Dengan pesan Khadijah, nabi yang dijanjikan itu pergi bertamu ke rumah Khadijah. Atau setelah bermusyawarah dengan pamannya, Abu Thalib ia pergi ke rumah Khadijah. Ia mendapatkan penghormatan khusus dari Khadijah dan melantunkan beberapa syair untuk itu.
"Apakah engkau memiliki keperluan yang dapat kulakukan?"
Putra Aminah tidak mengucapkan sepatah kata pun karena rasa malunya yang tinggi.
"Apakah aku dapat bertanya sesuatu kepadamu?"
"Silakan."
"Apakah yang akan kau lakukan dengan upah perdagangan itu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin tahu apakah aku dapat melakuan sesuatu untukmu?"
"Pamanku, Abu Thalib menginginkan aku menikah dengan modal tersebut."
Dengan senyuman yang bercampur dengan kebahagiaan Khadijah berkata, "Apakah kamu setuju jika aku merealisasikan keinginan pamanmu itu? Aku kenal seorang wanita yang-dari segi kesempurnaan dan kecantikan-sangat sesuai denganmu; seorang wanita yang baik, suci, dan berpengalaman. Sudah banyak orang yang ingin menjalin hubungan dengannya dan wanita-wanita pembesar Arab iri kepadanya. Wahai Muhammad, selayaknya kuceritakan juga kejelekan-kejelekannya. Ia pernah bersuami dua kali dan telah menjalani hidup bersamanya bertahun-tahun."[12]
"Siapakah namanya?"
"Budakmu, Khadijah!"
"Oh, Tuhanku! Ia telah bercerita tentang dirinya. Jika kuangkat kepalaku, apa yang dapat kukatakan?"
"Mengapa engkau tidak menjawabku? Demi Allah, aku sangat mencintaimu dan tidak akan pernah menentangmu dalam setiap keadaan."
Diamnya Muhammad yang disertai dengan kewibawaan dan kesopanan itu membuat air mata Khadijah menetes, dan ia melantunkan beberapa bait syair secara spontan. "Hatiku telah tertambat kepadamu. Di dalam taman hatiku terdapat kecintaanmu. Jika engkau tidak menerima tawaranku, ruhku akan terbang dari ragaku."
"Mengapa engkau tidak menjawabku? Kerelaanmu adalah kerelaanku dan aku selalu menaatimu."
"Mengapa engkau berkata demikian? Engkau adalah ratu Arab dan aku seorang pemuda miskin."
"Orang yang rela mengorbankan jiwanya untukmu, apakah ia mau mempertahankan hartanya? Wahai putra kepercayaan Makkah, wahai pondasi wujud dan seluruh harapanku, aku akan menutupi kepapaanmu. Seluruh wujud dan modal material dan sosialku 'kan kukorbankan untukmu. Wahai matahari Makkah yang benderang, memancarlah dari jendela harapanku dan wujudkanlah harapan pamanmu yang sudah tua yang selalu mengharapkan engkau bersanding dengan seorang wanita. Jangan kau cela aku. Berikanlah hak kepadaku jika aku tergila-gila kepadamu. Zulaikha pernah melihat Yusuf dan ia menjadi tergila-gila, dan para wanita Mesir terpesona oleh ketampanannya. Engkau sangatlah agung. Jangan kau membuatku putus-asa. Demi Ka'bah dan bukit Shafâ, jangan kau usir aku dari dirimu. Bangun dan pergilah menemui paman-pamanmu, serta utuslah mereka untuk meminangku. Engkau akan mendapatiku sebagai wanita yang tegar dan setia."
Rasulullah saw keluar dari rumah Khadijah dan pergi menemui pamannya. Kegembiraan dan kebahagiaan tampak terlukis di wajahnya. Ia melihat paman-pamannya sedang berkumpul. Abu Thalib memandang wajah Rasulullah seraya berkata, "Keponanaku, aku ucapkan selamat atas hadiah yang telah kau terima dari Khadijah. Kukira ia telah mencurahkan seluruh hadiah atasmu."
Rasulullah berkata perlahan, "Paman, aku ingin sesuatu dari Anda."
Dengan tidak sabar Abu Thalib bertanya, "Permintaan apa? Katakanlah sehingga kulaksanakan secepatnya."
"Paman, berangkatlah sekarang juga bersama paman-paman yang lain dan pergilah menemui Khuwailid untuk meminang putrinya, Khadijah untukku," jawabnya.
Tidak satu pun dari paman-pamannya yang mengabulkan permintaannya kecuali Abu Thalib. Ia berkata, "Buah hatiku, sebenarnya kami yang harus belajar darimu dan bermusyawarah denganmu dalam masalah seperti ini. Engkau sendiri mengetahui bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang sempurna, berkepribadian dan menjaga diri dari segala cela dan aib. Seluruh raja Arab, para pembesar Quraisy, para pembesar Bani Hasyim, raja-raja Yaman dan para pembesar Thaif telah meminangnya dan mereka bersedia mengorbankan harta berlimpah dalam hal ini, akan tetapi ia tidak menanggapi mereka semua dan melihat dirinya lebih tinggi dan lebih berkepribadian dari mereka. Anakku, engkau adalah seorang yang miskin dan tidak memiliki harta kekayaan. Khadijah adalah seorang wanita yang senang bergurau. Kukira ia ingin bergurau denganmu. Jangan kau anggap serius gurauan-gurauannya ini. Janganlah kau sebarkan berita ini, karena semua itu akan sampai ke telinga semua orang Quraisy."
Abu Lahab berkata, "Keponakanku, jangan kau jadikan keluarga kami sebagai buah bibir seluruh penduduk Arab. Engkau tidak layak untuk seorang Khadijah."
Abbas beranjak dari tempatnya dan menjawab perkataan Abu Lahab itu dengan lantang. Ia berkata, "Engkau adalah seorang yang hina dan berperilaku buruk. Cela apakah yang dapat mereka temukan berkenaan dengan keponakanku? Ia memiliki ketampanan yang memikat dan kesempurnaan yang tak terbatas. Bagaimana mungkin Khadijah menganggap dirinya lebih tinggi darinya? Dengan perantara harta, kecantikan, atau kesempurnaannya? Demi Tuhan Ka'bah, jika ia meminta mahar darinya, maka akan kutunggangi kudaku untuk berkeliling di padang sahara dan memasuki kerajaan para raja untuk menyediakan apa yang diminta oleh Khadijah itu."
Rasulullah berkata, "Paman-pamanku, sudah terlalu lama kalian berdebat dengan masalah yang tidak ada gunanya. Kalian tidak perlu ikut campur dalam hal ini. Kalian tidak mengetahui apa yang kuketahui."
Shafiah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah beranjak dari tempatnya seraya berkata, "Demi Allah, aku tahu bahwa setiap yang dikatakan oleh keponakanku ini adalah benar. Ia adalah seorang yang jujur. Mungkin saja Khadijah hanya ingin bergurau dengannya. Aku akan pergi untuk meneliti terlebih dahulu."
Ia mengenakan pakaiannya yang mewah dan pergi ke rumah Khadijah. Sebagian sahaya Khadijah melihat Shafiah menuju ke rumahnya. Mereka mengabarkan hal itu secepatnya.
Pada waktu itu, Khadijah sudah beranjak untuk tidur. Ia turun dari rumah bagian atas ke bagian bawah dan memberikan izin kepada semua sahayanya untuk beristirahat. Akan tetapi, setelah mengetahui Shafiah hendak datang, ia bersiap-siap untuk menjamunya. Dan karena terburu-buru, bagian bawah bajunya terinjak oleh kakinya. Pada waktu itu, Shafiah masih berada di luar rumah. Ia mendengar ketika Khadijah berseru, "Tidak berbahagialah orang yang memusuhimu, wahai Muhammad!" Shafiah berkata kepada dirinya, "Sudah jelas bahwa ini bukanlah sebuah pegurauan."
Ia mengetuk pintu rumah Khadijah. Para sahaya mengantarkannya bertemu Khadijah dan menjamunya dengan penuh kehormatan. Khadijah ingin mengambilkan makanan untuktnya. Akan tetapi, ia berkata, "Aku tidak datang untuk sebuah makanan. Aku datang untuk meneliti."
Khadijah yang memahami maksudnya dengan isyarat tersebut berkata, "Hal itu benar. Jika kau mau, sebarkan hal ini atau rahasiakan saja dulu. Aku telah meminang Muhammad untuk diriku dan menerima mahar yang diusulkannya. Jangan sampai kalian membohongkannya. Aku tahu bahwa Tuhan semesta alam telah membenarkannya."
Shafiah tersenyum merekah seraya berkata, "Aku memahami jika engkau memiliki rasa cinta demikian. Aku sendiri belum pernah melihat wajah bercahaya seperti wajah Muhammad, belum pernah mendengar ucapan yang lebih menarik dari ucapannya, dan belum pernah melihat gaya bicara yang lebih mulia dari gaya bicaranya."
Shafiah ingin keluar dari rumah Khadijah, tapi Khadijah tidak mengizinkannya seraya berkata, "Sabar dulu sebentar." Ia lalu beranjak dan mengambil secarik kain yang sangat berharga. Ia memberikannya kepada Shafiah sebagai hadiah, lalu memeluknya seraya memohon sesuatu. Ia berkata, "Demi Allah, tolonglah aku sehingga aku dapat menjadi istri Muhammad." Shafiah berjanji untuk membantunya sekuat tenaga. Lalu, ia bergegas pergi ke rumah saudara-saudaranya.
Mereka bertanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab, "Ia begitu tergila-gila terhadap keponakan kalian sehingga sulit untuk menceritakannya." Mendengar berita itu, mereka semua gembira dan bahagia kecuali Abu Lahab yang hal itu menambah kemarahan dan kebenciannya. Kemarahan dan kebenciannya itu sudah pernah terjadi sebelumnya dan sekarang bertambah parah. Abbas berkata lantang, "Sekarang ketika rencana sudah sampai pada tahap ini, mengapa kalian semua duduk di sini?"
Di sini, sejarah menukil satu pasal panjang tentang sikap Khuwailid terhadap Abu Thalib dan para peminang yang bersamanya. Mereka keluar dari rumah Khuwailid dengan penuh keputus-asaan. Akan teapi, sesuai dengan pendapat Kulaini dalam buku al-Kâfî dan al-Waqidi, yang melaksanakan akad pernikahan Khadijah adalah pamannya. Al-Waqidi menulis, "Khuwailid telah meninggal dunia sebelum peristiwa perang Fijâr."
Seperti diriwayatkan oleh Abul Hasan al-Bakri, setelah putra-putra Abdul Muthalib keluar dari rumah Khuwailid, ketika Khadijah mendengar kejadian yang telah terjadi, ia berkata, "Katakanlah kepada pamanku, Waraqah untuk datang kemari." Ketika ia datang, Khadijah sangat menghormati kedatangannya dan menanyakan perihal ketidakpeduliannya.
Waraqah melihat Khadijah dalam kesedihan yang dalam. Ia berkata, "Keponakankku, apa yang sedang terjadi? Mengapa engkau bersedih hati?"
"Mengapa aku tidak boleh sedih setelah semua harapanku terbang dibawa angin?" jawabnya.
"Selama ini aku belum pernah mendengar engkau berbicara demikian. Mungkin maksudmu adalah pernikahan?" tanyanya lagi.
"Ya", jawabnya singkat.
"Pernikahan 'kan buan suatu masalah yang penting. Para pembesar Arab telah meminangmu dan kamu pun menolak mereka", jawabnya.
"Aku tidak ingin keluar dari Makkah", katanya lagi.
"Tidak sedikit para peminangnmu yang berdomisili di Makkah, seperti Syaibah bin Rabi'ah, 'Uqbah bin Mu'ith, Abu Jahal bin Hisyam, dan Shalt bin Abi Yahab. Tidak satu pun dari mereka yang kau terima", kata Waraqah lagi.
"Aku tidak ingin suamiku memiliki cela", jawab Khadijah.
"Mereka ini memiliki cela apa?", tanya Waraqah.
"Syaibah adalah seseorang yang selalu berburuk sangka dan jelek hati, 'Uqbah sudah tua renta, dan Abu Jahal adalah seorang yang kikir, sombong, dan selalu mengumpat. Adapun Shalt, ia tidak dapat memelihara wanita. Pamanku, apakah engkau mendengar berita bahwa ada orang lain selain mereka telah meminangku?", kata Khadijah.
"Ya, aku mendengar berita itu. Muhammad bin Abdullah telah meminangmu", jawab Waraqah.
"Apakah engkau melihat cela pada dirinya?", tanyanya lagi.
Waraqah bin Naufal mengetahui banyak tentang kitab-kitab samawi. Ketika ia mendengar pertanyaan Khadijah itu, ia menundukkan kepala seraya berkata, "Apakah engkau ingin kuceritakan cela-celanya?", tanyanya.
"Ya!", jawab Khadijah.
Ia berkata, "Ia memiliki ras yang mulia dan keturunan yang berkepribadian. Ia memiliki wajah yang menarik, akhlak yang indah, keutamaan yang telah diketahui oleh khalayak, dan kemurahan hati yang sangat besar. Demi Allah, Khadijah, ini adalah sebuah kenyataan."
Khadijah bertanya, "Sepertinya aku minta supaya engkau menceritakan cela-celanya!"
Waraqah berkata, "Khadijah, dahinya bercahaya bak bintang-gumintang, kedua matanya seperti permata yang bergemilau, dan bahasanya lebih manis dari madu yang murni. Ketika sedang berjalan, ia memancar seperti rembulan yang cemerlang."
Khadijah berkata, "Pamanku, jangan bergurau. Tolong ceritakan cela dan aibnya."
Waraqah berkata, "Semua wujudnya adalah keindahan, keturunannya bebas dari segala aib kekotoran, dan ia lebih tampan dari seluruh penduduk semesta alam. Ia memiliki hati yang penyayang.
Rambutnya lembut dan terurai. Ia memiliki bau badan yang lebih harum dari minyak misik dan gaya bicara yang lebih manis dari madu. Khadijah, aku mengambil Allah sebagai saksiku, aku sangat mencintainya."
Khadijah berkata, "Pamanku, setiap aku memintamu menceritakan cela dan aibnya, engkau selalu menceritakan karakter -karakter baiknya!"
Waraqah, "Anakku, dapatkah aku menceritakan karakternya untukmu?"
Khadijah berkata, "Pamanku, kebanyakan orang membuat-buatkan cela baginya dan mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang yang miskin. Jika ia miskin, kekayaanku sangat banyak. Bagaimana pun, aku sangat mencintanya dan aku pun telah meminangnya."
Waraqah berkata, "Apa yang akan kau berikan padaku jika malam ini aku menikahkanmu dengannya?"
Khadijah berkata, "Apakah selama ini aku mempersulit urusan terhadapmu? Kuserahkan semua kekayaanku padamu. Pilihlah apa yang kau sukai."
Waraqah berkata, "Khadijah, aku tidak menginginkan perhiasan dunia. Masa depan memiliki perhitungan dan terdapat kitab amal dan siksa. Keselamatan akan dimiliki oleh orang yang mengikuti Muhammad dan membenarkan risalahnya. Celakalah orang yang menyimpang dari jalan surga dan memilih jalan menuju neraka."
Khadijah berkata, "Apa yang kau inginkan akan kuberikan padamu."
Menurut versi sejarah ini, Waraqah pergi menemui Khuwailid untuk mengingatkannya agar tidak menolak Bani Hasyim dan mengkritik tindakannya yang tidak baik. Khuwailid beralasan, "Muhammad tidak memiliki kekayaan, dan kukira Khadijah tidak akan mau."
Waraqah menjawab kedua alasan Khuwailid itu dan mengajaknya untuk pergi bersama ke rumah Abu Thalib demi menebus kesalahannya selama ini dan mengambil hati Bani Hasyim kembali. Akhirnya, Khuwailid menyerahkan seluruh urusan putrinya kepada Warqah bin Naufal di rumah Abu Thalib dan mengumumkan bahwa ia adalah wakilnya dalam semua urusan Khadijah.
Hamzah, paman nabi tidak puas dengan perwakilan ini dan menetapkan agar perwakilan itu dinyatakan di depan kaum Quraisy. Kemudian mereka bersama-sama datang ke Ka'bah dimana sekelompok orang sudah berkumpul disana seperti Shalat bin Abi Wahab, Hisyam bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam,Uqbah bin abi Mu'ith, Umayah bin Khalaf dan Abu Sufyan. Di hadapan mereka, Khuwailid juga mengakui perwakilan itu dan memutuskan bahwa esok harinya akan melangsungkan pertunangan resmi.
Imam Shadiq as bersabda: "Ketika Rasulullah saw ingin menikahi Khadijah, Abu Thalib bersama rombongan Quraisy datang menemui paman Khadijah, Waraqoh bin Naufal. Pertama, Abu Thalib yang mulai berbicara dan berkata: "Puji syukur kepada Tuhan seluruh alam pemilik rumah ini yang telah menjadikan kami dari golongan Ibrahim al-Khalil dan Ismail serta penghuni rumah-Nya yang penuh keamanan. Dia menjadikan kami sebagai hakim masyarakat dan mencurahkan nikmat-Nya dari tanah suci ini kepada kami. Inilah keponakanku, Muhammad bin Abdillah, orang termulia di kalangan Quraisy dan tidak satupun yang sepadan dan serupa dengannya. Sekalipun ia miskin dan tidak punya harta (tapi harta dan kekayaan adalah teman pengkhianat dan cepat pergi). Ia sangat mencintai Khadijah dan ia juga mencintainya. Kami datang untuk meminangnya. Berapa saja maskawin yang ia relakan kami akan memenuhinya, baik kontan maupun tidak. Ya Allah, saya bersaksi bahwa keponakannku adalah sosok agung dan memiliki masa depan yang jernih, agama serta keyakinan yang suci."[13]
Abu Thalib mengakhiri pembicarannya dan berakhir pula pertunangan dari pihak lelaki. Paman Khadijah, Waraqoh juga ingin berbicara, namun mulutnya terasa berat dan tidak bisa menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Disaat inilah Khadijah berbicara: Paman, sekalipun engkau pemegang semua urusanku dan saksi kehidupanku namun kali ini aku yang labih berhak maju, lalu ia mengucapkan akad nikah sendiri sebagai berikut:
قَدْ زَوَّجْتُكَ نَفْسِيْ وَ الْمَهْرُ فِيْ مَالِيْ فَأْمُرْ عَمَّكَ فَلْيَنْحَرْ نَاقَةً فَلْيُوْلِمْ بِهَا وَ ادْخُلْ عَلَى
أَهْلِكَ
"Muhammad yang mulia, aku nikahkan diriku untukmu dan maskawin serta biaya perkawinan ini aku ambil dari kakayaanku. Katakanlah kepada pamanmu untuk menyembelih unta, menyiapkan resepsi perkawinan dan masuklah ke rumah istrimu kapan saja engkau mau."
Abu Thalib memanfaatkan kesempatan yang ada dan berkata: "Jadilah kalian saksi bahwa Khadijah telah menerima maskawin yang diambil dari hartannya." Sebagian orang Ouraisy yang hadir di situ, karena merasa iri, dengan suara mengejek berteriak; "Aneh sekali! Dulu kaum lelaki yang memberi maskawin, tapi sekarang kami lihat orang perempuan yang justru menyerahkan maskawin kepada calon suaminya." Abu Thalib merasa terpukul dan marah dengan ucapan ini (dia adalah lelaki kharismatik dimana orang ketakutan sewaktu marah) lalu berkata: "Jika mempelai lelaki seperti keponakanku maka tidak menjadi masalahperempuan yang memberi maskawin yang mahal, akan tetapi jika yang menikah seperti kamu maka memang selayaknya kamu menanggung maskawin yang besar."[14]
Akhirnya, Abu Thalib menyembelih unta dan mengadakan walimah serta menikahkan Nabi saw dengan Khadijah.[15]
Catatan Penting atas Pernikahan Nabi dengan Khadijah
- Nabi saw lahir di tahun gajah dan Sayyidah Khadijah lahir ke dunia lima belas tahun sebelum tahun gajah. Usia beliau sewaktu menikah dua puluh lima tahun dan usia Khadijah empat puluh tahun.
Di tahun kesepuluh bi'sah, Sayyidah Khadijah meninggal dunia setelah mencapai usia enam puluh lima tahun. Semasa Khadijah masih hidup Rasulullah saw tidak menikah dengan wanita lain.
- Beliau mempunyai tujuh anak, tiga laki-laki dan empat perempuan. Anak laki tebebesar dari mereka adalah Qosim yang dengannya Rasulullah dijuluki Abul Qosim. Kedua, Abdullah yang dipanggil Thahir, Thayyib, dan Ibrahim dari keturunan Mariyah yang lahir di tahun kedelapan Hijriyah dan meninggal dunia di tahun kesepuluh Hijriyah sebelum Rasulullah saw wafat.
Ibnu Hisyam menulis: Putri beliau terbesar adalah Ruqoyah lalu Zainab, Ummu Kulstum dan Fatimah. Dan sebagian orang juga meyakini bahwa Zainab anak terbesar dimana ia wafat di tahun kelahiran Ibrahim.
Semua putra beliau meninggal dunia sebelum bi'sah, akan tetapi putri-putrinya sempat mengalamii masa kenabian.[16]
" Syeikh Shaduq dalam kita Amali dengan sanad-nya sendiri menukil dari Imam Shadiq as yang bersabda: "Ketika Khadijah ra kawin dengan Rasulullah saw, para wanita Makkah lari darinya dan tidak mau datang atau memberi salam kepadanya, bahkan mereka mencegah wanita lain datang kepadanya. Khadijah ketakutan dan menyampaikan rasa takut dan sedihnya kepada Rasulullah saw. Ketika beliau mengandung Fatimah, ia dari dalam perut ibunya berbicara dan mengajak ibunya agar bersabar. Khadijah menyembunyikan masalah ini kepada Rasulullah saw, sehingga pada suatu hari beliau masuk kamar dan mendengar Khadijah sedang berbicara dengan Fatimah, lalu beliau bertanya: Kamu berbicara dengan siapa? Khadijah menjawab: Bayi dalam perutku ini berbicara denganku dan menghiburku. Lalu beliau berkata kepada Khadijah, Jibril telah membawa kabar kepadaku bahwa bayi itu perempuan, suci dan membawa berakah. Allah SWT menjadikan keturunanku darinya dan darinya Allah menjadikan para imam dan penggantiku di atas bumi".[17]
Khadijah melewati masa kehamilan sampai tiba waktu untuk melahirkan. Ia menyampaikan pesan kepada para wanita Quraisy dan Bani Hasyim yang berbunyi: Bantulah aku dan lakukanlah untukku semua urusan yang hanya bisa dilaksanakan oleh kaum wanita. Namun mereka mengutus seseorang untuk mengatakan padanya: Kau telah melanggar perintah kami dan tidak mendengarkan ucapan kami dimana kau menikah dengan Muhammad, anak yatim Abi Thalib yang fakir dan miskin. Sekarang, kami semua tidak peduli dengan urusanmu.
Khadijah tenggelam dalam kesedihan. Dan tiba-tiba, ia melihat sosok empat wanita besar berkulit sawo matang menyerupai para wanita Bani Hasyim masuk rumah dan ia ketakutan melihat mereka. Akan tetapi satu dari mereka mengatakan: Janganlah sedih wahai Khadijah, kami adalah utusan Tuhan dan saudarimu. Aku Sarah dan ini Asiyah putri Mazahim yang akan menemanimu di surga dan ini Maryam puteri Imran dan ini adalah Kultsum saudari Musa bin Imran. Allah mengirim kami kepadamu untuk membantumu.
Kemudian satu dari mereka duduk di sebelah kanan, satu lagi berada di sebelah kiri, yang ketiga menempati posisi depan dan yang keempat duduk di belakang kepalanya. Tak lama kemudian Fatimah as yang suci lahir. Tatkala bayi suci itu jatuh ke bumi, tiba-tiba muncul cahaya darinya yang menyinari seluruh rumah di Makkah dan tidak ada tempat di barat atau timur kecuali tersinari oleh cahaya tersebut.
Setelah Fatimah as dilahirkan, ada sepuluh bidadari mendatanginya yang masing-masing membawa air segar kautsar dari surga. Perempuan yang duduk didepan Khadijah mengambil air itu dari mereka dan memandikan bayi mungil dengannya. Kemudian ia mengeluarkan dua helai kain yang lebih putih dari susu dan lebih wangi ketimbang misyik dan anbar, lalu ia membungkus Fatimah dengan salah satu dari kain tadi dan menutup kepalanya dengan yang lain, kemudian ia mengajaknya bicara. Fatimah as tersenyum, seraya berkata: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Tuhan yang Maha Esa, ayahku Rasulullah penghulu para nabi, suamiku pimpinan para imam, dan keturunanku adalah cucu-cucu para rasul, lalu ia mengucapkan salam kepada wanita-wanita tersebut sambil menyebutkan nama mereka satu persatu, kemudian mereka tertawa. Para bidadari dan penghuni langit satu sama lain saling mengucapkan selamat atas kelahiran Fatimah as. Cahaya besar memancar di langit yang malaikat tak pernah menyaksikan selama itu.
Para wanita itu berkata: Wahai Khadijah, ambillah bayi suci, mungil dan penuh barakah ini yang ia dan keturunannya telah diberkati.
Khadijah ra dengan senang dan gembira mengambil dan menimangnya. Fatimah as dalam sehari sedemikian pesat perkembangannya seakan bayi berumur satu bulan, dan dalam satu bulan seperti bayi berumur satu tahun.[18]
Peran Abu Thalib dalam perkawinan dan kehidupan Nabi
Peran Abu Thalib, ayah yang mulia dari Amirul mu'minin Ali as sejak awal hingga perkawinan Rasulullah dengan Khadijah dan khotbah nikahnya yang indah pantas untuk dipuji dan diperhatikan. Abu Thalib adalah pelindung anak saudaranya sejak masa awal kenabian yang penuh tantangan sampai masa jayanya, dan ia meninggal dunia pada tahun kesepuluh bi'sah beberapa hari sebelum wafatnya Sayyidah Khadijah.
Ibnu Sa'ad dalam kitab Thabaqot menulis, "Kepergian Khadijah terjadi satu bulan lima hari setelah wafatnya Abu Thalib. Kelompok lain seperti Ibnu Astir dalam kitab Kamil, juz 2, halaman 63 meyakini bahwa beliau wafat sebelum itu, yakni tidak sampai satu bulan lima hari.
Almarhum Ayati menulis, "Wafatnya Abu Thalib terjadi kira-kira dua bulan setelah keluarnya Bani Hasyim dari syu'b dan tiga tahun sebelum Hijrah, dan tiga hari setelahnya ( yaitu pada bulan Ramadan tahun ke sepuluh bi'sah) Sayyidah Khadijah pun meninggal dunia. Khadijah (menurut sejarah ini) berusia 65 tahun dan Abu Thalib berumur 80 tahun lebih, sedangkan Rasululah saw saat itu sudah mencapai umur 49 tahun delapan bulan sebelas hari.
Abu Thalib dan Khadijah dikuburkan di Makkah (Hajun). Kepergian dua pribadi agung ini adalah musibah besar bagi Rasulullah saw. Beliau sendiri mengatakan: "Sampai hari wafatnya Abu Thalib orang Quraisy tidak berani mengganguku."[19]
Ibnu Hisyam menulis, "Tak lama setelah meninggalnya Abu Thalib, ada satu pemuda Quraisy melemparkan tanah ke kepala Rasulullah. Beliau masuk rumah dan seorang puterinya dengan sedih membersihkan tanah itu dari kepala dan wajah ayahnya dan menyiramnya dengan sedikit air sambil meneteskan air mata. Rasulullah saw menghibur puterinya seraya mangatakan: "Jangan menangis, Allah pelindung ayahmu." Lalu beliau bersabda: "Selama Abu Thalib masih hidup orang-orang Quraisy tidak berhasil berbuat apa-apa untukku."
Istri Abu Thalib, ibu Amirul Mukminin Ali as adalah Fathimah binti Asad. Sejak Rasulullah menginjakkan kakinya di rumah mereka sampai Abu Thalib dan isterinya menjadi pengasuh beliau, wanita ini dengan keikhlasan dan kesetiaan mendidik Rasul sampai beliau bersabda : "Wahai Ali, ibumu meninggalkan anaknya kelaparan tapi aku selalu disuapi. Mereka menyisiri dan meminyaki rambutku serta menghidangkan makanan hangat untukku."
Anas bin Malik meriwayatkan bahwasanya ketika Fatimah binti Asad meninggal dunia, Nabi datang dan duduk di samping kepalanya sambil mengucapkan: "Semoga Allah merahmatimu wahai ibuku, engkau menjadi ibuku setelah ibuku wafat, menyuapiku dan menutupiku ... Engkau lakukan semua ini demi keridhaan Allah dan bekal akhirat."
Pernikahan Nabi dengan Saudah
Saudah adalah puteri Zum'ah bin Qais yang Rasulullah saw menikahinya sepeninggal Khadijah dan sebelum Aisyah. Saudah pernah menikah dengan putra pamannya, Sakron bin Amr. Setelah Sakron menjadi Muslim, ia hijrah ke Habasyah dan setelah beberapa bulan kembali lagi ke Makkah. Sakron meninggal dunia di Makkah sebelum masa Hijrahnya Rasulullah saw. Setelah itu, Saudah menjadi isteri Nabi saw. Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Khulah binti Hakim yang meminangkan Saudah kepada beliau. Ia wafat diakhir masa kekhalifahan Umar atau tahun ke-54.
Saudah memberikan malam-malamnya kepada Aisyah dan diwaktu Rasul mau mentalaknya -sebab perceraainya tidak tercatat dalam sejarah- ia berkata: aku tidak punya gairah untuk lelaki melainkan aku hanya ingin menjadi bagian dari isteri-isterimu.[20]
Pernikahan Nabi dengan Aisyah
Nabi saw-sepeninggal Khadijah-menikah dengan Saudah yang umurnya satu tahun lebih tua dari beliau. Diceritakan bahwa ayah dan ibu Aisyah dengan beberapa alasan menawarkan puterinya kepada Nabi untuk dinikahi. Saat itu Aisyah masih berusia tujuh atau sembilan tahun. Nabi saw menunda-nunda jawabannya. Dan terkadang karena desakan bapak dan ibu Aisyah, beliau mengakatakan, 'Ya nanti.' Akan tetapi mereka terus menampakkan keinginannya dalam merealisasikan hubungan ini. Dan akhirnya, Nabi menerima jika sekadar akad atau tunangan saja.
Acara akad atau pertunangan berlangsung di Makkah, dan di tahun kedua Hijriyah Aisyah resmi menjadi isteri beliau. Dalam versi lain dikatakan bahwa Khulah binti Hakim (orang pertama yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah saw) setelah Khadijah meninggal datang menemui Nabi saw dan menawarkan Saudah dan Aisyah kepadanya untuk dinikahi, lalu beliau merima.[21]
Ibnu Abil Hadid pensyarah terkenal kitab Nahjul Balaghah pada khotbah yang ke-156 saat menjelaskan kondisi Aisyah menulis: "Di khotbah ini kosa kata yang tidak jelas (fulanah) adalah kiasan dari Ummul Mukminin Aisyah, ayahnya adalah Abu Bakar yang nasabnya telah dijelaskan di atas (penjelasan khotbah ketiga)[22] sedangkan ibunya Ummu Ruman, putri Amir. Nabi saw dua tahun sebelum Hijrah dan setelah Khadijah wafat, meminang Aisyah yang baru berusia tujuh tahun dan menikahinya di Madinah setelah ia berumur sembilan tahun. Sebelumnya, tersebar isu pernikahan Aisyah dengan Jubair bin Muth'im dan orang-orang menyebut-nyebut dia didepan Jubair. Nabi saw setelah kematian Khadijah bermimpi melihat Aisyah berada dalam kain sutera putih, dan beliau bersabda: "Jika perkawinan ini datang dari Allah maka Ia yang akan menyiapkan semua itu". Kisah ini dinukil dalam kitab-kitab hadis shahih.[23] Resepsi pernikahannya terjadi pada bulan Syawal dan karena sebab inilah Aisyah merasa bangga jika pernikahan keluarganya dan teman-temannya diadakan di bulan Syawal. Aisyah sering mengatakan: "Adakah di antara isteri-isteri Nabi yang lebih beruntung dariku. Nabi saw melangsungkan akad dan resepsi pernikahannku di bulan Syawal."
Ketika Rasulullah saw wafat, Aisyah berusia dua puluh tahun. Aisyah meminta beliau untuk memberikan julukan kepadanya. Rasulullah memanggilnya Ummu Abdillah. Dan Abdullah bin Zubair adalah paman Aisyah. Aisyah tidak punya keturunan dan tinggal di rumah Nabi sebagai ibu tiri dari anak Nabi Sayyidah Fatimah.
Beberapa Poin Penting:
" Tampak dari sejarah tersebut bahwa menikahkan anak perempuan dimasa muda adalah satu hal yang lumrah. Dan perkembangan kaum lelaki dan wanita saat itu sangatlah cepat dimana kaum wanita bisa menikah pada usia sembilan tahun. Sayyidah Fathimah, menurut versi yang masyhur, pada usia sembilan tahun telah pergi ke rumah Ali as (menikah).
"Berkenaan dengan faktor-faktor poligami dari kaca mata psikologi, Mantiskio, cendikiawan ternama danpengarang buku Ruhul Qowanin, menjelaskan bahwa perempuan yang hidup di lingkungan panas pada usia delapan sampai sepuluh tahun memiliki potensi untuk dinikahi. Oleh karena itu, di negara-negara seperti itu sebagian besar wanita telah menikah di usia mereka yang sangat muda (masih kanak-kanak)."[24]
" Sejak Aisyah dipinang sampai menikah, kira-kira berjarak tiga tahun. Dan selama ini (dimana dilihat dari masa pertunangan cukup lama) kedua orang tua Aisyah dan dia sendiri tidak pernah protes. Dan jika Nabi punya niat "berkumpul" pasti beliau lakukan, bahkan tawaran pertama kedua orang tua Aisyah akan beliau jawab hari ini atau besok. Di sisi lain, jika Nabi memang punya niat itu, beliau bisa menikah dengan perempuan lain yang seumur atau lebih tua darinya atau bahkan para janda, akan tetapi beliau tidak melakukannya.
Diriwayatkan bahwa beliau pernah bersabda: "Ambillah separuh agama kalian dari Aisyah."
Sekitar usia sembilan tahun Aisyah tinggal di rumah wahyu dan belajar permasalahan syariat dari Nabi. Dari sisi kefasihan, ia mendapat pujian ahli sastra. Mereka menulis bahwasanya ia seorang penyair, homoris dan memuji Nabi dengan lantunan-lantunan syair. Namun yang terpenting adalah kalimat "Ambillah separuh agama kalian dari Aisyah" yang mungkin ingin menyinggung bahwasanya hukum-hukum kewanitaan dan masalah etika bisa dipelajari dari Aisyah.
Ibnu Jauzi Jamaluddin (597 H) dalam buku Shifatus Shafwah, jilid 1, halaman 16 pasal kedua, menulis: Diriwayatkan dari Masruq, ia berkata: Demi Allah, kami melihat para pembesar sahabat Rasulullah saw bertanya tentang Faraid kepada Aiyah.
Dari Urwah (Hisyam bin Urwah dari bapaknya), ia berkata: "Saya tidak menemukan satu orang pun dari manusia lebih pintar tentang Al Qur'an, hukum halal dan haram, syair, sastra Arab dan ilmu geneologi daripada Aisyah ra."
Ibnu Jauzi dalam halaman 19 menukil riwayat dari Ahnaf bin Qais (wafat di Kufah tahun 67) dimana ia berkata: "Saya mendengar ceramah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, namun saya tidak mendengar pembicaraan yang lebih indah dan fasih dibanding pembicaraan Aisyah ra."
Dalam tulisan ini kami tidak ingin mengecek benar dan salahnya pernyataan-pernyataan dan riwayat-riwayat di atas, namun kami hanya ingin menyatakan bahwa penyampaian hukum-hukum kewanitaan dari isteri-isteri Nabi juga bisa menjadi salah satu motivasi menarik dari pernikahan beliau. Sebagaiman Khadijah dan Ummu Salama dalam hal ini sepertinya telah mendahului mereka. Aisyah juga termasuk dari wanita-wanita yang menjadi tempat rujukan kaum wanita dalam hal kewanitaan (khususnya para gadis). Cerita di bawah ini adalah bukti dari asumsi di atas dimana Aisyah sendiri mengatakan: "Asma', puteri Yazid Anshari datang kepada Nabi saw dan bertanya bagaiman aku mandi haid? Beliau menjawab: "Ambilah kapas pembalut dan berwudulah." Asma' tidak paham lalu sekali lagi ia bertanya dan Nabi memberikan jawaban yang sama. Pertanyaan itu terulang lagi ketiga kalinya, lalu beliau jawab sambil menundukkan kepalanya karena malu: "Subhanallah (Maha Suci Allah)." Lalu Aisyah memanggil wanita itu dan menjelaskan kepadanya maksud Nabi.[25]
Aisyah mempunyai unta dan keledai. Ia dilahirkan di tahun keempat bi'sah dan meninggal dunia pada malam Selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57/58 di kota Madinah dan Abu Hurairah (periwayat hadis terkenal dan wakil Marwan bin Hakam, gubernur Madinah) yang menyolati mayatnya dan beliau dikebumikan di Baqi'.[26]
Pernikahan Nabi dengan Hafshah
Hafshah adalah puteri Umar bin Khattab, Khalifah kedua. Ia sebelumnya pernah menikah dengan Khunais bin Huzafah Sahmi. Khunais masuk Islam sebelum Nabi saw menjadi keluarga Arqam dan ia ikut dalam peperangan Badar dan Uhud. Akibat lukanya di perang Uhud, ia meningal dunia.
Mereka menulis, Hafshah dari sisi moral mirip dengan ayahnya. Setelah ditinggal suaminya, Umar membawa ke rumahnya. Kegagalan dan kehancuran tatanan rumanhnya membuat Hafshah tersiksa dan semakin kacau. Seakan-akan ayahnya ingin mengatakan: Puteriku, berrsabarlah sedikit, banyak wanita tanpa suami sepertimu, lupakan sedikit kesedihan dan kegundahanmu!
Pada suatu hari, Umar membisikkan sesuatu kepada salah satu teman lamanya, Abu Bakar, "Apakah kau tidak ingin menikah dengan putriku Hafshah?" Tapi Abu Bakar menolak tawaran itu. Dan Umar tidak marah, akan tetapi ia tidak mau memutuskan tali persahabatannya dengan Abu Bakar demi maslahat yang lebih besar. Tawaran ini Umar tawarkan kepada Usman yang isterinya (Ruqoyah puteri Nabi) baru saja meninggal. Dia juga menolak tawaran itu, lalu Umar kembali ke rumah sambil berbicara dengan dirinya: "Setiap kegagalan yang dialami manusia berasal dari dirinya sendiri."
Hafshah yang sedih, gundah dan tersiksa dengan kegagalan Umar berkata; Ayahku, apakah kau mulai jemu denganku? Apakah putus- asa dan rasa capek telah menyiksamu? Kemudian Umar berdiri dan hendak pergi. Hafsah bertanya, "Mau kemana ayah?" Umar menjawab, "Aku ingin menemui Rasulullah saw dan aku akan adukan dua orang itu."
Sesampainya Umar di hadapan Nabi saw, ia berkata: "Ya Rasulullah, Anda kan tahu nasib puteriku. Sekarang urusan begitu sulit bagiku. Sebelum aku datang ke mari, aku menawarkan puteriku Hafsah kepada Abu Bakar dan Usman, tetapi keduanya menolak." Lalu beliau menjawab: "Jangan sedih, tidakkah kau tahu bahwa putus asa dari rahmat Allah termasuk kufur, tidakkah kau telah mendengar bahwa buah sabar adalah keberhasilan? Putrimu akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Usman."[27]
Umar dengan muka gembira pulang ke rumah dan bercanda dengan putrinya sambil menceritakan hasil pertemuannya dengan Rasulullah saw. Kemudian Hafsah dengan antusias mendengarkan sampai ayahnya berkata; Yang lebih penting dari semua adalah bahwa dalam hari-hari ini Nabi akan datang ke rumah kita untuk menemuimu.
Putrinya dengan terheran-heran bertanya, apa benar Nabi saw akan ke mari? Umar menjawab: Ia datang bukan untuk bertamu dan juga bukan untuk menghibur hati, melainkan untuk melamar putriku Hafsah. Akhirnya, Nabi saw melamar Hafsah dan menikahinya.
Hafsah menikah dengan Rasulullah saw pada tahun ketiga Hijriyah dan wafat di tahun ke 41/45, dan menurut pendapat yang lain di tahun ke-28 Hijriyah.
Pernikahan Nabi saw dengan Zainab binti Khuzaimah
Zainab binti Khuzaimah bin Haris adalah keturunan Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sho'shoah. Ia dijuluki Ummu Masakin. Suaminya-Abdullah bin Jahsy-syahid di perang Uhud. Ia menjadi isteri Rasulllah saw setelah Hafsah. Setelah dua atau tiga bulan bersama beliau, ia meningggal dunia di usianya yang ke-30 tahun. Nabi saw pada bulan Rabiul Awwal tahun ke-4 Hijriyah menyolati janazahnya, dan ia dikuburkan di Baqi'. Sebagian orang menjulukinya Mauhubatun Nafs (wanita yang mempersembahkan dirinya kepada Nabi).
Menurut buku Raihanatul Adab, jilid 6, halaman 24, penjelasan tentang wanita ini terdapat dalam kitab Majmauz Zawaid Haitsami, A'lamul Wara dan Tanqihul Maqol.
Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah
Ramlah binti Abu Sufyan adalah saudari Muawiyah yang ibunya bernama Shafiyah putri Abu Ash. Setelah suaminya meninggal di Habasyah, ia menikah dengan Rasulullah saw dan dikirim ke Madinah.
Dalam hijrahnya yang pertama ke Habasyah, ia membawa seorang gadis bernama Habibah yang biasa dipanggil Ummu Habibah. Julukan lainnya adalah Ummu Jamilah. Suaminya adalah Ubaidillah bin Jahsy yang hijrah ke Habasyah dan di sana berubah menjadi Nasrani dan meninggal dalam keadaan Nasrani. Kekafiran dan kematiannya ditanah asing membuat sedih Ummu Habibah. Setelah Nabi mendengar kondisinya, beliau tawarkan 400 Dinar kepada Najasyi, Raja Habasyah agar ia menikahkannya dengan beliau. Yang menikahkan Ummu Habibah dengan beliau adalah Kholid bin Said bin Ash.[28]
Ayahnya, Abu Sufyan, pada kejadian Fathu Makkah berlindung di rumah anaknya, Ummu Habibah, namun ia tidak mengizinkan untuk duduk ditempat Nabi dengan berkata, 'Anda masih musyrik dan tidak berhak duduk di tempat beliau.' Abu Sufyan merasa tidak enak dan akhirnya menjadi Muslim.
Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah
Sebelum menceritakan pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah, sebaiknya kita mengenal secara singkat kehidupan wanita mulia ini karena ini sangat bermanfaat.
Ia bernama Hind, lalu dipanggil Ummu Salamah karena anaknya bernama Salamah.
Ayahnya adalah Abu Umayah, seorang dermawan Quraisy yang terkenal dengan panggilan zadur rokib (bekal tunggangan). Setiap kali bepergian, ia tidak mengizinkan orang yang bersamanya untuk membawa bekal.
Ibunya adalah Atikah, putri Amir bin Robi'ah Kanani. Dalam sejarah lain tercatat bahwa Atikah adalah putri Abdul Muttolib yang diyakini bahwa Ummu Salamah putri dari bibi Nabi (sepupu beliau-pent.), padahal suaminya Abu Salamah Makhzumi adalah sepupu Nabi dan ibunya Barih binti Abdul Muttolib. Jadi Abu Salamah dan Ummu Salamah sebelum menjadi suami isteri adalah sepupu.
Abu Salamah mendapat perhatian khusus dari Nabi dan ia termasuk salah satu dari pejuang Islam yang berhasil.
Alkisah, kaum Quraisy bersiap-siap untuk berperang melawan Rasulullah saw di Badar. Kali ini mereka berkumpul di Uhud. Sudah barang tentu bahwa Abu Salamah berada di pihak pasukan Islam. Lesatan anak panah yang mengenainya membuat luka parah di badannya dan selama satu bulan ia obati sendiri. Ketika sembuh, ia maju lagi ke medan perang. Nabi mengirimnya untuk mengantisipasi serangan anak-anak Mukhlad dari kabilah Bani Asad. Setelah kemenangan perang ini, luka dalam yang ditimpanya di perang Uhud telah mengambil nyawanya dan gugurlah ia sebagai syahid.
Ummu Salamah berkata: 'Kepergian Abu Salamah adalah satu musibah bagiku maka aku katakan, ya Allah anggaplah musibah ini sebagai musibahku, dan hatiku tidak rela jika berkata; ya Allah, gantilah untukku yang lebih baik darinya.' Saat itu Ummu Salamah berkata: 'Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, tidakkah dia begini dan begitu....? Setelah iddah Ummu Salamah selesai, Abu Bakar datang melamarnya, akan tetapi ia menolak, kemudian Umar juga mencoba melamarnya, Ummu Salamah juga menolaknya. Lalu Rasullah saw melamarnya dan ia menjawab: 'Selamat datang wahai Rasulullah saw.'[29]
Ummu Salamah di rumah Rasul yang mulia
Ummu Salamah adalah pendahulu wanita-wanita Muslim dan termasuk Muhajir yang baik dimana ia segera memeluk Islam, puas dengan ajaran-ajarannya dan berakhlak dengan akhlak Islam. Keberadaannya di sisi suami pertamanya (Abu Salamah) membuat ilmu dan imannya bertambah. Ia hidup bersama lelaki dari kelompok Muslim pertama, sehingga ia membayangkan bahwa tiada lelaki lain di tengah kaum Muslim yang lebih baik darinya karena iman, takwa dan sikap baiknya yang ia rasakan.
Ummu Salamah dalam kehidupan keluarga banyak mengambil pelajaran berhaga darinya. Kepergiaannya ke Habasyah dan Madinah menambah wawasan dan pengalaman kepadanya. Jadi, ia hidup dalam masyarakat baru dimana dilihat dari sisi pemikiran dan praktik berbeda sekali dengan apa-apa yang ada di lingkungan sebelumnya.
Tahun demi tahun telah berlalu bagi Ummu salamah. Tahun-tahun ini memberikan pengetahuan dan hikmah kepadanya dan menjadikannya sebagai contoh dari sifa-sifat mulia. Dengan kelebihan-kelebihan inilah Ummu Salamah memasuki rumah Rasulullah saw dan masalah pertama yang ia utamakan adalah mencari kerelaan Nabi saw dan memenuhi keinginan-keinginan beliau. Dia mencintai orang yang dicintai Rasul dan memusuhi orang yang dimusuhi beliau. Ummu Salamah melihat Nabi mencintai Khadijah dan mengingatnya dengan kebaikan. Oleh karena itu, ia juga mencintainya dan berkata kepada Rasulullah berkenaan dengan Khadijah: 'Anda tidak menyebut sesuatu dari Khadijah kecuali apa yang telah Anda sampaikan yaitu dia selalu bergegas menuju Tuhannya. Jadi, Tuhan menjadikan hal ini suatu kenikmatan baginya dan berputar di antara kami dan dia di surga.'
Ummu Salamah mengetahui bahwa Nabi mencintai Ali as, maka ia juga mencintai Ali as. Ia sering mendengar Nabi menjunjung tinggi nama Ali, maka ia ingat hal itu dan ia praktikkan serta ajarkan kepada orang lain.
Ummu Salamah juga melihat Nabi saw cinta kepada putrinya Fatimah, maka ia juga mencintainya dan merasa ikhlas dengannya dan tidak mau lepas darinya sekalipun berada dalam kondisi yang sulit dan menyakitkan.
Usaha Ummu Salamah dalam meraih kerelaan Nabi melebihi hal ini, sampai-sampai dalam hal makanan dan minuman pun ia berusaha menyiapkan makanan dan semacamnya yang memberikan kelezatan kepada beliau.
Ummu Salamah mengakhiri kehidupannya bersama Rasul saw yang mulia dengan sebaik-baik cara yang bisa ia lakukan. Dalam sejarah Rasululah saw tidak tercatat sedikitpun aspek buruk dari Ummu Salamah, padahal sejarah telah menyinggung banyak hal dari istri-isteri beliau yang lain.
Keutamaan-keutamaan Ummu Salamah
Sehubungan dengan urutan pernikahan Nabi saw terdapat perbedaan pendapat dan tidak ada alasan untuk menbahasnya di sini. Dalam A'lamul Wara Thabarsi diceritakan bahwa Ummu Salamah adalah isteri ketujuh beliau, putri bibi Nabi dan isteri terakhir beliau yang wafat tahun 62.
- Ummu Salamah mempunyai seorang budak yang tidak senang jika disebutkan keutamaan-keutamaan Ali as. Ia menyuruhya untuk bertaubat, lalu budak itu merima perintahnya dan akhirnya ia menjadi sahabat Ali as.[30]
- Ummu Salamah mendukung kepemimpinan Ali. Surat dan nasihat-nasihatnya kepada Aisyah menarik sekali untuk dibaca. Ia berusaha agar supaya Aisyah tidak bergabung dengan Thalhah dan Zubair dalam perang Jamal (tidak menginginkan perang ini terjadi).
Pernikahan Nabi saw dengan Zainab binti Jahsy Asadi
Zainab putri Jahsy berasal dari bani Asad dan puteri bibi Rasulullaha saw yang menikah dengan Zaid bin Haritsah atas perintah beliau. Di saat Zaid mencerainya, Ummu Salamah sudah menjadi isteri Rasuluulah saw. Zainab wafat pada tahun ke-20 Hijriyah.[31] Sebelum menceritakan pernikahan beliau saw, kita perlu mengenal sedikit tentang siapa sih Zaid?
Hakim bin Huzam Khowailid membelikan bibinya (Khodijah) budak bernama Zaid dari pasar Ukkadz seharga 400 Dirham. Ketika Khodijah menikah dengan pemuda wibawa Quraisy, Muhammad bin Abdullah, ia memberikan Zaid kepadanya.
Beberapa waktu setelah itu, ketika Rasulullah saw sudah menyaksikan kesukaan Zaid kepada beliau, beliau bawa Zaid ke Ka'bah dan di depan khalayak umum beliau berkata: "Hadirin yang budiman, jadilah kalian semua saksiku bahwa Zaid anakku dan aku akan mewarisinya begitu juga ia akan mewarisiku."[32]
Mereka menulis, Zaid menjabat pimpinan perang atas perintah Nabi dan ikut serta dalam banyak peperangan antara hak dan batil. Aisyah mengatakan: "Tidak ada pasukan perang yang Nabi saw kirim kecuali Zaid-lah yang jadi pimpinannya, sampai beliau berniat untuk mencarikan jodoh yang cocok untuknya dari perempuan Arab agar supaya punya pegangan dan tempat sandaran dalam hidupnya." Beliau demi merealisasikan keinginannya memutuskan untuk mengambil wanita untuknya dari keluarganya sendiri. Oleh karena itu, beliau melamar Zainab putri Jahsy yang juga putri bibinya sendiri (Amimah putri Abdul Motthalib) untuk Zaid sebagai balasan dari amanah dan kejujurannya serta bukti kerelaan beliau terhadapnya.
Namun Abdullah, saudara Zainab tidak setuju dengan hubungan ini dan tidak terima jika saudarinya dinikahkan dengan Zaid, apalagi Zainab sendiri juga tidak suka menikah dengan lelaki selain Quraisy.. Sebab, orang Quraisy selalu bersikeras untuk menjaga keturunannya dan menganggap berhubungan (menikah) dengan golongan lain tidak sesuai dengan dirinya. Namun karena perintah itu keluar dari lisan suci Rasulullah saw dan lelaki serta wanita mukmin tidak boleh melanggar hukum Al Qur'an yang dalam hal ini mereka tidak punya ikhtiyar, akhirnya pemuda dan gadis ini menikah dan mulai hidup bersama.
Takdir Ilahi dan Perceraian
Setelah sekian lama tatanan keluarga Zainab dengan suaminya penuh dengan kecintaan dan keharmonisan, hubungan mereka berdua mulai mendingin dan akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai.
Suatu hari, Zaid datang menemui Rasulullah saw dan mengeluhkan istrinya dan bermusyawarah dengan beliau tentang percerain. Beliau perihatin dan sedih sekali melihat kejadian ini dan berusaha menasihati Zaid: "Hai Zaid, Allah SWT menyiapkan pernikahannmu ini setelah aku banyak mengeluarkan tenaga dan merasakan capek, kau tahu betul kan! Kalau Zainab sekian lama menolak jalinan ini, sekarang aku mengharap darimu supaya berlapang dada dan banyak bersabar dan aku berharap kepada Allah supaya memperbaik hubunganmu dengannya sekali lagi. Takutlah kepada Allah SWT dan jagalah kehormatan-Nya dengan tidak bercerai."
Di saat Muhammad saw menyampaikan pesan ini, turunlah takdir Ilahi dimana gadis dan pemuda ini bercerai. Setelah beberapa waktu berlalu, Zainab menjadi isteri beliau dan gugurlah aturan khurafat Arab bahwa seseorang tidak boleh menikah dengan mantan isteri dari anak angkatnya.
Rasulullah saw terus menerus menghadap Allah dengan kerendahan hati dan memohon kepada-Nya supaya hubungan ini membaik. Barangkali dengan perantara ini takdir itu berubah. Namun hal ini tidak terjadi dan perintah Allah tetap harus dijalankan. Oleh karena itu, Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya: "Dan apa yang kau sembunyikan di dalam hatimu, Allah telah mengungkapkannya dan engkau merasa takut terhadap cemoohan masyarakat. Selayaknya engkau merasa takut kepada Allah. Ketika Zaid telah menceraikan wanita itu, Kami menikanhkannya denganmu supaya muslimin tidak merasa terlarang menikahi istri-istri anak-anak angkat yang diceraikannya." [33]
Hancurnya tradisi Arab
Rasulullah saw tidak mengaklamasikan perintah Allah itu, karena pertama, beliau masih mengharap hubungan dua pasangan tadi harmonis kembali. Kedua, beliau tidak punya keinginan untuk menikah dengan mantan istri anak angkatnya sebelum hukum pembatalan budaya Arab itu diputuskan.
Jelas sekali bahwa pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang selain Rasulullah saw yang memiliki takwa, iman dan sifat berani. Dan beliaulah satu-satunya yang mampu membatalkan dan mengahancurkan keyakinan menyimpang dan batil ini.
Akhirnya, setelah perpisahan Zaid dan Zainab berlalu dan iddah Zainab selesai, Allah menyiapkan pernikahan Rasulullah saw dengannya. Zainab dengan alsan ini (bahwa persiapan pernikahannya dengan Muhammad saw telah Allah siapkan dan berlansung dengan sederhana) selalu berbangga di antara isteri-isteri beliau yang lain.
Fenomena ini adalah penghancur salah satu adat-istiadat Arab yang sudah berlaku lama. Sebab orang-orang Arab di saat itu menganggap anak angkat sebagai anak sendiri dimana mereka memberikan hak anak sendiri kepadanya, dan menjaga aturan-aturan warisan dan keturunan untuknya. Masalah ini sudah mengakar di benak mereka dan tidak pernah terbayangkan pembatalan hal ini bisa terjadi.
Akhirnya Rasulullah saw dengan argumen yang jelas dan memuaskan melakukan pembatalan dan pengahancuran kebiasaan menyimpang ini. Hanya Rasulullah yang menjadi pemimpin agama suci ini yang layak melakukan hal ini. Beliau-lah yang mengumumkan haramnya riba di zaman Jahiliyah dan menerapkan hukum ini yang dimulai dari Abbas pamannya sendiri, sehingga masyarakat menjadi saksi keadilan dalam penerapan konstitusi ini dan menjauhkan diri dari iming-iming setan.
Tuduhan Keji
Kisah antara Zaid dan Zainab menimbulkan syubhat di kalangan orang-orang yang gemar menyebarkan fitnah dan masih terpengaruh oleh kegelapan alam Jahiliyah. Mereka yang masih terbelenggu oleh hawa nafsu ini melemparkan tuduhan-tuduhan keji terhadap Rasulullah saw. Salah satu tuduhan mereka adalah bahwa setelah beliau menikahkan Zaid dengan Zainab, beliau sendiri lalu jatuh hati kepada Zainab.
Menjawab tuduhan ini, kita katakan bahwa Rasul saw tidak pernah tunduk kepada hawa nafsunya dan melanggar perintah Tuhannya. Lagi pula, keagungan pribadi beliau tidak memberi jalan bagi tuduhan-tuduhan semacam ini.
Bukankah sebelum Zainab menikah dengan Zaid, ia berada dalam tanggungan Rasul dan ia masih perawan?Andai beliau menaruh hati terhadap Zainab, beliau akan segera melamarnya, bukan setelah berlalunya tiga belas tahun dari pernikahan Zainab dan lunturnya kecantikan dan keremajaannya.
Dari sisi lain, apakah posisi sosial dan tanggung jawab Rasul sebagai nabi meluangkan waktu bagi beliau untuk mencurahkan perhatiannya pada hal-hal rendah seperti ini? Apakah masalah-masalah ini sesuai dengan pribadi mulia Rasul saw dan kehormatan keluarganya?
Muhammad saw adalah seorang rasul dan nabi agung yang senantiasa menjauhi gemerlap emas permata dan kilau duniawi. Andaipun beliau tidak memiliki kemaksuman, harga diri dan akhlak mulianya akan mencegahnya dari melirik wanita yang bukan muhrimnya.[34]
Alhasil, pedoman dongeng para orientalis ini adalah apa yang dinukil oleh Ibnu Atsir,[35] Tabari dan sebagian penulis tafsir dalam buku-buku mereka, yaitu:
"Suatu kali, tanpa disadari, pandangan Rasul saw tertuju pada Zaid dan Zainab. Zaid merasa bahwa Rasul saw tertarik kepada Zainab. Dikarenakan kecintaannya terhadap Rasul saw, Zaid datang menemui beliau dan mengutarakan niatnya untuk menceraikan istrinya hingga tak ada penghalang bagi Rasul untuk menikahi Zainab. Meskipun Rasul saw berulangkali melarang Zaid untuk menceraikan istrinya, namun ia tetap bersikeras dan akhirnya ia bercerai dengan istrinya. Setelah itu, Rasul saw menikah dengan Zainab. "
Para orientalis tidak sekadar mengabaikan penelitian sanad kisah ini dan mencukupkan diri dengannya, bahkan mereka membumbuinya sedemikian rupa hingga menyerupai kisah-kisah seribu satu malam. Adalah jelas bahwa orang-orang yang mengenal persis sejarah Rasul saw akan menganggap kisah ini bertentangan dengan lembaran gemilang kehidupan beliau. Bahkan para ulama besar seperti Fakhrur Razi dan Alusi terang-terangan membantah kisah ini dan mengatakan bahwa kisah ini adalah buatan musuh-musuh Islam yang disebarkan di tengah penulis Muslim.[36]
Dengan semua ini, bagaimana bisa penggalan sejarah ini diyakini oleh Thabari dan Ibnu Atsir, sedangkan puluhan ulama yamg lain menukil kebalikan kisah ini dan menyucikan pribadi Rasul saw dari segala aib dan cela.
Sebenarnya, kami pikir, topik ini sudah demikian jelas hingga tidak lagi membutuhkan pembelaan. Meski demikian, kami akan sebutkan bukti-bukti kepalsuan kisah ini. Berikut bukti-bukti yang kami kumpulkan:
1. Kisah ini jelas bertentangan dengan sandaran utama Islam, yaitu Al-Qur'an. Karena dalam surat Al-Ahzab ayat 37 telah disebutkan bahwa tujuan pernikahan Rasul saw dengan Zainab adalah menentang adat Jahiliyah dimana seseorang tidak boleh menikahi mantan istri anak angkatnya. Lagi pula, Allah-lah yang memerintahkan hal ini, bukan karena ketertarikan Rasul saw terhadap Zainab. Di masa awal Islam, tidak ada seorangpun yang membantah hal ini. Apabila ucapan Al-Qur'an bertentangan dengan kenyataan, niscaya orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum munafik akan bangkit mengkritiknya. Sedangkan kita lihat dalam sejarah tidak ada satupun kritik yang ditujukan kepada Rasul saw dari mereka.
2. Sebelum menikah dengan Zaid, Zainab telah meminta Rasul untuk menikahinya. Namun Rasul saw tetap bersikeras agar ia menikah dengan Zaid, anak angkatnya. Apabila beliau memang tertarik kepada Zainab, mengapa beliau tidak segera menikahinya, padahal tidak ada satupun penghalang di waktu itu? Jadi, meski beliau melihat Zainab menampakkan kecintaan kepadanya, namun beliau tidak sekadar menolak permintaaannya, bahkan menyuruhnya menikah dengan orang lain.
Penjelasan Ayat
Untuk menyempurnakan pembahasan, kita akan menjelaskan ayat yang berkaitan dengan hal ini yang menyebabkan timbulnya keraguan bagi sebagian orang. Ayat itu adalah: "(Ingatlah) ketika kau berkata kepada budakmu (Zaid) yang telah diberi nikmat oleh Allah dan dirimu 'tahanlah istrimu dan jangan ceraikan dia serta bertakwalah kepada Allah.'"[37] Sampai di sini, tidak ada keraguan sedikitpun. Selanjutnya, Allah berfirman, "Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam dirimu yang akan disingkap Allah. "
Setelah semua nasihat yang Rasul saw berikan kepada Zaid, apa yang disimpan beliau dalam hatinya hingga Allah akan menampakkannya?
Apakah mungkin secara lisan beliau melarang Zaid mencerikan istrinya, namun dalam hatinya beliau menyetujui niat Zaid hingga ia bisa menikahi Zainab?
Indikasi ini sama sekali tidak benar. Karena apabila Rasul saw memang memiliki niat ini, mengapa Allah tidak menyingkap niat batin beliau dalam ayat-ayat lain? Padahal Allah sendiri dalam ayat ini telah berjanji menampakkan niat batin beliau.
Oleh karena itu, mufasirin mengatakan bahwa yang disembunyikan Rasul saw dalam hatinya adalah wahyu Allah kepada beliau untuk menikahi Zainab setelah ia diceraikan Zaid dengan tujuan menentang adat Jahiliyah (yaitu ayah tidak boleh menikah dengan mantan istri anak angkatnya). Ketika beliau menasihati Zaid, beliau tahu akan wahyu ilahi ini, namun beliau menyembunyikannya dari orang lain. Tapi Allah dalam ayat tersebut memberitahu Rasul bahwa Dia akan menyingkapnya.
Bukti penafsiran ini adalah kandungan ayat berikut: "Setelah Zaid menceraikan istrinya, Kami perintahkan kepadamu untuk menikahi (mantan) istrinya supaya tidak ada beban bagi orang-orang mukmin untuk menikah dengan (mantan) istri anak-anak angkat mereka."
Dari kandungan ayat di atas, menjadi jelas bahwa yang disimpan Rasul saw dalam hatinya adalah wahyu Allah untuk menikahi mantan istri anak angkatnya demi menentang adat Jahiliyah.
Ayat lain yang perlu dijelaskan maknanya adalah: "Engkau takut pada orang-orang, sedangkan Allah lebih berhak untuk engkau takuti."[38]
Kesamaran makna ayat ini lebih sedikit dari ayat pertama, karena menentang sebuah adat yang telah lama berlaku di sebuah lingkungan yang tercemar sedikit-banyak akan menimbulkan kekhawatiran. Namun, dengan inayah dari Allah, para nabi akan mudah menghilangkan rasa khawatir mereka.
Kekhawatiran Rasul saw disebabkan oleh sangkaan beliau bahwa kaum Arab yang baru lepas dari pemikiran-pemikiran Jahiliyah akan menuduhnya melakukan perbuatan salah, padahal yang dilakukannya merupakan wahyu dari Allah.[39]
Dalam tafsir Al-Qummi disebutkan: "Allah berfirman, "Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian memasuki rumah nabi....."[40] Sebab turunnya ayat ini adalah..... " selanjutnya, penulis menukil kisah pernikahan Rasul saw dengan Zainab.[41]
Dalam kitab A`lamul Waro,[42] disebutkan: "Setelah Nabi wafat, Zainab adalah istri pertama beliau yang meninggal di masa pemerintahan Umar. "
Pernikahan Rasul saw dengan Juwairiyah
Juwairiyah putri Harits bin Abi Dharar, dari kabilah Bani Mushtaliq. Ia ditawan dalam perang Bani Mushtaliq pada tahun lima atau enam Hijriyah. Ketika Rasul saw membagi para tawanan kepada Muslimin, Juwairiyah termasuk dalam kekuasaan Tsabit bin Qois. Ia lalu bersepakat dengan Tsabit untuk memberinya sejumlah uang supaya ia bebas.
Juwairiyah lalu datang menemui Rasul saw untuk meminta bantuan uang dari beliau. Menjawab permohonannya, Rasul saw berkata, "Apakah kau ingin aku lakukan yang lebih baik dari ini?" Ia bertanya, "Apa yang hendak Anda lakukan?" Rasul saw menjawab, "Aku bayar hutangmu dan kau menikah denganku." Juwairiyah lalu menyetujui usulan Rasul saw.[43]
Ketika kabar pernikahan Rasulullah saw dan Juwairiyah tersebar di tengah Muslimin, dan secara otomatis hubungan kekerabatan terwujud antara Rasul saw dan Bani Mushtaliq, maka mereka membebaskan semua tawanan dari kabilah ini. Berkat pernikahan ini, seratus keluarga Bani Mushtaliq bebas dari tawanan.
Referensi:
[12] Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah sudah pernah menikah dengan Abu Halah at-Tamimi dan 'Utayyiq bin 'A`idz bin Abdullah. Di sini ada juga pendapat yang lain yang berbeda.
[13] Kafi, juz 2 hal 19
[14] Penyampai ucapan ini pada referensi lain adalah Abu Jahal. Lihat Biharul Anwar, juz 17 hal. 70.
[15] Ringkasan dari apa yang tersirat dalam referensi-referensi Syi'ah dan Sunni.
[16] Manaqebe ibnu Syahrosyub ,Qurbul Isnad, Tarikh Thabari, Biharul Anwar, Isti'ab dan referensi-referensi lain dari sejarah Syiah dan Sunni. Karena cetakan kitab-kitab ini berbeda-beda maka kami cukup menyebut nama-namanya saja dan para Muhaqqiq mengetahui bahwa kitab sejarah ini mencatat semua kejadian sesuai dengan tahun dan bulan Hijriyah. Menjelaskan kondisi ma'sumin dan khulafa sesuai dengan urutan zaman tidak akan merusak alamat di atas.
[17] Amali Syekh Shaduq , hal. 353, Biharul Anwar, juz, 43, hal. 2, 3.
[18] Majmui-ye Maqolatuz Zahro' 233-238, karya almarhum Moqorram.
[19] Cekidi-ye torikhe piyombare Islam, hal. 56, Dr Mohammad Ibrahim Ayati.
[20] A'lamul waro, hal 280,,juz 1 dinukil dari referensi berbeda-beda.
[21] Naqsyi Aisyah dar Islam, Allamah sayyid Murtaza Askari, juz 1 hal 171
[22] Abu Bakar putera Abu Qohafah, nama lamanya adalah Abdul Ka'bah dan Nabi memanggilnya Abdullah, nama asli Abu Qohafah adalah Usman dimana ia menjadi Muslim ketika Fathu Makkah. Anaknya (Abu Bakar) membabawa dia yang sudah tua dan semua rambutnya telah memutih kepada Nabi saw, lalu masuk Islam. Nabi berkata: Semirlah dan pacarilah rambutnya.
[23] Kisah mimpi ini dinukil dalam buku Shifatus Shafwah, hal. 8, cerita tentang kondisi Aisyah.
[24] Udzri taqshir be pisyqohe Muhammad wa Quran, Jon Divan Purt dari Ingris, hal. 228 terjemahan Marhum Sayyid Ghulam Riza Saidi. Pasal ketiga buku ini bertajuk penolakan terhadap tuduhan-tuduhan kepada Nabi saw yang memuat kajian-kajian berharga.
[25] Zanone peyombare Islam, almarhum Imad Zodeh, hal. 348.
[26] Asadul Ghabah, juz 5, hal. 504.
[27] Yaitu Ummu Kulsum putri Nabi saw yang menikah dengan Usman setelah Roqoyah, puteri nabi, syahid. Ada juga yang menulis kebalikannya. Silakan lihatHayatul Qulub, juz 4, bab 51.
[28] Sirotun Nabi, juz 1, hal. 243.
[29] Sofwatus Sofwah, juz 2, hal. 21, Ibnu Jauzi.
[30] AlMarhum Majlisi.
[31] Asadul Ghabah, juz 4, hal. 465. Ustad Ja'far Subhani menyebut tiga fenomena sejarah yang terjadi di tahun ke-5 Hijriyah dimana pernikahan beliau dengan Zainab berlansung sebelum dua tragedi tadi terjadi, yaitu perang Ahzab dan hancurnya Bani Quraidzah.
[32] Sebelum Islam datang, mengadopsi anak adalah satu hal biasa di kalangan Arab. Akan tetapi setelah itu Islam membatalkan dan menghitungnya bagian dari budaya Jahiliyah.
[33] Al-Ahzab ayat 37.
[34] Qashaish Qur'an, hal. 583-587.
[35] Tarikh Kamil, jilid, 2 hal. 121.
[36] Mafatihul Ghaib, jilid 25, hal. 212, Ruhul Ma`ani, jilid 22, hal. 23-24.
[37] Al-Ahzab 37.
[38] Al-Ahzab 37.
[39] Furugh-e Abadiyat, hal.115-119.
[40] Al-Ahzab 53.
[41] Tafsir Al-Qummi, jilid 2, hal. 195.
[42] Jilid 1, hal. 277.
[43] Sirah Ibnu Hisyam, jilid 3, hal. 307.
(alhassanain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar