Oleh: Mohammad Adlany
Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama
lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda.
Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni
nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan
dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan
pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah
prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat,
dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu
empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia
dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan
sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari
itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan
manusia.
Namun, epistemologi (Theory of Knowledge, teori
pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia,
termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang,
merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu
logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan
tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan
berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi.
Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah
suatu ilmu yang dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan
tetapi, pada dua abad sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi
diposisikan sebagai salah satu disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam
permasalahan epistemologi tidak dibahas secara tersendiri, akan tetapi,
begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam
pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian
tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Pengindraan,
persepsi, dan ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa.
Begitu pula hal-hal yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji
dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal teoritis dan praktis,
wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi.
Namun belakangan ini, di Islam, epistemologi menjadi suatu bidang
disiplin baru ilmu yang mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat
manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan realitas eksternal.
Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah
karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahiriah manusia yang
merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal
terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan
dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak
menganggap valid lagi indra lahiriah itu dan berupaya membangun struktur
pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir
sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan
rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi
dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran
Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak
segala bentuk eksistensi eksternal.[1]
Dengan alasan itu, persoalan epistemologi sangat dipandang
serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya
menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan
berargumentasi secara benar yang sampai sekarang ini masih digunakan.
Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan
indra lahirah sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat
memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahiriah di Eropa,
dan setelah renaissance dan kemajuan ilmu empirik, lahir
kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahiriah yang berpuncak pada
Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu
disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650)
dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan
oleh John locke di Inggris.[2]
1. Pengertian Epistemologi
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana
terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur
kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa
manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu
ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi
matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan
fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari
jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal
yang akan dihadapinya.
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan
berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat
memahami dan menyadari bahwa:
- Hakikat itu ada dan nyata;
- Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
- Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
- Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat
itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi
manusia.
Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru,
misalnya bagaimana kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu
benar-benar ada? Mungkin hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah
bersumber dari khayalan kita belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas
bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa yang kita ketahui tentang hakikat
itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu sebagaimana adanya? Apakah
kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas eksternal itu? Sangat
mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai untuk mencapai
hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat khususnya apabila
kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra lahiriah dan
kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang
sejarah manusia?
Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan
persoalan-persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya
berpijak pada suatu asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada
persoalan-persoalan terakhir ini, keberadaan hakikat itu justru masih
menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk lebih jelasnya perhatikan
contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu pemandangan yang jauh
dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan bentuk-bentuk dan
warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda tersebut dengan
melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya. Dengan perantara
teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan tentang
realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya
kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan
dalam menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut?
Mungkin benda-benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran
besar atau kecil?. Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya
kemungkinan kesalahan penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan
ini berkaitan dengan keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh
teropong. Dengan ungkapan lain, tidak ditanyakan tentang keberadaan
realitas eksternal, akan tetapi, yang dipersoalkan adalah keabsahan
teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan untuk melihat
benda-benda yang jauh.
Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran,
persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas
pencerapan pikiran terhdap objek dan realitas eksternal, tolok ukur
kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan
indra mencapai hakikat dan mencerap objek eksternal, masih merupakan
persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita
mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan
eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang
diperoleh oleh akal-pikiran dan indra. Semua persoalan ini dibahas dalam
bidang ilmu epistemologi.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang
dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan
pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu,
makrifat, dan pengetahuan manusia.[3]
2. Ranah Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan
bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan
pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
A. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah tema epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4].
Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah
menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah
sebagai berikut:
- Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan
mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan,
kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî[5], hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
- Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
- Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
- Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini[6].
- Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
- Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
- Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan.[7]
- Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling
bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan
geografi.
- Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
- Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
B. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi
adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas,
karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan
psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam
ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat
keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang
ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan
realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara
aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan
faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas
dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek
pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu.
Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman
mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas
pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan
pengetahuan[8]. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî
juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang
diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa
dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
3. Metode Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi,
maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan
rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan
analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh
analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan
perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode
analisa sejarah.
4. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain
a. Hubungan epistemologi dengan ilmu logika
Ilmu logika adalah suatu ilmu yang mengajarkan tentang
metode berpikir benar, yakni metode yang digunakan oleh akal untuk
menyelami dan memahami realitas eksternal sebagaimana adanya dalam
penggambaran dan pembenaran. Dengan memperhatikan definisi ini, bisa
dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan dengan ilmu logika
dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah, karena apabila
kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan, maka mustahil
kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu hakikat dan
bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih perlu
dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang
diragukan.
b. Hubungan epistemologi dengan filsafat
Pengertian umum filsafat adalah pengenalan terhadap
eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat keberadaan.
Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah membahas
kaidah-kaidah umum tentang eksistensi[9].
Dalam dua pengertian tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan,
kodrat, dan validitas akal dalam memahami hakikat dan realitas
eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu logika merupakan mukadimah bagi
filsafat.
c. Hubungan epistemologi dengan teologi dan ilmu tafsir
Ilmu kalam (teologi) ialah suatu ilmu yang menjabarkan
proposisi-proposisi teks suci agama dan penyusunan argumentasi demi
mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu tafsir adalah suatu ilmu
yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab suci. Jadi, epistemologi
berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu tersebut,
khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan agama,
atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan hermeneutik,
karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan pembahasan
epistemologi.
5. Urgensi Epistemologi
Jika kita perhatikan definisi epistemologi dan hubungannya
dengan ilmu-ilmu lainnya, maka jelaslah mengenai urgensi kajian
epistemologi, terkhusus lagi apabila kita menyimak ruang pemikiran dan
budaya yang ada serta kritikan, keraguan, dan persoalan inti yang
dimunculkan seputar keyakinan agama dan dasar-dasar etika, fiqih,
penafsiran, dan hak-hak asasi manusia dimana sentral dari semua
pembahasan tersebut berpijak pada epistemologi.
Pembahasan seperti tersebut di atas membuktikan kepada kita
pentingnya pengkajian epistemologi dan konklusi-konklusinya. Dari aspek
lain, begitu banyak ayat al-Quran berkaitan dengan argumentasi akal,
memotivasi manusia untuk menggapai ilmu dan makrifat, dan menolak segala
bentuk keraguan. Semua kenyataan ini berarti bahwa pencapaian keyakinan
dan kebenaran adalah sangat mungkin dengan perantaraan akal dan
argumentasi rasional, dan jika ada orang yang ragu atas realitas ini,
maka minimalnya iaharus menerimanya untuk menjawab segala bentuk
kritikan.[10]
Perbedaan hakiki manusia dan hewan terletak pada potensi
akal-pikiran. Rahasia kemanusiaan manusia adalah bahwa iamesti menjadi
maujud yang berakal dan mengaplikasikan kekuatan akal dalam semua segmen
kehidupannya serta seluruh kehendak dan iradahnya terwujud melalui
pancaran petunjuk akal. Hal ini berarti bahwa jika akal dan
rasionalitasnya dipisahkan dari kehidupannya, maka yang tertinggal
hanyalah sifat kehewannya, dengan demikian, segala dinamika hidupnya
berasal dari kecenderungan hewaninya.
Manusia ialah maujud yang berakal dan seluruh aktivitasnya
dinapasi oleh akal dan pengetahuan, maka dari itu, suatu rangkaian
persoalan yang prinsipil menjadi terkonstruksi dengan tujuan untuk
mencarikan solusi atas segala permasalahan yang timbul berkaitan dengan
pengetahuan dan akal manusia, dimana hal itu merupakan pembatas
substansial antara iadengan hewan.
Yang pasti, jawaban atas segala persoalan mendasar niscaya
dengan upaya-upaya rasional dan filosofis, karena ilmu-ilmu alam dan
matematika tidak mampu memberikan solusi komprehensif dan universal
atasnya. Karena telah jelas urgensi upaya rasional untuk kehidupan
hakiki manusia, maka persoalan yang kemudian muncul ialah apakah akal
manusia mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut? Jika nilai dan
validitas pengenalan akal belum ditegaskan, maka tidaklah berguna
pengakuan akal dalam mengajukan solusi atas segala permasalahan yang
dihadapi manusia, dan keraguan akan senantiasa bersama manusia bahwa
apakah akal telah memberikan solusi yang benar atas perkara-perkara
tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah inti pembahasan epistemologi.
Dengan begitu, sebelum melangkah ke arah upaya-upaya rasional dan
filosofis, langkah pertama yang mesti diambil adalah membedah
persoalan-persoalan epistemologi.
Dengan ungkapan lain, apabila kita merujuk kepada daftar
isi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, misalnya
persoalan tentang keberadaan realitas eksternal dan kemungkinan
terjalinnya hubungan manusia dengan realitas eksternal itu, maka akan
menjadi jelas bagi kita bahwa epistemologi merupakan pemberi validitas
dan nilai kepada seluruh pemikiran filsafat dan penemuan ilmiah manusia
sedemikian sehingga kalau persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
ilmu dan pengetahuan tersebut belumlah menjadi jelas, maka tak satu pun
pemikiran filsafat manusia dan penemuan ilmiah yang akan bernilai,
karena semua aliran filsafat dan ilmu mengaku telah berhasil mengungkap
hakikat alam, manusia, dan rahasia fenomena eksistensial lainnya.
Berkenaan dengan urgensi epistemologi, kami akan kutip
ungkapan seorang pemikir dan filosof Islam kontemporer asal Iran,
Murthada Muthahhari, ia berkata “Pada era ini kita menyaksikan
keberadaan aliran-aliran filsafat sosial dan ideologi yang berbeda
dimana masing-masingnya mengusulkan suatu jalan dan solusi hidup.
Aliran-aliran ini memiliki sandaran pemikiran yang bersaing satu sama
lain untuk merebut pengaruh. Muncul suatu pertanyaan, mengapa
aliran-aliran dan ideologi-ideologi tersebut memiliki perbedaan?
Jawabannya, penyebab lahirnya perbedaan-perbedaan tersebut terletak pada
perbedaan pandangan dunianya (word view) masing-masing. Hal
ini karena, semua ideologi berpijak pada pandangan dunia dan setiap
pandangan dunia tertentu akan menghadirkan ideologi dan aliran sosial
tertentu pula. Ideologi menentukan apa yang mesti dilakukan oleh manusia
dan mengajukan bagaimana metode mencapai tujuan itu. Ideologi
menyatakan kepada kita bagaimana hidup semestinya. Mengapa ideologi
mengarahkan kita? Karena pandangan dunia menegaskan suatu hukum yang
mesti diterapkan pada masyarakat dan sekaligus menentukan arah dan
tujuan hidup masyarakat. Apa yang ditentukan oleh pandangan dunia, itu
pula yang akan diikuti oleh ideologi. Ideologi seperti filsafat praktis,
sedangkan pandangan dunia menempati filsafat teoritis. Filsafat praktis
bergantung kepada filsafat teoritis. Mengapa suatu ideologi berpijak
pada materialisme dan ideologi lainnya bersandar pada teisme? Perbedaan
pandangan dunia tersebut pada hakikatnya bersumber dari perbedaan
dasar-dasar pengenalan, pengetahuan, dan epistemologi.[11]“
Referensi:
[1] . Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar eropa, jilid satu, hal. 74.
[2] . Muhammad Ali Furughi, Seir-e Hikmat dar Eropa, jilid kedua, hal. 141.
[3]. Syapur ‘Itemod, Tarikh Ma’rifat Syenosi, hal. 2. Syahid Muthahhari, Syenokht-e dar Quran, hal. 29. Taqi Mishbah Yazdi, Omusyes Falsafeh, jilid pertama, pelajaran kesebelas. Mahdi Dahbosy, Nazariyeh-e Syenokh, hal 32.
[4].
Perlu diketahui bahwa apabila kita memiliki ilmu terhadap sesuatu, maka
sesuatu itu hadir dalam jiwa dan pikiran kita. Pada satu sisi kita
memahami bahwa pada setiap sesuatu memiliki dua dimensi, dimensi
kuiditas dan dimensi wujud. Apabila sesuatu yang hadir dalam pikiran
kita adalah kuiditasnya (mahiyah), maka ilmu kita terhadap sesuatu itu disebut “ilmu hushûlî” atau “pengenalan rasional“.
Pengenalan rasional ini memahami objek-objeknya lewat symbol-simbol,
kata-kata, kalimat, atau rumus-rumus. Namun, kalau sesuatu yang hadir
dalam jiwa kita adalah wujud eksternalnya, maka ilmu kita terhadap
sesuatu itu di sebut “ilmu hudhûrî” atau “pengenalan intuitif“.
Misalnya ketika kita melihat api yang ada di luar diri kita, kalau yang
kita tangkap dari api adalah kuiditasnya, maka api yang ada di dalam
pikiran kita tidak akan membakar pikiran kita, akan tetapi, jika yang
hadir dalam diri kita adalah wujud api itu sendiri, maka niscaya akan
membakar diri kita, karena yang memiliki pengaruh membakar itu hanyalah
wujud api, bukan kuiditasnya. Dengan demikian, ilmu hudhûrî menangkap objeknya secara langsung (immediate)
dan berkaitan dengan hakikat sesuatu. Pengetahuan intuitif ini ditandai
oleh hadirnya objek di dalam diri si subjek, karena itu pengetahuan ini
disebut “presensial“. Sementara ilmu hushûlî hanya berhubungan dengan gambaran sesuatu itu. Ali Syirwani, Syarh-e Mushthalahât-e Falsafi, hal. 110-111.
[5]. Silahkan rujuk pada catatan kaki no. 4.
[6]
. Kebenaran yang belum diyakini adalah suatu bentuk kebenaran yang
diterima secara taklid dari orang-orang yang dipercaya dan belum melalui
proses penelitian secara sistimatis dan logis.
[7]
. Plato adalah orang pertama yang melontarkan bahwa keyakinan benar
yang bisa dibuktikan sebagai makrifat hakiki. Kaum epistemolog Barat
mayoritas menyetujui makna ilmu seperti ini. Aflatun, Daure-ye Otsor, jilid kedua, hal. 1119. Paul Edward, Dâiratul Ma’ârif, jilid ketiga, hal. 10.
[8]
. Dalam epistemologi kontemporer di Barat dibahas esensi ilmu
(keyakinan benar yang bisa dibuktikan), esensi alim (yang mengetahui),
esensi ma’lum (yang diketahui), sumber ilmu, keluasan ilmu yang mencakup
ilmu terhadap Tuhan, jiwa manusia, materi, hakikat sebagaimana adanya
(noman), fenomena (yang tampak kepada kita), pembagian ilmu berdasarkan
keabsahan ma’lum, keabsahan alat, keabsahan metode, keabsahan kehadiran
ilmu, dan juga berdasarkan tolok ukur ilmu. Apabila subyek epistemologi
adalah penyingkapan secara umum, maka akan tercakup segala apa yang
disebutkan itu.
[9]
. Seperti pengkajian kaidah tentang sebab dan akibat, ada dan tiada,
kemestian, kemungkinan dan kemustahilan mewujud, wujud tetap dan
berubah, qidam dan huduts, wujud pikiran dan eksternal, wujud dan
kuiditas, potensi dan aktual, dan wujud materi, mitsal, dan non-materi.
[10]
. Jalan menuju makrifat tidak terbatas pada akal dan indra lahiriah,
melainkan pencapaina makrifat bisa dengan jalan syuhud irfani, ilham,
dan berpuncak pada wahyu. Akan tetapi, apa yang menjadi titik tekan dan
inti pembahasan dalam epistemologi adalah mengenai akal dan indra
(lahiriah dan batiniah).
[11] . Syahid Murtadha Muthahhari, Masaley-ye Syenokh, hal. 13.
(teosophy/ABNS)