Nama: Husain;
Gelar: Sayyidu Syuhada’, As-Syahid bi Karbala;
Julukan: Aba Abdillah;
Ayah: Ali bin Abi Thalib;
lbu: Fatimah Az-Zahra;
Tempat dan tanggal lahir: Madinah, Kamis 3 Sya’ban 3 H;
Hari dan tanggal wafat: Jum ‘at 10 Muharram 61 H;
Umur: 58 Tahun;
Sebab kematian: Dibantai di Padang Karbala;
Makam: Padang Karbala;
Jumlah anak: 6 orang; 4 laki-laki dan 2 perempuan;
Anak laki-laki: Ali Akbar, Ali al-Autsat, Ali al-Asghar, dan Ja’far;
Anak perempuan: Sakinah dan Fathimah.
Riwayat Hidup
Sabda Rasulullah saww: “Wahai putraku al-Husein, dagingmu adalah dagingku dan darahmu adalah darahku, engkau adalah seorang pemimpin putra seorang pemimpin dan saudara dari seorang pemimpin, engkau adalah seorang pemimpin spiritual, putra seorang pemimpin spiritual dan saudara dari pemimpin spiritual. Engkau adalah Imam yang berasal dari Rasul, putra Imam yang berasal dari Rasul dan Saudara dari Imam yang berasal dari Rasul, engkau adalah ayah dari semua Imam, yang ke semua adalah al-Qo’im (Imam Mahdi).” (14 Manusia Suci Hal. 92).
Salman al-Farisi ra berkata: “Aku menemui Rasulullah saw, dan kulihat al-Husein sedang berada di pangkuan beliau. Nabi mencium pipinya dan mengecupi mulutnya, lalu bersabda: “Engkau seorang junjungan, putra seorang junjungan dan saudara seorang junjungan; engkau seorang Imam putra seorang Imam, dan saudara seorang Imam; engkau seorang hujjah, putra seorang hujah, dan ayah dari sembilan hujjah. Hujjah yang ke sembilan Qoim mereka yakni Al-Mahdi.” (al-Ganduzi, Yanabi’ al Mawaddah)
Berkata Jabir bin Samurrah: “Saya ikut bersama ayah menemui Nabi saw, lalu saya mendengar beliau bersabda: ‘Persoalan lima ini belum akan pantas sebelum berjalan pemerintahan 12 (dua belas) khalifah di tengah-tengah mereka.’ Kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tidak pernah saya dengar. Karena itu, beberapa waktu kemudian saya bertanya kepada ayah: ‘Apa yang beliau katakan?’ Nabi mengatakan: ‘Semua khalifah itu berasal dari kalangan Quraish.’ Jawab ayahku.” (Shahih Muslim Jilid 3, Bukhari, Al-Tirmizi dan Abu Daud).
Di tengah kebahagiaan dan kerukunan keluarga Fathimah Az-Zahra lahirlah seorang bayi yang akan memperjuangkan kelanjutan misi Rasulullah saw. Bayi itu tidak lain adalah Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang dilahirkan pada suatu malam di bulan Sya’ban.
Rasululullah saw bertanya pada Imam Ali bin Abi Thalib: “Engkau berinama siapa anakku ini?” Saya tidak berani mendahuluimu wahai Rasulullah”. Jawab Ali. Akhirnya Rasululullah saw mendapat wahyu agar menamainya Husein. Kemudian di hari ketujuh, Rasulullah bergegas ke rumah Fatimah Az-Zahra dan menyembelih domba sebagai aqiqahnya. Lalu dicukurnya rambut al-Husein dan Rasul bersedekah dengan perak seberat rambutnya yang kemudian mengkhatannya sebagaimana upacara yang dilakukan untuk Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Sebagaimana Imam Hasan, beliau juga mendapat didikan langsung dari Rasulullah saw. Dan setelah Rasulullah meninggal, beliau dididik oleh ayahnya. Hingga akhirnya Imam Ali terbunuh dan Imam Hasan yang menjadi pimpinan saat itu. Namun Imam Hasan pun syahid dalam mempertahankan Islam dan kini Imam Husein yang menjadi Imam atas perintah Allah dan Rasul-Nya serta wasiat dari saudaranya. Imam Husein hidup dalam keadaan yang paling sulit. Itu semua merupakan akibat adanya penekanan dan penganiayaan serta banyaknya kejahatan dan kedurjanaan yang dilakukan Muawiyah. Bahkan yang lebih buruk lagi, ia menyerahkan ke khalifahan kaum muslimin kepada anaknya Yazid, yang dikenal sebagai pemabuk, penzina, yang tidak pernah mendapat didikan Islam, serta seorang pemimpin yang setiap harinya hanya bermain dan berteman dengan kera-kera kesayangannya.
Hukum-hukum Allah tidak dilakukan, sunnah-sunnah Rasululullah ditinggalkan dan Islam yang tersebar bukan lagi Islamnya Muhammad saw, melainkan Islamnya Muawiyah serta Yazid yang kenal dengan kerusakan dan kedurjanaan. Imam Husein merupakan tokoh yang paling ditakuti oleh Yazid. Hampir setiap kerusakan yang dilakukannya ditentang oleh Imam Husein dan beliau merupakan seorang tokoh yang menolak untuk berbaiat kepadanya. Kemudian Yazid segera menulis surat kepada gubenurnya al-Walid bin Utbah, dan memerintahkannya agar meminta baiat dari penduduk Madinah secara umum dan dari al-Husein secara khusus dengan cara apapun.
Melihat itu semua, akhirnya Imam Husein berinisiatif untuk meninggalkan Madinah. Namun sebelum meninggalkan Madinah beliau terlebih dahulu berjalan menuju maqam datuknya Rasulullah saw, serta shalat di dekatnya dan berdoa: “Ya Allah ini adalah kuburan nabi-Mu dan aku adalah anak dari putri nabi-Mu ini. Kini telah datang kepadaku persoalan yang sudah aku ketahui sebelumnya. Ya Allah! Sesungguhnya aku menyukai yang maruf dan mengingkari yang mungkar, dan aku memohon kepada-Mu, wahai Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mulia, melalui haq orang yang ada dalam kuburan ini, agar jangan Engkau pilihkan sesuatu untukku, kecuali yang Engkau dan Rasul-Mu meridhainya.” (Abdul Rozaq Makram, Maqtal al-Hasan hal. 147).
Setelah menyerahkan segala urusannya kepada Allah, beliau segera mengumpulkan seluruh Ahlul-Bait dan pengikut-pengikutnya yang setia, lalu menjelaskan tujuan perjalanan beliau, yakni Mekkah.
Mungkin kita bertanya-tanya, apa sebenarnya motivasi gerakan revolusioner yang dilakukan Imam Husein hingga beliau harus keluar dari Madinah. Imam Husein sendiri yang menjelaskan alasannya kepada Muhammad bin Hanafiah dalam surat yang ditulisnya: “Sesungguhnya aku melakukan perlawanan bukan dengan maksud berbuat jahat, sewenang- wenang, melakukan kerusakan atau kezaliman. Tetapi semuanya ini aku lakukan semata-mata demi kemaslahatan umat datukku Muhammad saw. Aku bermaksud melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, dan mengikuti jalan yang telah dirintis oleh datukku dan juga ayahku Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah barangsiapa yang menerimaku dengan haq, maka Allah lebih berhak atas yang haq. Dan barangsiapa yang menentang apa yang telah kuputuskan ini, maka aku akan tetap bersabar hingga Allah memutuskan antara aku dengan mereka tentang yang haq dan Dia adalah sebaik-baik pemberi keputusan.”
Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya rombongan Imam Husein sampai di kotaMakkah, yaitu suatu kota yang dilindungi Allah SWT yang dalam Islam merupakan tempat yang di dalamnya perlindungan dan keamanan dijamin. Peristiwa ini terjadi di akhir bulan Rajab 60 Hijriah.
Selama empat bulan di Makkah Imam banyak berdakwah dan membangkitkan semangat Islam dari penduduk Makkah.
Dan ketika tiba musim haji, Imam segera melaksanakan ibadah haji dan berkhutbah di depan khalayak ramai dengan khutbah singkat yang mengatakan bahwa beliau akan ke lraq menujukota Kufah.
Selain karena keamanan Imam Husein sudah terancam, ribuan surat yang datangnya dari penduduk kota Kufah juga menjadi pendorong keberangkatan Imam Husein ke kota itu. Dan sehari setelah khutbahnya itu, Imam Husein berangkat bersama keluarga dan para pengikutnya yang setia, guna memenuhi panggilan tersebut.
Ketika dalam perjalanan, ternyata keadaan kota Kufah telah berubah. Yazid mengirimkan lbnu Ziyad guna mengantisipasi keadaan. Wakil Imam Husein (Muslim bin Aqil), diseret dan dipenggal kepalanya. Orang-orang yang setia segera dibunuhnya. Penduduk Kufah pun berubah menjadi ketakutan, tak ubahnya laksana tikus yang melihat kucing. (Abdul Karim AL-Gazwini, al-Wasaiq al-Rasmiah Li Tsaurah al-Husein Hal. 36).
Sekitar tujuh puluh kilometer dari Kufah di suatu tempat yang bernama Karbala, Imam Husein beserta rombongan yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang; 40 (empat puluh) laki-laki dan sisanya kaum wanita; dan itu pun terdiri dari keluarga bani Hasyim, baik anak-anak, saudara, terdekat dan saudara sepupu; telah dikepung oleh pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30 (tiga puluh) ribu orang.
Musuh yang tidak berperikemanusiaan itu, melarang Imam dan rombongannya untuk meminum dari sungai Efrat. Padahal, anjing, babi dan binatang lainnya bisa berendam di sungai itu sepuas-puasnya, sementara keluarga suci Rasulullah dilarang mengambil air walaupun seteguk.
Penderitaan demi penderitaan, jeritan demi jeritan, pekikan suci dari anak-anak yang tak berdosa menambah sedihnya peristiwa itu. Imam Husein yang digambarkan oleh Rasul sebagai pemuda penghulu surga, yang digambarkan sebagai Imam di saat duduk dan berdiri, harus menerima perlakuan keji dari manusia yang tidak mengenal batas budi.
Pada tanggal 10 (sepuluh) Muharram 61 Hijriah, 680 Masehi), pasukan Imam Husein yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang telah berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30.000 (tiga puluh ribu) orang. Seorang demi seorang dari pengikut al-Husein mati terbunuh. Tak luput keluarganya juga mati dibantai. Tubuh mereka dipisah-pisah dan diinjak-injak dengan kudanya. Hingga ketika tidak ada seorangpun yang akan membelanya beliau mengangkat anaknya yang bernama Ali al-Asghar, seorang bayi yang masih menyusu sambil menanyakan apa dosa bayi itu hingga harus dibiarkan kehausan. Belum lagi terjawab pertanyaannya sebuah panah telah menancap di dada bayi tersebut dan ketika itu pula bayi yang masih mungil itu harus mengakhiri riwayatnya di dekapan ayahnya, al-Husein.
Kini tinggallah al-Husein seorang diri, membela misi suci seorang nabi, demi projek Allah apapun boleh terjadi, asal agama Allah mampu tegak berdiri, badan pun boleh mati. Perjuangan al-Husein telah mencapai puncaknya, tubuhnya yang suci telah dilumuri darah, rasa haus pun telah mencekiknya. Tubuh yang pernah dikucup dan digendong Rasulullah saw kini telah rebah di atas padang Karbala. Lalu datanglah Syimr, lelaki yang bertempang menakutkan, menaiki dada al-Husein lalu memisahkah kepala beliau serta melepas anggota tubuhnya satu demi satu.
Setelah kepergian Imam Husein, pasukan musuh menjarah barang-barang milik Imam dan pengikutnya yang telah tiada. Kebiadaban mereka tidak cukup sampai di sini, mereka lalu menyerang kemah wanita dan membakarnya serta mempermalukan wanita keluarga Rasulullah. Rombongan yang hanya terdiri dan kaum wanita itu, kemudian dijadikan sebagai tawanan perang yang dipertontonkan dan satu kota ke kota lain.
Rasulullah yang mendirikan negara Islam dan membebaskan mereka dari kebodohan. Namun keluarga Umayah yang tidak tahu membalas budi telah memperlakukan keluarga Rasulullah semena-mena. Beginikah cara umatmu membalas kebaikanmu wahai Rasulullah saw? Benarlah sabda Rasulullah yang berbunyi: “Wahai Asma! Dia (al-Husein) kelak akan dibunuh oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada mereka.”
Pembicaraan tentang Imam Husain adalah pembicaraan yang dipenuhi dengan kepahlawanan dan pengorbanan.
(dedyzulvita/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar