasi ini, sebagaimana nyatanya, menyiratkan beberapa tesisi fundamental, yang di antaranya adalah sebagai berikut:
- Masalah ontologi Realitas Tunggal dalam hubungannya dengan ontologi emanasi-Nya.
- Hubungan Prinsip Pertama dengan dunia sebagai emanasi uniter-Nya.
- Hubungan dunia sebagai sebuah emanasi dengan Prinsip Tertingginya.
Dengan meninggalkan persoalan ontologi,[23]
yang mengatur hampir seluruh lapangan metafisika dan terletak jauh di
luar batas kerangka pokok masalah kami, kami boleh memusatkan perhatian
pada masalah kedua dan ketiga dari tiga serangkai ini, dan meletakkan
tekanan khusus pada masalah terakhir, yang merupakan isu pokok dalam
analisis kami tentang mistisisme. Kami akan membahas masalah ini dalam
bahasan berikut.
Emanasi Hanya Bisa Diungkapkan oleh Frase Berpreposisi
Mulai dengan masalah kaitan Prinsip Pertama dengan
kemajemukan alam, apa yang diberikan oleh perspektif emanasi Shadr
Al-Din kepada kita hanya bisa diungkapkan oleh frase berpreposisi
seperti “lahir dari …”, “bergantung pada …”, “diterangi oleh …”, dan
sebagainya. Semua kata yang digunakannya dalam definisi emanasi hanya
berarti, seperti yang kita lihat, tindakan murni dan imanen oleh pelaku
sebagai manifestaasi kebenaran substantif. Jadi bolehlah dikatakan bahwa
realitas emanasi analog dengan arti kata-kata sambung dan
preposisi-preposisi, karena ia tidak punya arti yang jelas yang bisa
didefinisikan dalam dirinya sendiri terpisah dari prinsip substantifnya.Jadi
ia tidak bisa didefinisikan sebagai kata kerja ataupunkata benda,
alih-alih, ia hanya bisa dipahami dari sudut pemahaman Prinsip ini,
sebagaimana halnya sebuah preposisi hanya bisa dipahami dengan tepat dan
bermakna jika kita bisa mengaitkannya dengan kata benda dan kata kerja
yang tepat. Akan tetapi, kebenaran esensial emanasi sepenuhnya terletak
dalam kebenaran sumber substantifnya, dan seluruh realitas tak lebih
dari suatu ekspresi berpreposisi seperti “oleh orang lain”. Dalam
kenyataannya, karena status tindak emanasi pada esensinya bersifat
preposisional, satu-satunya realitas mandiri yang benar-benar ada dalam
sendirinya, dan bisa berfungsi sebagai kata benda substantif yang
kepadanya semua entitas preposisional dikaitkan, adalah satu realitas di
seluruh alam eksistensi. Ini adalah Yang Tunggal yang dirinya sendiri
bukan merupakan tindakan dari prinsip lain, dan karenanya sama sekali
tidak bergantung pada apapun. Ini adalah Prinsip wujud emanatif yang
unik, dan juga merupakan Sebab Pertama dan Sebab dari segala sebab yang
dikatakan oleh Aristoteles.[24]
Garis-garis Emanasi Vertikal dan Horisontal[25]
Dalam teori emanasi tidak ada kemungkinan kehampaan
eksistensial, yakni interupsi ketiadaan antara Sebab Pertama dan hal-hal
ultima yang beremanasi dari Yang Pertama. Karena merupakan manifestasi
dan iluminasi, suatu emanasi, baik yang ada pada peringkat efek pertama
ataupun yang terakhir, seluruhnya dipegang dan bergantung pada prinsip
terdekatnya. Prinsip terdekat ini, jika bukan Yang Pertama, pada
gilirannya niscaya akan bergantung, bersama semua eksistensi bergantung
padanya, pada prinsip terdekatnya sendiri dan seterusnya, sampai mereka
semua tereduksi pada dan lebur dalam Prinsip Pertama eksistensi. Karena
itu, tak perdulisejauh mana kemajemukan sebab dan akibat terjadi menurut
komposisi dan tertib alam semesta, dapat dipastikan bahwa seluruh
kemajemukan itu dirancang sebagai manifestasi tunggal dari Wujud
Swa-Substantif. Dan sebagai bayangan wajah-Nya, ia senantiasa bergantung
sepenuhnya pada cahaya-dari-segala-cahaya-Nya.
Ini menunjukkan bahwa ada suatu garis vertikal yang tak
terputus yang menghubungkan seluruh kumpulan besar emanasi dengan
Prinsip Pertamanya dalam kesatuan eksistensial yang ketat. Ada pula
rantai penghubung horisontal yang padanya segala sesuatu dipandang
berbeda satu sama lain dan dicirikan oleh kemajemukan dalam peringkat,
esensi, spesies, dan individuasi. Kami menyebut garis vertikal tersebut
“tatanan batin” eksistensi, dan garis-garis horisontal tersebut “tatanan
lahir” eksistensi. Tatanan batin berkenaan dengan pengalaman mistik dan
tatanan lahir berkenaan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam
masalah mistisisme, yang bisa dilakukan filsafat hanyalah menjelaskan
penafsiran dan konseptualisasi pengalaman-pengalaman mistik. Karena
bersifat representasional, penafsiran-penafsiran dan
konseptualisasi-konseptualisasi ini akan masuk ke dalam tatanan
penghubung horisontal, sementara pengalaman-pengalaman mistik faktual
selamanya tetap berada dalam dimensi vertikal emanasi dan termasuk dalam
tatanan batin dunia realitas.
Diagram Emanasi
Sebenarnya, apa yang sejauh ini telah disebutkan mengenai
Prinsip Pertama dan kaitan iluminatif-Nya dengan eksistensi dunia
sebagai emanasi-Nya merupakan kosmologi filsafat pencerahan, yang bisa
dilukiskan dengan diagram piramida seperti di bawah ini:
Diagram ini akan disebut sebagai “piramida eksistensi”,
karena dalam sistem ini cahaya eksistensi bersinar dari sumber cahaya
pada puncak menuju ke dasar piramida, yang melambangkan dunia
obyek-obyek material. Sementara semua sinar dan anak panah beremanasi
dari ketunggalan Yang Pertama, tanpa interupsi ketiadaan atau kehampaan,
semuanya memiliki kaitan eksistensi dan kesatuan yang sangat kuat
dengan Prinsip Pertama yang berada di puncak. Akan tetapi, mereka sangat
beragam apabila dipandang berada pada dasar atau pada titik manapun di
antara dasar piramida dengan titik puncak dimana peringkat horisontal
maupun vertikal berkonvergensi dalam sebuah kesatuan tunggal yang
mutlak.
Ada dua jenis keragaman yang berbeda yang mesti dicatat di
sini. Sinar-sianr atau bayangan-bayangan eksistensi ini bisa dibagi oleh
pikiran seorang filosof menjadi berbagai emanasi fragmenter sesuai
derajat kedekatan dengan Prinsip Tertinggi. Namun demikian, pembagian
semacam ini, karena merupakan sekedar refleksi intelektual tentang
gradasi satu hal yang sederhana, tidak mengacaukan kesatuan sederhana
emanasi dengan Prinsip Pertamanya. Mereka juga sesungguhnya terpisah dan
beragam dalam emanasi maupun individuasi, dan seterusnya; akan tetapi
karena pemisahan dan keragaman ini (yang terjadi dalam tatanan
horisontal) tidak terjadi dalam tatanan vertikal –yakni tatanan
kesatuan- maka keduanya tidak menyebabkan perpecahan dan tak pula
mempunyai dampak terhadap sistem batin kelanjutan sinar-sinar dan
kesatuannya dengan Yang Tunggal. Dengan perkataan lain, kejamakan
tatanan horisontal tidak ada pengaruhnya terhadap kaitan kesatuan
vertikal.
Diagram piramida kosmologi pencerahan ini, bersama
pembedaan antara sambungan vertikal dan horisontal di dalamnya, harus
dipertimbangkan dengan serius, tidak hanya dalam filsafat pencerahan
juga dalam setiap analisis filosofis terhadap persoalan mistisisme.
Adalah sangat penting untuk memahami “kesatuan batin” dalam kaitannya
dengan “keragaman lahir” dari diagram ini manakala orang menemukan
pernyataan-pernyataan yang paradoks tentang pengalaman mistik.
Keseluruhan sistem ini juga sangat vital dalam menjelaskan prinsip
Parmenidian yang terkenal tentang “kesatuan dalam perbedaan”, jika
persoalan ini hendak dibahas tanpa kontradiksi. Kontradiksi muncul dari
doktrin disjungtif filosofis yang terkenal dari para filosof yang
menyatakan “ini atau bukan ini” bersama konjungsinya “ini dan bukan
ini”.[26] Untuk semua ini, diagram di atas bisa menjadi jawaban yang jelas.
Akhirnya, diagram di atas diambil sebagai aksioma utama
dalam teori “gradasi” realitas eksistensi, yang padanya aliran filsafat
Islam tentang keutamaan dalam eksistensi didasarkan. Masalah
“univositas” (Univocity)dan variasi gradasi “eksistensi” perlu ditelaah
dalam disertasi tersendiri. Sekarang kita berpaling pada penjelasan dan
penafsiran diagram di atas.
Dengan mengesampingkan masalah filsafat Islam tentang
keutamaan eksistensi, tampaknya perlu untuk agak menekankan pemilihan
kata-kata dan penafsiran filosofis diagramemanasi kita, lebih dari
lambanggrafisnya. Ada berbagai cara dan pendekatan yang dengannya orang
bisa menunjukkan, baik secara logis maupun filosofis, kemungkinan klaim
diagram ini untuk mendemonstrasikan keidentikan eksistensi emanasi
dengan Prinsip Pertama. Hukum “transitivitas” atau “silogisme hipotesis”
adalah salah satu pengekatan yang bisa membantu kita melihat bagaimana
diagram tersebut bekerja. Bentuk logis dari hukum ini adalah:
Seperti bisa kita lihat, hukum ini didasarkan pada implikasi material sebagai penghubung logisnya.
Untuk menerapkan hukum ini pada teori emanasi, orang perlu
mengganti implikasi material dengan gagasan emanasi tentang
“ketergantungan”. Untuk bergantung secara totaol, baik secara sebenarnya
maupun dalam bayangan, pada kebenaran yang lain, berarti dinaungi oleh
dan tercakup dalam kebenaran wujud yang lain. Secara logis, kaitan
eksistensial ini diungkapkan melalui implikasi material, seperti bahwa
kebenaran wujud emanatif secara analitis terdiri atas kebenaran sumber
yang tak dapat dilepaskannya. Karena itu, “ketergantungan” di sini
disepadankan dengan “keadaan tak bisa terlepaskan” (undetachability) dan
“keadaan tak bisa terbedakan” (undistinguishability) emanasi dan sumber
emanasi, baik dalam pemikiran maupun dalam kenyataannya.[27]
Jika argumen ini telah dijelaskan, derajat atau mode
emanasi A yang manapun, pada sebarang titik di bagian bawah diagram,
akan membutuhkan, dengan implikasi material, prinsip terdekatnya B.
Karena B pada gilirannya adalah emanasi yang bergantung dengan cara
yang sama pada prinsipterdekatnya, maka secara logis ia juga
mengimplikasikan prinsipnya sendiri; proses yang sama berlanjut hingga
jajaran emanasi berakhir pada Prinsip Tertinggi C.
Dengan cara ini, mata rantai tak terputus emanasi
ditelusuri kembali dari mode emanasi paling rendah A hingga derajat
menengah B dan akhirnya pada emanasi tertinggi C. Ini adalah cabang
strategi logis transitivitas. Mode-mode dan derajat-derajat emanasi ini,
saling susul menyusul, muncul pada tahap-tahap mereka senciri secara
berbeda dalam pengertian kedudukanhierarkis dan jarak kedekatan dan
kejauhan mereka dari Prinsip Tertinggi. Sekalipun demikian, mereka semua
merupakan satu garis vertikal yang tunggal dan tak terbadi dari dasar
hingga titik puncak piramida emanasi. Karena itu, diagram kita bisa
dibentuk secara begini:
Satu keberatan mungkin akan diajukan terhadap gagasan bahwa
implikasi transitivitas tidak menunjang klaim diagram tersebut. Diagram
itu tidak membutuhkan apapun selain keidentikan eksistensial semua
gradasi dan mode emanasi. Yang bisa dilakukan oleh aturan transitivitas
adalah membantu untuk mengetahui bahwa ada kaitan yang tak terputus
antara derajat mode emanasi A yang paling rendah, melalui sebuah mode
menengah B yang digunakan, dengan Prinsip Tertinggi C.
Akan tetapi,
apakah kaitan ini adalah kaitan keidentikan atau bukan, yang menurutnya
seluruh sistem gradasi emanasi dan Prinsipnya sebagai satu kesatuan
eksistensial, adalah di luar perimeter-perimeter logis silogisme
hipotestis tersebut.
Jawaban terhadap keberatan ini adalah bahwa kaitan
eksistensial antaea suatu emanasi dengan sumber yang darinya ia
dipancarkan, seperti telah kita bahas secara terinci, tak lain adalah
“relasi iluminatif”[28],
yang bersifat uniter dan termasuk dalam tatanan wujud dan bukannya
tatanan konsepsi. Dalam kenyataannya, hubungan uniter inilah yang
menjelaskan henis keidentikan eksistensi yang dimiliki oleh emanasi
dengan Sumber emanasi. Di dalam konteks hubungan uniter ini, kita berhak
menerapkan aturan transitivitas agar bisa melangkah lebih lanjut dari
satu kemunculan hubungan ini pada dasar diagram hierarkis kita ke
kemunculan pada titik puncaknya. Dengan perkataan lain, operasi
implikasi material dalam sistem hubungan-hubungan pencerahandihasilkan
secara logis dalam sejenis kesatuan eksistensial yang bergerak maju dari
kelas emanasi yang lebih rendah hingga ke Sumber Tertinggi kausasi
emanasi iluminatif, tanpa gangguan atau perantaraan yang bersifat
tambahan.
Ada pula pendekatan lain terhadap logika diagram tersebut,
yakni doktrin filosofis Islam tentang “kesatuan kontinuitas”, yang
dengannya kita mampu membuktikan bahwa setiap liner yang kontinu dan tak
terputus didominasi oleh suatu kesatuan eksistensial. Kami akan
membahas tesis ini secara rinci, manakala kita sampai pada pembahasan
tentang gagasan penyerapan dan peniadaan (fana).
Arti Kehadiran Tuhan di Alam Semesta
Mengingat sistem kosmologi yang sedang kita bicarakan, isu
yang muncul sekarang adalah bahwa hubungan Prinsip Pertama dengan dunia,
sebagai emanasi-Nya, sangat analog dengan hubungan emanatif diri dengan
keadaan-keadaan pribadinya. Sepanjang menyangkut ilmu hudhuri,
pengetahuan Tuhan tentang alam semesta sebagai tindak emanatif-Nya
termasuk dalam jenis pengetahuan yang sama dengan pengetahuan diri
mengenai penginderaan dan imajinasinya. Seperti telah kita lihat dalam
bab-bab terdahulu, diri mengenal dirinya sendiri melalui kehadiran dalam
pengertian swaidentitas, dan juga mengenal keadaan-keadaan pribadinya
melalui kehadiran, yang dipahami dalam pengertian pencerahan dan
supremasi, yang disebut kehadiran dengan emanasi. Di sini, dalam bab
ini, kita sampai pada pembagian ilmu hudhuri yang sama –kehadiran dengan
keidentikan dan kehadiran dengan emanasi. Karena kami telah menunjukkan
bahwa pengetahuan Tuham tentangdiri-Nya tak mungkin berbeda dengan
kehadiran realitas tentang Diri-Nya kepada Diri-Nya, dan tak mungkin
melalui representasi Diri-Nya kepada Diri-Nya sendiri. Dan pengetahuan
Tuhan tentang alam semesta sebagai emanasi-Nya adalah juga dengan
kehadiran eksistensi-Nya di alam semesta, namun dimanifestasikan dalam
pengertian [encerahan dan supremasi atas eksistensi emanatif alam
semesta. Karena, seperti dikatakan oleh Nashir Al-Din Thusi, Tuhan
sendiri adalah sebab bagi alam semesta, danpengetahuan Tuhan tentang
diri-Nya, yang adalah sebab dari pengetahuan-Nya tentang alam semesta,
adalah mutlak satu dan sama, maka karenanya, eksistensi alam semesta
sebagai efek Tuhan, dan pengetahuan Tuhan akan eksistensi tersebut
sebagai efek pengetahuan-Nya tentang diri-Nya, juga mutlak satu dan
sama. Ini berarti pengetahuan Tuhan tentang alam semesta hanya bisa
melalui kehadiran dalam pengertian pencerahan dan emanasi.[29]
Kesimpulan keseluruhannya adalah bahwa pengetahuan Yang
Tunggal tentang tindak wujud pencerahan-Nya adalah melalui kehadiran-Nya
dalam wujud tersebut dalam pengertian kehadiran melalui emanasi.
Kehadiran melalui emanasi pada gilirannya adalah keefektidan dan
supremasi satu wujud atas wujud yang lain, dengan cara yang persis sama
seperti pada supremasi imanen diri atas imajinasi dan keadaan-keadaan
pribadinya.
Status Mode Emanasi
Menurut pendapat saya ada sebuah argumen yang dirancang
untuk memperoleh secara umum modalitas sebuah konsep dalam kaitannya
dengannilai kebenarannya dan pertimbangan akan eksistensinya, baik
konsep tersebut [30]bersifat
empiris, transendental, atau sekedar ilusi. Dengan perkataan lain,
asalkan ada sesuatu sebagai subyek dalam bentuk eksistensi proposisi,
kita mampu merancang struktur mode proposisi seperti itu dan memutuskan
apakah subyek itu bersifat “wajib”, “mungkin”, atau “mustahil”. Sebagai
contoh, marilah kita pertimbangkan konsep transendental tentang Tuhan
dibandingkan dengan konsep predikatif eksistensi dari sudut oandang
argumen ini.
Dengan meletakkangagasan Tuhan sebagai subyek, dan makna
eksistensi sebagai predikat, kita memperoleh proposisi yang lengkap
dalam bentuk:
“Tuhan ada”
Kemudian, dari sudut pandang modalitas, pernyataan ini ditundukkan kepada pertanyaan:
Apakah eksistensi Tuhan bersifat wajib, mungkin,
atau mustahil? Manakala dua dari tiga alternatif itu -dalam kasus
eksistensi Tuhan, kemungkinan dan kemustahilan- dikesampingkan, maka
satu yang tersisa disimpan sebagai nilai kebenaran modalitas proposisi
tersebut. Dengan demikian pernyataan tersebut menjadi:
“Tuhan pasti ada”.
Prosedur pengambilan keputusan yang sama bisa dengan mudah
dilakukan untuk setiap konsep yang hadir dalam pikiran kita, apakah
melalui pengalaman indera kita, akal kita, atau imajinasi kita. Jika
demikian halnya, maka secara logis adalah sah untuk mengatakan bahwa
segala sesuatu, tak soal apakah ia berada dalam tatanan esensi atau
tatananeksistensi, adalah wajib, mungkin, atau mustahil.
Ini sama
artinya dengan generalisasi bahwa semua bentuk dan derajat eksistensi
akan masuk ke dalam pertimbangan yang sama tentang modalitas sebagaimana
semaua ragam esensi pada umumnya.
Mesti dicatat bahwa kesahihan argumen ini didasarkan pada
pemahaman eksklusif atas alternatif ini, karena telah ditentukan dalam
filsafat ini bahwa semua istilah primitif ini (yakni kestian,
kemungkinan dan kemustahilan) berkontradiksi secara triadik. Karena
kemungkinan adalah penafian kepastian dan kemustahilan adalah lawan
kemungkinan. Sesuatu yang mungkin adalah sesuatu yang eksistensinya
tidak pasti, sama halnya, eksistensi suatu wujud yang mungkin tidaklah
mustahil.[31]
Dalam kenyataannya, masing-masing pasangan bisa direduksi dan
diterjemahkan menjadi bentuk umum ‘pv-p’, yang berarti hukum pertengahan
yang dikecualikan.[32]
Dinyatakan secara demikian,maka secara logis adalah mustahil bahwa
suatu konsep, apapun konsep itu, akan pernah sepenuhnya berada di luar
alternatif eksklusif ini. Adalah mustahil pula sebuah konsep bisa
mengambil lebih dari satu alternatif ini. Artinya, setiap konsep harus
(“setidaknya” dan “sedikitnya”) dikualifikasi oleh satu dari
bentuk-bentuk modalitas primitif ini.
Dalam bahasa logika Islam, jenis pergantian ini disebut “disjungsi sempurna” (al-munfashilatal-haqiqiyyah),[33]
yang berarti behwa “setidaknya dan sedikitnya” salah satu dari
konjungsi tersebut adalah benar. Disjungsi sempurna mesti dibedakan dari
dia disjungsi tak sempurna. Perbedaan ini paling baik dijelaskan dengan
menjelajah lebih jauh ke dalam stuktur disjungsi-disjungsi. Pertama,
ada disjungsi dimana “setidaknya” salah satu disjungsinya benar, tetapi
semuanya juga boleh jadi benar. Ini dinamakan ‘disjungsi inklusif’
(mani’at al-khuluw).[34]Kedua,
ada disjungsi lain dimana “sedikitnya” salah satu disjungsi adalah
benar, meskipun mungkin tak satupun di antaranya yang benar. Ini
dinamakan ‘disjungsi restriktif’ (mani’at al-jam’).[35]
Disjungsi sempurna bisa dicontohkan oleh dua atau lebih disjungsi yang
eksklusif. Sebuah contoh dari dua disjung eksklusif adalah:
“Setiap angka adalah bilangan ganjil atau genap”
Yang menyiratkan bahwa tak ada angka genao dan sekaligus ganjil, dan juga tidak ada angka yang tak ganjiltapi juga tak genap.
Tabel kebenaran dari ketiga bentuk disjungsi tersebut bisa dilihat dalam diagram ini:
Pola disjungsi sempurna yang sama bisa dicontohkan dalam sebuah rumus tiga-disjungsi seperti ini:
“Segala sesuatu adalah pasti, mungkin, atau mustahil”[36]
Menurut pengertian eksklusif disjungsi sempurna, pernyataan
ini dianggap berarti bahwa (“setidaknya dan sedikitnya) satu, dan hanya
satu, dari predikat-predikat modal ini yang benar mengenai sesuatu hal.
Bentuk tiga-disjungsi dari disjungsi sempurna busa
diterapkan pada sifat entitas emanatif, dimana kita berhak membedakan
secara intelektual antara esensi dan tindakan eksistensi dari entitas
tersebut. Dengan mengesampingkan masalah esensialitasnya, kita sampai
pada titik dimana kita bisa mengarahkan pertanyaan disjungtif kita pada
eksitensi murni emanasi yang dilahirkan dari sumber.
Akan tetapi,
pertanyaan tersebut bukanlah apakah suatu wujud seperti diri adalah
pasti, mungkin atau mustahil. Sebaliknya, pertanyaan tersebut hanya
terkait dengan eksistensi aktual diri karena ia telah secara spesifik
keluar dari sumbernya, tanpa memandang esensialitas-esensialitasnya,
yang termasuk dalam tatanan definisi konseptualnya. Pertanyaan tersebut
menanyakan apakah bentuk atau derajat eksistensi seperti itu bisa
dikualifikasikan oleh kepastian, kemungkinan atau kemustahilan. Dengan
perkataan lain, jika sifat eksitensial suatu emanasi dipandang sebagai
sesuatu yang berbeda dari esensi, maka apakah nilai kebenaran bagi
modalitasnya?
Tentu eksistensi seperti itu tidak bisa ditempatkan di
jajaran Wujud Wajib yang tidak mempunyai kaitan kausal dengan apapun.
Makna emanasi itu sendiri menyiratkan bahwa emanasi adalah satu bentuk
eksistensi yang diduga telah lahir dari wujud lain yang bertindak
sebagai sumber kausasinya, atau sebagai sumber emanasinya.[37]
Karena itu, kemungkinan bahwa suatu eksistensi emanatif adalah Wujud
Wajib bisa dikesampingkan. Demikian pula, gagasan bahwa ia bisa dihitung
sebagai kemustahilan logis juga harus dibuang. Akan tetapi tidak ada
alasan untuk membuat suatu bentuk eksistensi yang dicirikan oleh
kualitas-kualitas positif seperti itu sebagai mustahil. Dalam
kenyataannya, perenungan terhadap semua implikasi yang membenarkan
perujukan kepada suatu bentuk eksistensi sebagai emanatif memungkinkan
kita untuk memutuskan bahwa hipotesis ini tidaklah kontradiktif.
Satu-satunya alternatif yang bisa dipertimbangkan berkenaan dengan
eksistensi suatu emanasi adalah kemungkinan. Maksudnya, tidak ada
alternatif selain mengambil pandangan bahwa eksistensi seperti itu pasti
memiliki modalitas kemungkinan. Lebih spesifik lagi,kita harus
memandang emanasi sebagai wujud yang mungkin.
Satu kesulitan besar muncul dari kesimpulan ini: Apakah
arti kemungkinan dalam kaitannya dengan persoalan eksistensi emanasi?
Bagaimanapun juga, emanasi dianggap sebagai mode intensif eksistensi
yang telah datang ke dunia realitas tanpa perantaraan waktu dan materi.[38]
Jika begitu, apa kiranya arti kemungkinan jika diterapkan pada
persoalan eksistensi emanasi? Adalah layak untuk meneliti apakah
penerapan kemungkinan terhadao konsep universal emanasi membuat suatu
wujud hipotetis menjadi mungkin. Akan tetapi, apakah benar-benar berarti
untuk mengatakan bahwa suatu bentuk khusus eksistensi emanatif yang
benar-benar eksis, betapapun rendah derajat emanasinya, adalah
eksistensi yang mungkin? Sekali lagi, suatu esensi, jika dilawankan
dengan suatu eksistensi, bias betul-betul dikatakan sebagai wujud yang
mungkin, karena ia netral secara eksistensial (quidditas tantum). Dengan
perkataan lain, ia bias masuk ke dalam cahaya eksistensi berkat kausasi
dari sumbernya, dan ia berhenti eksis manakala sumber tersebut menarik
diri dari kausasi. Untuk mencirikan suatu esensi sebagai mungkin adalah
cara lain untuk merenungi keadaan netralitasnya antara masuk ke dunia
realitas dan tidak eksis di dunia tersebut. Karena itu, makna esensi itu
sendiri adalah netral secara eksistensial.[39]
Sekalipun demikian, dalam term-term penafsiran Ibnu Sina
tentang kemungkinan, bagaimana mungkin emanasi yang merupakan suatu
bentuk tunggal eksistensi, dikatakan “netral secara eksistensial?”
Dapatkah suatu derajat eksistensi dalam bentuk emanasi menjadi netral
secara eksistensial? Jika masalah yang dibicarakan adalah emanasi, yang
dianggap sebagai cahaya murni eksistensi yang muncul dari sumber
realitas, maka bagaimana bias dipahami jika kita memodifikasinya menjadi
frase predikatif “netral secara eksistensial”?
Banyak yang harus dikatakan tentang masalah hubungan
esensi-eksistensi, tetapi sebagian besar masalah ini tidak menjadi pokok
perhatian kita dalam pembicaraan ini, yaitu kemungkinan eksistensial.
Hanya ada satu hal penting yang mungkin agak menjelaskan masalah yang
sedang dibahas, yaitu perbedaan antara apa yang secara eksistensial
netral dan apa yang tidak. Pada umumnya telah dipahami bahwa suatu
esensi bias tunduk kepada disjungsi “ini atau bukan ini”, karenanya, ia
secara eksistensial netral dalam pengertian “ketundukan” kepada
disjungsi ini. Di lain pihak, eksistensi tidaklah tunduk kepada
disjungsi ini dan tidak pula, karena itu, kepada non-eksistensi (yakni
“bukan ini”). Berdasarkan ini, esensi dicirikan oleh netralitas
eksistensial dan eksistensi oleh keadaan pasti dengan sendirinya.
Dengan asumsi bahwa arti kemungkinan adalah keadaan
seimbang antara eksistensi dan non-eksistensi, yang merupakan makna
disjungsi di atas, dan lebih lanjut, dengan asumsi bahwa arti emanasi
diajukan untuk menggantikan “X” dalam argument beriktu: “X adalah bentuk
eksistensi, tetapi apakah X secara eksistensial netral?”, maka ini
menjadi pertanyaan yang menghancurkan posisinya sendiri seperti halnya
pertanyaan “X adalah empat persegi panjang, tetapi apakah X netral dalam
hal memiliki empat sisi?”
Dari sini, meskipun modalitas kemungkinan adalah
satu-satunya modalitas yang bias dibayangkan untuk eksistensi emanasi,
implikasi netralnya tidak berarti sebagai pencirian jenis eksistensi
ini. Jadi, pertanyaan yang penting adalah: Apakah modalitas dari
eksistensi murni yang disebut emanasi itu?
Argumen ini membawa kita kepada regeneralisasi yang
konklusif bahwa modalitas kemungkinan, dalam pengertian primitifnya,
tidak lagi bias dirujukkan dengan bagian eksistensial sebarang bentuk
wujud yang mungkin, baik wujud emanatif maupun wujud non-emanatif,
artinya, baik emanasi itu ada atau tidak. KOnsekuensinya, kita tidak
bias bersandar pada argumenmodal ini untuk membuat keputusan mengenai
spesies-spesies eksistensi alam semesta pada umumnya. Satu-satunya
manfaat yang bias kita peroleh dari argument ini adalah pengetahuan
bahwa kita tidak bias meninggalkan sifat eksistensial alam semesta dalam
keadaan tanpa keputusan dan ketentuan dari sudut pandang modenya. Jika
kita melakukannya, yakni jika kita meninggalkan keadaan eksistensi alam
semesta tanpa keputusan, maka hal itu akan merupakan rongrongan terhadap
hokum “disjungsi eksklusif” dan, dalam satu hal, pada akhirnya
rongrongan terhadap hokum “pertengahan yang dikecualikan”. Pertanyaan
asal menyangkut status eksistensial suatu emanasi meluas
manakaladitanyakan tentang struktur alam semesta in toto. Artinya.
Pertanyaan ini tidak bisalagi dipandang sebagai isu terbatas menyangkut
status emanatif diri. Sebaliknya, ia adalah hal yang paling mendasar
yang berkaitan dengan masalah utama ontology dunia realitas secara
keseluruhan.
Dalam situasi dan kondisi ini kita didorong pada situasi
dimana kita harus membedakan antara dua spesies kemungkinan. Yang
Pertama adalah kemungkinan yang mencirikan sifat esensial wujud sebagai
berbeda dari eksistensinya. Kemungkinan ini, tentu saja, termasuk dalam
tatanan esensi dan dianggap berarti bahwa suatu esensi adalah netral
secara eksistensial. Yang kedua, adalah kemungkinan yang mengkualifikasi
konstitusi eksistensi diri setiap bentuk wujud yang muncul dari yang
lain. Arti kemungkinan ini tidaklah netral secara eksistensial karena ia
berarti suatu hubungan positifantara eksistensi derajat yang lebih
tinggi dengan yang lebih rendah. Kemungkinan pertama disebut “esensial”,
dan yang kedua “eksistensial”, menurut pokok masalah yang sedang
dibicarakan.
Pada persimpangan ini dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan “kemungkinan eksistensial” yang berbeda dari “kemungkinan
esensial” tak lain adalah “ketergantungan satu eksistensi” pada yang
lain,[40]
karena kemungkinan esensial adalah keadaan seimbang berkenaan dengan
eksistensi dan non-eksistensi. Dengan demikian kebenaran logis suatu
wujud yang mungkin mesti didefinisikan sebagai wujud yang boleh ada
ataupun tidak. Inilah arti netralitas eksistensial esensi yang bias
dibayangkan.[41] Kemungkinan eksistensial berarti ketergantungan total kepada yang lain.
Shadr Al-Din Syirazi, pendiri filsafat Islam tentang
keutamaan eksistensi serta yang pertama menggagas kemungkinan
eksistensial, menjelaskan arti kemungkinan ini:
Kemungkinan esensi murni, yang dari konsep
tentangnya semua implikasi eksistensi ditarik, terdiri dari penafian
kepastian wujud; bersama penafian kepastian tak wujud, dengan merujuk
kepada bias dibayangkannya esensi tersebut dalam dirinya sendiri.
Tetapi, mengenai kemungkinan realitas bahwa
eksistensi-eksistensi itu sendiri, ia mesti dianggap berarti bahwa
realitas eksistensi-eksistensi ini mutlak berkaitan dengan, dan
bergantung pada, realitas lain, sedemikian sehingga mereka hanya bisa
dibayangkan dalam batas-batashubungan murni dengan realitas substantive
eksistensi yang lain.
Dengan demukian realitas
eksistensi-eksistensi yang mungkin hanya bersifat proporsional dan hanya
bias dipahami dari sudut pandang radiasi eksistensi yang lain. Tambahan
lagi, mereka kosong daei suatu pengertian kemandirian baik dalam
konsepsi maupun dalam kebenaran factual.
Tidak demikian halnya jika yang
diperbincangkan adalah suatu esensi universal. Meskipun benar bahwa
esens-esensi tidak berarti apa-apa sebelum terlibat dalam suatu derajat
eksistensi, namun mereka tetap merupakan entitas-entitas yang bias
dibayangkan dalam diri mereka sepanjang orang bias menghadirkannya dalam
pikirannya …Ini berarti bahwa, di samping realitas
eksistensi-eksistensi, kemungkinan untuk untuk membayangkan
esensi-esensi tidak harus bergantung pada wujud yang lain sebagai
fungsi-fungsi proporsionalwujud itu. Pengertian konseptual kemandirian
inilah yang memungkinkan kita untuk mengarahkan pikiran kita kepada
esensi-esens idan membuat penilaian berkenaan dengan bagaimana mereka
identik dalam diri mereka sendiri dan bagaimana mereka berbeda satu sama
lain.[42]
Perkembangan filosofis yang sama terjadi dalam masalah
eksistensi Tuhan dan “kepastian eksistensial”-Nya jauh sebelum penemuan
kemungkinan eksistensial ini terjadi. Adalah Ibnu Sina yang mengambil
inisiatif mengajukan pertanyaan: Apakah arti “kepastian” dalam Tuhan
jika Dia tidak memiliki esensi atau jika esensi-Nya mutlak bersatu
dengan eksistensi-Nya? Jawabannya terhadap pertanyaan ini sekali lagi
merupakan sebuah belokan dari arah kepastianesensial ke kepastian
eksistensial, yang disebut olehnya “kepastian mutlak”, dan oleh
murid-muridnya disebut “kepastian abadi”, untuk membedakan dengan cermat
antara kedua kepastian tersebut. Dalam Logika-nya, Ibnu Sina menulis:
Sedangkan mengenai modalitas “kepastian”,
modalitas ini “mutlak”, seperti pernyataan kita (ketika berbicara
tentang Tuhan)”Tuhaneksis”, atau “bersyarat”. Syarat ini adalah durasi
eksistensi suatu esensi, seperti kita mengatakan: “Manusia pasti adalah
makhluk rasional”. Dengan ini kita tidak bermaksud mengatakan bahwa
manusia secara abadi dan kekal adalah makhluk yang rasional, sebab jika
kita mengatakan begitu, penilaian ini menjadi salah dalam kaitannya
dengan kenyataan bahwa tak ada individual manusia yang abadi.
Sebaliknya, dengan pernyataan seperti itu, kita harus memaksudkan bahwa
manusia, dengan mempertimbangkan wujudnya dalam eksistensi, dan
sepanjang esensinya menjadi obyek yang eksis, adalah makhluk yang
rasional.[43]
Pembedaan antara dua jenis kepastian ini dilukiskan dengan
jelas oleh penafsir Ibnu Sina yang paling masyhur, Nashir Al-Din Thusi
dalam wacana berikut:
Dia (Ibnu Sina) sekarang membicarakan
berbagai jenis kepastian. Mula-mula ia membagi kepastian menjadi
kepastian mutlak dan kepastian bersyarat.
Dengan kepastian mutlak yangdimaksudkannya
adalah jenis penilaian kebenaran yang abadi tak bersyarat tanpa
kondisi-kondisi yang ditetapkan ataupun kemungkinan penafian …
Kemudian dia menyebutkan kepastian-kepastian
bersyarat ini. Yakni kepastian yang disyaratkan oleh eksistensi esensi
subyek yang dinyatakan dalam suatu penilaian (yakni kepastian esensial)
dan yang disyaratkan oleh eksistensi kualifikasi-kualifikasi subyek
tersebut …[44]
Realitas Suatu Emanasi adalah Preposisional
Argumen di atas sejauh ini telah membawa kita dari
disjungsi sempurna kepada titik dimana kita bias mengatakan bahwa
satu-satunya modalitas yang bias diterapkan pada kebenaran eksitensial
suatu realitas emanatif adalah kemungkinan eksistensial. Sekarang tiba
waktunya untuk menjelaskan bahwa suatu emanasi, dengan watak
eksistensinya sendiri, adalah realitas yang secara kontinu “terserap”.
Bagi suatu emanasi, eksis berarti perwujudan keadaan ditopang oleh yang
lain dan dipertahankannya keadaan ketergantungan kepada yang lain.
Artinya, ia tidak akan pernah bias dilepaskan dari sumbernya dan berdiri
sendiri sebagai entitas yang mandiri, baik dalam pikiran maupun dalam
dunia realitas.
Tidak benar untuk mengatakan, atas dasar penafsiran yang
salah, bahwa suatu eksistensi emanatif bias muncul dari sumber-sumbernya
dan bias terus eksis tenpa ketergantungan eksistensial pada sumber
wujudnya. Penafsiran yang salah tentang kemungkinan ini akan berarti
bahwa suatu eksistensi yang mungkin adalah mungkin jika, dan hanya jika,
ia belummasuk ke dalam eksistensi melalui sumbernya. Akan tetapi,
segera setelah eksistensi mungkin yang sama masuk ke dalam dunia
realitas, ia akan mengubah status dasarnya dari status kemungkinan
esensial dan eksistensial menjadi suatu kepastian esensial dan
eksistensial. Artinya, ia tidak lagi menjadi yang mungkin, melainkan,
dalam kelanjutan eksistensinya, akan menjadi Wujud yang Wajib.[45]
Gagasan kemungkinan ini sama sekali tidak sahih sebab jika
suatu wujud, meskipun untuk saat yang sangat singkat dalam kelanjutan
eksistensinya tidak membutuhkan dan tidak bergantung pada sumbernya,
maka berarti wujud itu, pada saat yang singkat tersebut, adalah wujud
yang mencukupi diri sendiri tanpa memiliki basis untuk mewujud. Apapun
bentuk wujud yang mencukupi diri sendiri itu, ia per definisi harus
berarti suatu eksistensi wajib yang berlandaskan pada diri sendiri.
Jadi, eksistensi ini, meskipun pada saat tersebut tetap ada dalam
eksistensi, tak lagi merupakan emanasi dan telah menjadi suatu Wujud
Wajib yang eksistensinya tidak bersandar pada wujud lain. Namun emanasi
pada definisinya adalah suatu bentuk yang muncul dari dan ditopang oleh
wujud yang lain, baik dalam memasuki eksistensi maupun dalam melanjutkan
eksistensinya.
Menyangkut masalah ini, muncul sebuah pertanyaan
metafisika: Mengapa wujud tertentu, katakanlah alam semesta, bersifat
mungkin dan wujud yang lain, katakanlan Tuhan, bersifat Wajib?
Jawabannya adalah bahwa tabiat wujud yang pertama itu sendiri adalah
bergantung pada dan ditopang oleh yang lain, sedangkan tabiat wujud yang
kedua adalah mutlak tanpa dasar dan mandiri. Oleh karena itu, perluasan
analogishubunganencangan dengan perancang, atau bangunan dengan
pembangunannya, kepada hubungan emanatif antarapencipta dan yang
diciptakan secara logis adalah salah dan secara pedagogis memperdaya.[46]Pertama-tama,
tindak emanasi tak syak lagi adalah tindakan yang bersifat transitif.
Lebih lanjut, seperti telah kami katakana sebelumnya, ketika kita
berbicara tentang emanasi, kita tidaklah berurusan dengan suatu wujud
yang dibentuk oleh hubungan esensi-eksistensi, melainkan dengan entitas
sederhana dan tak terbagi-bagiitu sendiri, yang keseluruhan hakikatnya
dikenal sebagai menifestasi sumber wujud. Inilah arti keadaan
preposisional wujud yang menjadi cirri realitas wmanasi.Sesuatu yang
sederhana dan tak memiliki identitas atau realitas yang bias
didefinisikan kecuali sebagai kemunculan dari dan manifestasi dari wujud
lain hanyalah kebenaran yang mungkin, dan bisa dibayangkan dalam
pikiran, jika ia diadakan oleh yang lain. Adalah suatu emanasi yang
palsu, dan juga bayangan palsu cahaya, seandainya kita membayangkan yang
disebut pertama sebagai realitas distingtif dan yang kedua sebagai
cahaya sejati dalam dirinya sendiri.
Pertanyaan bagaimana entitas seperti itu bisa, dari sudut
pandang yang lain, dikatakan secara esendial berbeda dan secara
horizontal beragam adalah analog dengan pertanyaan tentang bagaimana
suatu entitas preposisional bisa dibicarakan dan didefinisikan berbeda
bentuk dari kata benda, kata ganti, kata kerja, dan kata sifatnya, dan
sebagainya. Jawaban terhadap pertanyaan seperti itu adalah bahwa manakal
kita berbicara tentang suatu preposisi, katakanlah kata “dari”, dan
menguraikannya dalam pengertian “kata yang digunakan untukmemperkenalkan
tempat, titik, orang, dan sebagainya, yang merupakan titik tolak”,
kita, tak syak lagi, sedang berbicara tentang preposisi dalam pengertuan
yang sangat penting; tetapi pada tahap bahasa yang khusus ini kita
tidak menggunakan ungkapan “dari” dalam fungsi preposisionalnya yang
asli dalam kalimat semisal “kucing itu meloncat dari tembok”, maka ia
secara sangat definitive berfungsi sebagai preposisi yang sebenarnya.
Kali ini, meskipun ia secara implicit digunakan dan dimaksudkan setepat
dan seakurat mungkin, ia tidak diletakkan sebagai obyek langsung
perhatian kita. Sebaliknya, dalam hal ini ia menjadi pengikat seluruh
struktur kalimat kita, yang tanpanya makna bahasa kita akan berantakan.
Di sini, konseptualisasi mandirinya sama sekali belum dibicarakan.
Dengan perkataan lain, sekalipun ia dipakai dengan artinya yang tepat
dalam kalimat tersebut, ia tidak dibicarakan dalam kalimat itu. Jika
melalui konseptualisasi, ia diletakkan dalam bentuk entitas yang mandiri
untuk dibicarakan sebagai subyek pembahasan, maka ia sepenuhnya
kehilangan arti preposisionalnya yang semula dan diangkat ke keadaan
yang memiliki arti agak seperti kata benda. Akan tetapi, berbicara
tentang preposisi berarti menggunakan bahasa introspektif, dan cukup
indikatif bagi penggambaran dan prestasi definisinya serta semua
esensialitas penilaian gramatikalnya sepanjang menyangkut arti
teoritisnya.
Analogi ini, meskipun secara primer bersifat linguistic,
secara logis akan tampak cukup menguntungkan sebagai pernyataan masalah
linguistik tentang sifat preposisional emanasi, kemiripannya dengan
entitas-entitas preposisional dalam bahasa, dan kesulitan serta solusi
yang sama-sama dimiliki oleh keduanya.[47]
Penyerapan sebagai Bentuk Turunan Emanasi
Saya harap sampai di sini, hingga tingkat tertentu, telah
jelas bahwa deskripsi tentang cara-cara untuk menjelaskan arti emanasi
sudah cukup untuk mengajukan bagaimana kebenaran preposisionalnya –oleh
yang lain- mesti dipahami. Dengan cara ini kita juga sampai padaposisi
untuk memahami bagaimana menggunakan kata “penyerapan” dan “peleburan”
yang begitu sering digunakan dalam yang lain tidak tampak aneh, atau
dengan kata yang lebih kuat, tak terbayangkan. Penyerapan atau peleburan
ke dalam sumber wujud dalam pengertian ketergantungan pada dan ditopang
oleh yang lain dengan sendirinya bukan merupakan pemenuhan aksidental
yang mesti dicapai oleh seorang mistikus melalui pengalaman-pengalaman
mistiknya. Akan tetapi, merupakan seluruh sifat eksistensial dan nilai
kebenaran diri sebagai eksistensi emanatif murni yang mesti diserapkan
ke dalam yang lain. Eksistensinya sendirilah yang bahkan tak mungkin
dipikirkan, kecuali dari sudut pandang pemikiran tentang sumbernya, yang
merupakan landasan substantif bagi wujud.
Suatu keberatan mungkin dimunculkan menyangkut alur
penalaran ini karena kenyataan bahwa kita selalu bisa berpikir tentang
kedirian kita tanpa tergantung pada pemikiran tentang sumber apapun,
mengingkari kesahihan analisis tentang kedirian sebagai eksistensi
emanatif murni yang terserap di dalam yang lain. Seandainya diri, karena
ketergantungan totalnyapada yang lain, bahkan tidak bisa dipahami dan
dipikirkan secara mandiri, maka akan mustahil bagi kita untuk memiliki
kesan mengenai kedirian kita sendiri. Namun kenyataan bahwa kita
betul-betul memiliki gagasan tentangkedirian kita secara sendiri menjadi
alasan yang cukup untuk mempercayai bahwa diri tidak sepenuhnya
bergantung pada yang lain dalam pengertian eksterm penyerapan ini.
Karena itu, diri bukanlah eksistensi emanatif.
Jawaban filsafat pencerahan terhadap keberatan ini adalah
bahwa apa yang disebut kesan tentang kedirian ini adalah diri
introspektif yang muncul dalam pikiran melelui konseptualisasi dan
introspektif kebenaran performatif faktual diri. Diri emanatif adalah
siri performatif yang berbicara, merasa,berpikir, berkeinginan, menilai,
membuat keputusan dan memiliki penginderaan, imajinasi, serta
inteleksi. Di samping itu, diri mengenal semua tindak dan kekuatan
sadarnya. Diri performatif adalah diri yang selalu bertindak dan
mempersepsi dan tak pernah ditindaki atau dipersepsi, baik oleh dirinya
sendiri ataupun oleh yang lain, kecuali melalui konseptualisasi. Setiap
orang bisa, melalui ontrospeksi, mengkonseptualisasi realitas faktual
kediriannya sendiri maupunkedirian orang lain. Meskipun dengan adanya
pemahaman ini, kita tak boleh menyatakan bahwa kesan kita tentang diri
adalah realitas diri itu sendiri atau bahkan presentasi yang nyata dan
setia tentangnya. Analogi yang baru saja ditarik antara realitas diri
sebagai eksistensi emanatif dan rujukan obyektif ungkapan-ungkapan
preposisional menjadikan masalah ini agak lebih jelas.
Jika kita membuat sebuah pernyataan pedagogis dengan
mengatakan, misalnya frase “oleh yang lain” adalah frase preposisional,
maka frase “oleh yang lain” sebagai pokok pembicaraan dari pernyataan
khusus ini, tidak digunakan dalam makna yang seharusnya. Ini sama sekali
bukanlah contoh pengganti dari sebuah preposisi; dan karenanya, ia
tidak bisa menjafi representasi sejati dari realitas obyektif frase
“oleh yang lain”. Akan tetapi, ia hanyalah konseptualisasi ontrospektif
dari realitas yang kita bicarakan dalam situasi dan kondisi faktual
bahasa kita sehari-hari. Tetapi jika saya mengatakan, dalam contoh yang
normal, bahwa “saya duduk di dekat jendela”, atau “saya bergantung pada
orang lain’, maka saya telah menggunakan preposisi-preposisi ini dengan
makna obyektifnya. Ini karena nilai kebenarannya dijelaskan okeh
contoh-contoh tertentu dan bukan oleh generalisasi dan konseptualisasi.
Jika suatu emanasi, misalnya diri, hanya bisa dungkapkan
dalam term frase preposisional –misalnya “oleh yang lain” atau “pada
yang lain”, maka keberadaan obyektifnya, seperti halnya setiap preposisi
yang lain, juga tidak akan bisa dimengerti jika tidak diserap dalam
arti prinsipnya. Seperti baru saja kita pahami, suatu introspeksi dan
representasi frase preposisional adalah distorsi penuh dan, dalam satu
hal, falsifikasi kebenaran obyektif dari entitas linguistik semacam itu.
Demikian pula, suatu introspeksi diri adalah representasi yang bersifat
ilusi dari realitas eksistensialnya, dan tak bisa dipandang sebagai
representasi yang sejati. Dalam bahasa pencerahan, kata “bersifat ilusi”
seringkali digunakan dengan maksud demikian, yaitu mengkonseptualisasi
dan menafsirkan kebenaran uniter dari realitas yang tidak akan pernah
bisa direpresentasikan secara benar dan persis.[48]
Dalam bab sebelumnya kita lihat Suhrawardi mengingkari
dengan sangat jelas, kemungkinan bahwa diri bisa mengetahui dirinya
sendiri, apalagi oleh yang lain, melalui representasi. Dengan demikian
kesan independen yang mungkin kita peroleh dari kedirian diri kita
sendiri tidak akan pernah mencirikan nilai kebenaran diri selagi ia
eksis di dalam yang lain. Realitas ini, seperti telah kita lihat dalam
bab-bab sebelumnya, hanya bisa disadari melalui pengetahuan dengan
kehadiran.
Olah karena itu, kesimpulan saya adalah bahwa suatu entitas
emanatif semisal diri, yang kebenaran tentangnya bisa dikatakan analog
dengan nilai kebenaran suatu kata sambung atau preposisi, tidak bisa
secara akurat dibayangkan sebagai berbeda dari sumbernya.
Sebagaimanaarti sejatinya, nilai eksistensial ketergantungan murni pada
yang lain memunculkan gagasan tentang sejenis penyerapan eksistensial.
Ini berarti bahwa kebenaran suatu entitas emanatif harus diketahui
sebagai sesuatu yang terserap dalam kebenaran substantif entitas yang
lain, yaitu sumbernya. Konsekuensinya, pengertian mistik dari penyerapan
ini secara langsung berasal dari makna eksistensial kebenaran
preposisional emanasi, yaitu “bergantung pada …”, “lahir dari …”,
“ditopang oleh …”, dan sebagainya.
Emanasi dan Penyerapan
Sejauh ini kita telah membahas konsep emanasi dan
penyerapan sebagai berbeda satu sama lain, meskipun telah ditunjukkan
bahwa emanasi adalah konsep primordial yang darinya gagasan penyerapan
diturunkan. Sekarang, marilah kita melangkah kepada pertanyaan apakah
keduanya benar-benar identik.
Akan terlihat bahwa sementara emanasi dan penyerapan secara
linguistik tak simetris, karena yang disebut pertama berartu cahaya
eksistensi yang berasal dari Sumber Pertama dan yang kedua berarti
cahaya yang baik kepada Sumber tersebut, namun dalam realitasnya
keduanya adalah satu dan sama. Artinya, tidak ada kemungkinan membedakan
antara keduanya sebagai entitas yang berbeda, yang satu beremanasi dari
Sumber, dan yang lain terserap dalam kebenaran Sumber tersebut.
Sebagaimana adalah bahwa bintang sore dan bintang pagi adalah satu dan
sama, yang berarti bahwa mereka secara numerik satu dan perbedaan
tersebut hanyalah dalam cara menggambarkan benda yang sama, begitu pula
adalah benar bahwa wujud emanatif dan wujud yang terserap adalah satu
dan sama,yang berarti bahwa keduanya sesungguhnya identik, dan keduanya
hanya berbeda manakala digambarkan dari sudut yang berbeda. Karenanya,
tidaklah mengherankan jika diri, sebagai suatu emanasi dalam segenap
kesederhanaannya, bisa dipandang dari dua perspektif yang berbeda: yang
satu sebagai cahaya yang menurun dari Sumber, dan yang lain sebagai
cahaya yang naik menuju ke Sumbernya. Keidentikan ini, sesungguhnya,
bersama perbedaan dan ketidaksimetrisan dalam konsepsi, merupakan alasan
yang cukup untuk mengandaikan bahwa masing-masing konsep ini secara
logis menyiratkan yang lain dengan cara tertentu sehingga ada dua
implikasi yang menghubungkan yang satu dengan yang lain. Jika implikasi
tersebut benar pada salah satu sisi, maka ia harus dipandang sebagai
ekuivalensi material. Artinya, apapun yang benar tentang emanasi, adalah
benar bagi penyerapan. Sebaliknya, apapun yang benar pada penyerapan,
juga berlaku bagi emanasi. Salah satu dari hal ini yang merupakan ciri
dari suatu emanasi yang diketahui Tuhan adalah pengetahuan dengan
kehadiran. Kami telah mengatakan bahwa Tuhan mengetahui emanasi-Nya
melalui ilmu hudhuri. Dengan demikian kita sampai pada titik dimana
adalah jelas bahwa karena suatu wujud emanatif adalah hadir di dalam
Tuhan, maka suatu wujud terserap yang adalah sama dengan wujud emanatif,
mestilah juga hadir di dalam Tuhan.
Dari sini kita bisa dengan sah mengajukan analisis kita
tentang mistisisme dengan menisbatkan kepada manusia dalam hubungannya
dengan Tuhan apa-apa yang harus kita nisbatkan kepada Tuhan dalam
hubungan-Nya dengan manusia. Artinya, jika Tuhan mengetahui manusia
sebagai emanasi-Nya dengan kehadiran, maka manusia sebagai wujud
terserap juga mengetahui Tuhan dengan kehadiran pula. Sekalipun
demikian, ada dua pengertian yang berbeda bagi satu realitas emanasi.
Kita akan melihat nanti bahwa meskipun hanya ada satu kehadiran emanasi,
namun kehadiran yang sama secara konseptual berbeda sesuai dengan dua
penggambaran yang berbeda tersebut: yang emanatif dan terserap.
Kehadiran adalah emanatif karena ia memancar dari Tuhan, dan kehadiran
yang sama adalah penyerapan karena ia mutlak bergantung pada Tuhan.
Referensi:
[1]
. Adalah perwujudan segala sesuatu (makhluk) di segala alam (alam akal,
mitsal, dan materi) melalui suatu bentuk pancaran cahaya Ilahi,
tajalli, feidh, dan manifestasi wujud Tuhan. Hal ini berbeda
dengan teori penciptaan (lawan dari sistem emanasi) dalam definisi kaum
Teolog. Menurut teori itu, kehadiran ketiga alam itu melalui suatu
proses emanatif, bukan penciptaan (khalq). Namun segala realitas yang terwujud di alam materi adalah melalui suatu proses penciptaan, bukan dengan metode emanasi.
[2]
. Yakni terserap dan hadirnya cahaya-cahaya Tuhan dalam jiwa manusia.
Jiwa manusia dalam hal ini yang menyerap dan menerima cahaya-cahaya
Ilahi, bahkan wujud manusia itu sendiri adalah pancaran cahaya Ilahi
yang kemudian menyerap cahaya Ilahi yang lain. Tuhan adalah Pelaku yang
memancarkan cahaya-Nya ke dalam diri manusia.
[3]
. Sebagaimana halnya Ibnu Sina mengembangkan sistem “urutan menurun”
eksistensi (dari Tuhan hingga alam materi) dalam doktrin emanasi,
Suhrawardi, yang pada prinsipnya setuju dengannya, mencoba mengambil
inisiatif dalam menegakkan sistem “derajat-derajat menaik” cahaya dalam
filsafat Iluminasinya. Urutan menurun emanasi disebut oleh Ibnu Sina
sebagai prinsip “kemungkinan yang lebih mulia dan tinggi” (al-imkan al-asyraf), dan derajat-derajat menaik cahaya disebut oleh Suhrawardi sebagai prinsip “kemungkinan posterior”. Lihat Suhrawardi, Kitab al-Tahwihat, hal. 5054.
[4] . Ibnu Sina, al-Isayarat wa al-Tanbihat, bagian 3, hal. 95.
[5] . Ibid, hal. 97.
[6] . Ibid, hal. 102.
[7] . Yakni wujudnya pasti ada karena dia bersandar dan bergantung secara hakiki dengan Wajib al-Wujud Mutlak.
[8] . Ibid, hal. 102.
[9]
. Menurut doktrin ini, suatu wujud emanatif adalah kesatuan sederhana
di mana dua modalitas yang berlawanan, yakni kemungkinan dan kemustian,
bertemu. Persoalan modalitas akan kita bahas selanjutnya.
[10] . Ibid, hal. 229-30.
[11] . Syaikh Thusi, Syarh Al-Isyarat wa at-Tanbihat, hal. 217-20.
[12] . St. Thomas Aquinas, Treatise on Separate Substance, hal. 93.
[13] . Ibnu Sina, Kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, bagian 2, hal. 149-81.
[14] . St. Thomas Aquinas, Treatiseon Separate Substances, hal. 93.
[15] . Ibnu Sina, Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, bagian 3, hal. 44-76. Juga Kitab Al-Syifa, hal. 37-170.
[16]
. Pembahasan yang menyeluruh tentang kehendak pengetahuan Tuhan bisa
ditemukan dalam Shadr Al-Din Syirazi, Perjalanan III, J. VI, “Masalah
Keberadaan Tuhan”, dan “Sifat-sifat Tuhan”.
[17] . St. Thomas dengan tajam mengkritik doktrin Ibnu SIna berikut ini:
Dan karenasegala sesuatu yang berasal dari-Nya sebagaimana
dari sebuah prinsipdengan akal, yang bertindak sesuai dengan
bentuk-bentuk terkait, kita tidak boleh menyatakannya sebagai berasal
dari prinsip pertama karena Dia sederhana dalam esensinya sehingga yang
dilahirkannya hanya satu efek; dan bahwa dari wujud yang lainlah,
menurut mode komposisi dan kemampuannya, lahir kejamakan, dan
seterusnya. (St. Thomas, Treatise on Separate Substances, hal. 93).
[18] . Thusi, Komentar atas Kitab Al-Isyarat, bagian 3, hal. 283-84.
[19] . Suhrawardi, Kitab Hikmat Al-Isyraq (Teheran/Paris, 1952), hal. 154-58.
[20] . St. Thomas, Treatise on Separate Substances, hal. 93.
[21]
. Di samping itu, Ibnu Sina sendiri mengatakan bahwa: Dengan
perantaraan substansi emanatif (efek pertama) ini, Prinsip Pertama
(sekali lagi) menerangi substansi intelektual lainnya bersama dengan
sebuah benda langit. Berarti seluruh sistem emanasi muncul dari Prinsip
Pertama dalam tertib hierarki ini.
[22] . Shadr Al-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar, J. 1, hal. 45.
[23]
. Masalah ontologi dan makna realitas eksistensi telah dibahas dengan
begitu cermat dan sistematis dalam filsafat hingga seluruh wilayah
filsafat ini dicirikan oleh kesadaran akan eksistensi.
[24]
. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai gagasan “Sebab Pertama” atau
“Sebab dari segala sebab”, silakan rujuk filsafat Ibnu Sina tentang
kausasi dalam Kitab Al-Syifa’ dan Al-Isyarat. Tetapi, karena kenyataan
bahwa kitab yang disebut belakangan telah ditafsirkan secara otentik
oleh dua otoritas terkemuka dalam filsafat, yaitu Al-Thusidan Al-Razi,
maka kami lebih suka membuat rujukan-rujukan utama kami kepadanya
daripada kepada karya Ibnu Sina yang lain itu.Lihat Kitab Al-Isyarat, bagian 3, hal. 18-55.
[25]
. Garis-garis vertical dan horisontalkami peroleh dari prinsip Ibnu
Sina tentang “kemungkinan yang lebih mulia” al-imkan al-asyraf) bersama
dengan prinsip Suhrawardi tentang “kemungkinan posterior” (al-imkan
a-akhashsh). Kitab Hikmat Al-Isyraq, hal 154-57.
[26] .G. S. Kirk dan J. E. Raven, “Parmenides”, dalam The Pre-Socratic Philosophers (Cambridge, 1976), hal. 269-72.
[27]
. Undetachability dan undistinguishability adalah ungkapan-ungkapan
lain bagi implikasi, sebab sesuatu yang diimplikasikan dalam yang lain
berarti tak bisa dilepaskan dan dibedakan dari yang lain itu.
Sebaliknya, sesuatu yang tak bisadilepaskan dan dibedakan dari yanglain
berarti tersirat dan terkandung di dalam yang lain itu.
[28]
. Deskripsi tentang “relasi iluminatif” telah diberikan dalam bab 3
dimana kita berbicara tentang kaitan antara pengetahuan dengan kehadiran
dan pengetahuan dengan korespondensi. Penjelasan lebih lanjut mengenai
masalah khusus ini bisa diperoleh dalam Sabziwari, Syarh-i Manzhumah,
hal. 571.
[29] .Komentar Thusiatas karya Ibnu Sina, Kitab Al-Isyarat, bagian 3, hal. 210-62.
[30] . Shadr Al-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, bagian 1, hal. 210-62.
[31] . Op.cit., hal. 201.
[32]
. (a) Kemungkinan adalah penafian kepastian: “X adalah mungkin” = “X
tidak pasti ada”. (b) Kemustahilan adalah penafian kemungkinan: “X
adalah mustahil” =”X tak mungkin ada”. (c) Kepastian wujud menjadi
penafian kemungkinan untuk tak mewujud: “X adalah wujud yang wajib” = “X
tak mungkin tidak ada”. (d) Kepastian tak mewujud menjadi penafian
kemungkinan wujud. (e) Kepastian wujud di satu pihak menyiratkan
penyangkalan kemustahilan wujud, dan di pihak lain mengidentikkan
dirinya dengan kemustahilan untuk tak mewujud. (f) Kepastian untuk tak
mewujud di satu pihak menyiratkan penyangkalan kemustahilan untuk tak
mewujud dan di pihak lain identik dengan kemustahilan wujud.
[33] . Ibnu Sina, Kitab Al-Isyarat, Logika, bagian 1, hal. 295.
[34] . Op. cit., hal. 296.
[35] . Op. cit., hal 296-300.
[36] . Shadr Al-Din Syrazi, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, J. 1, hal. 215-20.
[37] . Suhrawardi, Kitab Al-Talwihat, hal.41
[38] . Op. cit., hal 42-43.
[39] . E. Gilson, Being and SomePhilosophers (Toronto, 1952), hal. 74-107.
[40] . Sabziwari, Syarh-i Manzhumah, hal.410.
[41] . Op. cit., hal. 409-410.
[42] . Shadr Al-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, J. 1, hal. 07.
[43] . Ibnu Sina, Kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, Logika, hal. 310.
[44] . Op. cit., hal. 311.
[45] . Suhrawardi, Kitab Al-Talwihat, hal.42.
[46] . Op. cit., hal. 42-43.
[47]
. Shadr Al-Din Syirazi, “Penelitian mengenai Eksistensi Preosisional”,
dalam, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, J. I, bagian 1, hal. 326-80.
[48]
. Berkeley mengatakan hal yang hampir sama ketika dia berbicara tentang
jiwa aktif. Kita boleh dikatakan memiliki suatu perngetahuan atau
gagasan tentang pikiran, ruh, wujud-wujud aktif kita; sementara dalam
pengertian yang ketat kita tidak memiliki gagasan-gagasan. (Berkeley,
Philosophical Writing, ed. D. M. Armstrong (London, 1969), hal. 98.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar