Oleh: Ayatullah Murtadha Muthahhari
Setelah sedikit banyak menjelaskan peran para nabi dalam perkembangan sejarah, sekarang kita bahas masalah yang lain: Apa maksud pokok atau tujuan final diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab suci? Secara umum dapat dikatakan bahwa maksud pokoknya adalah membimbing, menyelamatkan, dan menyejahterakan umat manusia.
Tak syak lagi bahwa nabi diutus untuk membimbing manusia ke jalan lurus dan menyelamatkan jiwa manusia. Namun bukan begitu pokok persoalannya. Pokok persoalannya adalah seperti apa tujuan final tersebut, suatu arah yang dituju oleh jalan lurus ini. Menurut mazhab para nabi, seperti apa kesejahteraan manusia tersebut? Mazhab nabi ini mau membebaskan manusia dari kesukaran dan rintangan. Kesukaran dan rintangan seperti apa yang dimaksud oleh mazhab ini. Menurut mazhab ini, bagaimana wujud kesejahteraan dan kebaikan puncak itu?
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an Suci, pokok persoalan ini ada yang dipaparkan dengan jelas, ada juga yang hanya diisyaratkan saja. Al-Qur’an Suci menyebutkan dua pokok persoalan yang merupakan maksud pokok kenabian. Sebelum sampai pada dua pokok persoalan tersebut, disebutkan terlebih dahulu ajaran-ajaran para nabi. Dua pokok persoalan tersebut adalah:
(1) mengenal Allah dan mendekat kepada-Nya
(2) menegakkan keadilan dalam masyarakat. Al-Qur’an Suci memfirmankan:
Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru ke agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi (QS. al-Ahzâb: 45-46).
Jelaslah bahwa dari semua kualitas yang disebutkan dalam ayat ini, satu-satunya kualitas yang tepat untuk dipandang sebagai maksud pokok kenabian adalah menyeru ke agama Allah. Mengenai para nabi, Al-Qur’an Suci mengatakan:
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. (QS. al-Hadîd: 25).
Dengan jelas ayat ini menggambarkan penegakan keadilan sebagai tujuan pengutusan para nabi. Menyeru manusia untuk mengenal, mengakui dan menerima Allah dan untuk mendekat kepada-Nya mengindikasikan pengajaran bentuk teoretis dan individualistis tauhid praktis, sedangkan menegakkan keadilan dalam masyarakat mengindikasikan penegakan Tauhid praktis pada tataran masyarakat.
Sekarang timbul pertanyaan: Apakah tujuan pokok diutusnya para nabi adalah agar Allah dikenal, diakui dan diterima, sedangkan hal-hal lainnya termasuk menegakkan keadilan merupakan pengantarnya, ataukah tujuan pokoknya adalah agar keadilan sosial tegak, sedangkan menerima dan beribadah kepada Allah merupakan sarana untuk mewujudkan maksud itu? Kalau kita menggunakan terminologi yang kita gunakan sebelumnya, maka pertanyaannya bisa seperti ini: Apakah tujuan pokoknya adalah tauhid teoretis dan tauhid praktis pada tataran para individu, ataukah tujuan pokoknya adalah tauhid praktis pada tataran masyarakat? Untuk pertanyaan ini sudah diberikan beberapa jawabannya:
(1) Dari sudut pandang tujuan, nabi adalah dualis. Dengan kata lain, tujuan nabi ada dua. Yang satu menyangkut kehidupan akhirat dan kesuksesan manusia di akhirat (Tauhid teoretis dan Tauhid praktis pada tataran individu-individu). Yang satunya lagi menyangkut kesuksesan manusia di dunia (Tauhid sosial). Untuk mewujudkan kesejahteraan umat manusia di dunia ini, para nabi mengajarkan tauhid sosial, dan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia di akhirat, para nabi mengajarkan Tauhid teoretis dan Tauhid praktis pada tataran individu, yang merupakan masalah spiritual dan pemikiran belaka.
(2) Pandangan lainnya adalah bahwa tujuan pokok para nabi adalah Tauhid sosial. Tauhid teoretis dan Tauhid praktis pada tataran individu-individu merupakan mukadimahnya yang penting. Tauhid teoretis menyangkut menerima atau mengakui Allah. Manusia itu sendiri tidak butuh mengakui-Nya. Tak penting bagi manusia, apakah kekuatan yang mengobarkan semangatnya itu Allah atau ribuan hal. Juga, tak ada bedanya bagi Allah, apakah manusia mengakui Allah atau tidak mengakui Allah, beribadah kepada Allah atau tidak beribadah kepada Allah. Namun demikian, untuk jadi sempurna, manusia harus menjunjung tinggi Tauhid sosial. Tauhid sosial tak mungkin terwujud bila Tauhid teoretis dan Tauhid praktis tidak diwujudkan pada tataran para individu. Allah memerintahkan manusia untuk menerima Allah dan beribadah kepada Allah, sehingga Tauhid sosial ada bentuk praktisnya.
(3) Pandangan ketiga mengatakan bahwa tujuan utamanya adalah agar Allah diterima dan agar manusia mendekat kepada Allah. Tauhid sosial merupakan sarana untuk mencapai tujuan mulia ini. Seperti sudah kami uraikan sebelumnya, menurut konsepsi tauhid mengenai alam semesta, pada dasarnya alam semesta itu adalah “dari-Nya” dan “menuju kepada-Nya”. Karena itu manusia akan jadi sempurna kalau dia menuju kepada-Nya dan kemudian dekat dengan-Nya. Ada satu sifat istimewa pada diri manusia. Allah SWT berfirman: “Dan Aku telah meniupkan he dalamnya roh (ciptaan)-Ku.” (QS. al-Hijr: 29).
Realitas manusia itu sendiri adalah dari Allah. Pada dasarnya manusia membutuhkan Allah. Manusia akan sejahtera, berevolusi dan selamat kalau dia menerima Allah dan beribadah kepada-Nya, kalau dia berjalan menuju kepada-Nya. Para nabi berupaya keras menegakkan keadilan dan menghapus tirani serta diskriminasi. Karena manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, maka kalau kita melihat manusia, kita juga melihat masyarakat. Manusia tak dapat berupaya keras mendekat kepada Allah kalau sistem yang berlaku dalam masyarakat adalah sistem yang tidak adil. Sesungguhnya nilai-nilai sosial sepeiti keadilan, kemerdekaan, persamaan hak dan demokrasi, dan kualitas-kualitas moral seperti murah had, pemaaf dan cinta tidak memiliki nilai yang memang menjadi sifatnya sendiri. Kualitas-kualitas itu sendiri bukanlah kualitas-kualitas yang menunjukkan keunggulan manusia. Namun sekadar sarana untuk mencapai keunggulan dan kesempurnaan, bukan merupakan tujuan. Kualitas-kualitas ini memuluskan jalan bagi terwujudnya keselamatan dan kesejahteraan, namun bukan merupakan keselamatan.
(4) Teori keempat sarna dengan teoti ketiga, karena menurut teori ini, tujuan atau derajat tertinggi keunggulan dari bukan saja manusia, namun juga tujuan atau derajat tertinggi keunggulan dari segala wujud adalah berjalan menuju kepada Allah. Namun menurut teori ini, berpandangan bahwa nabi memiliki tujuan ganda adalah musyrik. Begitu pula, adalah materialistis kalau berpandangan bahwa tujuan akhir nabi adalah kesejahteraan duniawi ini, yang tak lain adalah menikmati anugerah alam dalam suasana adil, merdeka, persamaan hak dan persaudaraan. Namun menurut teori ini, kendatipun nilai-nilai sosial dan moral hanyalah merupakan sarana untuk mencapai nilai yang autentik, yaitu menerima Allah dan beribadah kepada-Nya, namun nilai-nilai ini memiliki nilainya sendiri yang memang menjadi sifatnya.
Hubungan antara pendahuluan dan tujuan utama ada dua macam. Dalam kasus-kasus tertentu, pendahuluan hanya sebagai awal, dan kalau tujuan sudah tercapai, maka ada atau tak adanya pendahuluan menjadi tidak penting lagi. Misal, seseorang mau melintasi saluran air, dan untuk tujuan ini dia menaruh batu di tengah saluran air. Jelas, kalau dia sudah berhasil melintasi saluran air itu, maka ada atau tidak adanya batu itu jadi tak penting lagi baginya. Begitu pula dengan tangga yang digunakan untuk naik ke atap dan rapor kenaikan kelas. Dalam kasus-kasus lain, pengantar tidak kehilangan nilainya sekalipun tujuan utamanya sudah tercapai. Kendatipun tujuan utamanya sudah tercapai, eksistensi pengantar masih penting. Misal, informasi yang didapat seorang siswa di kelas satu dan kelas dua masih dibutuhkan oleh siswa tersebut meskipun dia sudah naik ke kelas yang lebih tinggi. Dia tak dapat melupakan semua yang pernah dipelajarinya di kelas-kelas sebelumnya. Dia dapat saja terus naik ke kelas yang lebih tinggi asalkan pengetahuan yang didapatnya di kelas-kelas sebelumnya masih dikuasainya.
Penjelasannya adalah bahwa dalam beberapa kasus, pengantar merupakan tahap awal dari tujuan itu sendiri, sedangkan dalam kasus-kasus lain, bukan. Tangga bukanlah tahap naik ke atas. Begitu pula, batu yang ditaruh di tengah saluran air bukanlah tahap melintasi saluran air tersebut. Namun pengetahuan yang didapat di kelas lebih rendah dan pengetahuan yang didapat di kelas yang lebih tinggi merupakan beragam tahap dari realitas yang sama.
Hubungan antara nilai-nilai moral dan sosial di satu pihak, dan menerima Allah serta beribadah kepada Allah di pihak lain, merupakan jenis yang kedua. Orang yang menerima Allah dan beribadah kepada Allah tak mungkin dapat mengabaikan kejujuran, kebajikan, keadilan, kedermawanan, ketulusan, kemurahan hati serta sikap memaafkan. Semua kualitas moral yang tinggi lagi mulia merupakan kualitas Ilahiah.
Disebutkan dalam sebuah hadis, “Ambillah kualitas-kualitas moral Allah.” Sesungguhnya kualitas-kualitas moral merupakan bagian dari menerima Allah dan bagian dari beribadah kepada Allah, karena orang akan mengambil kualitas-kualitas tersebut kalau dalam dirinya ada keinginan inheren (yang sudah menjadi sifatnya) untuk memiliki sifat-sifat Allah, sekalipun dia mungkin saja tidak menyadari fakta itu. Itulah sebabnya, menurut ajaran Islam, amal saleh seorang musyrik sekalipun tidak akan sia-sia di akhirat, kalau si musyrik tersebut memiliki sifat-sifat mulia seperti adil, murah hati, cinta sesama manusia dan seterusnya. Orang musyrik tersebut akan diberi pahala asalkan dia kaflr bukan karena keras kepala. Sesungguhnya orang seperti itu tanpa disadarinya mencapai derajat kesalehan.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar