Oleh: Mahdi Hairi Yazdi
Dari pembahasan terdahulu berhubungan dengan pengertian
ganda obyektivitas (yakni pengetahuan itu memiliki dua obyek, obyek
esensial dan obyek aksidental), dapat disimpulkan secara langsung bahwa
kita bisa membedakan dua obyek pengetahuan. Pendapat bahwa dengan
demikian pengetahuan bisa dibagi menjadi ilmu hudhuri (pengetahuan
dengan kehadiran) dan ilmu hushuli[1]
(pengetahuan dengan korespondensi), yang merupakan pokok pembicaraan
kita sekarang, betul-betul dapat dipahami dan dimengerti apabila kita
telah memutuskan bahwa terdapat dua obyek pengetahuan yakni obyek
subyektif yang esensial (yang berada di alam pikiran) dan obyek obyektif
yang aksidental (yang berada di alam eksternal).
Ilmu hudhuri adalah sejenis pengetahuan yang semua
hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh
anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi apapun
terhadap acuan obyektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior.
Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah
hubungan swaobyek tanpa campur tangan koneksi dengan obyek eksternal.
Akan tetapi, dalam penyuguhan gagasan ini, apa yang terpaksa kita sebut
obyek obyektif (di alam eksternal) sama sekali tidak berbeda status
ontologi dan eksistensialnya dari obyek subyektif ( di alam pikiran).
Artinya, jenis obyek yang telah kita sebut sebagai obyek esensial bagi
gagasan pengetahuan seperti itu, dan bersifat subyektif dan imanen dalam
pikiran subyek yang mengetahui, dalam ilmu hudhuri, mutlak bersatu
dengan obyek obyektif. Dengan demikian, obyek obyektif tak lagi absen
(senantiasa hadir) dan aksidental bagi nilai kebenaran ilmu hudhuri.
Dengan perkataan lain, dalam ilmu hudhuri, obyek obyektif dan obyek
subyektif tidak lagi terbedakan dan merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Oleh karena itu, ilmu hudhuri terdiri dari pengertian
sederhana tentang obyektivitas yang langsung hadir dalam “jiwa subyek
yang mengetahui” (‘alim) dan dengan demikian, secara logis tersirat dalam definisi konsepsi pengetahuan itu sendiri.
Di lain pihak, ilmu hushuli (pengetahuan dengan
korespondensi) adalah sejenis pengetahuan yang melibatkan obyek
subyektif maupun obyek obyektif secara terpisah, dan yang mencakup
hubungan korespondensi antara salah satu obyek ini dengan yang lain.
Dalam kenyataannya, kombinasi obyek-obyek luar dan dalam beserta derajat
maksimum korespondensi antara mereka membentuk esensi jenis pengetahuan
ini. Karena korespondensi betul-betul merupakan hubungan dua pihak
secara hakiki, maka dapat dikatakan dengan logis bahwa apabila hubungan
ini terjadi, pasti ada konjungsi antara satu obyek, A, dengan obyek lain
B. Hubungan itu tidak berlaku apabila salah satu arah konjungsi tidak
benar. Seandainya tidak terdapat obyek eksternal, maka tidak akan ada
gambaran dan representasinya. Akibatnya, tidak terdapat kemungkinan
lahirnya hubungan korespondensi antara keduanya, dengan demikian tidak
ada pula kemungkinan bagi eksistensi jenis pengetahuan itu sama sekali.
Sebagaimana dipaparkan di atas, obyek eksternal memainkan peran utama
dan mendasar dalam esensialitas ilmu hushuli (pengetahuan dengan
korespondensi),[2]
tetapi hal ini tidaklah menjadi bagian pembentuk ilmu hudhuri
(pengetahuan dengan kehadiran). Sekarang ada keharusan untuk
mendiskusikan ciri-ciri masing-masing spesies pengetahuan ini.
Ilmu Hudhuri
Seperti telah kami tunjukkan, dalam analisis hubungan
mengetahui, terdapat kesatuan kompleks yang membentuk keseluruhan
hakikat hubungan ini.[3]
Dalam eksistensi mentalnya (di alam pikiran), kesatuan ini pada awalnya
sederhana. Akan tetapi, perenungan dan pengkajian mengenai kesatuan ini
dapat secara sah memecah kesederhanaannya menjadi tiga bagian sehingga
bisa dianalisis melalui perenungan tentang tindak “mengetahui”, “subyek
yang mengetahui”, dan “obyek yang diketahui”. Tiga serangkai yang
konseptual dalam kaitannya dengan gagasan ilmu hudhuri ini bisa
diderivasikan dari perenungan tentang kesederhanaan primordial
eksistensi mental yang konstruktif dari tindak imanen dan esensial
mengetahui itu sendiri, jenis tindakan yang mutlak identik dengan
eksistensi pikiran manusia itu sendiri. Sedangkan tentang kesatuan
mutlak antara tindak “pengetahuan” dengan pikiran “orang yang yang
mengetahui”, telah kita tinjau dalam makalah terdahulu bahwa kesatuan
mutlak seperti itu adalah kesatuan yang menjadi komitmen teori Ibnu
Rusyd tentang “kebahagiaan” dan pengertian transubstansiasinya.[4]
Dalam hal pengetahuan “tentang diri” dalam jiwa, gagasan Ibnu Sina yang
ditafsirkan oleh hampir semua muridnya sebagai bertujuan pada bentuk
kesatuan mutlak yang sama, meskipun Ibnu Sina mengingkari kesatuan Porphyrian dari “yang mengetahui” dengan “yang diketahui” dalam mode-mode pengetahuan lain.[5]
Di samping itu, salah satu tesis Shadr Al-Din, Mulla Sadra, yang paling
masyhur adalah kesatuan eksistensial antara “subyek yang mengetahui”,
“obyek yang diketahui”, dan “pengetahuan”.[6]
Tidak ada alasan mengapa kita harus tidak mampu menganalisis kesatuan
yang sederhana dan mutlak ini menjadi bagian-bagian konseptual yang
berbeda, tanpa kerumitan konseptualnya merusak ketunggalan dan kesatuan
dari realitas yang “tak berangkap” tersebut.
Ambillah misalnya titik pusat sebuah lingkaran sebagai
contoh. Secara matematis dikatakan bahwa titik itu tunggal dan karenanya
tidak bisa dibagi. Artinya, titik itu tidak bisa dibagi menjadi
beberapa titik pada pusat lingkaran. Namun, kita ketahui bahwa titik itu
mungkin dibagi ke dalam berbagai sisi dan arah jika secara konseptual
kita telah merenungkan dan mendefinisikannya sebagai “titik yang
berjarak sama dari semua titik yang ada di lingkaran yang
mengelilinginya”. Jelas bahwa titik yang tak bisa dibagi itu kini telah
terbagi menjadi sisi-sisi yang berbeda menurut bagian yang mengena
kepadanya di sekeliling lingkaran itu. Sekalipun begitu, kita tahu bahwa
multiplisitas yang tercermin dalam definisi tentang pusat lingkaran ini
tidak merusak ketunggalan dan kesatuan status matematisnya.
Yang ingin dikemukakan dari analogi di atas adalah bahwa
sementara struktur orisinal ilmu hudhuri adalah tunggal, tak berangkap,
dan tak dapat dibagi-bagi, analisis konseptual memecah belahnya menjadi
tiga “bagian” yang saling berhubungan yang semuanya dicirikan oleh
keadaan-keadaannya yang esensial, hadir, dan bersifat mental. Akan
tetapi, ketiga “bagian” ini tidak bergerak lebih lanjut dan berubah
menjadi sebuah obyek eksternal. Sekalipun demikian, analisis ilmu
hushuli, seperti akan kita lihat, melakukan hal itu; ia mengambil obyek
eksternal sebagai butir keempat dari esensialitasnya. Oleh karena itu,
ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran) adalah pengetahuan yang
nyata dengan sendirinya (self-evident) dan memiliki obyek yang swaobyektif.[7]
Salah satu ciri ilmu dan pengetahuan hudhuri adalah
kebebasannya dari dualisme kebenaran dan kesalahan (yakni senantiasa
sesuai dengan kebenaran dan realitas). Hal ini karena esensi pola
pengetahuan ini tidak berhubungan dengan gagasan korespondensi. Ketika
tidak ada obyek eksternal, maka korespondensi antara keadaan internal
dan eksternal, maupun antara “fakta eksternal” dan “pernyataan” tidak
berlaku lagi. Dengan demikian, sementara prinsip korespondensi telah
secara luas diterima sebagai kriteria dan tolok ukur kebenaran atau
kesalahan sebuah pernyataan tentang obyek eksternal, dan sementara
prinsip yang sama telah diterima sebagai tolok ukur pemeriksaan
kebenaran atau kesalahan dalam –menurut pernyataan Russell- pengetahuan
tentang kebenaran[8] prinsip seperti itu tidak bisa, dan tidak pula dituntut untuk diberlakukan dalam kasus pengetahuan dan ilmu hudhuri.
Karena dualisme kebenaran dan kesalahan bergantung secara
substansial pada hubungan korespondensi, pertama antara obyek
“subyektif-esensial” (obyek yang ada di alam pikiran) dengan obyek
“obyektif-aksidental” (obyek yang eksternal), dan kedua antara sebuah
“pernyataan” dengan “acuan obyektifnya”, maka tidak akan ada penerapan
dualisme seperti dalam pengetahuan dan ilmu hudhuri. Apabila tidak ada
korespondensi, maka tidak ada arti konsep ilmu hushuli (pengetahuan
dengan korespondensi); begitu pula pernyataan mengenai pengetahuan ini,
pernyataan mengenai sebuah obyek fisik, serta kebenaran atau kesalahan
pernyataan seperti itu. Konsekuensinya, karena terbebas dari
korespondensi, “pengetahuan dengan kehadiran” tidak rentan terhadap
dualisme logis kebenaran dan kesalahan.
Ciri dan karakteristik lain “pengetahuan dengan kehadiran”
(ilmu hudhuri) adalah kebebasannya dari pembedaan antara “pengetahuan
dengan konsepsi” (tashawwur) dan “pengetahuan dengan konfirmasi” (tashdiq)
. Tidak seperti pengetahuan dengan korespondensi, “pengetahuan dengan
kehadiran” tidak tunduk kepada pembedaan dari kedua hal ini.
Pembedaan ini mula-mula dibuat oleh Ibnu Sina dalam karyanya Al-Mantiq untuk menguraikan definisi konsepsi dan konfirmasi. Dia menulis, “Setiap pengetahuan dan kesadaran diperoleh melalui konsepsi (tashawwur) atau konfirmasi (tashdiq).
Pengetahuan dengan “konsepsi” adalah pengetahuan primer yang bisa
diperoleh melalui definisi atau apa saja yang berfungsi sebagai
definisi. Seolah-olah dengan definisi, kita mengetahui esensi manusia.
Pengetahuan dengan “konfirmasi” di lain pihak adalah pengetahuan yang
bisa diperoleh dengan “inferensi”, yakni kita mempercayai suatu
proposisi bahwa “segala sesuatu mempunyai permulaan” (segala sesuatu
memiliki Pencipta)”.[9]
Tampaknya ini adalah pembedaan yang sama atau hampir sama
dengan yang dibuat oleh sebagian ahli logika modern antara “makna” dan
“nilai kebenaran”. Atas dasar pembedaan ini, sebuah kata atau sebuah
kalimat bisa dimengerti dan dipahami tanpa mempunyai nilai kebenaran
apapun. Kalau hanya untuk memperoleh sebuah kata, frase, atau kalimat
yang memiliki arti, kita tidak perlu melakukan demonstrasi, argumentasi,
dan burhan apapun yang membenarkan suatu keyakinan dan
kepercayaan bahwa ia adalah benar. Yang perlu kita lakukan adalah
menyampaikan definisi verbal atau logis dari kata, frase, atau kalimat
tersebut. Tetapi untuk mengetahui penilaian konfirmatif (yakni mencapai
derajat tashdiq), kita secara logis diwajibkan untuk bersandar
dan berpijak pada suatu justifikasi bagi keyakinan bahwa penilaian itu
mempunyai kebenaran.
Tak soal betapa sahihnya pembedaan itu, ia tidak dapat
diterapkan ketika yang dibicarakan adalah ilmu dan pengetahuan hudhuri.
Hal ini karena kedua alternatif ini -konsepsi (tashawwur) dan konfirmasi (tashdiq)-
adalah ciri-ciri intrinsik dan representasi, bukan pada tatanan wujud
dan kebenaran faktual. Namun realitas “pengetahuan dengan kehadiran”
sama sekali tidak melibatkan pengertian dua hal itu, yakni konsepsi dan
konfirmasi.
Dengan mengingkari dualisme kebenaran dan kesalahan dalam
“pengetahuan dengan kehadiran”, kita tidak memaksudkan bahwa tak ada
pengertian kebenaran yang bisa diterapkan kepada kategori pengetahuan
khusus tersebut. Sebab, ada arti kebenaran yang lain dalam linguistik
filsafat Iluminasi yang relevan dengan pembahasan kita, yang bisa kita
sebut “non-fenomenal”.[10]
Akan tetapi, secara ketat ia setara dengan gagasan tentang “wujud”.
Dalam sistem filsafat Iluminasi ini, apabila orang mengatakan, misalnya
“Tuhan adalah kebenaran”, maka dia sebenarnya mengatakan bahwa “Tuhan
itu ada” atau “Tuhan adalah Wujud yang Wajib (Wajibul Wujud)”.
Juga di sini jika kita menyetarakan ilmu hudhuri dengan semacam
“keseketikaan” atau “kehadiran langsung” realitas obyek dalam pikiran,
maka kita berada dalam posisi yang sah untuk menerapkan pengertian
eksistensial kebenaran seperti itu terhadap realitas ilmu hudhuri.
Tetapi di sini pokok pembicaraannya adalah bahwa dualisme logis antara
kebenaran dan kesalahan maupun pembedaan logis antara konsep dan
keyakinan tidak bisa diterapkan pada wilayah pengetahuan dan ilmu
hudhuri, akan tetapi akan lebih tepat apabila dikatakan bahwa keduanya
adalah sifat-sifat yang layak bagi ilmu hushuli (pengetahuan dengan
korespondensi).
Referensi:
[1]
. Pengetahuan dan ilmu kita kepada sesuatu tidak lebih dari dua
keadaan. Pengetahuan kepada penampakan luar, gambaran, dan kuiditas
sesuatu dimana diperoleh melalui suatu korespondensi (konsep keindetikan
dan kesesuaian antara obyek eksternal dan pengetahuan),
representasional, inderawi, konsepsional, abstraksi, dan rasional.
Pengetahuan ini disebut dengan “ilmu Hushuli”. Dan pengetahuan yang
berhubungan dengan hakikat sesuatu disebut dengan “ilmu Hudhuri” yang
merupakan lawan dari “ilmu Hushuli”. Misalnya, gambaran api yang hadir
dalam pikiran kita disebut ilmu hushuli, akan tetapi, kalau hakikat api
itu sendiri yang hadir dalam jiwa dan kita marasakan sifat-sifat khusus
api itu secara langsung maka kehadiran ini dikatakan ilmu hudhuri.
[2]
. Suatu obyek eksternal bisa dikatakan “diketahui dan dipahami”
apabila dalam “subyek yang mengetahui” terdapat suatu representasi yang
berkorespondensi dengan obyek tersebut. Lihat Suhrawardi, Kitab Al-Masy’ari wa Al-Mutartihat, ed. H.Corbin (Istanbul, 1945),hal. 479.
[3] . Lihat kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat
dan komentar Thusi terhadap definisi pengetahuan seperti itu dan
gagasan “hudhur” dan “syuhud”, yang masing-masing berarti “kehadiran”
atau “kesadaran”. Ed. Sulayman Al-Dunya, hal. 363-65.
[4]
. Jenis pengetahuan ini dalam terminologi ilmu hudhuri kami diberi nama
“keidentikan”, jika dibandingkan dengan pengetahuan-kehadiran dengan
“iluminasi” dan penyerapan”. Yang pertama adalah keunggulan, dan yang
kedua adalah ketergantungan.
[5]
. Ibnu Sina: “Di antara para filosof paripetik ada seorang bernama
Porphyry yang meyakini bahwa “pengetahuan” dan “hal yang diketahui”
adalah satu dan tunggal. Kitab Al-Isyarat wa Al-Tanbihat, Metaphysics, ‘namat’.3.
[6] . Shadr Al-Din Al-Syirazi, Kitab Al-Asfar, jilid I, pasal 3.
[7] . Suhrawardi, Kitab Al-Tanbihat (Istanbul, 1945), hal. 72.
[8] . B. Russell, The Problems of Philosophy, bab 12, “Truth and Falsehood”(London, 1976).
[9] . Ibnu Sina, Kitab Al-Najat, ‘Mantiq’, bab 2 (Kairo, 1938).
[10]
. Dengan istilah “non-fenomenal” yang kami maksud adalah bahwa ia
tidak mempunyai konotasi dalam pengertian bahwa ia “menunjukkan” dirinya
kepada kita. Alih-alih, versi kebenaran ini, seperti hanya makna segala
sesuatu dalam dirinya sendiri, memiliki realitas obyektifnya yang murni
dalam kehadiran, meskipun ia mungkin tidak memperlihatkan dirinya
kepada kita.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar