Dengan alasan sebagaimana alasan kakeknya Rasulullah saw dan ayahandanya yang mulia Amirul Mu'minin as, beliau juga menikah dengan beberapa wanita yang kalau dilihat dari posisinya pada masa itu sangat bisa dimaklumi.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan masa Nabi saw dan Imam Ali as dengan masa Imam Hasan Mujtaba as, dimana masa ini merupakan masa propaganda anti Ali dan putra-putra Ali as Setelah tiga peperangan besar yang berbahaya, mereka memulai perang psikologis dan perang melawan budaya ahlul bait.
Selama mereka mampu di masa Amirul Mu'minin, mereka senantiasa melakukan kekacauan. Mereka senantiasa menyebarkan isu dan fitnah. Mereka mendirikan pabrik pembuat hadis palsu, pamflet-pamflet mereka keluarkan dan mereka sebarkan di antara orang-orang kepercayaannya yang berada di daerah-daerah di bawah kekuasaan mereka supaya mereka dapat menindas dan mempersulit para pecinta Ali as. Siasat dan politik kotor ini tidak berhenti setelah kesyahidan Ali as, bahkan ini tetap terjadi pada masa hidup dan setelah kesyahidannya. Akibatnya, Imam Hasan harus mengalami cobaan berat berikut ini:
1. Disibukkah dengan perang paksaan.
2. Usulan damai paksaan.
3. Pengikisan musuh dari dalam dan luar, sampai-sampai istrinya meracuni Imam.
4. Hujan panah pada jenazah Imam as
Dan mulai abad kedua dan ketiga permusuhan yang terjadi berupa:
1. Perdamaian Imam Hasan as dengan Bani Umayyah.
2. Berita-berita tentang banyaknya pernikahan Imam Hasan as (yang jelas tidak bisa dibenarkan).
Lalu apa tugas kita?
1. Lebih mengenali maqam kepemimpinan.
2. Lebih mengenali musuh-musuh para imam dan ahlul bait dan menganalisa secara luas taktik dan siasat musuh-musuh mereka.
3. Mengemukakan surat-surat perjanjian zaman Nabi saw dan menyimak secara saksama peristiwa-peristiwa arbitrasi dan dasar-dasar perdamaian Imam Hasan as serta isi perdamaian tersebut.
4. Membahas diamnya Imam Husain as dalam sepuluh tahun di masa hidup Mu'awiah setelah kesyahidan Imam Hasan Mujtaba as sampai pada tahun 60 Hijriah (peristiwa Karbala).
5. Mempelajari sejarah secara obyektif dan komprehensif. Mempelajari budaya nikah dalam dua masa tersebut: yaitu masa Nabi saw dan Imam Ali as dengan masa Imam Hasan as
6. Menyimak istri-istri Imam dan alasan perkawinan mereka serta anak-anak yang lahir dari para wanita yang terhitung sebagai istri Imam as.
7. Menyimak kehidupan akhir anak-anak Imam Hasan Mujtaba as yang dengan gerakan revolusionernya telah mempersulit pemerintahan Abbasi. Dan kebanyakan kehidupan putra-putra Imam berakhir dalam kesyahidan.
8. Dan yang terakhir, mempelajari dan menyimak sejarah keilmuan dan amalan serta akhlak Imam Mujtaba as (akhlak pribadi dan sosial serta politik Imam as).
Penulis-dengan berpegang teguh kepada kepemimpinan Ali dan ahlul bait- mengenai masalah penting ini telah menulis secara terpisah dalam kitab yang berjudul (Imam Hasan phayambar-e shulh-Imam Hasan utusan perdamaian). Terbit pada bulan Ramadhan tahun 1422 Hijriah/1380 Hijriah Syamsiah. Dalam makalah itu secara singkat kami menyinggung kewajiban penting di atas. Dan dalam buku ini, juga dengan tujuan yang sama yaitu menolak fitnah tentang nikah poligami Imam dengan tanpa dalil.
Kisah perkawinan Imam Hasan as dan penjelasan ringkas tentang keadaan putra-putranya kami persembahkan kepada para pembaca dan pencari kebenaran yang budiman, sehingga mampu menilai dengan seadil-adilnya (bukan hanya karena punya-tidaknya rasa hormat dan cinta terhadap keluarga agung dan suci ini).
Yang sangat menarik di sini adalah pada masa Mu'awiah, dimana ia adalah masa pembunuhan Ali dan keluarga Ali as, tak satu pun tersiar berita atau hadis-hadis dan cerita-cerita tentang masalah ini.
Para penganalisa kontemporer meyakini bahwa semua tuduhan ini (nikah poligami tanpa dalil) bersumber dari tiga orang:
1. Muhammad bin Ali bin 'Athoyyah Abu Thalib Makki, penulis kitab Quatul Qulub (meninggal tahun 380 Hijriah).
2. Abul Hasan Ali bin Muhammad Madaini (meninggal tahun 225 Hijriah).
3. Manshur Dawaniqi.
Ibnu Syahr Asyub menukil dari kitab Qutul Qulub48: Sebanyak 250 sampai 300 wanita dicerai. Dalam kitab ini banyak terdapat hadis-hadis tak berdasar. Banyak orang besar telah men-dhoif-kan dan melemahkannya, di antaranya:
1. Ibnu Katsir dalam al Bidayah, jilid 11, hal. 319.
2. Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan, jilid 5, hal. 200.
3. Ibnu Jauzi dalam al Muntadzam, jilid 7, hal. 190.
4. Ibnu Atsir, dalam Libabul Insab, jilid 3, hal. 174.
5. Dan Muhaddits Qommi dalam al Kauni wa al Alqab.
Ustadz Muhammad Baqir Syarif Qursyi dalam kitab Hayatul Imam al Hasan as jilid 2, hal. 456, mengatakan: "Abu Thalib Makki seorang laki-laki yang memiliki kelainan jiwa dan mengidap penyakit amnesia. Suatu hari ia naik ke atas mimbar dan menyampaikan masalah dengan mengacau. Dalam ocehannya dia mengatakan:
"Tak ada yang lebih merugikan makhluk kecuali Khaliq."
Kebanyakan ulama' mengatakan:
"Sesungguhnya ia memuat hadis yang tidak memiliki sumber dalam bukunya Qutu al-Qulub."[48]
Penulis kitab "Dar maktab-e karim-e ahli bait", DR Ali Qoimi mengadakan penyelidikan menarik tentang masalah ini. Tetapi Madaini yang dinukil oleh Abi Abil Hadid dalam syarah 31 Nahjul Balaghah mengatakan: "Aku telah menghitung istri-istri Hasan bin Ali. Mereka berjumlah tujuh puluh orang." (Madaini sendiri hanya menyebutkan sebelas orang dengan jumlah anak-anak yang bisa dihitung).
Menurut sebuah riwayat, Madaini tergolong dhuafa' (orang fakir dan miskin). Dengan alasan ini, Muslim dalam Shahih-nya tidak menukil hadis darinya (Mizanul I'tidal, jilid 3, hal. 138).
Dia membuat hadis untuk menyanjung dan memuji Bani Umayah.
Almarhum Muqarram dalam kitab Hadhrat-e Sukainah dengan tema Durugh pardozon (orang-orang pembohong) mengecam Madaini. Akan tetapi Manshur Dawaniki, dia adalah khalifah kedua Abbasi yang karena geram menghadapi pemberontakan-pemberontakan putra-putra dan cucu-cucu Imam Hasan as, mengarang hadis-hadis bohong menentang keluarga ini.
Mas'udi dalam Muruju al-Dzahab menulis: "Setelah ia menangkap Abdullah bin al Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, ia berpidato dimana dalam pidatonya ia mengecam Ali dan anak-anaknya. Dan ketika sampai ke Imam Hasan Mujtaba as, ia berkata:
"Dia (setelah perdamaian dan menyerahkan pemerintahan kepada Bani Umayyah) suka mengawini wanita lalu mencerainya setelah sehari. Begitu seterusnya sampai ia mati di atas pembaringannya."[49]
Dalam Ushul Kafi, mengenai dua riwayat di atas yaitu perceraian Imam Hasan yang banyak, salah seorang perawinya adalah Yahya bin 'Ulak. Dia adalah Qadhi (mufti) Manshur Dawaniqi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama' Rijal terjemahan Ja'far bin Yahya. Dan yang lainnya bernama Abdullah bin Sanan. Dia adalah penjaga harta dan qodhi Manshur, Mahdi, Hadi dan Rasyid. Oleh karena itu, dalam masalah ini kata-kata mereka tidak bisa dipercaya, walaupun perkataannya dinisbatkan kepada Imam Shadiq as. Dan mungkin saja ia berbicara demikian dalam rangka berpura-pura supaya bisa selalu berada bersama Manshur. Abu Ja'far mengganti nama Manshur dengan Ja'far bin Muhammad dan kemudian diubah dengan Abi Abdillah. (Dalam catatan kaki Maqotil Abu al Faraj-seorang muhaqqiq berpengalaman, Ali Akbar Ghifari).
Selain dari tiga orang yang telah kami sebutkan di atas, orang keempatnya bernama "Syablanji", dari ulama awal abad keempat belas. Dalam kitab Nurul Abshor, ia mengatakan: "al-Mujtaba memiliki sembilan puluh wanita (istri) yang dicerai." Berhubung kata-katanya tak memiliki sanad, maka tidak bisa diteliti lebih lanjut.
Pemahaman kami adalah bahwa Manshur Dawaniki dan para pembuat hadis berpengalaman menjalankan siasat kotor dengan tidak memperhatikan maqam dan posisi Imam adalah semata-mata untuk mencemarkan dan menodai keluarga suci Nabi saw.
Pernikahan Imam Hasan as dengan Kholah Fazariah
Kholah putri Mandzur Fazariah, di kalangan para wanita dikenal dengan akal dan kesempurnaannya. Sebelum menikah dengan Imam Hasan as, ia diperistri Muhammad bin Thalhah, yang terbunuh dalam perang Jamal, dan ia mendapatkan tiga putra darinya. Setelah beberapa lama, banyak laki-laki datang melamarnya. Tetapi ia sendiri menampakkan keinginannya untuk menikah dengan cucu terbesar Rasulullah saw. Oleh karena itu, ia menyerahkan urusannya kepada Imam Hasan as. Dan Imam Hasan as menikahinya. Dari perkawinan ini lahirlah Hasan bin Hasan (Hasan Mutsanna). Sampai akhir hayat Imam Hasan as, kebanggaan ini (kebanggaan menjadi istri Imam) tetap dimilikinya. Dan pada saat Imam syahid, ia begitu sedih dan berduka meratapi kepergian suami tercintanya. Dalam ucapan bela sungkawa dan untuk menghibur putrinya, ayahnya membacakan dua bait syair ini:
Kudengar jeritan Kholah kemarin
Karna ribuan bencana telah menimpa
Jangan mengeluh dan bersabarlah wahai Kholah
Karena kemuliaan dibangun di atas kesabaran.
Penjelasan keadaan putranya, al marhum Muhaddits Qommi menyebutkan secara terperinci dalam "Muntahal Amal." Penjelasan keadaan Kholah dan kisah pernikahannya dengan Imam Hasan as terdapat dalam Durrul Mantsur, halaman 187 dan 'Umdatu at Thullab, halaman 73. Dan untuk lebih jelasnya silahkan Anda merujuk kepada kitab "Hayatu al Imam al Hasan, Qarasyi, halaman 666).
Aisyah Khats'amiah
Aisyah adalah salah seorang wanita yang menikah dengan Imam Hasan as di masa hidup ayahnya, Amirul Mu'mini Ali as. Dan ketika Imam Ali as syahid, dengan wajah riang gembira ia mendatangi Imam Hasan as dan berkata: "Kekhalifahan tidak akan menjadi milikmu."
Imam as marah karena perkataan yang menandakan kejelekan hatinya ini dan berkata: "Atas kematian Ali as kau menampakkan keceriaan? Pergilah, kau telah kucerai."
Aisyah pergi dan tinggal di rumah sampai masa `iddah-nya habis, dan Imam membayar sisa mahar (maskawinnya) serta memberikan uang sebanyak sepuluh ribu Dirham untuk biaya hidupnya. Ketika pandangannya tertuju pada Aisyah, Imam berkata: "Sedikit keuntungan berpisah dari teman."
Dan sejarah perceraian Imam Hasan tidak disebut kecuali perceraian ini dan perceraian Ummu Kultsum putri Fadhl bin Abbas serta seorang wanita dari kabilah Bani Syaiban. Lalu dimana para wanita yang telah dicerai itu yang oleh para pendusta telah dinisbatkan dan dituduhkan kepada Imam Hasan as?!
Ju'dah putri Asy 'ats bin Qais
Mengenai nama wanita ini, di kalangan perawi ada perbedaan. Ada yang mengatakan ia bernama Sukainah, ada yang mengatakan Sya'tsak, dan Aisyah. Tetapi yang paling benar adalah Ju'dah. Dan sebab pernikahan ini adalah:
Suatu hari Amirul mukminin Ali as melamar putri Sa'id bin bin Qais Hamadani yang bernama Ummu Imran untuk putranya Hasan as. Sa'id berkata: "Berilah saya waktu karena dalam hal ini saya harus bermusyawarah dahulu." Kemudian dia pergi meninggalkan Imam Ali as. Dalam perjalanan, dia berjumpa dengan Asy'ats, kemudian ia menceritakan peristiwa yang ia alami kepadanya.
Laki-laki munafik itu dengan liciknya berkata kepada Sa'id: "Bagaimana kamu akan memberikan putrimu kepada Hasan yang akan selalu membangakan dirinya atas putrimu. Dan tidak akan pernah berbuat adil kepadanya dan ia akan diperlakukan dengan buruk. Dan akan selalu mengatakan: "Aku adalah putra Rasulullah saw dan Amirul Mu'minin as, sedangkan dia (putrimu) tidak memiliki kemuliaan dan keutamaan apa-apa. Karena itu, lebih baik kau berikan putrimu itu kepada putra pamannya. Mereka sesuai dan cocok satu sama lain."
1. "Anak pamannya yang mana?"
2. "Muhammad putra Asy 'ats"
Laki-laki malang itu tertipu, lalu berkata: "Putriku telah kuberikan kepada putramu." Asy 'at segera mendatangi Amirul Mu'minin dan berkata:
3. "Anda melamar putri Sa'id untuk putramu Hasan as?"
4. "Ya."
5. "Apakah Anda tidak menginginkan seorang gadis yang lebih utama dan dari keluarga yang lebih besar, lebih cantik serta lebih kaya?"
6. "Siapa gadis itu?"
7. "Ju'dah putri Asy 'ats."
8. "Dalam masalah ini, kami sudah berbicara dengan orang lain."
9. "Dalam pembicaraan itu tidak ada jalan bagi Anda."
10. "Dia sedang pergi untuk bermusyawarah dengan ibunya."
11. "Dia telah memberikan putrinya kepada Muhammad bin Asy 'ats."
12. "Kapan ia melakukan hal ini?"
13. "Sebelum saya datang kemari."
Amirul Mu'minin menyetujui usulnya. Ketika Sa'id menyadari bahwa ia telah tertipu oleh Asy 'at, ia segera mendatanginya dan berkata: "Wahai Asy 'ats, kau telah berbuat licik kepadaku." Asy'ats berkata: "Orang buta yang dengki, kamulah yang ingin bermusyawarah tentang putra Rasul saw. Apakah kamu tidak bodoh?"
Asy'ats segera mendatangi Hasan as dan berkata: "Apakah Anda tidak ingin menjumpai istri Anda? Dia khawatir akan kehilangan kesempatan." Lalu dia menghampari jalan yang menghubungkan rumah Hasan as dengan rumahnya dengan permadani dan menikahkan putrinya dengan Imam as.[50] Demikianlah Ju'dah memasuki rumah Imam Hasan as.
Seandainya wanita ini tidak menginjakkan kakinya ke rumah Imam, maka ia tidak akan semenderita kakeknya Rasul saw. Putra Nabi ini dibuat tak berdaya oleh Ju'dah, putri Asy'ats dengan kelicikan Muawiah dan racun oleh-oleh raja Rumawi. Ju'dah tidak mendapatkan keturunan dari Imam Hasan as.[51]
Dikatakan bahwa sepeninggal Imam Hasan as, Ju'dah menikah lagi dan mendapatkan keturunan dimana dalam setiap pertengkaran anak-anak, mereka mengejek anak-anak Ju'dah dengan ejekan: "Wahai anak wanita yang telah meracun suaminya."
Keluarga Asy'ats adalah keluarga yang pandai memanfaatkan kesempatan, yang dengan perilaku mereka yang tak terpuji mereka telah menulis sejarah hitam untuk diri mereka sendiri. Imam Shadiq as berkata: "Asy'ats punya andil dalam pembunuhan Amirul Mu'mini as. Putrinya meracun Imam Hasan as dan Muhammad putranya terlibat dalam penumpahan darah Imam Husain as." (A'yanu as Syi 'ah, 4/78).
Perlu diperhatikan bahwa sebagaimana Muntahal Ummal dalam Syarah Hal-e Aulad-e Imam Hasan as (penjelasan keadaan putra-putra Imam Hasan as), kami sebutkan dari sumber-sumber yang terbaik. Sampai saat ini-hari Rabu pagi sebelum terbit matahari, tanggal 16 Dzulqa'dah tahun 1422 Hijriah-di depan penulis ada beberapa karya tulis yang berhubungan dengan kehidupan Imam Hasan Mujtaba as, yang dari sisi analisis sangat berdasar dan bisa diperhitungkan, seperti kitab-kitab:
1. Shulh-e Imam Hasan as, karya Syekh Radhi Aali Yasin-terjemahan Ayatullah
Khamenei.
2. Hayatu al Imamu al Hasan as, karya Muhammad Baqir Syekh Muhammad Baqir
Syarif Qursyi.
3. Dar Maktab-e Karim-e Ahli Bait-e Imam Hasan as, karya Dr Ali Qoimi.
4. Zindegi-e Tahlili-e Phisywoyon-e mo, karya Adil Adib.[52]
Ini semua tergolong yang terbaik.
Harapan kami, semoga para pembaca mengetahui dengan baik sisi kehidupan Imam yang tertindas ini dengan pengetahuan yang lebih benar dan serius, sehingga debu penghinaan dan fitnah yang tak berdasar terangkat dari seluruh kehidupan cahaya suci putra Zahra ini.
Apakah lidah teman tidak lebih tajam dari tombak musuh? Walaupun dia sendiri berkata kepada saudaranya Husain as:
"Tidak ada hari ( penderitaan ) seperti harimu wahai Aba Abdillah."[53]
Walaupun tulisan ini keluar dari tugas dan kewajiban buku ini, akan tetapi ketika langkah pena sudah sampai di sini, seakan-akan kertas putih yang tanpa hiasan ini dengan penuh rendah diri memanggil-manggil saya seraya berkata: "Tulislah, tulislah! Mungkin seorang di antara teman-teman Imam ada yang tidak mampu menjangkau kitap-kitab yang lengkap dan terperinci itu."
Satu contoh saja sudah cukup, supaya kalian tahu bahwa para penulis tak berharga seperti Lamans, Filip dan bahkan Ahmad Abbas Shaleh serta orang-orang yang sepaham dan seakidah dengan mereka telah melakukan apa saja untuk merusak keluarga suci ini. Tulisan mereka itu dipersembahkan kepada masyarakat Islam sebagai karya tulis dan tanda keintelektualan mereka.
Ahmad bin Abbas Shaleh dalam buku berjudul "Chaph wa Rast dar Islam", halaman 142 mengatakan: "Yang sangat menakjubkan di sini adalah pendirian yang kokoh dan keteguhan hati yang sangat diharapkan dalam menghadapi Muawiah tidak dimiliki oleh Imam Hasan as. Husain sangat berbeda dengan Hasan. Dalam dirinya banyak terdapat kekhususan-kekhususan yang dimiliki sang ayah. Husain tidak setuju dengan apa yang telah dilakukan saudaranya. Ia berdebat dengannya dan sangat berpegang teguh pada pendapat dan akidahnya."
Dalam kitabnya yang bejudul "Nihdhatha-e zir Zamini dar Islam" (kebangkitan bawah tanah dalam Islam) ia mengatakan: "Setelah meninggalnya Ali as, orang-orang Syi'ah bekumpul mengelilingi Hasan as, tetapi dia memilih ketenangan. Dengan kerelaah hati, ia tidak merebut apa yang telah menjadi haknya, supaya tidak terjadi fitnah. Setelah meninggalnya Hasan, Husain yang menginginkan kekhalifahan dan mengingkari kekhalifahan sebagai warisan Bani Umayah menjadi perhatian mereka."[54]
Berkata Imam Husain as:
اتقوا هذه الأهواء التي جماعها الضلالة و ميعادها النار
"Takutlah kepada hawa-hawa nafsu yang hasilnya adalah kesesatan dan akibatnya
adalah api neraka." (Ihqaqu al Haq, jilid 11, hal. 591).
Referensi:
[48] Qutu al-Qulub, jilid 2, hal. 412, Beirut.
[49] Dalam terjemahan Muruju al-Dzahab, terjemahan Almarhum Poyandeh dimana di bagian ini ada yang terpotong. Silakan merujuk jilid 2, hal. 304.
[50] Halaman 667 dan 668 yang menukil dari al Adzkiyak Ibnu Jauzi, hal 27. Mungkin cara melamar dan soal jawab antara Asy 'ats dan Imam berkurang nilainya dari sisi kebenaran ceritanya. Atau setidaknya sulit diterima menurut para pembaca dan orang-orang pada umumnya. Akan tetapi karena menurut sejarah dan hubungan kemasyarakatan serta contoh-contoh pernikahan Rasulullah saw dan Amirul Mu'minin as dengan putri-putri kepala suku dan kabilah dengan dalil yang bermacam-macam, terjalinnya hubungan semacam ini tidak mustahil. Pemikiran-pimikiran semacam ini bisa dihilangkan. Kami juga tidak ragu bahwa Ju'dah putri Asy 'ats adalah istri Imam as, dan Asy 'ats adalah dari kalangan penipu sejarah. Dan salah satu dari ketidakjelasan kehidupan sebagian imam adalah sejarah nikah poligami mereka. Tetapi dengan memperhatikan hari lahir, masa balig dan budaya yang berlaku dalam keluarga ini, maka bisa diperkirakan kapan hari pernikahan pertamanya, lalu kemudian kita bisa menilai.
[51] Dalam Tadzkiratul Khawash, hal. 195, menukil dari Thabaqaat Ibnu Sa'ad tertulis: ".... dan Ismail serta Ya'qub, ibu keduanya adalah Ju'dah binti Asy 'ats bin Qais allati sammatahu (yakni yang telah meracun Imam as).
[52] Sampai tahun 72 Hijriah Syamsyiah, yang bertepatan dengan tahun 1414 Hijriah, kitab ini sudah mengalami cetakan yang keenam belas dengan sirkulasi yang sangat cepat dan diterbitkan oleh kantor kebudayan Islam. Bahkan dari cetakan ketujuh sampai dengan yang keenam belas dicetak hampir empat puluh ribu eksemplar.
[53] Bihar, jilid 10, hal. 123.
[54] Mukadimah kitab Adil Adib Mishri, terjemahan Mubasysyiri. Jawaban atas bualan semacam ini terdapat dalam kitab tersebut. Begitu pula dapat Anda dapat merujuk kitab Naqsy Aimmah Dar Ihyae Din, hal. 452.
(alhassanain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar