Oleh: Endang Susilawati
Sebelum agama Islam muncul, dua agama besar sebelum Islam yaitu agama Yahudi dan selanjutnya agama Kristen telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum perempuan. Bagaimana ceritanya?
Mari pembahasan kita awali terlebih dahulu dengan pandangan-pandangan miring yang mereka lontarkan terhadap kaum perempuan.
Sebagaimana kita ketahui, tidak sedikit dari isme-isme dan kalangan ilmuwan kuno yang menganggap bahwa dari aspek keinsanan, perempuan menduduki posisi yang jauh lebih rendah dari laki-laki. Sebagian bahkan sampai pada anggapan bahwa kedudukan perempuan lebih rendah dari binatang dan merupakan sosok penjelmaan setan. Socrates berpendapat bahwa perempuan merupakan sumber terbesar bagi dekadensi dan kemerosotan moral manusia.
Phytagoras dalam teorinya mengatakan bahwa di alam penciptaan ini terdapat sebuah asas kebaikan dimana dengannya diciptakanlah keteraturan, cahaya dan laki-laki, dan terdapat pula sebuah asas keburukan yang darinya kemudian tercipta kekacauan, kegelapan, dan perempuan. Sedangkan Aristoteles meyakini hal yang lain lagi, dia mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki tak dewasa, kurang matang, kesalahan alam dan hasil ketaksempurnaan dari penciptaan. Oleh karena itulah perempuan hanya akan mengarungi ‘kembara’nya dalam lingkaran yang tertutup.[1]
Sementara itu, dalam sumber Yahudi, yakni dalam Midras dijelaskan bahwa secara substansial penciptaan perempuan dibedakan dengan laki-laki. Laki-laki diciptakan dengan kognitif intelektual (cognition-by-intellect), sedangkan perempuan diciptakan dengan kognitif instink (cognition-by-instinct).
Sedangkan kalangan pemeluk Masehi mengatakan bahwa munculnya kecenderungan untuk membujang dan mencela pernikahan di kalangan mereka tak lain bersumber dari keburukan dan tercelanya berhubungan dan melakukan interaksi dengan para perempuan.
Walhasil, dari pasal-pasal tersebut, secara teologis mengesankan kedudukan perempuan bukan saja sebagai subordinasi laki-laki, tetapi juga memberikan kedudukan yang inferior di dalam masyarakat.
Konsep teologi yang juga memberikan citra negatif kepada kaum perempuan adalah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab tergelincirnya Adam dari surga ke planet bumi. Karena rayuannyalah sehingga Adam lengah lalu memakan buah terlarang yang menyebabkannya terlempar ke bumi. Akhirnya, kaum perempuan harus menanggung akibat lebih besar, seperti yang dapat dilihat dalam Kitab Talmud dan Bibel.
Dalam Agama Yahudi, asal-usul terjadinya dosa asal (original sin) juga lebih banyak mempersalahkan kaum perempuan. Bahkan kalangan Misogyny menganggap kaum perempuan sebagai “setan betina” (female demon) yang harus selalu diwaspadai. Dan inilah yang kemudian menyebabkan perempuan harus menanggung berbagai kutukan.
Di antara kutukan perempuan yang paling monumental ialah menstruasi. Teologi menstruasi ini kemudian menyatu dengan berbagai mitos yang berkembang dari mulut ke mulut (oral tradition) ke berbagai belahan bumi.
Teologi menstruasi dianggap berkaitan dengan pandangan kosmopolitan terhadap tubuh perempuan yang sedang menstruasi. Perilaku perempuan di alam mikrokosmos diyakini mempunyai hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Peristiwa-peristiwa alam seperti bencana alam, kemarau panjang dan berkembangnya hama penyebab gagalnya panen petani dihubungkan dengan adanya yang salah dalam diri perempuan.
Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah tabu (menstrual taboo) dan perempuan yang sedang menstruasi menurut kepercayaan agama Yahudi harus hidup dalam gubuk khusus, suatu gubuk yang dirancang khusus untuk tempat hunian para perempuan menstruasi yang tidak boleh bercampur dengan keluarganya, tidak boleh berhubungan seks, dan tidak boleh menyentuh jenis masakan tertentu. Dan yang lebih penting adalah mewaspadai tatapan ‘mata iblis’ (evil eye) dari mata perempuan sedang menstruasi, karena diyakini bisa menimbulkan berbagai bencana.[2]
Salah satu upaya untuk mengamankan tatapan “mata iblis” adalah dengan mengenakan kerudung/cadar. Penggunaan cadar/kerudung pertama kali dikenal sebagai pakaian perempuan menstruasi yaitu untuk mencegah “si mata Iblis” dalam melakukan aksinya.
Kerudung dan semacamnya semula dimaksudkan sebagai pengganti “gubuk pengasingan” bagi keluarga raja atau bangsawan. Supaya mereka tidak perlu lagi mengasingan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan.
Jadi sebenarnya, cadar atau semacamnya bukan berawal dan diperkenalkan oleh Agama Islam dengan “ayat-ayat hijab”[3] dan hadits-haditsnya tentang aurat. Jauh sebelumnya sudah ada konsep kerudung/cadar yang diperkenalkan oleh kalangan Yahudi, akan tetapi dalam bentuknya yang mendeskriminasi kaum perempuan dan melegitimasi kerendahan posisi mereka di mata lelaki.
Lalu apakah pandangan-pandangan miring semacam ini tentang perempuan juga terdapat dalam al-Qur’an sebagai Kitab Suci agama Islam? Apakah Al-Qur’an memberikan legitimasinya terhadap kerendahan kedudukan perempuan di hadapan laki-laki? Dan bagaimana pandangan Islam mengenai perempuan dan hijab?
Mendiskusikan posisi perempuan dalam keterkaitannya dengan laki-laki seringkali mengarahkan ranah pembahasan pada feminisme, dan mendiskusikan feminisme dan Islam tak akan pernah melepaskan kita dari kehadiran Al-Qur’an sebagai buku petunjuk samawi yang secara komprehensif dan lugas memaparkan persamaan hak asasi perempuan dan laki-laki dalam beribadah, keyakinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan.
Kewajiban Berhijab
Kata ‘hijab’ dengan makna penutup perempuan merupakan sebuah istilah yang relatif baru, sedangkan dalam istilah para fukaha ‘penutup’ biasa diungkapkan dengan kata ‘satr’.
Al-Qur’an Al-Karim hanya menyebutkan satu kali kata ‘hijab’ (dengan makna tabir) dalam kaitannya dengan interaksi antara laki-laki dan perempuan, pada ayat ini, Allah Swt berfirman, “Apabila kamu meminta suatu kebutuhan hidup kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (Qs. Al-Ahzab [33]:54).
Dalam istilah sejarah Islam dan hadis, ayat ini ditafsirkan sebagai ‘ayat hijab’. Dari ayat ini terlihat jelas adanya perhatian Islam pada keberadaan tabir dan batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang digunakan sebagai sarana untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan, penyimpangan dan percampuran antara dua gender yang berbeda. Akan tetapi dalam tradisi kita kata hijab lebih terbiasa diartikan dengan makna penutup.
Pada salah satu ayat dari surah An-Nur yang terkenal dengan ayat ‘khimar’, Al-Qur’an memperkenalkan para perempuan yang mengenakan penutup sebagai perempuan yang beriman, berfirman, “Katakanlah kepada kaum perempuan yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada (supaya dada dan leher mereka tertutupi), dan janganlah menampakkan perhiasan mereka …” (Qs. Al-Nur [24]:31).[4]
Akan tetapi sangat disayangkan yang terlihat sekarang, pada konteks kekinian yang notabene telah bisa dikatakan sebagai era pornoaksi dan pornografi dengan segala kebebasan seksual yang semakin pekat dan menakutkan, para perempuan malah saling berlomba memperindah dan mempercantik diri untuk menjadi komoditi terlaris yang menjadi serbuan dan target pasar, mereka beradu kecepatan dalam memamerkan kemolekan dan lekuk indah tubuhnya untuk menggetarkan syahwat para konsumennya yang tak lain adalah para lelaki tak bermoral. Dengan kondisi pasar bebas yang seperti ini, sudah jelas kesucian dan kehormatan para perempuan hanya akan dinilai seharga sebuah boneka pajangan, sebuah komoditi tak berharga yang hanya berfungsi sebagai penghias etalase, pemanis interior dan dekorasi ruang, basa-basi mereka yang lembut dan mendayu telah menjadikan kepribadian, citra tinggi keinsanan, manifestasi estetika, ilmu dan kecerdasan mereka menjadi terlupakan.[5]
Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Islam, ia lebih menerima masyarakat dan keluarga yang menjunjung nilai-nilai kesucian, keluhuran dan kehormatan. Oleh karena itulah sehingga kemudian Islam memberikan perhatiannya secara khusus pada lembaga pernikahan sebagai salah satu cara untuk menanggulangi masalah-masalah yang berkaitan dengan kecenderungan seksual ini (yang biasa muncul dari aspek-aspek pendengaran, penglihatan, ucapan, sentuhan dan sebagainya), dan bertolak belakang dengan anggapan barat, Islam menganggap masyarakat hanyalah merupakan sebuah media dan sarana untuk beraktifitas secara lebih meluas, bukan tujuan utama sebagai panggung kiprah perempuan.
Sejak semula Islam pun telah mengetahui bahwa polesan-polesan make up dan ketakberhijaban para perempuan tidak akan memberikan hasil apapun kecuali kerusakan moral, dimana kelanjutannya tak lain adalah meningkatnya data perceraian, renggangnya hubungan antara suami istri, semakin meluasnya penyimpangan moral dan lahirnya anak-anak di luar pernikahan.[6] Karena itu pulalah sehingga jauh-jauh sebelumnya Islam telah mengantisipasi dengan aturannya yang bernama hijab, sebuah solusi yang dipandang mampu menciptakan keselamatan psikologis masyarakat, memperkuat hubungan keluarga, mempererat keakraban sempurna di antara suami istri dan meningkatkan citra para perempuan.
Islam menghendaki para perempuan untuk menapakkan kakinya dalam berbagai sektor dengan tetap berhijab, tetap mempertahankan rasa malu, menjaga kesuciannya, menampakkan kepribadian tinggi, citra hakiki dan identitas aslinya, dan lebih penting dari itu, tetap menempatkan kecenderungan dan instik seksualnya hanya untuk suaminya di rumah, dan tentu saja pada langkah awal, tidak melalaikan tugas besarnya dalam memanajemen keluarga, mendidik anak dan melaksanakan peran besarnya dalam membentuk masyarakat yang kuat dan ideal.
Pada ayat ini dan ayat sebelumnya, sebelum al-Quran menyarankan kepada para perempuan untuk mengenakan penutupnya yang sesuai, terlebih dahulu menyarankan kepada para perempuan dan laki-laki untuk menahan pandangan, setelah itu baru memberikan pesan khusunya kepada para perempuan supaya mereka tidak menjadikan dirinya sebagai besi berani yang memagnet kalbu-kalbu kaum adam untuk mendatanginya dan jangan sekali-sekali menyediakan lahan yang akan membangkitkan syahwat para lelaki lain.
Sebagaimana halnya manusia tidak pernah merasa puas dengan kekayaan dan kedudukan, dalam aspek seksualitaspun manusia tidak pernah merasa terpuaskan.[7] Oleh karena itulah bahaya yang ditimbulkan oleh pengaruh ketidakberhijaban dan tindakan-tindakan memperindah diri ini harus disampaikan kepada para perempuan.
Syahid Muthahhari Ra dalam kaitannya dengan masalah ini berkata, “Kecenderungan untuk memperlihatkan diri dan mempercantik diri merupakan karakteristik khas yang dimiliki oleh para perempuan karena pada dasarnya perempuan merupakan manifestasi dari keindahan sementara laki-laki merupakan penjelmaan dari amor dan cinta, yang senantiasa mencintai keindahan. Dari sisi kepemilikan kalbu, laki-laki adalah pemburu sedangkan perempuan adalah mangsanya. Dalam hukum alam, tabiat perempuan adalah penggoda, oleh karena itu ciri khas dari bentuk defleksi dan penyimpangan yang muncul di kalangan para perempuan adalah tindakan mereka yang senantiasa ingin memperindah diri, mempertontonkan diri dan menelanjangi diri, dari sinilah sehingga kemudian turun perintah bagi kaum perempuan untuk mengenakan hijab dan penutup.”
Dalam kitabnya ini, beliau juga menyertakan pendapat Will Durant dalam kaitannya dengan sifat perempuan yang senang memperlihatkan keindahan dirinya, dan karakteristik laki-laki yang suka memandang keindahan. Dan demikianlah, sehingga tidak ada di antara perbuatan manusia yang lebih mengherankan dari perbuatan para lelaki berambut putih yang membebek dan mengikuti para perempuan ke manapun dia pergi, sedangkan perempuan, bahkan hingga di tepian jurang pun senantiasa mempersiapkan diri untuk menjadi obyek yang cinta.[8]
Hikmah Berhijab
Dalam kitabnya yang sama, Syahid Murtadha Muthahhari mengklasifikasikan filosofi dan hikmah berhijab ke dalam beberapa poin:
1. Berhijab, Faktor Ketenangan Ruhani
Tiadanya tirai pembatas dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan akan memicu terjadinya pergolakan-pergolakan dahsyat dalam kecenderungan seksual yang di dalam diri manusia akan muncul dalam bentuk sebuah kobaran api yang menimbulkan kehausan psikologis tak pernah terpuaskan.[9] Akan tetapi berlawanan dengan itu, terdapatnya tabir pembatas antara laki-laki dan perempuan akan memberikan ketenangan yang lebih tinggi di dalam diri mereka.
Jika kita mencermati kasus-kasus penyimpangan seksualitas yang sering terjadi pada era kita ini, maka sudah pasti ujung-ujungnya kita akan menemukan bahwa sumber terbesar dari malapetaka ini tak lain adalah karena adanya kecenderungan perempuan dalam memamerkan dan mempertontonkan diri. Pada prinsipnya ketakpedulian terhadap masalah hijab senantiasa akan diikuti dengan penyakit-penyakit psikologis serta munculnya hasrat-hasrat hewani dalam diri lelaki dan perempuan.
Sebagian dari psikolog sepakat bahwa hijab merupakan indikasi keselamatan seorang perempuan dan ketiadaan hijab menunjukkan adanya penyakit psikologis dalam dirinya. Sebagian lagi menyatakan bahwa ketakberhijaban akan mengundang dan menyulut timbulnya penyakit-penyakit psikologis, karena kehadiran perempuan di luar rumah dalam keadaan yang menarik minat dan menggetarkan syahwat, secara sendirinya akan menimbulkan ketegangan psikologis pada diri para pemirsanya dan hal ini akan menghancur leburkan keseimbangan psikologis mereka.
Pada prinsipnya ketakberhijaban bisa dikatakan sebagai sebuah indikasi kebodohan, ketaksehatan psikologis dan penilaian yang terlalu rendah terhadap diri sendiri, individu semacam ini senantiasa merasa bahwa tanpa mempertontonkan keindahan tubuhnya ia akan nampak kurang berkepribadian, kurang menawan, dan tidak sempurna, oleh karenanyalah sehingga mereka senantiasa berusaha menampilkan keindahan tubuhnya dan mengenakan busana-busana memikat yang konon katanya untuk menciptakan simbol dan mengangkat posisi dan penilaian orang lain.
2. Berhijab, Memperkuat Ikatan Keluarga
Jika dalam sebuah keluarga, suami dan istri merupakan dua unsur penting bagi terciptanya cinta dan kasih sayang yang mendalam dan masing-masing menjadi faktor pembahagia bagi selainnya, maka yang terjadi dalam sistem pergaulan bebas adalah hal yang sebaliknya, masing-masing dari kedua belah pihak mengangap pihak di hadapannya sebagai rifal, penghalang dan penegasi langkah kebebasannya.
Keluarga merupakan titik sentral sebuah masyarakat sosial dimana salah satu faktor untuk mempertahankan kekokohan pondasinya terutama antara suami dan istri adalah keberadaan hijab dan tiadanya tindakan mempertontonkan keindahan tubuh sang istri di luar rumah.
3. Berhijab dan Ketahanan Masyarakat
Terjunnya manusia-manusia kurang dewasa ke tengah-tengah lingkungan masyarakat akan menyebabkan kekuatan masyarakat menjadi lumpuh dan payah. Kenapa demikian? Tentu, karena manusia-manusia tak dewasa ini akan bertindak sesuai dengan kemauan sendiri, tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku, sebagaimana layaknya seorang bocah yang pada masa-masa tertentunya menganggap dirinya sebagai seorang raja yang hanya menentukan, tanpa mendengarkan.
Tidak demikian halnya dengan manusia dewasa, karena manusia yang telah dewasa akan bertindak dengan akal dan mengetahui makna serta tujuan dari tindakan yang dilakukannya.
Ketika ajaran agama mengatakan bahwa hijab memiliki manfaat dalam menjaga psikologis masyarakat, dan akan mengantarkan masyarakat kepada ketenangan, maka tentulah manusia-manusia yang telah dewasa ini akan menerapkan aturan tersebut dalam kehidupannnya atau minimal tidak mmenampakkan pertentangannya, supaya terwujud ketahanan di dalam masyarakatnya.
4. Berhijab, Mengangkat Nilai dan Kehormatan Perempuan
Dengan keberadaan hijab yang sesuai, perempuan akan dikenal dengan keterhormatannya dan akan dianggap sebagai sosok yang mulia dan berkepribadian di kalangan masyarakat sehingga lebih sedikit orang yang mengganggunya.
Referensi/Catatan Kaki:
[1] . Benwood Gray, Zanân az Did-e Mardân, terjemahan Muhammad Ja’far Puyandeh, hal. 7, 45, dan 47.
2 . Nasaruddin Umar, Perempuan dan Dosa Warisan, Jurnal Pemikiran Paramadina.
3 . Misalnya dalam Qs. Al-Ahzab (33): 59 dan Qs. Al-Nur (24): 31.
4 . Surah An-Nur adalah surah yang sarat dengan kandungan-kandungan suci yang menawarkan solusi dari problematika-problematika pergaulan dan kecenderungan seksualitas tanpa mengesampingkan nilai-nilai kemuliaan di dalam masyarakat. Surah ini mengemukakan tentang adanya kepastian hukum yang sangat berat bagi laki-laki dan perempuan yang melakukan pelanggaran hukum, selain itu surah ini juga memberikan solusi dan metode-metode maha penting untuk menghindarkan terjadinya penyimpangan seksual. ia memperingatkan kepada orang-orang yang beriman tentang ekses negatif yang ditimbulkan dari ketakberhijaban perempuan dan ketiadaan penahanan pandangan, sekaligus menawarkan solusi sederhana dan mudah untuk mencegahnya, yaitu dengan pernikahan, karena pernikahan merupakan cara yang paling sah dan solusi yang paling tepat untuk memuaskan kecenderungan seksual manusia.
5 . Cara hidup bebas yang terjadi di dunia Eropa yang sama sekali tidak memiliki ikatan dan kosong dari tujuan suci pernikahan, bukanlah merupakan tujuan kehidupan yang mulia dan suci, melainkan hanyalah merupakan sebuah kehidupan penuh syahwat yang hanya bertujuan untuk memuaskan hawa nafsu belaka. Biasanya pernikahan baru akan terjadi setelah sebelumnya mereka hidup seatap dan melewati term-term yang menyimpang, selanjutnya setelah pernikahan, mereka menyerahkan buah pernikahan mereka ke tempat-tempat penitipan anak, lalu mengambilnya untuk kemudian melepaskannya ke tengah-tengah masyarakat yang telah rusak.
Kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan-kejahatan dan tindak-tindak asusila para alumni sekolah dan universitas barat ini tidak akan pernah bisa tergantikan, bahkan hingga hari kiamat sekalipun. Namun ironisnya, kini negara-negara yang memoles dan menampakkan dirinya sebagai negara berbudaya dan berperadaban tinggi yang biasanya justru diselimuti dengan kabut tebal penyimpangan seksual, syahwat, amoral, pembunuhan, perampasan, dan kriminalitas-kriminalitas lainnya ini, malah menujukkan kekhawatirannya dan menjadikan diri mereka sebagai pemerhati kaum perempuan muslimah. Mereka menempatkan diri sebagai juru selamat bagi para perempuan muslimah dengan mencoba menghilangkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan, mencoba menyelenggarakan pertemuan-pertemuan dan konggres-konggres, lalu dalam rencana kerjanya mereka menyusun dan merancang program-program dengan gelar mempertahankan posisi para perempuan muslim. Keprihatinan dan kekhawatiran mereka terhadap kaum perempuan muslim bahkan lebih besar dari kekhawatiran seorang ibu terhadap anaknya. Untuk memenuhi ambisinya ini, mereka memaksa negara-negara lain untuk menerima tekanan-tekanan dari sisi budaya dan politik, salah satunya adalah dengan menetapkan sebuah surat perjanjian dalam kaitannya dengan tata cara menghilangkan seluruh perbedaan yang terdapat di kalangan kaum perempuan. Namun beruntung, terdapat 22 negara Islam, yang hingga saat ini tetap menolak penerapannya.
Sekarang akan semakin kuatlah pertanyaan yang muncul di dalam benak kita tentang apakah sistem-sistem estetika dan moral yang berantakan seperti ini bisa dijadikan sebagai tolok ukur dan teladan?
6 . Ketakberhijaban perempuan bisa dikategorikan sebagai salah satu penyebar fitnah dan kerusakan, dan dosa meyebarkan kerusakan ini lebih besar ketimbang kerusakan itu sendiri, sebagaimana hal ini diisyarahkan dalam surah An-Nur ayat 19, dimana Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” Ayatullah Madhahiri dalam kitabnya yang berjudul “Akhlak dar Khaneh” mengatakan, jika seorang perempuan membuka hijabnya satu kali, dan dia tidak bertobat dengan apa yang telah dilakukannya, maka dia akan melakukan dosa yang kedua, ketiga, dan seterusnya, dan setahap-demi setahap ketakberhijaban ini akan menjadi hal yang biasa baginya. Dalam keadaan seperti ini tidak akan terjadi lagi pergolakan batin di dalam dirinya, karena ketercelaan melakukan sebuah dosa telah keluar secara sempurna dari dalam dirinya, selanjutnya dengan terbiasanya melakukan dosa, taubah akan menjadi sebuah persoalan yang sangat sulit untuk dia lakukan. Sangat disayangkan, sebagian dari manusia malah berjalan terlalu cepat dalam melakukan dosa, bahkan kadangkala telah berada dalam posisinya untuk memberikan legitimasi dan pembenaran terhadap dosa yang dilakukannya, lalu menganggap bahwa ketakberhijaban merupakan sebuah pencerahan dan peradaban modern yang harus dipertahankan, dan semua ini tak lain adalah bahaya yang telah diperingatkan dalam salah satu ayat al-Quran, dimana Allah swt berfirman, “Kemudian pendustaan terhadap ayat-ayat Allah dan memperolok-olokkannya adalah akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan.”
7 . Hal ini sebagaimana keadaan jahannam yang tidak pernah merasa terpuaskan dengan jumlah penghuni yang ada di dalamnya. Ketika ditanyakan kepadanya, “Telah penuhkan tempatmu? Telah kenyangkah engkau?” Maka dia akan menjawab, “Apakah masih ada lagi?”
8 . Mas-aleh-ye Hijab, hal. 250.
9 . Makalah singkat, Negohi beh Khuquqe Zan dar Islam, Muhammad Ridha Baqir Zodeh, pada Majalah Ma’rifat, no. 7
0 komentar:
Posting Komentar