SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Menggugat konsep
‘Adalatus Shohabah (  Ø¹Ø¯Ø§Ù„Ø© الصحابة  )

Pada tulisan kali ini saya akan mengajak anda berpikir dengan jernih mengenai permasalahan ‘ADALATUS SHAHABAH (Keadilan para sahabat) ini sehingga anda pun bisa mengerti jalan pemikiran saya dan juga bisa membangkitkan adrenalin anda untuk mau berpikir kritis tentang doktrin-doktrin yang ditanamkan dikepala kita selama ini sehingga tidak jarang menimbulkan pengkultusan individu terhapad hal-hal maupun orang-orang tertentu, baik kita sadari atau tidak.

Sebelumnya saya sudah beberapa kali juga menyinggung bahwasanya saya tidak memihak, anda boleh menyebut saya seorang syiah, anda pun boleh menyebut saya seorang muktazilah, anda boleh juga menyebut saya sunni tetapi buat saya pribadi penyebutan seperti itu tidak penting, yang saya pahami, Islam adalah Islam, tidak ada madzhab dalam Islam. Madzhab adalah cara pandang terhadap sesuatu yang akhirnya menjadi thariqah untuk pengamalannya. Adalah bisa dimengerti dan dipahami selama itu tidak menjerumuskan pada tingkat saling pengkafiran apalagi saling bunuh. Jika terhadap orang kafir saja kita dilarang berbuat zalim, apakah lagi kepada sesama muslim.
Jauhi prasangka, itulah kata kitab suci :
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. -Qs. 49 al-Hujuurat :12
Bila kita melihat saudara kita berbeda pemahaman dengan apa yang kita pahami, mari dialog, buka hati dan buka pikiran, pergunakan dalil yang obyektif sehingga tidak terjebak dalam debat kusir yang hanya berdasarkan emosional semata, sebab tindakan emosional tidak akan mengantarkan pada pemecahan masalah yang baik.
Wahai orang-orang yang beriman ! Jangan sekalipun kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (bersikap subyektif); Berlakulah adil (berbuatlah obyektif) karena adil itu sangat dekat kepada taqwa – Qs. 5 al-Ma’idah : 8
Dan berangkat dari ayat ini, maka berikut akan saya uraikan pemahaman saya mengenai sifat ‘ADALATUS SHAHABAH, mohon maaf apabila banyak nantinya yang merasa tersinggung dengan tulisan ini, silahkan anda mendebat tulisan saya ini dengan dalil-dalil pula dan bukan sekedar menurut anggapan anda atau ulama anu dan syaikh anu.
‘ADALATUS SHAHABAH artinya sifat keadilan sahabat, beberapa ulama hadis mempersempit makna ini menjadi kebersihan semua shahabat dan keterbebasan mereka dari perbuatan salah, mulai dari tindakan hingga pada ucapannya.  Penyempitan defenisi ini akhirnya menimbulkan tindakan taklid berlebihan terhadap diri para sahabat Nabi, semua kajian keagamaan akhirnya seringkali tidak obyektif dan manakala ada pihak yang mencoba melakukan kritik terhadap para sahabat maka orang itu beramai-ramai langsung dicap kafir, sesat, munafik, sok mulia dan sebagainya.
Akhirnya terjadilah jurang didunia Islam secara berabad-abad antara kaum ahlussunah yang berkesan mendewakan sahabat dengan kaum Syiah yang berkesan banyak memunafikkan sahabat dan malah ada yang ekstrim sampai mengkafirkannya. Padahal masalah ini bisa kita bawa secara obyektif dengan terlebih dahulu menanggalkan semua bentuk kefanatikan kita terhadap masing-masing pemahaman.
Kitab suci al-Qur’an banyak memberikan contoh bagaimana seorang Adam, seorang Musa, seorang Yunus dan seorang Muhammad terlepas dari status kedekatan dan hubungannya dengan Allah ternyata mampu melakukan kesalahan-kesalahan manusiawi sebagaimana fitrah dari kemanusiaan itu sendiri. Bahkan dalam banyak ayat di al-Qur’an betapa Nabi disuruh mengulang-ulangi ucapan : Aku ini manusia biasa seperti kamu tetapi aku diberi wahyu … artinya apa ? tidak lain ini sebagai bentuk teguran kepada manusia lain diluarnya bahwa sesaleh apapun seseorang namun selama dia bernama manusia, dia tidak akan bisa melepaskan semua sifat-sifat kemanusiawiannya.
Ada kalanya mereka mengeluh, ada kalanya mereka menangis sedih, ada kalanya mereka tertawa, bersenda gurau, marah, gusar, terluka bahkan terbunuh … semua ini ada ayatnya dalam al-Qur’an dan ini sangat rasional sekali, sangat kausalitas.
Lalu bagaimana mungkin seseorang diluar para utusan Allah tersebut bisa dijadikan maksum, terlepas dari cacat ? ini semua perlu kajian lebih jauh, lebih mendalam, ada yang salah dari cara kita memahami nash-nash yang tertulis sehingga berkesan Islam itu penuh konflik kontradiksi internal.
Padahal al-Qur’an berkata :
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an?  Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. -Qs. An-Nisa’ 4:82
Tidak adanya pertentangan yang banyak bukan berarti ada pertentangan yang sedikit, kenapa ?
Tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Tuhan) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. -Qs. 41:42
Berarti saat kita menemukan adanya konflik didalam ajaran Islam sebenarnya konflik itu ada pada diri kita sendiri, bukan pada ajaran Islam.
Aksi pengeboman berlabel jihad adalah salah satu contoh pemahaman Islam yang salah sama salahnya dengan tindakan negara-negara barat yang memposisikan Islam sebagai agama teroris. Padahal Allah telah memberikan rumus sederhana untuk memahami agama-Nya dengan baik :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui -Qs. 30:30
Hadapkanlah mukamu kepada agama yang tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. -Qs. 10:105
Sederhana sekali, untuk memahami agama kita hanya dituntut untuk mengerti fitrah kita, fitrah manusiawi.
Jangan berpikir untuk menjadikan diri kita berfitrah malaikat sebab kita memang bukan malaikat dan memang Allah tidak hendak menjadikan kita sebagai malaikat, oleh karena itu pula jangan menganggap orang lain sebagai malaikat, kembalikan fitrah mereka pada haknya. Para sahabat adalah manusia dan mari kita memahami mereka sebagai manusia … inilah fitrah.
Benar bahwa kita harus memperlakukan mereka secara terhormat, bagaimanapun diantara mereka banyak yang berjuang atas dasar penegakan Iman, mereka gugur di Badar, merekapun gugur di Uhud dan diberbagai peperangan penegakan panji-panji Allah yang lainnya. Tanpa mereka seorang Muhammad tidak akan bisa berbuat banyak, Islam bisa sampai pada kita karena jasa mereka, ini tidak perlu dipungkiri, karena itu Allah dan Rasul-Nya pun banyak mengeluarkan pujian untuk mereka. Akan tetapi … jangan berhenti sampai disini.
Karena pembelajaran kita memang belum harus berhenti, ada banyak hal yang menggelitik hati kita apabila melihat fakta sejarah yang berlaku dan melibatkan para sahabat.
Apakah sikap para sahabat yang berebut kekuasaan, para sahabat yang haus kekuasaan, para sahabat yang memenggal kepala cucu Nabi tercinta, para sahabat yang terlibat konflik berdarah sesamanya, para sahabat yang memaki-maki keturunan Nabi … tetap disebut bersifat ‘adalah (adil, bersih) ?
Apa benar membunuh sesama saudaranya seiman disebut sebagai tindakan ikhtilafiah ?
Saya kok tidak yakin Allah dan Rasul-Nya meridhoi perbuatan-perbuatan para sahabat yang saya sebutkan tadi.
Anda bacalah al-Qur’an, anda bacalah sirah Nabawiah … anda analisa dan renungkan kebenaran dari apa yang saya katakan ini.
Beberapa argumentatif yang diajukan seputar diri para sahabat, misalnya :
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah”. (Ali-Imran : 110)
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian umat yang adil  dan pilihan”. (Al-Baqarah : 143)

Padahal kata umat diayat-ayat tersebut merujuk pada kaum secara umum.
Jadi disini tidak hanya berhubungan dengan sahabat saja, saat Allah menyebut umat terbaik, maka maksudnya disini adalah umat Islam, dan jika sudah berbicara masalah umat Islam maka berarti berbicara mengenai orang banyak, terlepas dari rentang ruang dan waktu. Baik dahulu sekarang maupun umat Islam yang akan datang.
Praktis, penerapan hukum terhadap umat adalah sama, tidak ada kecuali. Jika salah ya salah. munafik ya munafik.
Argumentasi lainnya :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalirkan sungai-sungai didalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. (At-Taubah : 100)
Ayat diatas memang menyebutkan keridhoan Allah atas sahabat, tetapi jangan dipenggal sampai disana. Sebab maksud dari ayat tersebut adalah para sahabat yang mula-mula percaya kepada dakwah Rasulullah SAW, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar serta mereka-mereka yang mengikutinya secara baik. Jadi janji Allah ini tidak berlaku untuk mereka yang berbuat dzalim. Sama seperti saat Allah menjawab doa Nabi Ibrahim as :
Allah berfirman:”Janji-Ku tidak mengenai orang yang zalim”. -Qs. 2 al-Baqarah: 124

Rasul sendiri bersabda :
Shahih Bukhari 6098: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab mengatakan; telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Ibnul Musayyab; bahwasanya ia menceritakan dari beberapa sahabat Nabi, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Beberapa orang sahabatku mendatangi telaga, lalu mereka dijauhkan dari telaga, maka aku berkata; ‘(mereka) para sahabatku, ‘ Allah menjawab: ‘Sungguh engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang apa yang mereka kerjakan sepeninggalmu, mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar.” Dan Syu’aib mengatakan dari Az Zuhri, Abu Hurairah menceritakan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan redaksi; ‘yujla`un’ sedang Uqail mengatakan dengan redaksi ‘Fayuhalla`uuna’, sedang Zubaidi mengatakan dari Az Zuhri dari Muhammad bin Ali dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu.
Musnad Ahmad 22229: Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir telah bercerita kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Abu Nadhrah dari Qais berkata; Aku berkata kepada ‘Ammar: Menurut kalian, perbuatan yang kalian lakukan ini karena pendapat ‘Ali yang kalian ketahui atau sesuatu yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam kepada kalian? ‘Ammar berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak memerintahkan apa pun kepada kami yang tidak beliau perintahkan kepada seluruh manusia, hanya saja Hudzaifah bin Al Yaman memberitahu kami dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Ditengah sahabat-sahabatku ada duabelas orang munafik, delapan diantaranya tidak masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum.”
Musnad Ahmad 22202: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush Shamad telah bercerita kepada kami ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim telah bercerita kepada kami Hushain dari Abu Wa`il dari Hudzaifah bin Al Yaman bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Kaum-kaum sungguh akan mendatangi telagaku lalu mereka gelisah tanpaku lalu aku bersabda: Rabb! Sahabat-sahabatku, Rabb! Sahabat-sahabatku. Lalu dikatakan padaku: Engkau tidak tahu apa yang mereka buat-buat sepeninggalmu.”
Shahih Bukhari 6096: Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Ada beberapa orang sahabatku menuju telagaku, hingga di waktu selanjutnya aku tahu bahwa mereka disingkirkan dariku sehingga aku berteriak-teriak; ‘(mereka) sahabatku!, ‘ maka Allah menjawab; ‘Engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu’.”
Dalam [Q.S. At-Taubah 101], Allah berfirman : “Dan di antara orang-orang badui di sekelilingmu, ada orang munafik, dan juga di antara penduduk Madinah. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui mereka. Kami akan siksa mereka dua kali kemudian mereka akan diberikan azab yang besar”.
Musnad Ahmad 22229: Telah menceritakan kepada kami Aswad bin ‘Amir telah bercerita kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Abu Nadhrah dari Qais berkata; Aku berkata kepada ‘Ammar: Menurut kalian, perbuatan yang kalian lakukan ini karena pendapat ‘Ali yang kalian ketahui atau sesuatu yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam kepada kalian? ‘Ammar berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak memerintahkan apa pun kepada kami yang tidak beliau perintahkan kepada seluruh manusia, hanya saja Hudzaifah bin Al Yaman memberitahu kami dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Ditengah sahabat-sahabatku ada duabelas orang munafik, delapan diantaranya tidak masuk surga hingga unta masuk ke lubang jarum.”

Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut, bahwa ayat tersebut ditujukan untuk beberapa sahabat Rasul Saw yang munafik. Rasul Saw tahu bahwa penduduk Madinah yang menggaulinya dan dilihatnya tiap pagi dan senja, ada orang-orang munafik. Dalam [Q.S. Jumuah 11], Allah mengecam para sahabat yang meninggalkan Rasul Saw, yang sedang ber-khutbah jum’at, demi menyambut kafilah yang membawa barang dagangan.
Jabir bin Abdullah berkata :”Ketika Nabi Saw sedang berkhotbah jum’at, tiba-tiba datang kafilah dagang di Madinah, maka pergilah sahabat menyambut kafilah dagang itu, sehingga tiada sisa yang mendengarkan khotbah Rasul Saw, kecuali 12 orang, maka Rasul Saw bersabda :’Demi Allah yang jiwaku ada di tangannya, andaikata kamu semua mengikuti keluar sehingga tiada seorangpun yang tertinggal, niscaya lembah ini akan mengalir api’. Dan turunlah ayat tersebut.

Lihat juga [Q.S. Ali Imron 153], tentang kejadian perang Uhud, dimana sebagian sahabat lari meninggalkan Rasul Saw :
“(Ingatlah) ketika kalian lari dan tidak menoleh kepada seorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain, memanggil kalian, karena itu Allah menimpakan atas kalian kesusahan di atas kesusahan agar kalian tidak bersedih atas apa yang luput dari kalian dan apa yang menimpa kalian. Sungguh Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan”.

Kisah tragedi hari kamis, dimana Rasulullah Saw marah kepada Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lain :”Bawakan  dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak  lagi  akan  pernah sesat.” Dari  orang-orang  yang  hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada  kita  sudah  ada Qur’an,  maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang menyebutkan, bahwa UMAR -lah yang mengatakan itu.

Di  kalangan yang  hadir  itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan: Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita  tidak  sesat.  Adapula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah. Setelah melihat pertengkaran itu, Nabi Muhammad berkata:  “Pergilah  kamu  sekalian!  Tidak  patut  kamu berselisih dihadapan Nabi.”
Musnad Ahmad 1834: Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Sulaiman bin Abu Muslim paman Ibnu Abu Najih, dia mendengar Said bin Jubair berkata; Ibnu Abbas berkata: “Hari kamis, dan apakah hari kamis itu?” Kemudian ia menangis hingga air matanya mengalir. -Dalam kesempatan lain Said bin Jubair berkata; sampai butiran air matanya mengalir.- maka kami bertanya; “Wahai Abu Al Abbas, kenapa dengan hari kamis?” Dia berkata; “Pada hari tersebut sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semakin parah, lalu beliau berkata: “Kemarilah, aku tuliskan untuk kalian sebuah surat, sehingga kalian tidak akan tersesat setelahnya selamanya.” Namun mereka berselisih, padahal tidak pantas ada yang berselisih di dekat seorang Nabi. Mereka berkata; “Bagaimana keadaan beliau, apakah beliau mengigau? -Sufyan berkata; yaitu melantur, – hendaknya kalian tanyakan kembali kepada beliau.” lalu mereka pergi dan menyakannya kembali. Maka beliau bersabda: “Tinggalkan aku, keadaanku sekarang lebih baik daripada apa yang kalian kira.” Beliau menyuruh tiga hal -Sufyan berkata; Beliau mewasiatkan tiga hal.- beliau bersabda: “Keluarkan orang-orang musyrik dari Jazirah Arab, dan perlakukan utusan sebagaimana saya memperlakukan mereka.” Tetapi Sa’id tidak menyebutkan wasiat yang ketiga, saya tidak tahu apakah dia sengaja mendiamkannya atau karena dia lupa. Dalam riwayat lain Sufyan berkata; Bisa jadi dia sengaja tidak menyebutkannya atau melupakannya.
Shahih Bukhari 111: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman berkata, telah menceritakan kepadaku Ibnu Wahhab berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah dari Ibnu ‘Abbas berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertambah parah sakitnya, beliau bersabda: “Berikan aku surat biar aku tuliskan sesuatu untuk kalian sehingga kalian tidak akan sesat setelahku.” Umar berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semakin berat sakitnya dan di sisi kami ada Kitabullah, yang cukup buat kami. Kemudian orang-orang berselisih dan timbul suara gaduh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pergilah kalian menjauh dariku, tidak pantas terjadi perdebatan di hadapanku.” Maka Ibnu ‘Abbas keluar seraya berkata, “Ini adalah musibah, dan sungguh segala musibah tidak boleh terjadi di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Al Qur’an.”
Secara obyektifitas, sikap Umar bin Khattan tersebut memang harus diakui dengan jujur bisa dianggap sebagai suatu sikap yang sangat tidak bijak dan tidak pula patut. Dari sisi persahabatan, antara Umar dan Nabi sudah terjalin persahabatan yang cukup lama waktunya dan seharusnya membuat beliau mengenal kepribadian sang Nabi lebih baik sehingga tidak mungkin secara logika, seorang Nabi bisa meracau ataupun kesurupan sekalipun sedang dalam kondisi yang sakit.
Jikapun ini bisa terjadi, pasti akan ada teguran ataupun bantuan dari Tuhan seperti kejadian-kejadian sebelumnya (lihat misalnya kisah ketika Nabi memastikan datangnya wahyu, Beliau ditegur oleh Allah, begitupula saat ada orang buta meminta pengajaran dan Beliau bermuka masam, inipun ditegur oleh Allah, apalagi bila sampai Nabi meracau dan mengatakan hal yang salah kepada umatnya, pastilah akan lebih mendapat teguran yang lebih keras lagi).
Karenanya sangat masuk akal bila Nabi pun menjadi marah dan mengusir orang-orang yang ada disekitarnya waktu itu agar keluar ruangan. Dirumah sakit saja bila kita menengok teman yang sakit pasti akan dijumpai tulisan “Jangan Berisik, demi kesembuhan pasien”.
Ini sikap para sahabat dimasa hidupnya Rasul …dan ini bukan kata Arman, tetapi kata sejarah yang terekam dalam kitab-kitab tafsir, tarikh bahkan al-Qur’an sendiri. Sepeninggal Nabi sikap para sahabatnya pun perlu dikaji lebih obyektif :
Dihari wafatnya Rasul misalnya, belum lagi jenazahnya dikubur, sejumlah sahabat malah ribut dan saling merasa lebih unggul satu dengan yang lain sehingga menurutnya jabatan Khalifah harus berada ditangan mereka, jika Abu Bakar dan Umar tidak datang bukan tidak mungkin akan terjadi konflik berdarah saat itu, apakah type sahabat-sahabat yang seperti itu bisa dimasukkan kedalam kategori ‘adalah seperti yang diklaim oleh ulama hadis sebagai ‘adalah?
Shahih Bukhari 3776: Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Khalid telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid bin Abu Habib dari Abu Al Khair dari ‘Uqbah bahwa suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar lalu mengerjakan shalat untuk para syuhada perang Uhud, yaitu shalat jenazah, setelah itu beliau menuju mimbar dan bersabda: “Aku akan mendahului kalian dan aku menjadi saksi atas kalian, bahwa aku, demi Allah, sekarang sedang melihat telagaku (di surga) dan sungguh aku telah diberikan kunci-kunci perbendaharaan bumi -atau kekayaan bumi- dan aku demi Allah, tidak lebih takut bahwa kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, tapi yang lebih aku takutkan adalah kalian akan saling memperebutkannya.”

Tanpa bermaksud untuk mencela atau menjatuhkan wibawa Thalhah dan Zubair, keduanya sahabat Nabi dan ikut berjanji setia dibawah pohon, tetapi fakta sejarah menuliskan pada kita bila mereka juga orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perang Jamal yang membuat ratusan sahabat saling bunuh dan membuat ummul mu’minin ‘Aisyah r.a mengangkat pedang terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a, bisakah dibenarkan tindakan kedua sahabat tersebut ? -menurut saya jika anda membenarkannya maka secara tidak langsung andapun membenarkan tindakan pengeboman Dr. Azhari cs yang membuat puluhan nyawa melayang dan puluhan istri serta anak kecil kehilangan orang yang mereka cintai dan menaungi hidup mereka.
Selanjutnya Muawiyah bersama pengikutnya yang mengobarkan peperangan terhadap Imam Ali r.a dan menyebabkan banyak sahabat terbunuh dan lebih jauh lagi awal dari pencaci makian dan penghujatan terhadap seluruh keluarga Nabi dan pembantaian bagi para simpatisannya… apakah ini bisa dimasukkan dalam kategori sahabat yang bersifat ‘adalah ?
Ingat Sunan Tirmidzi 3658: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Hatim bin Isma’il dari Bukair bin Mismar dari ‘Amir bin Sa’d bin Abu Waqash dari ayahnya dia berkata; “Muawiyah bin Abi Sufyan pernah mengangkat Sa’ad menjadi seorang pemimpin. Lalu dia berkata; “Apa yang menghalangimu untuk mencela Abu Turab (Ali)?” Sa’d menjawab; “Adapun tiga hal yang telah kamu sebutkan, semuanya telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka aku tidak akan pernah mencelanya. Aku lebih suka termasuk di antara tiga hal tersebut dari pada unta merah, karena aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Ali dan beliau pernah mengangkatnya sebagai wakil beliau (di Madinah) di salah satu peperangan (perang Tabuk) “.
Lalu Ali berkata kepada beliau; “Wahai Rasulullah, apakah anda hendak meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidakkah kamu rela bila kedudukanmu bagiku bagaikan kedudukan Harun terhadap Musa, hanya saja tidak ada Nabi sesudahku.”
Dan aku juga pernah mendengar beliau bersabda pada perang Khaibar: “Sungguh aku akan berikan bendera ini kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, serta Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” Lalu kami berebut untuk mendapatkannya, namun beliau bersabda: “Panggilkan Ali untukku.” Lalu dia pun didatangkan dan sedang menderita sakit mata, maka beliau meludahi matanya dan memberikan bendera tersebut kepadanya. kemudian Allah menaklukkan Khaibar melalui dirinya. Dan karenanya ayat berikut ini di turunkan; “Kami seru anak-anak kami, anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri kalian” (al-Ayat). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdo’a untuk ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husein seraya bersabda: “Ya Allah! mereka semua adalah keluargaku.” Abu Isa berkata; “Hadits ini derajatnya hasan shahih gharib melalui jalur ini.”

Dari beberapa kasus diatas, fakta bahwa tidak semua sahabat bisa disebut bersikap ‘adalah.
Ada orang-orang yang memecah janji setianya terhadap Allah dan Rasul-Nya, karena itu Allah berfirman :
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk. – Qs. 13 ar-Ra’d : 25

Demikian kiranya sedikit pemahaman saya terhadap sifat ‘adalah para sahabat Nabi, bahwa benar mereka orang-orang yang bertemu, berbicara dan mendampingi hidup Nabi namun mereka tetap bisa salah, mereka tetap bisa bertindak bertentangan dengan ajaran Islam meski sekecil apapun itu … sebab mereka juga adalah manusia biasa.
Allah dan rasul-Nya suka mencela orang-orang yang zhalim, tetapi sebagian besar umat Islam tidak suka apabila orang tersebut dari ‘sahabat’ Rasul. Seakan-akan menganggap mereka semua suci dan jauh dari murka dan benci Allah dan rasul-Nya.
Demi Allah, yang maha pengasih dan maha penyayang, yang memberi cobaan bagi orang-orang yang beriman, fakta sejarah menjadi cobaan bagi kita, manakah yang lebih kita cintai, Allah dan Rasul-Nya, keluarga dan keturunan Rasul-Nya atau para sahabat?
Apakah Allah akan meridhai kita apabila kita rela terhadap pemenggal kepala cucu Rasul-Nya sang pemuka pemuda ahli surga  –siapapun pelaku dan mereka yang mendukungnya– ?
Apakah Allah akan meridhai kita apabila kita percaya buta kepada para sahabat termasuk mereka-mereka yang mencaci maki Ahlul bait dan keturunan Rasul Allah saw ?
Jika memang misalnya harus memilih … sekali lagi ini umpamanya : antara berpihak pada sahabat atau kepada keluarga Nabi, tanpa ragu saya akan memilih berpihak pada yang kedua, setidaknya dari hasil kajian saya selama ini jarang dan malah nyaris tidak ada celah-celah kemunafikan dari sisi para Ahli Bait Nabi (disini saya tidak memasukkan sebagian pengikut mereka yang banyak bertindak berlebih-lebihan seperti kalangan Islam Syiah). Setidaknya juga antara ucapan sholawat saya dengan sikap saya tidak bertentangan.
Bacalah lebih banyak, pelajarilah lebih obyektif dan tinggalkan prasangka, analisa dengan bijak.
Maaf apabila saya menyakiti anda para pengagum semua sahabat Rasul Allah, tujuan saya menulis semua ini hanya untuk mengajak anda untuk mempelajari sejarah secara obyektif. Tidak untuk menjatuhkan ataupun memaki-maki mereka, setidaknya kita tahu sejarah yang sesungguhnya terjadi. Tidak perlu mencaci para sahabat, kita cuma belajar dan mengetahui saja fakta sejarah. Lagipula mencaci maki sahabat dilarang keras oleh Rasul.
Shahih Muslim 4610: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi dan Abu Bakr bin Abu Syaibah serta Muhammad bin Al A’laa. Yahya berkata; Telah mengabarkan kepada kami. Sedangkan yang lainnya berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para sahabatku.’

Mari kita setelah ini mulai bersikap wajar dan obyektif tanpa di bawah pengaruh apapun bahkan diri anda sendiri, berpegang pada prinsip cinta dan benci karena Allah.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (fakta) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. -Qs. An-Nisa’ 4:135

Kita hormati semua sahabat, namun bagaimanapun kita harus tetap meletakkan rasa hormat itu dibawah ketentuan kitab suci, meletakkannya pada posisi yang memang seharusnya.
Musnad Ahmad 10779: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Malik -yaitu Ibnu Abu Sulaiman- dari ‘Athiyyah dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang sangat berat, salah satunya lebih besar dari yang lain; Kitabullah, tali yang dibentangkan dari langit ke bumi, dan keturunan ahli baitku, keduanya tidak akan berpisah hingga mereka tiba di telagaku.”
Musnad Ahmad 21890: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dari Syarik telah menceritakan kepada kami Abu Rabi’ah dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ” Allah AzzaWaJalla mencintai empat orang dari sahabat-sahabatku, Ia memberitahuku bahwa Ia mencintai mereka dan memerintahkanku untuk mencintai mereka.” Mereka bertanya: Siapa mereka wahai Rasulullah! Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: ” ‘Ali termasuk diantara mereka, Abu Dzarr Al Ghifari, Salman Al Farisi dan Al Miqdad bin Al Aswad Al Kindi.”
Sunan Tirmidzi 3719: Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sulaiman Al Ashbahani dari Yahya bin ‘Ubaid dari ‘Atha` bin Abu Rabah dari Umar bin Abu Salamah anak tiri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dia berkata; ayat ini yaitu; Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya QS Al Ahzab; 33 turun atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam rumah Ummu Salamah, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain, lalu beliau menyelimuti mereka dengan selendang, sedangkan Ali berada di belakang beliau lalu beliau juga menyelimuti dengan selendang, kemudian beliau bersabda: “Ya Allah, mereka semua adalah ahli baitku, maka hilangkanlah dosa dari diri mereka dan sucikanlah mereka sebersih-bersihnya.” Ummu Salamah berkata; “Saya juga bersama mereka wahai Nabi Allah?” beliau bersabda: “kamu tetap berada di posisimu, dan akan tetap mendapatkan suatu kebaikan.” Perawi (Abu Isa) berkata; “Dan dalam bab ini, ada juga riwayat dari Ummu Salamah, Ma’qil bin Yasar, Abu Hamra` dan Anas.” Ia melanjutkan; “Hadits ini derajatnya gharib melalui jalur ini.”
Shahih Muslim 4450: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair dan lafazh ini milik Abu Bakr keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr dari Zakaria dari Mush’ab bin Syaibah dari Shafiyyah binti Syaibah dia berkata; ‘Aisyah berkata; “Pada suatu pagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumahnya dengan mengenakan kain bulu hitam yang berhias. Tak lama kemudian, datanglah Hasan bin Ali. Lalu Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Kemudian datanglah Husain dan beliau pun masuk bersamanya ke dalam rumah. Setelah itu datanglah Fatimah dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Akhirnya, datanglah Ali dan beliau pun menyuruhnya masuk ke dalam rumah. Lalu beliau membaca ayat Al Qur’an yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu hai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya.” (Al Ah zaab: 33).
Sunan Tirmidzi 3718: Telah menceritakan kepada kami Nahsr bin Abdurrahman Al Kuffi telah menceritakan kepada kami Zaid bin Al Hasan, dia adalah seorang dari Anmath dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir bin Abdullah dia berkata; saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hajinya ketika di ‘Arafah, sementara beliau berkhutbah di atas untanya -Al Qahwa`- dan saya mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu; kitabullah dan sanak saudara ahli baitku.” Perawi (Abu Isa) berkata; “Dan dalam bab ini, ada juga riwayat dari Abu Dzar, Abu Sa’id, Zaid bin Arqam dan Hudzaifah bin Asid. ia berkata; ” hadits ini derajatnya hasan gharib melalui jalur ini. Lalu ia melanjutkan; “Sa’id bin Sulaiman dan banyak dari kalangan ulama` yang telah meriwayatkan dari Zaid bin Hasan.”
Sunan Tirmidzi 3722: Telah menceritakan kepada kami Abu Daud Sulaiman bin Al Asy’ats dia berkata; telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Ma’in telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman An Naufali dari Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari ayahnya dari Abdullah bin Abbas dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cintailah Allah atas nikmat yang telah di berikan oleh-Nya, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah serta cintailah ahli baitku karena cinta kepadaku.” Abu Isa berkata; “Hadits ini adalah hadits hasan gharib, kami hanya mengetahui hadits ini dari jalur ini.”

Demikian, semoga membantu memberikan pencerahan.
Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang pasrah. Sesungguhnya (bisa jadi) Allah menolong agama ini dengan peran orang yang fasik.  (HR. Bukhari 3062 dan Muslim 111)
Musnad Ahmad 915: Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepadaku telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin Umar Al Qawariri telah menceritakan kepada kami Yunus bin Arqam telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abu Ziyad dari Abdurrahman bin Abu Laila berkata; saya menyaksikan Ali Radhiallah ‘anhu meminta orang-orang untuk bersaksi di Rahabah; “Demi Allah, siapa yang mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari Ghadir Khum: “Barangsiapa saya menjadi walinya maka Ali juga menjadi walinya, ” tatkala belau berdiri dan bersaksi, ” Abdurrahman berkata; dua belas orang ahli Badar berdiri, sampai aku dapat melihat salah seorang dari mereka. Mereka berkata; kami bersaksi bahwa kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari Ghadir Khum: “Bukankah Saya lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka, dan istri-istriku adalah ibu mereka.” Kami menjawab; “Ya. Wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Barangsiapa saya menjadi walinya maka Ali juga menjadi walinya. Ya Allah lindungilah orang yang berwali kepadanya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
Shahih Bukhari 6096: Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Ada beberapa orang sahabatku menuju telagaku, hingga di waktu selanjutnya aku tahu bahwa mereka disingkirkan dariku sehingga aku berteriak-teriak; ‘(mereka) sahabatku!, ‘ maka Allah menjawab; ‘Engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu’.”
Shahih Bukhari 6098: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab mengatakan; telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Ibnul Musayyab; bahwasanya ia menceritakan dari beberapa sahabat Nabi, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Beberapa orang sahabatku mendatangi telaga, lalu mereka dijauhkan dari telaga, maka aku berkata; ‘(mereka) para sahabatku, ‘ Allah menjawab: ‘Sungguh engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang apa yang mereka kerjakan sepeninggalmu, mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar.” Dan Syu’aib mengatakan dari Az Zuhri, Abu Hurairah menceritakan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan redaksi; ‘yujla`un’ sedang Uqail mengatakan dengan redaksi ‘Fayuhalla`uuna’, sedang Zubaidi mengatakan dari Az Zuhri dari Muhammad bin Ali dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu.
Shahih Bukhari 6527: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Mughirah dari Abu Wa`il mengatakan ‘ Abdullah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Aku adalah manusia pertama-tama diantara kalian yang menuju telaga, lantas diperlihatkan padaku beberapa orang diantara kalian, hingga jika aku ingin menggandeng mereka, tiba-tiba mereka ditangkap dan dijauhkan dariku, sehingga aku berteriak-teriak ‘Ya rabbi, itu sahabatku, ya rabbi, itu sahabatku! ‘ Allah menjawab; kamu tidak tahu apa yang perbuat sepeninggalmu! ‘”
Musnad Ahmad 3457: Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Syaqiq dari Abdullah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku mendahului kalian sampai di telaga, sungguh aku akan dipertentangkan oleh banyak kaum kemudian aku dimenangkan atas mereka, aku pun bertanya: Wahai Rabbku, sahabatku. Lalu Dia berfirman: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang telah mereka perbuat sepeninggalmu.”
Musnad Ahmad 22247: Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An Nu’man telah bercerita kepada kami Husyaim dari Al Mughirah dari Abu Wa`il dari Ibnu Mas’ud dan Hushain dari Abu Wa`il dari Hudzaifah bin Al Yaman berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Aku mendahului kalian ditelaga, aku menunggu kalian agar beberapa orang dari kalian diangkat untukku hingga saat aku mengenali mereka, mereka gelisah tanpaku lalu aku bersabda: Rabb! Sahabat-sahabatku, Rabb! Sahabat-sahabatku. Lalu dikatakan padaku: engkau tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu.”
Sunan Ibnu Majah 3048: Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Taubah; telah menceritakan kepada kami Zafir bin Sulaiman dari Abu Sinan dari Amru bin Murrah dari Murrah dari Abdullah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu, ia berkata; “Rasulullah bersabda saat di Arafah ketika berada di atas untanya yang terpotong ujung telinganya: ‘Tahukah kalian hari apakah ini? Bulan apakah ini? Dan negeri apakah ini? ‘ Mereka menjawab; ‘Ini adalah negeri haram, bulan haram, dan hari haram.’ Beliau bersabda: ‘Ingatlah! Sesungguhnya harta dan darah kalian diharamkan atas kalian, seperti keharaman bulan kalian ini, di negeri kalian ini, dan pada hari kalian ini. Ingatlah! Sesungguhnya aku orang yang mendahului kalian di telaga surga, dan aku akan memperbanyak umat dengan kalian, maka janganlah kalian mencoreng wajahku. Ingatlah! Sesungguhnya aku adalah orang yang menyelamatkan manusia, dan mereka akan meminta bantuan keselamatan dariku.’ Aku berkata kepada tuhanku: ‘Wahai Tuhan, bagaimana dengan para sahabatku? ‘ Allah menjawab: ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka perbuat (ada-adakan) setelah kamu tiada’.”
Shahih Muslim 4259: Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim; Telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim Ash Shaffar; Telah menceritakan kepada kami Wuhaib berkata; Aku mendengar ‘Abdul ‘Aziz bin Shuhaib bercerita dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Beberapa orang dari para sahabatku dahulu akan datang ke telagaku, hingga ketika aku melihat mereka dan mereka memang diperlihatkan kepadaku, mereka dihalangi untuk mendekatiku. Maka Aku akan mengatakan; Ya Rabbku mereka adalah para sahabatku, mereka para sahabatku. Kemudian akan dikatakan kepadaku; ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka perbuat sepeninggalmu. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ali bin Hujr keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail seluruhnya dari Al Mukhtar bin Fulful dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Hadits yang semakna. Dan dia menambahkan; ‘gelas-gelasnya sejumlah bintang-bintang di langit.’

Mari menjadi orang-orang yang dirindu oleh Rasul :
Shahih Muslim 367: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Suraij bin Yunus dan Qutaibah bin Sa’id dan Ali bin Hujr semuanya meriwayatkan dari Ismail bin Ja’far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail telah mengabarkan kepadaku al-‘Ala’ dari bapaknya dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: “Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, ” sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita.” Para Sahabat bertanya, ‘Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah? ‘ Beliau menjawab dengan bersabda: “Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud.” Sahabat bertanya lagi, ‘Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umatmu wahai Rasulullah? ‘ Beliau menjawab dengan bersabda: “Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu? ‘ Para Sahabat menjawab, ‘Sudah tentu wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda lagi: ‘Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat’. Aku memanggil mereka, ‘Kemarilah kamu semua’. Maka dikatakan, ‘Sesungguhnya mereka telah menukar ajaranmu selepas kamu wafat’. Maka aku bersabda: “Pergilah jauh-jauh dari sini.” Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz -yaitu ad-darawardi. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Musa al-Anshari telah menceritakan kepada kami Ma’n telah menceritakan kepada kami Malik semuanya meriwayatkan dari al-‘Ala’ bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju pekuburan seraya berkata, “Semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian wahai penduduk kuburan kaum mukminin. Dan sesungguhnya insya Allah kita pasti bertemu, ” sebagaimana hadits Ismail bin Ja’far, hanya saja hadits Malik menyebutkan, “Sungguh, sekelompok laki-laki akan dihalau dari telagaku.”
Musnad Ahmad 16363: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Mughirah berkata; telah menceritakan kepada kami Al Auza’i berkata; telah bercerita kepadaku Asid bin Abdurrahman dari Khalid bin Duraik dari Abu Muhairiz berkata; saya berkata; kepada Abu Jumu’ah seorang sahabat, “Ceritakan kepada kami suatu hadis, yang telah kau dengar dari Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam.” dia berkata; “Ya. saya akan menceritakan kepada kalian satu hadis yang bagus, kami keluar pada awal siang bersama Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam dan bersama kami juga Abu Ubaidah bin Al Jarrah. (Abu Jumu’ah radliyallahu’anhu) berkata; lalu (Abu Ubaidah bin Al Jarrah radliyallahu’anhu) berkata; “Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang lebih baik dari kami, kami masuk Islam dan berjihad bersama anda?.” Beliau bersabda: “Ya, yaitu suatu kaum yang ada setelah kalian mereka beriman kepadaku padahal mereka belum pernah melihatku.”
Sunan Darimi 2626: Telah mengabarkan kepada kami Abu Al Mughirah ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Auza’i telah menceritakan kepada kami Asid bin Abdurrahman dari Khalid bin Duraik dari Ibnu Muhairiz ia berkata; Aku bertanya kepada Abu Jumu’ah, ia adalah seorang sahabat; Ceritakan sebuah hadits kepadaku yang engkau dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia mengatakan; Baik, aku akan menceritakan kepadamu sebuah hadits yang bagus. Kami pernah makan siang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami bersama Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Ketika itu Abu Ubaidah berkata; Wahai Rasulullah, adakah orang yang lebih baik dari kami yang telah masuk Islam dan berjihad bersama engkau? Beliau bersabda: ‘Iya, yaitu orang-orang yang hidup setelah kalian. Mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah melihatku.”

(Armansyah/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top