Judul Asli: Sayidina Ali bin Abi Thalib, Pendiri Mazhab Cinta
Oleh: Jalaludin Rakhmat
Satu-satunya manusia yang dilahirkan di bawah naungan Ka’bah adalah Ali bin Abi Thalib. Ketika ibunya, Fathimah binti Asad, dalam keadaan hamil tua, ia thawaf mengelilingi Ka’bah. Pada saat itulah, datang tanda-tanda bahwa ia akan segera melahirkan. Abu Thalib lalu membawanya masuk ke dalam Ka’bah dan di tempat itulah Ali bin Abi Thalib lahir.
Menurut satu riwayat, ibunya meminta agar anak yang baru lahir itu diberi nama Haidar, yang berarti singa. Kakek dari arah ibunya bernama Asad, yang juga berarti singa. Tetapi Abu Thalib berkata, “Kita tunggu saja sampai Rasulullah (s.a.w) datang.” Masih menurut riwayat ini, Ali kecil tidak mau menyusu kepada ibunya sebelum Rasulullah (s.a.w) datang. Ketika Rasulullah (s.a.w) tiba, ia mengecup Ali dan Ali pun mengecup Nabi. Rasulullah (s.a.w) menamainya ‘Ali yang berarti orang yang memiliki ketinggian. ‘Ali adalah salah satu nama Tuhan. Misalnya dalam ayat, “Wa lâ ya’udduhû hifzhuhumâ wa huwal ‘aliyul ‘azhîm.” (Al-Baqarah 255). Sama halnya dengan nama Muhammad, yang juga merupakan nama Tuhan, seperti dalam hadits Qudsi, “Ana Mahmud, wa anta Muhammad. Aku Tuhan adalah Yang Terpuji dan engkau juga adalah yang terpuji,”
Ali tumbuh besar bersama Rasulullah (s.a.w). Ketika Abu Thalib mengalami kebangkrutan dalam usahanya, ia mengirim putra-putranya ke tempat para saudaranya. Ali bin Abi Thalib diambil oleh Rasulullah (s.a.w). Ia dipelihara di dalam keluarga Nabi bersama Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Karena Rasulullah (s.a.w) tidak mempunyai anak laki-laki, Nabi sering memperlakukan Ali bin Abi Thalib sebagai anak laki-lakinya.
Setelah Rasul meninggal dunia, ia sering bercerita bagaimana beliau suka merapatkan tubuhnya kepada tubuh Rasulullah (s.a.w). Imam Ali (k.w) berkata bahwa ia masih dapat mengenang harumnya tubuh Rasul yang mulia. Rasul sangat mencintai Ali dan Ali pun sangat mencintainya.
Kelak pada zaman pemerintahan Muawiyah, Muawiyah menerapkan peraturan yang mengharuskan khatib di setiap akhir khutbahnya untuk melaknat Imam Ali (k.w). Orang dipaksa untuk menghujat Imam Ali (k.w). Ada seorang sahabat Nabi yang pergi ke mimbar untuk melaknat Imam Ali (k.w) tetapi ia hanya berkata, “Demi Allah, ada tiga hal yang menyebabkan aku tidak mungkin mengutuk Ali bin Abi Thalib. Jika salah satu dari tiga hal itu saja ada pada diriku, itu lebih baik dari dunia dan segala isinya.” Hal pertama ialah bahwa Rasulullah (s.a.w) pernah berkata sebelum Perang Khaibar, “Akan kuserahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian setelah itu, bendera diserahkan kepada Imam Ali (k.w). Lalu sahabat Nabi itu menyebut dua lagi peristiwa penting. Saya kutip hadits itu untuk menyatakan bahwa kecintaan Rasulullah (s.a.w) kepada Ali bin Abi Thalib dinyatakan secara terbuka.
Ada sebuah hadits yang diterima keshahihannya oleh seluruh madzhab tetapi ditafsirkan berlainan. Hadits itu bercerita tentang peristiwa pada Haji Wada’, tanggal 18 Dzulhijjah. Ketika Rasulullah (s.a.w) pulang bersama rombongan hajinya dari Mekkah menuju Madinah, di suatu mata air bernama Khum, Rasulullah (s.a.w) berhenti. Ia melingkarkan serbannya kepada Imam Ali (k.w). Nabi mengangkat tangan Ali dan bersabda, “Man kuntu maulâh, fa hâdza ‘Aliyyun maulâh. Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, hendaknya menjadikan Ali sebagai maulanya.”
Menurut penafsiran Ahlu Sunnah, yang dimaksud dengan maulâ di situ artinya adalah kekasih. Barang siapa yang menjadikan Nabi sebagai kekasihnya, hendaknya ia juga menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai kekasihnya. Penafsiran itu tidak salah. Ali adalah seseorang yang sangat dicintai dan dikasihi Rasulullah (s.a.w).
Ketika terjadi Perang Khandak, seorang kafir bernama ‘Amr ibn Wud ingin memulai pertempuran dengan mengajak duel. Rasulullah (s.a.w) bertanya kepada para sahabat-sahabatnya, “Siapa yang mau melawan ‘Amr ibn Wud?” Semuanya diam, kecuali Ali yang masih sangat muda. Ia berdiri dan berkata, “Saya, Ya Rasul Allah.” “Tidak,” jawab Rasul, “aku cari orang yang lebih tua.” Lalu Rasulullah (s.a.w) menawarkan lagi kepada para sahabat tetapi tetap tidak ada yang menjawab. Semua orang tahu siapa ‘Amr ibn Wud. Ia adalah jago pedang yang tak terkalahkan.
‘Amr mengancam dari kejauhan, “Katanya kalau kalian mati dalam peperangan, kalian akan masuk surga. Siapa yang bersedia aku antarkan dengan cepat masuk ke surga?” Ancaman itu tidak ada yang menjawab kecuali Ali yang untuk kedua kalinya berdiri. Rasul kembali berkata, “Duduklah kamu sampai aku cari yang lebih tua lagi.” Ketika untuk ketiga kalinya, masih tidak ada yang menjawab seruan itu, Rasulullah (s.a.w) mengirim Ali bin Abi Thalib. Kepadanya diberikan Pedang Dzulfiqar.
Saat Ali bin Abi Thalib berangkat, Rasulullah (s.a.w) menangis dan bersujud di medan peperangan. Rasul berdoa, “Ya Allah, Engkau telah mengambil Abu Ubaidah, Engkau telah mengambil Hamzah dari diriku. Janganlah Kauambil Ali.”
Terjadilah duel itu. Suatu pertempuran yang amat dahsyat. Rasulullah (s.a.w) menggambarkannya sebagai perang antara seluruh keislaman dan seluruh kekafiran. Mungkin yang dimaksud Rasul ialah, sekiranya Imam Ali (k.w) kalah, maka kalahlah Islam secara keseluruhan dan jika Imam Ali (k.w) menang, maka menanglah Islam secara keseluruhan. Atau barangkali yang beliau maksudkan ialah bahwa kepribadian Ali bin Abi Thalib itu mencerminkan seluruh keislaman dan kepribadian ‘Amr ibn Wud itu mencerminkan seluruh kekafiran. Singkat cerita, kita tahu akhirnya Sayidina Ali yang memenangkan pertempuran. Ketika ia kembali, Rasulullah (s.a.w) menciuminya dengan berurai air mata.
Pernah satu saat Imam Ali (k.w) dikirim untuk menaklukan pemberontakan yang tidak bisa ditaklukan oleh para sahabat Nabi yang lain. Ketika Ali pulang dari tugas itu, sambil memeluk Ali, Nabi bersabda, “Kalau aku tidak takut umatku akan memperlakukan kamu seperti orang-orang Kristen memperlakukan Nabi Isa as, akan aku ceritakan kepada mereka sesuatu yang sekiranya jika engkau lewat, orang akan memperebutkan bekas injakan kakimu.” Kemudian Rasulullah (s.a.w) mengatakan sesuatu kepada Imam Ali (k.w) dalam waktu yang lama. Karena lamanya hal itu, para sahabat bertanya-tanya ihwal apa perbincangan itu. Setelah Imam Ali (k.w) keluar, ia berkata, “Baru saja Rasulullah (s.a.w) membukakan kepadaku satu bab ilmu pengetahuan. Dan dari satu bab itu dibuka lagi seribu bab ilmu pengetahuan yang lain.”
Rasulullah (s.a.w) mendidik Imam Ali (k.w) sejak kecil. Jika kita ingin tahu siapa kader Rasulullah (s.a.w) yang dikaderkan sejak awal, maka itulah Imam Ali (k.w). Saya sebut sebagai ‘kader’, karena Rasulullah (s.a.w) benar-benar mempersiapkan Imam Ali (k.w) sejak awal. Rasulullah (s.a.w) mengajarkan kepadanya satu pelajaran khusus yang tidak diberikan kepada sahabat-sahabatnya yang lain. Sebagian di antara kita merasa berkeberatan akan hal ini, “Masa Rasulullah (s.a.w) mengajar dengan pilih kasih. Bukankah salah satu sifat Nabi adalah Al-Tabligh? Jadi, Nabi harus menyampaikan seluruhnya. Masa Nabi menyembunyikan kepada sebagian sahabat dan hanya menyampaikan kepada Ali bin Abi Thalib?”
Rasulullah (s.a.w) adalah guru yang baik. Seorang guru yang baik tidak akan mengajarkan seluruh ilmu kepada semua orang. Ilmu itu hanya diajarkan sesuai dengan tingkat pengetahuan orang yang diajar itu. Imam Ali (k.w) sebagaimana diakui oleh para sahabat yang lain adalah orang yang paling tinggi derajat keilmuannya. Karena itulah, tentu saja ada ilmu yang diajarkan kepada Imam Ali (k.w), yang belum bisa disampaikan kepada sahabat Nabi yang lain yang kualifikasi keilmuannya belum sampai ke situ.
Tentang ilmu Imam Ali (k.w) ini, Rasulullah (s.a.w) bersabda, “Ana madînatul ‘ilmi, wa ‘Aliyyun bâbuhâ. Fa man arâdal madînah, fal ya’tihâ min bâbihâ. Akulah kota ilmu dan Alilah pintunya. Barang siapa yang mau memasuki kota, hendaklah ia datang melalui pintunya.” Hadits ini sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah (s.a.w). Nabi mengkaderkan Ali sejak awal dengan maksud untuk mempersiapkannya sebagai pelanjut yang akan meneruskan ajaran Islam sepeninggal Rasulullah (s.a.w).
Ketika Rasulullah (s.a.w) meninggal dunia, umur Imam Ali (k.w) masih muda. Sekitar tigapuluh tahunan. Seperti kita ketahui, Ali masuk Islam pada usia yang amat belia, sepuluh tahunan. Imam Ali (k.w) dikenal sebagai orang yang pertama kali masuk Islam. Sebagian orang memperkecil hal ini dengan mengatakan bahwa Ali itu lelaki pertama yang masuk Islam, karena yang pertama kali masuk Islam adalah Sayyidah Khadijah. Belakangan, kenyataan ini diturunkan lagi dengan menyatakan bahwa Ali adalah anak-anak yang pertama masuk Islam, karena laki-laki yang pertama masuk Islam itu adalah Abu Bakar. Malahan ada juga yang masih menurunkan hal ini dengan mengatakan bahwa keislaman Sayidina Ali adalah tidak sah, karena beliau masuk Islam ketika masih kecil.
Ciri-Ciri Mazhab Alawi
Imam Ali (k.w) adalah pemberi ruh suatu mazhab di dalam Islam. Yang saya maksud dengan mazhab adalah cara memahami Islam. Islam itu satu, tetapi bagaimana orang memahami dan mengamalkan ajaran Islam, itu berbeda-beda. Dan itu sudah terjadi sejak zaman Rasulullah (s.a.w). Hampir setiap sahabat mendirikan mazhab. Ada Mazhab Umari dari Umar ibn Khattab, Mazhab Abdullah ibn Umar, Mazhab Abdullah ibn Mas’ud, dan Mazhab Abu Hurairah. Setiap sahabat memiliki mazhab sendiri-sendiri disebabkan dalam memahami agama Islam, pendapat mereka berlainan. Karena itulah, amalan yang dikerjakannya pun berlainan. Dalam Ilmu Komunikasi ada yang disebut dengan Teori KAP atau Knowledge, Attitude, dan Performance. Setiap orang mempunyai knowledge atau pengetahuan yang berbeda, yang tidak mungkin sama dengan orang lain. Jika pengetahuan berbeda, maka attitude atau sikap kita pun berbeda. Dan jika sikap berbeda, maka performance atau perilaku pun akan berbeda. Suatu mazhab adalah rangkaian Knowledge, Attitude, dan Performance dari sebuah agama.
Di Indonesia saja, terdapat banyak mazhab. Misalnya saja suatu mazhab melarang orang untuk menangis bila ditinggal mati oleh anggota keluarga atau orang yang dicintainya. Menurut pengetahuan (knowledge) mereka, ada sebuah hadits Nabi yang mengatakan bahwa mayit akan disiksa oleh tangisan keluarganya. Dari situ tumbuhlah sikap (attitude) tidak senang kepada orang-orang yang menangis kalau ditinggal mati dan sikap senang kepada orang-orang yang tidak menangis bila ditinggal mati. Jika seorang isteri tidak meneteskan air mata setitik pun ketika suaminya meninggal dunia, orang akan memujinya, “Hebat, itulah isteri yang sabar dan tabah.” Dari sikap itu timbul perilaku (performance) kita untuk tidak menangis bila kita ditinggal mati. Jadi, kita bisa melihat hubungan antara Knowledge-Attitude-Performance.
Sebagian mazhab lain berpendapat, mereka memiliki pengetahuan bahwa Rasulullah (s.a.w) pernah menangis ketika ditinggal mati oleh putranya, Ibrahim. Ibrahim ialah putra Rasul dari Maria Al-Qibthiya yang lahir di Madinah. Rasulullah (s.a.w) sangat menyayanginya karena Rasul belum pernah mempunyai anak laki-laki. Setiap selesai Shalat Ashar, Rasul selalu menggendong Ibrahim mengelilingi Kota Madinah. Ketika dalam usia yang masih sangat kecil, Ibrahim meninggal dunia. Rasulullah (s.a.w) menangis. Beliau ditegur sahabatnya, “Ya Rasul Allah, kenapa kau menangis?” Rasulullah (s.a.w) menjawab, “Inilah tangisan kasih sayang.” Mazhab ini berpengetahuan bahwa menangis ketika ditinggal mati itu dicontohkan Nabi untuk mengungkapkan kasih sayang. Dari hal itu, tumbuh sikap senang jika melihat orang yang menangis ketika ada yang meninggal dunia. Orang itu dilihat sebagai orang yang penuh kasih sayang. Mazhab ini pun menilai bila ada orang yang tidak menangis ketika ditinggal mati, maka orang itu bukanlah orang yang tabah, melainkan orang yang tidak punya kasih sayang. Perilaku yang muncul dari hal ini ialah jika ia ditinggal mati, ia akan menangis.
Kedua mazhab di atas sama-sama memahami ajaran Islam. Tetapi pengetahuan-nya berbeda, sikapnya berlainan, sehingga kemudian akhirnya perilakunya pun tidak sama.
Di zaman Nabi, setiap sahabat memiliki mazhabnya masing-masing. Secara garis besar, kita bisa membaginya ke dalam dua kelompok; kita sebut saja Mazhab Ali bin Abi Thalib (Mazhab Alawi) dan Mazhab Umar bin Khattab (Mazhab Umari). Apa perbedaan kedua mazhab ini? Mazhab Ali ditandai dengan keyakinan bahwa seluruh sunnah Rasulullah (s.a.w), baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun mualamalah, harus diikuti tanpa kecuali. Menurut Mazhab Ali, Rasulullah (s.a.w) tidak pernah berijtihad, karena ketentuan Nabi adalah nash. Rasulullah (s.a.w) tidak pernah berbicara atas hawa nafsunya, melainkan atas wahyu yang diterimanya. Wa mâ yanthiqu ‘anil hawâ in huwa illâ wahyu yûhâ. (Al-Najm 3) Rasulullah (s.a.w) tidak pernah salah. Oleh karena itu, kita harus mengikuti semua yang diajarkan Rasulullah (s.a.w).
Adapun Mazhab Umari berpendapat bahwa kita harus mengikuti Rasulullah (s.a.w) di dalam dua hal saja; urusan akidah dan ibadah. Dalam bidang muamalah atau keduniaan, Rasulullah (s.a.w) tidak wajib dipatuhi. Menurut mazhab ini, Rasulullah (s.a.w) juga suka berijtihad dan kadang-kadang ijtihadnya salah. Oleh sebab itu, tidak perlu kita ikuti ijtihad yang salah. Rasulullah (s.a.w) sering alpa dan salah. Bahkan Rasulullah (s.a.w) pernah ditegur Allah (s.w.t) dan kemudian dibetulkan oleh sahabatnya, seperti dalam peristiwa Perang Badar. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh mazhab ini, ketika perang berkecamuk, terdapat banyak tawanan. Rasulullah (s.a.w) menginginkan agar tawanan itu dibebaskan dengan sejumlah uang tebusan. Sedangkan Umar bin Khattab menghendaki agar tawanan itu dibunuh saja semua. Akhirnya turun satu wahyu yang membenarkan Umar dan menyalahkan Rasulullah (s.a.w). Malahan Rasulullah (s.a.w) ditegur Allah (s.w.t), “Kamu mencintai dunia, sementara Umar mencintai akhirat.”
Saya tidak akan lebih lanjut membandingkan kedua mazhab ini secara keseluruhan. Saya hanya akan memberikan ciri-ciri khas dari Mazhab Alawi. Ciri yang pertama, Mazhab Alawi menerima seluruh sunah Nabi. Baik dalam hal akidah, ibadah, ataupun muamalah. Tidak ada pemisahan antara urusan dunia dan urusan agama. Tidak ada dalam mazhab ini hadits yang berbunyi, “Antum a’lamu fî umûrî dunyakum. Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” Ciri yang kedua, Mazhab Alawi ialah mazhab yang sangat mencintai persatuan di antara kaum Muslimin. Imam Ali (k.w) sangat mencintai persatuan sehingga ketika ada orang yang berontak kepadanya, ia malah mengirim surat yang isinya mengajak mereka untuk berdamai. Bahkan ketika Imam Ali (k.w) pernah hampir memenangkan suatu pertempuran, lawannya mengajak berdamai sehingga Imam Ali (k.w) menghentikan peperangan. Tentu saja, hal ini menimbulkan reaksi dari para pengikutnya sendiri yang hampir memperoleh kemenangan.
Kecintaan Imam Ali (k.w) terhadap persatuan kaum Muslimin dapat kita lihat dari suatu peristiwa peperangan antara Imam Ali (k.w) dengan sesama umat Islam lagi. Saat itu, ada seseorang yang bingung harus bergabung ke kelompok mana. Karena kedua-duanyaadalah kaum Muslimin. Ia bertanya kepada Amar bin Yasir -yang sudah berusia amat tua. Amar berkata, “Kau lihat bendera di sebelah sana? Dahulu di bawah bendera itu, kami berjuang bersama Rasulullah (s.a.w) untuk membela turunnya Al-Qur’an. Sekarang di bawah bendera itu, kami berjuang untuk membela penafsiran Al-Qur’an. Dahulu kami berperang ‘ala tanzîlil Qur’ân, sekarang kami berperang ‘ala ta’wîlil Qur’ân”
Orang-orang bertanya kepada Imam Ali (k.w), “Mau Anda sebut apa orang yang memerangi Anda itu?” Seseorang meng-usulkan, “Itulah orang-orang kafir.” Tapi Imam Ali (k.w) menolak, “Tidak, mereka bukan orang kafir. Mereka mengucapkan syahadat dan melakukan shalat.” “Kalau begitu, merekalah orang-orang munafik,” berkata para pengikutnya. “Tidak,” ucap Imam Ali (k.w), “orang-orang munafik itu sedikit dzikirnya sedangkan mereka banyak dzikirnya.” Orang-orang bingung, “Kalau begitu, bagaimana kami harus memanggil mereka, Ya Amiral Mukminin.” Imam Ali (k.w) menjawab, “Itulah saudara-saudara kita yang berbeda faham dengan kita.”
Ciri yang ketiga, Mazhab Alawi adalah mazhab cinta. Inilah sejenis keberagamaan yang didasarkan kepada cinta. Kita lihat doa-doa Imam Ali (k.w), doa-doa itu menggambarkan kecintaannya kepada Allah (s.w.t). Jika kita belajar Tasawuf, yang keberagamaannya didasarkan pada cinta atau mahabbah, seluruh aliran tarekat dalam Tasawuf itu bermuara pada Imam Ali (k.w) dan keturunannya. Misalnya Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.
Doa di dalam Mazhab Alawi dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah (s.w.t). Hanya dalam Mazhab Alawi, kecintaan kepada Allah (s.w.t) mencapai puncaknya. Seperti dalam doa Imam Ali (k.w) yang diajarkan secara khusus kepada muridnya, Kumayl bin Ziyad. Kumayl adalah murid Imam Ali (k.w) yang paling setia. Karena kesetiaannyalah maka doa ini hanya diajarkan kepadanya. Saya akan tutup tulisan ini dengan menampilkan beberapa bait dari Doa Kumayl tersebut yang menunjukkan begitu dalamnya kecintaan mazhab ini kepada Allah (s.w.t);
Tuhanku, junjunganku, pelindungku, pemeliharaku
Sekiranya aku mampu bersabar menanggung azab-Mu
Bagaimana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu
Sekiranya aku mampu bersabar menahan api neraka-Mu
Bagaimana mungkin aku mampu bersabar tidak memandang wajah-Mu
Bagaimana mungkin aku tinggal di neraka
Padahal harapanku adalah ampunan-Mu
Tuhanku, limpahkanlah kepadaku anugerah-Mu
Sayangi aku dengan karunia-Mu
Jagalah aku dengan seluruh kasih sayang-Mu
Jadikan lidahku selalu bergetar menyebut asma-Mu
Dan hatiku dipenuhi dengan kecintaan kepada-Mu
___________________
0 komentar:
Posting Komentar