Oleh: Mohammad Adlany
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan
Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis
epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme.
Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime
nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat
Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab
segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi.
Konstruksi
pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu
memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait
dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu,
yakni ilmu dibagi menjadi konsepsi (at-tashawwur)[1] dan pembenaran (at-tashdiq)[2], atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat[3].
Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
1. Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat
dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern)
dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka
secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir
epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis
dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang
penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno
dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari
pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu
epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan
dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.
2. Epistemologi pada Zaman Yunani Kuno
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides[4].
Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur
hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain
dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang
sebagai yang valid, sementara indra lahiriah hanya bersifat penampakan
dan bahkan terkadang menipu.[5]
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada
indra lahiriah. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang
konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya
perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu
menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan
ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa
berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu
tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap
pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.[6]
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi
ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki
eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan
kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahiriah.[7]
Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala
sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan
segala sesuatu[8]. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada,
maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa
dipindahkan.[9]
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang
lantas bangkit mengeritik pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara
induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala
sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.[10]
Democritus beranggapan bahwa indra lahiriah itu tidak akan
pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu
iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan
pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran[11]. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara
serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar
pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra.
Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat
universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan
konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular
tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan
indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara
pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan
hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal,
tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan
gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).[12]
Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan
benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait
dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah
bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka[13]. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahiriah itu
tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari
kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas
perkara-perkara indriawi.[14]
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu
dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang
berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Ia yakin bahwa setiap ilmu
berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam
ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada
kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian
rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah
pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah.[15] Iamenetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul
Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode
berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan
kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi)[16], dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.[17]
Kelompok Rawaqiyun[18]
yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahiriah, menolak pandangan
tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul
Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah
pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.[19]
Epicure (270-341 M) memandang indra lahiriah sebagai
pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh
lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya,
dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.[20]
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahiriah dan
akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka
bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain
memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum
Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan
utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga
abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan
kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).[21]
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan
pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda
dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya
hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya
pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur
kesesuaian dengan realitas eksternal.
3. Epistemologi di Abad Pertengahan (Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang
terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu,
juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect).
Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua
adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami
hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa
lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).[22]
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa
dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa
diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa
ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi
matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi.
Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak
tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri
sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu
ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada“.[23]
4. Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian
tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu
adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep
abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh
Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud
luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah
“universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa
individu-individu eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama
dengan wujud “partikular” yang keberadaannya bukan hanya di alam
pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana
maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh “manusia universal”. Apakah “manusia
universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di alam
pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki
realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya
bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal”
itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu
objek individual[24]?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tidak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Dalam hal itu, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran:
- Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato);
- Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles);
- Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan
bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun ia berupaya
menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.[25]
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di
alam eksternal adalah wujud-wujud partikular, sementara universal itu
tidak memiliki wujud hakiki dan hanyalah sebuah kata semata.[26]
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa wujud yang
bersifat universal itu terdapat di alam pikiran. Dan konsep-konsep
universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari
maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata
lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran
yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.[27]
Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan
atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa
universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep
universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena
semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya
terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi
universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah
tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh
filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini,
pembahasan “universalitas” memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada
empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah
teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena
berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.[28]
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan
pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni
pertama-tama indra lahiriah kita berhubungan dengan alam luar, kemudian
akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan
membentuk konsep-konsep universal[29]. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal
sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa
dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia
menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan
objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu
sebagai “konsep-konsep”.[30]
Referensi:
[1]. Yang dimaksud dengan at-tashawwur
(penggambaran, konsepsi) adalah suatu gambaran pikiran dimana bukan
penyandaran sesuatu terhadap sesuatu yang lain, seperti gambaran tentang
bulan, matahari, bumi, langit, Tuhan, dan malaikat yang ada dalam
pikiran kita.
[2] . Yang dimaksud dengan at-tashdiq
(pembenaran, pengesahan) adalah penyandaran sesuatu terhadap sesuatu
yang lain dalam bentuk positif atau negatif, seperti dikatakan: Tuhan
ada, ular naga tiada, jiwa manusia non-materi, ….Dalam setiap pembenaran
terdapat tiga penggambaran: 1. Gambaran subyek, 2. Gambaran predikat,
3. Gambaran tentang hubungan subyek dan predikat.
[3].
Yang dimaksud dengan ‘kategori-kategori kedua filsafat’ (konsep-konsep
filosofis) adalah suatu konsep yang tidak memiliki individu luar dan
tidak memiliki wujud mandiri, namun berwujud mengikuti keberadaan
subyeknya. Konsep ini diperoleh dari analisa akal terhadap
perkara-perkara eksternal, kehadiran konsep ini tidak bisa terlepas dari
keberadaan objek eksternalnya. Seperti konsep tentang ‘sebab’ dan
‘akibat’, misalnya: api adalah ‘sebab’ panas atau panas adalah ‘akibat’
dari api. Kalau kita perhatikan di alam eksternal, yang ada itu hanyalah
api dan panas. ‘Sebab’ dan ‘akibat’ itu tidak nampak diluar. Munculnya
konsep ‘sebab’ itu berasal dari analisa akal atas hubungan khusus antara
api dan panas, dan konsep ‘sebab’ itu lantas dipredikasikan kepada api.
Oleh karena itu, walaupun ‘sebab’ ialah sifat untuk api, tapi ini tidak
berarti bahwa ‘sebab’ itu memiliki wujud yang mandiri dan terpisah dari
api dan kemudian melekat pada api. Semua konsep dalam filsafat berada
dalam kategori-kategori seperti ini.
[4] . Frederick Copleston, Tarikh Falsafe-ye Garb, jilid pertama, hal 65.
[5] . Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, hal 15.
[6] . Yusuf Keram, Tarikh al-Falsafah al-Yunaniyah, hal. 21.
[7] . Frederick Copleston, Tarikh Falsafe-ye Garb, jilid pertama, hal. 99.
[8] . Ibid, hal. 106.
[9] . Ibid, hal. 112.
[10] . Ibid, hal. 126.
[11] . Ibid, hal. 149.
[12] . Frederick Copleston,Tarikh Falsafe-ye Garb, jilid pertama, hal. 171.
[13] . Paul Edward, Ruh-e Falsafe dar Qarn-e Wustha, hal. 10-11.
[14] . Ibid, hal. 11.
[15] . Ibid, hal. 12. Dan Aristoteles, Metafisik, hal. 95.
[16] . Seperti pengetahuan kita terhadap keberadaan dan wujud diri kita sendiri.
[17] . Aristoteles, Metafisik, hal. 33.
[18] . Yang didirikan pada tahun 300 M
[19] . Frederick Copleston,Tarikh Falsafe-ye Garb, hal. 443.
[20] . Ibid, hal. 261.
[21] . Ibid, hal. 472.
[22] . Plotinus,Tâsu’ât, risalah ketiga, pasal empat, dan risalah kesembilan, pasal sembilan dan pertama.
[23] . Paul Edward, Ruh-e Falsafeh dar Qarn-e Wustha, hal. 348.
[24] . Universal lawan dari partikular yang berarti gagasan yang hanya bisa diterapkan untuk satu objek individual.
[25] . Paul Edward, Ruh-e Falsafe dar Qarn-e Wustha, hal. 64.
[26] . Ibid, hal. 82.
[27] . Paul Edward, Ruh-e Falsafe dar Qarn-e Wustha, hal. 102.
[28] . Ibid, hal. 131.
[29] . Ibid, hal. 172.
[30] . Ibid, hal. 209.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar