Oleh: Mohammad Adlany
Sebagaimana di alam natural, gerak menurun (nuzuli) lebih mudah daripada gerak menaik (shu’udi). Hukum ini pula berlaku dalam gerak dan suluk pada perkara-perkara maknawi, spiritual, dan akhlak. Dalam istilah qurani, gerak dan proses menaik dikatakan senantiasa bersama dengan usaha, upaya, dan derita. Tuhan berfirman dalam al-Quran surah Insyiqaq ayat keenam, “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.”
Sementara di alam dunia -dikatakan
dunia karena wujud dan hakikatnya sangat rendah dari segala sesuatu-
dan kecenderungan kepada hawa nafsu maka cukuplah manusia menutup
matanya dari kesempurnaan-kesempurnaan, kesucian-kesucian, fitrah, dan
akal.
Gerak dan berproses menuju alam
spiritual dan maknawi seperti mendaki puncak yang sangat tinggi dan
penuh dengan kesulitan serta bahaya. Sedangkan berjalan di atas jalur
kecenderungan-kecenderungan hawa nafsu seperti bergerak ke arah menurun
yang penuh dengan kemudahan dan keringanan. Karena kecenderungan ke alam
akhirat dan nilai-nilai spiritual merupakan suatu gerak ke arah fitrah
Ilahi, dan kecenderungan kepada duniawi, aspek-aspek material dan
lahiriah adalah sangat besar dikarenakan hal ini bersesuaikan dengan
tabiat alam materi dan keinginan natural manusia itu sendiri.
Sebagaimana di alam natural, gerak
dan proses menurun lebih mudah daripada gerak menaik. Hal ini juga
berlaku pada gerak dan suluk dalam perkara-perkara maknawi dan akhlak.
Sebagaimana pernyataan al-Quran, gerak menaik atau proses menyempurna
adalah senantiasa beriringan dengan usaha yang sungguh-sungguh dan
penderitaan. Kata “Kadihun” atau “kadhan” yang ada dalam ayat tersebut
di atas yang dalam bahasa Arab adalah bermakna “upaya yang
sungguh-sungguh”.[1]
Untuk kejatuhan manusia di lembah
dunia ini, maka cukuplah dia mengikuti hawa nafsu dan keinginginan
syahwatnya. Karena bergerak di atas jalan keinginan-keinginan rendah
hawa nafsu seperti berjalan ke arah menurun yang penuh dengan kemudahan
dan keringanan.
Sementara bergerak dan berjalan
sesuai dengan perintah akal dan agama serta berlawanan dengan
kecenderungan duniawi, waswas setan, dan kehendak hawa hafsu adalah
suatu proses menyempurna dan menaik. Sebagaimana mendaki suatu puncak
yang tinggi adalah sangat sukar dan penuh kesulitan, namun senantiasa
diiringi dengan perasaan bahagia dan keyakinan.
Dalam perspektif al-Quran, manusia
adalah suatu makhluk yang memiliki dua dimensi, dimensi fitrah Ilahi
dan aspek natural material. Fitrah manusia senantiasa mengajaknya kepada
makrifat yang tinggi, nilai-nilai spiritual, maknawi, akhlak, dan
kebaikan-kebaikan. Sedangkan dimensi naturalnya selalu menggiringnya
kepada kerendahan material, hawa nafsu, dan keburukan.
Kehidupan manusia adalah lapangan
pertempuran yang terus menerus antara aspek natural dan fitrah Ilahinya.
Apabila dimensi tabiat manusia menang atas fitrah Ilahinya, maka dia
akan menjadi tawanan bagi kecenderungan naturalnya yang rendah itu.
Dalam pandangan al-Quran, manusia seperti ini dikategorikan sesat dan
rendah. Namun, jika fitrah Ilahinya mampu mengalahkan keinginan rendah
tabiatnya, maka segala kecenderungan naturalnya diarahkan sejalan dengan
fitrahnya. Dalam keadaan seperti ini, manusia ini dikatakan berada
dalam hidayah Ilahi dan berjalan di atas jalan yang benar .[2]
Kata “dunia” dalam makna
leksikalnya adalah rendah. Dan manusia untuk menggapai
keinginan-keinginan duniawinya maka cukuplah dia menutup matanya dan
tidak memandang langit suci Ilahi. Namun, untuk keluar dari tarikan
kecendengan dan penjara duniawi serta berjalan ke arah alam spiritual
dan fitrah Ilahi, maka tidaklah cukup hanya sekedar berencana, berkata,
dan klaim. Melainkan dia harus melawan secara nyata segala keinginan
hawa nafsu, menentang seluruh bisikan dan waswas setan, meninggalkan
segala tingkah laku dan adat yang buruk, dan memotong ribuan akar yang
menjebaknya dalam aktivitas-aktivitas keseharian.
Oleh karena itu, para guru akhlak
dan irfan praktis kadang memaparkan hakikat-hakikat tinggi spritual dan
metode meniti tingkatan-tingkatan kesempurnaan itu dalam bentuk seratus
tahapan, atau seribu tingkatan, atau menghadirkannya dalam bentuk
adab-adab suluk. Supaya manusia pada akhirnya bisa melepaskan dirinya
dari ikatan-ikatan hawa nafsu dan berujung menjadi seorang hamba Tuhan
yang sejati.
Perjalanan maknawi dan suluk
spritual seorang hamba kepada Tuhan adalah suatu proses menaik dan gerak
vertikal, bukan gerak horisontal dan mendatar. Dan maksud dari vertikal
dan menaik di sini adalah vertikal dalam “bangunan” dan “geometris”
Ilahi yakni mencapai suatu “derajat yang tinggi”, bukan dalam dimensi
materi yakni pergi ke suatu “tempat yang tinggi”.
Dari aspek ini menuntuk adanya
suatu metode, cara, dan jalan supaya manusia terbantu untuk menggapai
suatu derajat dan maqâm yang tinggi. Tuhan menyebut suluk ruhani dan
penapakan spiritual itu dengan perjalanan menaik dan vertikal, hal ini
sebagaimana tertera dalam surah Mujadalah ayat sebelas yang berbunyi, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat“.
Seseorang yang berjalan menaik dan
menyempurnakan dirinya maka niscaya akan mencapai derajat yang tinggi
dan Tuhan dalam ayat di atas berkaitan dengan perjalanan maknawi ini
menggunakan kata “yarfa’u” yang berarti meninggikan. Begitu pula dalam surah Fathir menamakan perjalanan maknawi ini dengan “menaik”. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh akan mengangkatnya. (Qs. Fathir: 10)
Maka dari itu, kedua kata “menaik”
dan “mengangkat” dalam suluk tersebut telah menjadi jelas, yakni
berkonsekuensi pada nilai-nilai vertikal dan penggapaian
derajat-derajat, bukan nilai-nilai horisontal dan pergi pada suatu
tempat. Karena perjalanan ke suatu tempat -walaupun tempat itu tinggi
seperti gunung- adalah masih digolongkan dalam perjalanan horisontal,
bukan vertikal. Dan Tuhan mengingatkan berkaitan dengan pengangkatan
Nabi Idris As yang telah menapaki perjalanan vertikal ini sebagai
berikut, “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat dan tempat yang tinggi.” (Qs. Maryam: 57).
Maksud dari “tempat yang tinggi”
dalam ayat itu bukanlah tempat lahiriah sebagaimana di dunia ini. Dan
Tuhan berhubungan dengan zat suci-Nya sendiri juga menggunakan istilah
sebagai wujud yang memiliki derajat dan “tempat” yang tinggi. Hal ini
sebagaimana dalam surah Ghafir ayat limabelas, “(Dia-lah) yang mengangkat derajat (para hamba yang saleh).”
Oleh karena itu, perjalanan menuju
Tuhan adalah perjalanan ke arah derajat dan tingkatan yang tinggi, dan
para mukmin akan mencapai derajat yang tinggi serta para alim akan
mendapatkan kesempurnaan yang lebih besar lagi. Begitu pula
kalimat-kalimat yang baik akan mengarah ke derajat yang tinggi itu.[3]
Pernyataan lain juga memiliki
kaitan bahwa kecenderungan kepada Tuhan itu sendiri tidak lain adalah
gerak menaik dan ketinggian derajat, sementara keinginan duniawi adalah
gerak menurun, kehinaan, dan kerendahan martabat itu sendiri. Dunia
dikatakan sebagai dunia karena memiliki derajat yang sangat rendah atau
paling rendahnya sesuatu. [4]Kecenderungan duniawi menyebabkan manusia menjadi rendah dan hina derajatnya.[5]
Untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan dan menggapai nilai-nilai spiritual … apabila dengan mengorbankan
harta benda dan keluarga, maka itu sangatlah layak dan terpuji.[6]
Dan mengakui kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa secara jantan akan
menyebabkan Tuhan pasti mengantarkannya kepada derajat dan martabat
yang tinggi.[7]
Oleh karena itu, kecenderungan dan
keinginan kepada perkara-perkara maknawi dan spiritual serta alam
akhirat adalah suatu gerak dan proses ke arah fitrah Ilahi. Dan
kecenderungan kepada hal-hal duniawi dan nilai-nilai material adalah
suatu gerak dan proses yang didasarkan pada tabiat alam materi dan aspek
natural manusia serta manusia sangat termotivasi untuk menggapai
keindahan-keindahan lahiriah alam materi ini dan larut dalam
menikmatinya, “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia ini; sedang mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat.” (Qs. Rum: 7)
Begitu pula segala apa yang
manfaat-manfaat dan hasil-hasilnya cepat hadir dan berlalu merupakan
sesuatu yang senantiasa diinginkan dan dikehendaki oleh manusia, seperti
dalam ayat berikut ini, “Sekali-kali tidak (seperti yang kamu
yakini bahwa dalil-dalil tentang hari kiamat itu tidak cukup).
Sebenarnya kamu (hai manusia) hanya mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.” (Qs. Qiyamat: 20 dan 21).
Dengan berpijak pada realitas ayat
tersebut di atas Imam Ali As bersabda, “Orang-orang yang sesat itu
mendahulukan perkara-perkara duniawi dan manfaat-manfaat yang cepat
berlalu itu serta menunda-nunda perkara-perkara ukhrawi dan nilai-nilai
yang abadi.”[8]
Dan kesimpulannya, kecenderungan dan keinginan manusia kepada
perkara-perkara duniawi dan nilai-nilai material nampaknya sangatlah
mudah dan ringan.
[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]
Referensi:
[1]. Askary, Abu Halal, Al-Furug fil lughah, hal. 369, Intesyarat Oston Quds-e Radhawi.
[2] . Hadawi Tehrani, Mahdi, Bowarho wa Pursesyho, hal. 84, Muassasah Farhangi Khoney-e Kherad.
[3] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Maudhu’I Quran Karim, Marohele Akhlaq dar Quran, Bakhsye Sewwum, hal. 223, Markaz-e Nasyr-e Isra’.
[4] . Rey Syahri, Muhammad, Muntakhab Mizanul Hikmah, hadis nomor 2171, Imam As.
[5] . Ibid, hadis nomor2192.
[6] . Nahjul Balaghah, khotbah 52.
[7] . Ibid, hikmah 20.
[8] . Nahjul Balaghah, khotbah 144.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar