Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari
Dari sudut pandang Al-Qur’an, dari awal hingga akhir, hanya ada satu agama Tuhan. Semua nabi, terlepas dari fakta apakah mereka memiliki syariat sendiri atau tidak, memiliki misi yang sama dan mendakwahkan risalah yang sama. Prinsip-prinsip dasar mereka yang disebut agama adalah sama. Ajaran-ajaran mereka hanya berbeda dalam soal hukum dan masalah-masalah subsider yang nilai pentingnya sekunder. Hukum dan masalah subsider ini beragam sesuai dengan kebutuhan zaman, keadaan lingkungan dan sifat khas masyarakat yang didakwahi para nabi ini. Sekalipun bentuk ajaran-ajaran mereka berbeda, namun semua nabi memvisualisasikan satu tujuan yang sama. Di samping berbeda bentuk, juga berbeda tataran.
Nabi-nabi yang diutus belakangan, ajaran-ajaran mereka lebih tinggi tingkat keselarasannya dengan tahap perkembangan manusia. Misal, ada perbedaan yang besar pada tataran ajaran Islam dan nabi-nabi sebelumnya dalam hal asal-usul manusia, akhirat dan konsepsi tentang dunia. Dengan kata lain, manusia dalam kaitannya dengan ajaran para nabi adalah laksana siswa yang secara bertahap naik dari kelas satu ke kelas yang paling tinggi. Proses ini menunjukkan perkembangan agama, bukan perbedaan agama. Al-Qur’an Suci tidak menggunakan kata “agama” dalam bentuk jamak. Dari sudut pandang Al-Qur’an Suci, yang ada adalah satu agama, bukan banyak agama. Ada perbedaan yang besar antara nabi dari filosof besar dan pemimpin masyarakat terkemuka. Filosof besar memiliki mazhabnya sendiri. Itulah sebabnya di dunia ini selalu ada sedemikian banyak mazhab filsafat. Sedangkan para nabi, mereka justru selalu saling membenarkan atau memperkuat dan tak pernah saling bertentangan. Seandainya seorang nabi hidup di zaman dan di lingkungan nabi yang lain, tentu dia akan mendakwahkan juga norma hukum dan norma perilaku yang didakwahkan oleh nabi yang lain itu.
Al-Qur’an Suci dengan tegas menyatakan bahwa nabi-nabi itu merupakan satu rangkaian tunggal. Nabi-nabi sebelumnya meramalkan nabi-nabi belakangan, dan nabi-nabi belakangan mengakui dan menerima nabi-nabi sebelumnya. Al-Qur’an Suci juga mengatakan bahwa Allah telah membuat akad dengan para nabi yang isinya kira-kira menyebutkan bahwa para nabi akan saling percaya dan saling membantu.
Allah Swt dalam al-Qur’an Suci berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang denakian itu? “Mereka menjawab: “Kami mengakui.” Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS. Âli ‘Imrân: 81).
Al-Qur’an menyebut agama Tuhan itu Islam, dan menggambarkannya sebagai suatu proses berkelanjutan sejak dari Adam as hingga Nabi terakhir, Muhammad saw. Ini tidak berarti bahwa agama Allah itu selalu dikenal dengan nama Islam. Maksudnya adalah bahwa Islam merupakan kata yang paling baik untuk menggambarkan karakter agama ini. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci menyebutkan:
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Âli ‘Imrân: 19).
Al-Qur’an Suci juga menyebutkan, yang artinya:
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi menyerahkan diri kepada Allah (Muslim) dan sekati-kati bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik. (QS. Âli ‘Imrân: 67).
Sudah kami paparkan bahwa sekalipun ada perbedaan dalam detail, namun semua nabi menyampaikan risalah yang sama, dan mazhab ideologi merekajuga sama. Prinsip dan ajaran mazhab ini dijelaskan kepada masyarakat manusia secara berangsur sesuai dengan perkembangan masyarakat manusia tersebut, sampai masyarakat manusia ini sampai pada tahap yang memungkinkan disampaikannya seluruh ajaran ini dalam bentuknya yang lengkap. Pada tahap ini kenabian sampai pada ujungnya. Nabi Muhammad saw membawa ideologi sempurna itu, sedangkan Al-Qur’an Suci merupakan kitab samawi terakhir. Al-Qur’an sendiri mengatakan:
Telah sempumalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tak ada yang dapat mengubah Kalimat-kalimat-Nya. (QS. al-An’âm: 115).
Sekarang mari kita lihat kenapa di masa lalu kenabian diperbarui dari waktu ke waktu, dan berturut-turut diutus begitu banyak nabi, sekalipun kebanyakan mereka tidak membawa syariat sendiri, dan diutus hanya untuk mendakwahkan syariat yang sudah ada? Kenapa prosedur ini berakhir pada Nabi Muhammad saw, yang sejak beliau saw tak ada lagi nabi pembawa syariat, atau tak ada lagi nabi yang hanya mendakwahkan syariat yang sudah ada? Secara ringkas alasan-alasannya akan kami bahas.
Alasan Diperbaruinya Kenabian
Kendatipun kenabian merupakan satu proses berkelanjutan, sedangkan risalah Tuhan, sebagai agama, tak lebih daripada satu realitas, namun beberapa alasan kenapa berturut-turut diutus sedemikian banyak nabi pembawa syariat dan nabi pendakwah syariat yang sudah ada, dan berakhirnya kenabian setelah datangnya Nabi terakhir, Muhammad saw, adalah sebagai berikut:
Pertama, akibat belum matang pemikirannya, manusia kuno atau manusia purba tak sanggup menjaga kitab samawinya. Biasanya kitab-kitab samawi ini diubah dan dirusak isinya. Atau kalau tidak, hilang sama sekali. Karena itu, dari waktu ke waktu, risalah perlu diperbarui. Al-Qur’an Suci turun ketika manusia sudah melewati masa kanak-kanaknya dan sudah mampu menjaga warisan pemikirannya. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci, Kitab terakhir Allah, tidak mengalami perubahan. Kaum Muslim menghafalkan dan mencatat dalam bentuk tulisan setiap ayat Al-Qur’an Suci yang turun, dan meniadakan setiap kemungkinan penambahan, penghapusan atau penggantian. Dengan demikian, hilanglah sudah salah satu alasan pembaruan kenabian.
Kedua, karena manusia belum matang, maka manusia belum cukup mampu untuk memiliki skema paripurna untuk membimbing dirinya sendiri, dan karena itu manusia perlu mendapat bimbingan tahap demi tahap dari para nabi. Namun, pada masa kenabian terakhir, manusia sudah berkembang sedemikian sehingga mampu memiliki skema perilaku yang paripurna, dan tak lagi perlu mendapat bimbingan tahap demi tahap dari nabi. Di samping hilangnya kitab-kitab samawi lama dan terdistorsinya kitab-kitab tersebut, alasan lain kenapa kenabian mengalami pembaruan berkelanjutan adalah karena manusia di zaman-zaman dahulu belum mampu menerima skema yang paripurna. Ketika kemampuannya sudah cukup berkembang, manusia sudah mampu memiliki skema yang paripurna, sehingga hilanglah sudah alasan pembaruan kenabian ini. Sekarang para ulama yang ahli di bidang ini dapat membimbing kaum Muslim dengan skema ini, dan dapat merumuskan hukum serta prosedur bagi kaum Muslim yang sesuai untuk setiap masa.
Ketiga, kebanyakan nabi hanya mendakwahkan syariat yang sudah ada. Jumlah nabi yang membawa syariat sendiri tak lebih dari lima orang. Tugas nabi yang mendakwahkan syariat yang sudah ada adalah mendakwahkan, menafsirkan dan menyebarluaskan hukum agama yang berlaku di masanya. Sekarang ulama di zaman Nabi terakhir saw, yang merupakan zaman ilmu pengetahuan, mampu menerapkan prinsip-prinsip umum Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat, dan mampu menyimpulkan hukum agama. Proses penyimpulan hukum agama ini disebut ijtihad. Dengan demikian, ulama-ulama terkemuka mengemban banyak tugas nabi pendakwah, dan sebagian dari mereka bahkan mengemban tugas nabi pembawa syariat tanpa harus menjadi pembuat hukum. Mereka membimbing umat Muslim.
Dengan demikian, sekalipun kebutuhan akan agama masih ada, dan diperkirakan kebutuhan ini akan semakin meningkat bersamaan dengan perkembangan budaya manusia, namun kebutuhan akan nabi baru dan kitab suci baru sudah tak ada lagi. Karena itu kenabian sudah berakhir dengan diutusnya Nabi terakhir, Muhammad saw.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa kematangan sosial dan kematangan berpikir manusia memiliki peran yang besar dalam mengakhiri kenabian. Peran tersebut adalah:
1. Memungkinkan manusia untuk menjaga kitab samawinya agar tak didistorsi.
2. Memungkinkan manusia untuk menerima program evolusinya sekaligus, bukan secara bertahap.
3. Memungkinkan manusia untuk mengemban tugas menyebar-luaskan agama, untuk menegakkan institusi-institusi agama, untuk mengajak orang berbuat baik dan mencegah orang berbuat keji. Dengan demikian tak lagi dibutuhkan nabi-nabi pendakwah yang hanya mendakwahkan ajaran nabi pembawa syariat. Kebutuhan ini sekarang dapat dipenuhi secara memadai oleh ulama.
4. Dari sudut pandang perkembangan mental, manusia sekarang sudah sampai pada tahap di mana, menurut ijtihadnya, dia dapat menafsirkan ayat dan dapat menerapkan prinsip-prinsipnya yang relevan pada segala keadaan yang senantiasa berubah. Tugas ini juga diemban oleh ulama.
Jelaslah bahwa makna kenabian terakhir bukanlah bahwa manusia tak lagi membutuhkan ajaran Tuhan yang diterima melalui wahyu. Kenabian belumlah berakhir, karena akibat perkembangan mentalnya, manusia sekarang mampu melepaskan agama.
Sarjana terkemuka sekaligus pemikir besar Muslim, Dr. Iqbal, sekalipun pembahasannya mengenai masalah-masalah Islam luar biasa cerdas, dan pembahasannya ini secara pribadi banyak bermanfaat bagi kami, dan juga telah kami gunakan dalam buku ini dan buku-buku lainnya, telah sedemikian salah paham ketika menjelaskan filosofi finalitas kenabian. Kesimpulannya didasarkan pada poin-poin tertentu:
(1) Kata “wahyu” yang secara harfiah berarti “membisikkan”, digunakan oleh Al-Qur’an Suci dalam pengertian yang diperluas sehingga mencakup setiap ilham bimbingan apakah penerima bimbingan itu makhluk inorganis, tumbuhan, binatang atau manusia. Iqbal mengatakan: “Kontak dengan akar wujudnya sendiri ini sama sekali bukan khas manusia saja. Sungguh, penggunaan kata “wahyu”dalam Al-Qur’an Suci menunjukkan bahwa Al-Qur’an Suci memandang wahyu sebagai sifat universal kehidupan, sekalipun karakter wahyu beda pada berbagai tahap evolusi kehidupan. Tanaman yang tumbuh leluasa, binatang yang berkembang organ barunya sedemikian sehingga sesuai dengan lingkungan yang baru, dan manusia yang menerima cahaya dari lubuk jiwa kehidupan, semuanya merupakan contoh-contoh wahyu yang beragam karakternya sesuai dengan kebutuhan si penerima atau kebutuhan spesies si penerima.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 125).
(2)Wahyu merupakan semacam naluri, dan bimbingan melalui wahyu merupakan semacam bimbingan naluriah.
(3)Wahyu merupakan bimbingan, bila dilihat dari sudut pandang kolektif. Masyarakat manusia yang merupakan unit yang bergerak dan tunduk kepada hukum gerak, pasti membutuhkan bimbingan. Dalam hal ini (bimbingan—pen.), nabi hanyalah seperti wadah penerima yang secara naluriah menerima apa yang dibutuhkan oleh umat manusia. Berkata Dr. Iqbal: “Kehidupan dunia ini secara intuisi melihat kebutuhannya sendiri, dan pada saat-saat kritis merumuskan arahnya sendiri. Inilah, dalam bahasa agama, yang kita sebut wahyu kenabian.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 147).
(4) Pada tahap-tahap awalnya, makhluk hidup mendapat bimbingan dari nalurinya. Setelah sampai pada tahap-tahap evolusi yang lebih tinggi, dan setelah daya perasaan, imajinasi dan pemikirannya berkembang, daya nalurinya pun mengalami reduksi dan digantikan oleh daya perasaan dan daya pikirnya. Dengan demikian serangga memiliki naluri yang sangat kuat, sedangkan naluri manusia sangat lemah.
(5) Dari sudut pandang sosiologis, masyarakat manusia tengah menjalani proses evolusi. Pada tahap-tahap awalnya, binatang membutuhkan naluri dan berangsur-angsur daya perasaan dan daya imajinasinya berkembang, dan dalam kasus-kasus tertentu daya pikirnya juga, dan bimbingan melalui nalurinya digantikan oleh bimbingan melalui perasaan dan imajinasi. Begitu pula, manusia, dalam proses evolusinya, berangsur-angsur sampai pada tahap di mana rasionalitasnya sedemikian berkembang sehingga daya nalurinya (wahyu atau inspirasi) menjadi lemah. Kata Dr. Iqbal: “Pada masa kanak-kanak, energi jiwa manusia mengembangkan apa yang saya sebut kesadaran kenabian—suatu bentuk ekonomisasi pemikiran dan pilihan orang seorang dengan memberikan penilaian yang sudahjadi, pilihan dan cara bertindak. Namun dengan lahirnya akal dan daya kritis, maka kehidupan, untuk kepentingannya sendiri, mencegah muncul dan berkembangnya bentuk-bentuk kesadaran yang non-rasional. Bentuk-bentuk inilah yang mengalirkan energi jiwa ketika evolusi manusia berada pada tahapnya yang lebih awal. Manusia terutama diatur oleh nafsu dan naluri. Jalan pikiran yang logislah yang membuat manusia dapat mengendalikan lingkungannya. Jalan pikiran yang logis itu sendiri merupakan suatu prestasi. Setelah jalan pikiran yang logis ini lahir, maka harus diperkuat, caranya yaitu dengan mencegah tumbuhnya bentuk-bentuk lain pengetahuan.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 125).
(6) Pada dasarnya dunia melewati dua zaman: Zaman ilham serta zaman refleksi dan pemikiran rasional tentang alam dan sejarah. Dunia purba melahirkan beberapa sistem besar filsafat (seperti Yunani dan Romawi). Namun nilainya terbatas, karena manusia masih dalam proses melewati periode belum matangnya. Dr. Iqbal mengatakan: “Tak diragukan lagi, dunia purba melahirkan beberapa sistem besar filsafat ketika manusia relatif masih belum matang, dan lebih kurang yang mengatur manusia adalah ilham. Namun kita tak boleh lupa bahwa pembangunan sistem ini di dunia purba merupakan kerja pemikiran spekulatif, yang tak bisa lebih dari sistematisasi keyakinan agama dan tradisi yang tak jelas, sehingga tak ada pengaruhnya pada situasi konkret kehidupan.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126).
(7)Nabi Muhammad saw, Nabi terakhir, adalah bagian dari dunia purba maupun dunia modern. Karena sumber ilhamnya adalah wahyu, bukan studi experimental atas alam dan sejarah, maka dia adalah bagian dari dunia purba. Namun karena semangat ajarannya menuntut adanya pemikiran rasional dan studi atas alam dan sejarah, dan dua hal ini (pemikiran rasional dan studi atas alam dan sejarah—pen.) mengakhiri kerja wahyu, maka dia adalah bagian dari dunia modern. Dr. Iqbal mengatakan: “Kalau masalah ini dilihat dari sudut pandang ini, maka Nabi saw tampaknya berada antara dunia purba dan dunia modern. Sejauh menyangkut sumber wahyunya, dia adalah bagian dari dunia purba. Dan sejauh menyangkut jiwa wahyunya, dia adalah bagian dari dunia modern. Pada diri Nabi saw kehidupan menemukan sumber-sumber lain pengetahuan yang sesuai dengan arah barunya. Lahirnya Islam adalah lahirnya akal induktif (logis). Dalam Islam, kenabian barulah sempurna kalau sudah didapati perlunya menghapus kenabian itu sendiri. Ini melibatkan persepsi yang tajam bahwa hidup tak mungkin selamanya dikendalikan secara ketat. Karena itu, untuk bisa sepenuhnya sadar diri, manusia pada akhirnya haruslah bersandar pada sumbernya sendiri. Penghapusan kependetaan dan jabatan raja yang turun-temurun dalam Islam, seruan terus-menerus dalam Al-Qur’an Suci untuk menggunakan nalar dan pengalaman serta penekanan Al-Qur’an Suci pada alam dan sejarah sebagai sumber pengetahuan manusia, semuanya merupakan segi-segi yang berbeda dari pikiran yang sama tentang finalitas (kenabian—pen.).” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126).
Itulah poin-poin utama filosofi finalitas kenabian menurut pemahaman Dr. Iqbal. Sayangnya, filosofi ini keliru, dan beberapa prinsipnya tidak benar.
Keberatan pertama—dan keberatan ini dapat dipertanggung-jawabkan—adalah bahwa jika filosofi ini diterima, maka artinya adalah bahwa bukan saja tak lagi diperlukan adanya nabi baru atau wahyu baru, namun juga tak lagi dibutuhkan adanya bimbingan melalui wahyu, karena fungsi membimbing ini sudah dapat dilakukan oleh akal eksperimental. Filosofi ini adalah filosofi akhir agama, bukan filosofi finalitas kenabian. Jika filosofi ini diterima, maka yang dapat dilakukan oleh wahyu Islam hanyalah memaklumkan akhir era agama dan awal era nalar dan ilmu pengetahuan. Jelaslah pikiran semacam ini bukan saja bertentangan dengan keyakinan pentingnya Islam, namun juga bertentangan dengan pandangan Dr. Iqbal sendiri.
Sesungguhnya semua upayanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa nalar dan ilmu pengetahuan, sekalipun penting bagi masyarakat manusia, namun belum cukup. Manusia butuh iman dan agama. Dia juga butuh sains dan pengetahuan. Dr. Iqbal mengatakan dengan jelas bahwa dalam hidup dibutuhkan adanya prinsip-prinsip yang pasti dan juga faktor-faktor sekunder yang bisa berubah-ubah, dan bahwa ijtihad dimaksudkan untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi-situasi tertentu. Dia mengatakan:
“Budaya baru menemukan fondasi unitas-dunia dalam prinsip “tauhid” (monoteisme). Islam sebagai sebuah bangsa merupakan satu-satunya sarana praktis untuk membuat prinsip ini menjadi faktor yang hidup dalam kehidupan pemikiran dan emosi umat manusia. Islam menuntut agar kita setia kepada Allah, bukan kepada tahta. Karena Allah adalah basis spiritual final segenap kehidupan, maka kesetiaan kepada-Nya berarti kesetiaan manusia kepada karakter idealnya sendiri. Menurut Islam, basis spiritual final segenap kehidupan itu abadi dan terlihat dalam keragaman dan perubahan. Suatu masyarakat yang didasarkan pada konsepsi realitas seperti itu harus menerima, dalam hidupnya, permanensi dan perubahan. Masyarakat seperti ini harus memiliki prinsip-prinsip abadi untuk mengatur kehidupan kolektifnya. Berkat keabadian, kita jadi punya tempat berpijak di dunia yang senantiasa berubah ini. Namun prinsip-prinsip abadi bila dipahami sebagai tak mengenal kemungkinan adanya perubahan yang, menurut Al-Qur’an Suci, merupakan salah satu ayat Allah, cenderung menghentikan apa yang pada hakikatnya berkarakter aktif. Kegagalan Eropa dalam ilmu politik dan sosial mengilustrasikan prinsip yang pertama. Kelumpuhan Islam selama lima ratus tahun terakhir ini menggambarkan prinsip yang kedua. Lantas dalam Islam apa prinsip aktif itu? Ini dikenal sebagai ijtihad.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 147).
Dan uraian di atas terlihat bahwa bimbingan wahyu akan selalu dibutuhkan, dan bimbingan akal experimental tak akan pernah dapat menggantikan posisi bimbingan wahyu. Dr. Iqbal sendiri mendukung prinsip yang mengatakan bahwa bimbingan selalu dibutuhkan. Namun filosofi yang dikemukakannya untuk menjelaskan finalitas kenabian menyebutkan bahwa bukan saja nabi baru atau wahyu baru tidak dibutuhkan, namun agama itu sendiri juga harus berakhir. Interpretasi Dr. Iqbal yang salah mengenai finalitas mengandung arti bahwa kebutuhan manusia akan bimbingan dan pendidikan dari nabi, karakternya sama dengan kebutuhan anak terhadap kelas.
Anak, setiap tahun naik kelas dan berganti guru. Begitu pula, pada setiap periode manusia beralih ke tahap berikutnya, dan membutuhkan syariat baru. Bila anak sudah sampai di kelas paling tinggi, berarti dia akan menamatkan pendidikannya dan lalu mendapat ijazah. Setelah itu dia tak lagi membutuhkan guru, dan dapat melakukan penelitian sendiri. Begitu pula, orang yang hidup di zaman finalitas kenabian, maka dia mendapat surat tanda tamat belajar. Sekarang dia dapat melakukan studi alam dan sejarah sendiri. Itulah arti ijtihad. Setelah kenabian berakhir, manusia sampai pada tahap mampu mencukupi kebutuhan sendiri.
Tak diragukan lagi, interpretasi tentang akhir kenabian yang seperti itu salah. Karena itu, interpretasi itu tak dapat diterima oleh Dr. Iqbal sendiri, dan juga ditolak oleh mereka yang membuat kesimpulan seperti ini dari paparannya.
Kalau pandangan Dr. Iqbal benar, maka apa yang disebutnya “pengalaman jiwa” (ilham dan cahaya spiritual yang diterima oleh orangorang suci) juga jadi tak ada, karena diduga juga merupakan bagian dari naluri, sedangkan naluri jadi tak berdaya setelah munculnya pikiran eksperimental. Namun menurut Dr. Iqbal, pengalaman mistis itu masih terus ada. Menurutnya, dari sudut pandang Islam, pengalaman jiwa merupakan satu di antara tiga sumber pengetahuan manusia, sedangkan dua lainnya adalah alam dan sejarah.
Secara pribadi juga kecenderungan mistis Dr. Iqbal kuat. Dia sangat mempercayai ilham. Katanya, “Namun gagasan itu tidak berarti bahwa pengalaman mistis, yang secara kualitatif tidak beda dengan pengalaman para nabi, kini tak ada lagi sebagai fakta yang penting sekali. Sungguh, Al-Qur’an Suci memandang “anfus” (diri) dan “âfâq” (dunia) sebagai sumber pengetahuan. Allah menyingkapkan ayat-ayat-Nya dalam jiwa maupun pengalaman lahiriah, dan tugas manusia adalah menilai apakah semua aspek pengalaman itu memiliki kapasitas memberikan pengetahuan, ataukah tidak. Karena itu gagasan bahwa kenabian sudah berakhir janganlah diartikan bahwa nasib akhir kehidupan benar-benar ada di tangan akal. Hal seperti ini mustahil dan juga tidak diharapkan. Nilai intelektual gagasan itu adalah gagasan itu cenderung menciptakan sikap yang kritis terhadap pengalaman mistis dengan melahirkan kepercayaan bahwa semua wewenang pribadi, yang mengklaim berasal dari (kekuatan) supranatural, sudah berakhir dalam sejarah manusia. Maka pengalaman mistis, kendatipun luar biasa, kini harus dianggap oleh seorang Muslim sebagai pengalaman yang betul-betul alami yang dapat dikaji secara kritis seperti aspek-aspek lain pengalaman manusia.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 126).
Yang hendak dikatakan Dr. Iqbal adalah bahwa sekalipun kenabian sudah berakhir, namun ilham dan mukjizat orang suci belum berakhir, kendatipun tak lagi begitu otoritatif seperti di masa lalu. Sebelum lahirnya pikiran eksperimental, mukjizat benar-benar alamiah otoritasnya dan tak dapat diragukan lagi. Namun setelah pikiran manusia maju (pada zaman berakhirnya kenabian), mukjizat jadi tak otoritatif, dan sekarang tak ubahnya seperti kejadian-kejadian dan fenomena lain yang dapat dikaji secara kritis. Periode sebelum berakhirnya kenabian merupakan periode mukjizat dan kejadian supranatural, namun zaman berakhirnya kenabian merupakan zaman akal, yang memandang peristiwa supranatural tidak dapat membuktikan apa-apa. Akal menilai setiap realitas yang didapat melalui pengalaman mistis dengan standar-standarnya sendiri.
Pada bagian ini, apa yang dikemukakan Dr. Iqbal juga tidak betul, baik mengenai periode sebelum berakhirnya kenabian maupun mengenai periode setelah berakhirnya kenabian. Bagian ini akan kami ulas dalam sub-sub Bab berikut ini.
Mukjizat Nabi Terakhir
Pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Iqbal bahwa wahyu merupakan semacam naluri, juga salah. Karena pandangan ini, Dr. Iqbal melakukan beberapa kesalahan lagi. Tentu saja Dr. Iqbal sadar betul bahwa sesungguhnya naluri merupakan suatu kecenderungan bawaan dan tanpa sadar. Naluri merupakan suatu kemampuan yang lebih rendah dibanding indera dan akal. Menurut hukum alam, binatang-binatang primitif seperti serangga dan binatang lain yang kelasnya lebih rendah dibanding serangga memiliki kemampuan yang disebut naluri ini. Dengan berkembangnya sarana lain untuk memberikan bimbingan, seperti indera dan akal, naluri jadi lemah dan pasif. Itulah sebabnya manusia yang daya pikirnya sangat tinggi, daya nalurinya sangat lemah.
Wahyu justru merupakan sarana pembimbing yang lebih tinggi derajatnya dibanding indera dan akal, dan untuk sebagian besar merupakan sesuatu yang diupayakan. Terutama wahyu merupakan kesadaran yang sangat tinggi tingkatannya, dan bidang temuan wahyu jauh lebih luas keumbang bidang kerja pikiran eksperimental. Pada bagian sebelumnya, ketika membahas masalah ideologi, sudah kami buktikan bahwa kalau melihat keragaman kemampuan individual dan sosial manusia, kompleksitas hubungan sosialnya dan masih dipertanyakannya tujuan perjalanan evolusinya, maka ideologi-ideologi yang dikemukakan oleh para filosof dan sosiolog itu menyesatkan serta membingungkan. Kalau manusia mau memiliki ideologi yang benar, hanya ada satu jalan baginya, yaitu jalan wahyu. Kalau jalan wahyu ditolak, maka harus diakui bahwa manusia memang sama sekali tak mampu memiliki ideologi.
Kaum pemikir modern percaya bahwa hanya secara bertahap ideologi-ideologi manusia dapat menentukan perkembangan umat manusia di masa mendatang. Dengan kata lain, pada setiap tahap, yang dapat ditentukan hanyalah tahap berikutnya, dan itu juga menurut keyakinan kaum ini. Mengenai tahap-tahap berikutnya, dan apakah ada tahap final, tak ada yang diketahui. Jelaslah sudah nasib ideologi-ideologi seperti itu.
Semestinya Dr. Iqbal—karena lebih kurang telah mengkaji karya-karya ahli-ahli makrifat, dan karena khususnya tekun mengkaji Matsnawi-nya. Jalaludin Rumi—dapat lebih mendalami karya-karya ini dan menemukan penjelasan yang lebih bark mengenai berakhirnya kenabian. Para ahli makrifat mengatakan, bahwa berakhirnya kenabian disebabkan semua tahap individual dan tahap sosial perkembangan manusia beserta cara yang harus ditempuh manusia untuk mencapai tahap-tahap itu sudah diungkapkan semuanya. Karena setelah itu tak ada lagi yang perlu ditambahkan, maka tugas setiap orang adalah mengikuti risalah terakhir ini.
Kaum sufi mengatakan bahwa orang yang telah menyelesaikan semua tahap, dan tak ada lagi tahap yang harus dilalui, maka dialah yang terakhir. Inilah basis finalitas, bukan perkembangan pikiran eksperimental masyarakat seperti dipahami oleh Dr. Iqbal. Kalau dia lebih dalam lagi mengkaji karya-karya sufi-sufi yang dikagumi-nya sendiri (seperti Rumi), tentu dia akan tahu bahwa wahyu bukanlah naluri. Wahyu adalah roh dan jiwa yang lebih tinggi derajatnya dibanding jiwa rasional. Rumi, sang penyair sufi, mengatakan:
“Ketahuilah bahwa jiwa manusia beda dengan jiwa sapi dan keledai, dan lagi jiwa nabi dan wali (orang suci) beda dengan jiwa orang biasa. Raga itu kasat mata, sedang jiwa gaib. Lagi, pikiran lebih gaib ketimbang jiwa. Jiwa wahyu lebih gaib lagi. Pikiran Rasulullah saw, siapa pun dapat merasakannya. Namun jiwa wahyunya tak begitu dapat dimengerti.”
“Beliau dibimbing oleh Lauh Mahfuzh, itulah sebabnya beliau terlindung dari kekeliruan dan kesalahan. Wahyu ilahi bukan astrologi, bukan geomansi (ramalan berdasarkan konfigurasi segenggam tanah atau titik-titik acak—pen.), bukan pula mimpi. Wahyu adalah fakta dan realitas.”
Tampaknya Dr. Iqbal tanpa sadar telah membuat kesalahan seperti yang dilakukan oleh Dunia Barat. Dunia Barat berpandangan bahwa pengetahuan telah menggantikan agama. Tentu saja Dr. Iqbal menentang keras teori penggantian ini. Namun filosofi Dr. Iqbal tentang berakhirnya kenabian, entah bagaimana, kesimpulannya sama. Dr. Iqbal menggambarkan wahyu sebagai semacam naluri. Dia juga menyatakan bahwa naluri tak berfungsi lagi ketika daya pikir mulai bekerja. Pernyataannya ini memang benar kalau diterapkan untuk kasus-kasus di mana daya pikir melakukan fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh naluri. Namun dalam kasus-kasus di mana fungsi daya pikir dan fungsi naluri beda, tak ada alasan kenapa naluri harus berhenti bekerja ketika daya pikir jadi aktif. Karena itu, meski diasumsikan bahwa wahyu ilahi merupakan semacam naluri yang fungsinya adalah mengemukakan semacam konsepsi tentang dunia dan mengemukakan ideologi yang tidak dilahirkan oleh akal dan daya pikir, namun tak ada alasan kenapa setelah akal logis berkembang, dalam kata-kata Dr. Iqbal, fungsi naluri ini harus berakhir.
Faktanya adalah bahwa Dr. Iqbal—terlepas bahwa dia memiliki bakat yang luar biasa, kecerdasan yang luar biasa, dan kecintaan kepada Islam yang luar biasa pula—pada dasarnya merupakan produk budaya Barat, karena segenap pendidikannya adalah Barat, meskipun dia melakukan beberapa studi atas budaya Islam, khususnya hukum Islam, tasawuf dan filsafat. Itulah sebabnya kenapa dia terkadang membuat kekeliruan yang serius. Dalam pengantar buku kami “Prinsip-prinsip Filsafat dan Metode Reatisme”, jilid V, kami sebutkan kekeliruan gagasan-gagasan Dr. Iqbal mengenai masalah-masalah filosofis yang berat. Itulah sebabnya tidak pada tempatnya kalau membandingkan dia dengan Sayid Jamaludin Asadabadi.[1]
Kendatipun dari sudut pandang bakat mental Jamaludin tak dapat dibandingkan dengan Dr. Iqbal, namun pendidikan primer Jamaludin adalah Islam, sedangkan pendidikan Barat adalah pendidikan sekundernya. Selain itu, almarhum Jamaludin— berkat banyak melakukan perjalanan di negara-negara Muslim, dan berkat melakukan studi saksama atas urusan-urusan mereka—lebih tahu situasi di dunia Muslim ketimbang Dr. Iqbal. Karena itu, tak seperti Dr. Iqbal, dia tak melakukan kekeliruan serius ketika menilai peristiwa-peristiwa tertentu yang terjadi di beberapa negara Muslim seperti Turki dan Iran. Penilaiannya tentang negara-negara tersebut lebih baik ketimbang penilaian Dr. Iqbal.
Referensi:
[1] Terkenal dengan narna Jamaluddin al-Afghani.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar