Pertanyaan:
1. Apakah yang berhubungan
dengan Urainab istri Abdullah bin Salam dan pinangan bersamaan Yazid bin
Muawiyah dengan Imam Husain As kepada Urainab yang diriwayatkan itu ada
benarnya? 2. Apabila benar adanya tolong jelaskan sedetil-detilnya? 3.
Menurut Anda apa tujuan Imam Husain As mau mengurus hal seperti ini? 4.
Apakah yang diriwayatkan seperti ini menjadi salah satu sebab terjadinya
tragedi Karbala lantaran dendam Yazid kepada Imam Husain buah dari
peristiwa pinangan tersebut? Saya akan banyak berterima kasih sekiranya
Anda berkenaan dalam hal ini memperkenalkan literatur-literatur dalam
bahasa Indonesia untuk telaah lebih jauh.
Jawaban Global:
Pada sebagian kitab sejarah disebutkan Yazid, meski memiliki segala
fasilitas pemuas syahwat, namun perhatiannya jatuh pada seorang wanita
mulia bernama Urainab binti Ishak , istri Abdullah bin Salam dan sangat
ingin supaya Urainab menjadi istrinya.
Ayahnya Muawiyah juga dengan tipu muslihat mempersiapkan beberapa
pendahuluan untuk memisahkan wanita mulia ini dari suaminya dan
menyeretnya ke dalam pangkuan putranya yang penuh dosa. Husain bin Ali
As mengetahui berita ini dan berhadap-hadapan dengan keputusan keji ini.
Beliau menggagalkan rencana tersebut dan dengan memanfaatkan
aturan-aturan Islam, wanita mulia tersebut dikembalikan kepada suaminya
Abdullah bin Salam dan berhasil menghalangi Yazid untuk mewujudkan
impiannya menodai keluarga Muslim dan mulia ini.
Meski terdapat banyak problem terkait dengan keabsahan nukilan sejarah
ini namun anggaplah nukilan sejarah ini benar adanya, namun cerita ini
tidak menunjukkan kekurangan dan aib Imam Husain As sama sekali, bahkan
menunjukkan sikap dan kepedulian beliau dalam menjaga kehormatan
masyarakat Islam.
Untuk diketahui bahwa tidak satu pun literatur standar dan primer yang
menyebutkan sebab atau salah satu sebab revolusi Karbala bahwa karena
adanya dendam pribadi kepada Imam Husain As sehingga ia memerangi Imam
Husain As.
Jawaban Detil:
Apa yang disebutkan pada sebagian literatur sejarah tentang masalah ini
adalah bahwa pada masa khilafah Muawiyah, hidup seorang wanita mukminah
bernama Urainab binti Ishak yang terkenal dengan kecantikan dan
kesempurnaannya.
Yazid pada masa itu telah diangkat menjadi putra mahkota dan jatuh hati
kepadanya. Namun sebelum ia melamar Urainab untuk dinikahi, ternyata
Urainab telah menikah dengan putra pamannya Abdullah bin Salam yang
merupakan salah seorang tokoh yang dikenal masyarakat dan tinggal di
Irak bersama suaminya dengan damai dan tentram.
Muawiyah mengetahui bahwa putranya Yazid jatuh hati kepada Urainab. Ia
berjanji akan berusaha mewujudkan impian Yazid menikahi Urainab. Pada
masa itu, Abdullah bin Salam merupakan salah seorang pejabat yang
diangkat Muawiyah di Irak. Muawiyah memanggilnya ke Syam (Suriah) dan
mengirimkan pesan melalui Abu Hurairah dan Abu Darda. Isi pesan itu
adalah bahwa Muawiyah ingin menikahkan putrinya dengan Abdullah bin
Salam; karena ia layak menjadi menantu sang khalifah.
Abdullah bin Salam menerima usulan ini. Abu Hurairah dan Abu Darda
melaporkan kesiapan Abdullah bin Salam untuk datang ke Syam. Sebelumnya,
Muawiyah berkata kepada putrinya bahwa apabila dua orang itu datang
meminangnya untuk Abdullah bin Salam maka engkau harus mengatakan iya
dan menyetujui pinangan tersebut! Namun katakan kepada mereka, “Saya
siap dipinang apabila Abullah menceraikan istrinya.” Abdullah termakan
tipuan Muawiyah dan ia menceraikan istrinya kemudian meminta Muawiyah
untuk setia dan memenuhi janjinya.
Muawiyah berkata kepadanya, “Apabila putriku setuju saya akan
menerimanya.” Abu Hurairah dan Abu Darda mendatangi putri Muawiyah dan
menceritakan bahwa Abdullah telah menceraikan istrinya. Putri Muawiyah
berkata, “Saya harus memikirkan hal ini dan bermusyawarah.”
Setelah beberapa waktu berlalu masa iddah Urainab pun selesai. Kedua
orang itu kembali mendatangi putri Muawiyah namun ia memberikan jawaban
tidak dan berkata, “Pernikahan ini tidak maslahat bagiku.” Kemudian
Muawiyah mengutus Abu Hurairah dan Abu Darda ke Irak untuk melamar
Urainab untuk Yazid. Tatkala keduanya memasuki Irak (Kufah), mereka
mengetahui bahwa Imam Husain As juga tengah berada di Irak.
Mereka memutuskan pertama-tama menemui Imam Husain As dan kemudian
menjalankan tugasnya mendatangi Urainab. Tatkala mereka bertemu dengan
Imam Husain, Imam Husain bertanya, “Untuk apa kalian datang ke Irak?”
Abu Darda menjelaskan maksud kedatangan mereka ke Irak. Imam Husain As
berkata, “Saya juga memutuskan mengirim seseorang untuk melamar Urainab.
Karena kalian ingin pergi menjumpai Urainab maka sampaikan pesan saya
ini kepadanya.” Ketika Abu Darda mendatangi Urainab dan ia memyampaikan
lamaran Imam Husain dan Yazid. Urainab bermusyawarah dengan keduanya
siapakah yang lebih baik diterima lamarannya. Abu Darda menjawab, “Imam
lebih layak dijadikan sebagai suami bagimu.” Imam menikahi Urainab
dengan mas kawin senilai dengan maskawin yang ingin diserahkan oleh
Yazid kepada Urainab.
Abdullah yang merupakan mantan suami Urainab waktu itu berada di Syam
diperlakukan secara tidak adil oleh Muawiyah. Gajinya dipotong. Abdullah
kembali ke Irak untuk mengambil harta yang diamanahkan kepada mantan
istrinya dan datang menghadap Imam Husain As. Ia menjelaskan kepada Imam
Husain As bahwa ia ingin mengambil titipan amanah. Kemudian ia pergi
menjumpai mantan istrinya untuk mengambil harta titipannya. Ketika
berjumpa, mereka mengingat masa lalu yang mereka lalui bersama. Mereka
terobsesi dengan masa lalunya kemudian menangis. Imam Husain As
menyaksikan adegan ini dan merasa iba kepada keduanya. Imam Husain As
bersabda, “Baiklah. Saya akan menceraikannya. Tuhanku! Engkau tahu
bahwa aku tidak menikahinya karena harta dan kecantikan melainkan aku
menikahinya dengan maksud menjaganya untuk suaminya.” Kemudian Imam
Husain As memerintahkan untuk menyerahkan seluruh mas kawin kepadanya.
Keduanya ingin menyerahkan sejumlah harta kepada Imam Husain As sebagai
tanda terima kasih namun Imam Husain As tidak menerimanya. Imam Husain
As bersabda, “Pahala yang aku harapkan diberikan kepadaku lebih baik
dari harta benda.” Kemudian sepasang kekasih yang saling mencintai itu
hidup bersama dalam ikatan keluarga.[1]
Terlepas dari kisah di atas, terdapat beberapa kritikan atas kisah ini
disebabkan oleh dusta yang terdapat di dalamnya. Sebagian kritikan itu
adalah sebagai berikut:
- Riwayat di atas adalah riwayat mursal dan tidak disebutkan sanad tentang riwayat ini sehingga harus dikaji; mengingat bahwa Ibnu Qutaibah (penulis kitab al-Imamah wa al-Siyasah) adalah penulis abad ketiga Hijriah yang lahir pada tahun 213 H di kota Kufah. Sementara Imam Husain As syahid pada tahun 61 H di Karbala. Karena itu, Ibnu Qutaibah lahir 152 tahun pasca kesyahidan Imam Husain dan belum lagi lahir ketika cerita ini terjadi serta ia tidak semasa dengan peristiwa ini. Oleh itu, ia harus menukil kisah ini dari seseorang atau beberapa orang yang tidak disebutkan namanya sehingga kita harus mengkaji silsilah perawi kisah ini. Boleh jadi ada seorang pendusta yang membuat dan mengatakan kisah ini kepadanya.
- Abu Darda dalam kisah ini disebutkan sebagai mediator antara Muawiyah dan Abdullah bin Salam serta Urainab. Namun menurut pandangan yang masyhur, Abu Darda wafat pada masa pemerintahan Usman. (Kebanyakan sejarawan menyebutkan masa wafatnya antara tahun 38 atau 39 Hijriah).[2] Karena itu, bagaimana mungkin ia hadir dalam kisah ini yang tepatnya terjadi pada akhir pemerintahan Muawiyah dan pada masa Yazid menjadi putra mahkota?
- Dari cerita ini tidak terdapat sanad derajat pertama dan masyhur. Kitab yang paling masyhur yang menyebutkan kisah ini adalah al-Imâmah wa al-Siyâsah dimana sebagian orang meragukan bahwa yang menulis buku itu adalah Ibnu Qutaibah.[3]
- Tidak ada sanad standar dan muktabar yang menyebutkan kedatangan Imam Husain As ke Irak setelah kesyahidan Imam Ali As dan kepergiannya ke Madinah selain terkait dengan tragedi Asyura. Sementara riwayat di atas menyebutkan peristiwa Urainab terjadi sebelumnya.
- Dalam kisah ini disebutkan bahwa Imam memberikan tiga talak cerai kepada Urainab dalam satu majelis padahal mentalak tiga dalam satu majelis tidak dibenarkan dalam syariat kita dan tetap dihitung sebagai satu talak.[4]
- Salah satu syarat talak adalah adanya dua saksi adil. Al-Quran menyatakan, “Dan ambillah dua orang saksi yang adil dari kalangan kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (Qs. Talak [65]:2) Demikian juga Imam Shadiq As bersabda, “Talak tidak dibenarkan kecuali dengan hadirnya dua orang saksi.”[5] Sementara sesuai dengan nukilan kisah di atas syarat ini tidak dijalankan dan tiada seorang pun saksi yang hadir.
Masing-masing dari enam kritikan ini dengan sendirinya telah cukup bagi
kita untuk tidak dapat mengandalkan keabsahan dan kebenaran kisah ini.
Namun bagaimana pun apabila kita mengabaikan seluruh kritikan ini pada
matan dan sanad riwayat ini dan kita memandang benar kisah ini maka hal
itu sama sekali tidak menunjukkan adanya kekurangan dan aib pada Imam
Husain As, bahkan menunjukkan kemuliaan, politik, kecakapan, dan sikap
pengasih Imam Husain As yang melakukan hal ini semata-mata untuk
menggagalkan rencana keji Yazid dan berhasil mencegah runtuhnya tatanan
rumah tangga satu keluarga.
Sesuai dengan nukilan sejarah ini, Imam Husain As menyelamatkan wanita
ini dari konspirasi dan plot jahat Muawiyah dan mengembalikan wanita
mulia tersebut ke pangkuan suaminya. Bahkan riwayat di atas menegaskan
bahwa Imam Husain As bersabda, “Tuhanku! Engkau tahu bahwa aku tidak
menikahinya karena harta dan kecantikan melainkan aku menikahinya dengan
maksud menjaganya untuk suaminya.” Dan segera setelah mengetahui
kerinduan Urainab untuk kembali kepada mantan suaminya, Imam Husain As
pun menceraikannya. Kuatnya tekad Imam Husain As untuk membela orang
tertindas dan menolong orang-orang yang dizalimi nampak nyata dalam
kisah ini.
Anda juga harus mencermati bahwa tidak satu pun literatur standar dan
primer yang menyebutkan bahwa sebab atau salah satu sebab revolusi
Karbala karena adanya dendam pribadi Yazid kepada Imam Husain As
sehingga ia memerangi Imam Husain As.
Untuk telaah lebih jauh Anda dapat membaca buku Imâmah wa Siyâsah (Terjemahan Persia al-Imâmah wa al-Siyâsah), hal. 212-216.
Referensi:
[1]. Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Dainwari, al-Imâmah wa al-Siyâsah, Riset oleh Ali Syirazi, jil. 1, hal. 217 dan seterusnya, Nasyr Dar al-Adhwa, Beirut.
[1]. Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Dainwari, al-Imâmah wa al-Siyâsah, Riset oleh Ali Syirazi, jil. 1, hal. 217 dan seterusnya, Nasyr Dar al-Adhwa, Beirut.
[2]. Ibnu Katsir, al-Kâmil fi al-Târikh, jil. 3, hal. 129, Intisyarat Dar Shadir, Beirut, 1385 H/1965 M; Ibnu Abdil Bar, al-Isti’âb,
jil. 3, hal. 1229 dan 1230, Tahqiq Ali, Muhammad al-Bajawi, Intisyarat
Dar al-Jail, Beirut, Cetakan Pertama, 1414 H/1992 M; Ibnu Hajar
Asqalani, al-Ishâbah fi Tamyiiz al-Shahâbah, jil. 4, hal. 622,
Riset oleh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwazh,
Intisyarat Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1415
H/1995 M.
[3]. Dairat al-Ma’ârif Buzurgh Islâmi, jil. 10, Maqalah No. 3918 (al-Imamah wa al-Siyasah), Intisyarat Markaz Dairat al-Ma’rif Buzurgh Islami, Teheran, 1376.
[4]. Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 22, hal. 21, Nasyr Alu al-Bait.
[5]. Ibid, hal. 25, “Wala yajuzu al-thalâq illa bisyâhidain.”
(islamquest/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar