Ayatullah al-Uzdma Sayyid Husein Buroujerdi lahir pada April 1875 di kota Borujerd, Provinsi Lorestan, Iran. Beliau merupakan salah satu marji terkemuka dan ulama besar Syiah yang selalu memperhatikan masalah persatuan dan pendekatan antar mazhab-mazhab Islam.
Demi mempererat persatuan dan ikatan antar pengikut berbagai mazhab dalam Islam, Ayatullah Buroujerdi sangat mendukung pembentukan dan perluasan Dar al-Taqhrib di Kairo, Mesir. Dalam sejumlah kuliah tingkat tinggi pelajaran fikih, Ayatullah Buroujerdi kerap memaparkan fatwa-fatwa para ulama Sunni dan senantiasa berkata bahwa fase sejarah fikih Islam akan lebih jelas dengan mempelajari fatwa-fatwa ulama Sunni. Oleh sebab itu, beliau mengutus Allamah Sheikh Muhammad Taqi Qummi sebagai wakilnya ke Mesir untuk membangun dialog dan komunikasi dengan ulama-ulama di Universitas al-Azhar Kairo.
Dukungan Ayatullah Buroujerdi terhadap keberadaan Dar al-Taqhrib membuktikan perhatian beliau kepada masalah persatuan dan kesatuan Muslim. Beliau meyakini bahwa Syiah pada masa sekarang perlu menegaskan kedudukan intelektual Ahlul Bait as dan tidak mengutarakan isu-isu kontroversial. Tentu saja jika Syiah hanya besandar pada hadis tsaqalain tentang otoritas ilmiah Ahlul Bait as, itu saja sudah mampu membuat mereka menyingkirkan permusuhan-permusuhan yang tidak berguna dan menyatukan seluruh Muslim dengan meneladani keluarga Rasul saw.
Ayatullah Buroujerdi menilai kitab suci al-Quran sebagai sumber pemersatu umat. Setelah pendudukan Inggris dan rezim Zionis Israel atas tanah Palestina pada tahun-tahun pasca Perang Dunia Pertama dan Kedua, serta kekalahan bangsa Arab dalam perang melawan Israel, maka bahaya Zionis semakin mengancam negara-negara Islam. Oleh karena itu, strategi persatuan antar mazhab Islam sebagai sebuah solusi atas fenomena ini, telah menjadi sorotan pada ulama di masa itu.
Universitas al-Azhar Kairo telah menjadi pelopor atas seruan persatuan umat dengan memperhatikan sejarah panjang, letak geografis dan lahirnya tokoh-tokoh besar Islam di pusat pendidikan dunia itu seperti, Sheikh Muhammad Abduh dan Sayyid Jamaluddin al-Afghani beserta murid-murid kedua ulama ini yang terlibat langsung dalam perang dengan Israel. Pekikan itu mendapat dukungan dan sambutan dari sejumlah besar ulama dunia Islam, termasuk ulama besar Syiah, Ayatullah Buroujerdi.
Ayatullah Buroujerdi sejak didapuk sebagai marji besar Islam, menaruh perhatian khusus terhadap isu persatuan antar mazhab-mazhab Islam. Beliau meyakini bahwa usaha-usaha untuk mempersatukan umat termasuk dari kewajiban setiap ulama.
Ustadz Syahid Muthahhari saat melukiskan tekad dan harapan Ayatullah Boroujerdi akan persatuan umat, mengatakan, “Di antara keistimewaan khusus ulama berpengaruh ini adalah perhatian besar beliau terhadap masalah persatuan Islam, solidaritas dan pendekatan antar mazhab. Beliau dengan kemahiran di bidang sejarah Islam dan mazhab-mazhab Islam, menyadari besarnya pengaruh politik para penguasa di masa lalu dalam menciptakan perpecahan di tubuh umat Islam. Beliau juga mengetahui bahwa pada masa sekarang kebijakan-kebijakan kaum imperialis memanfaatkan secara maksimal perbedaan antar mazhab untuk menyulut api perpecahan di antara mereka. Ayatullah Buroujerdi juga menyadari bahwa keterasingan Syiah dari mazhab-mazhab Islam lainnya telah menyebabkan pengikut mazhab lain tidak mengenal Syiah dan memandangnya sebagai sesuatu yang jauh dari kebenaran.”
Oleh karena itu, Ayatullah Buroujerdi sangat ingin tercipta sikap saling memahami dan toleransi secara baik antara penganut Syiah dan Sunni. Sikap ini selain mewujudkan persatuan umat yang menjadi cita-cita agama suci ini, juga akan mambuka jalan bagi komunitas Sunni untuk mengenal fikih dan ideologi Syiah sebagamana adanya. Untuk pertama kalinya setelah ratusan tahun, terjalinlah ikatan persahabatan dan surat menyurat antara pembesar ulama Syiah dan ulama besar Sunni Sheikh Abdul Majid Salim, Mufti al-Azhar kala itu.
Ayatullah Boroujerdi sangat mengharapkan dan mencintai masalah pendekatan antar mazhab-mazhab Islam. Beliau selalu berusaha menjaga persatuan umat dan menghindari segala bentuk perkara yang berpotensi menjadi benih-benih perpecahan. Beliau juga tidak segan-segan menegur setiap pernyataan siapa pun yang dianggap bersebarangan dengan misi persatuan dan pendekatan mazhab.
Pada akhirnya, upaya Ayatullah Boroujerdi dalam pendekatan antar mazhab dan memperkenalkan mazhab Syiah kepada para ulama Sunni membuahkan hasil, di mana tepatnya pada tanggal 6 Juli 1959, Sheikh Mahmoud Shaltut sebagai Sheikh al-Azhar dan Mufti Agung Mesir kala itu, mengakui Syiah sebagai mazhab resmi Islam.
“Agama Islam tidak mewajibkan setiap penganutnya untuk mengikuti satu mazhab tertentu. Akan tetapi, setiap orang Muslim berhak mengikuti setiap mazhab yang diriwayatkan secara benar dan memiliki hukum-hukum yang tercatat dalam buku-buku khusus. Setiap orang yang mengikuti salah satu dari empat mazhab dapat berpindah kepada mazhab lainnya,” tulis Sheikh Shaltut dalam fatwanya.
Fatwa bersejarah ini dikeluarkan pada saat kelompok Wahabi gencar mengkafirkan mazhab Syiah. Tentunya fatwa ini memiliki pengaruh besar atas opini umat Islam terhadap mazhab yang menjadi perbincagan masa itu.
(dedyzulvita/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar