Allah swt berfirman kepada Rasulullah saww:
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Aali Imran: 31).
Dan perintah Allah kepada umat Muhammad:
“…apa yang diberikan Rasul kepada kalian, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS Al-Hasyr: 7).
Dan firman Allah:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al-Ahzab: 36).
Semua pemeluk agama Islam pengikut Muhammad Rasulullah saww pasti meyakini bahwa bid’ah adalah perbuatan yang harus dijauhi. Hal itu karena terlampau banyak hadits Rasul, baik dalam kitab standar Ahlus-sunnah maupun Syiah, yang melarang dengan keras dan tegas kepada segenap umatnya dalam pelaksanaan bid’ah. Bahkan dalam beberapa hadits disebutkan bahwa berkumpul dengan pelaku bid’ah pun dilarang, apalagi melakukan bid’ah. Hal itu karena imbas dari ajaran Islam yang mengajarkan ajaran Tauhid, termasuk Tauhid dalam penentuan hukum agama. Jangankan manusia biasa, Rasulullah pun dilarang untuk membikin-bikin hukum agama. Beliau hanya berhak menyampaikan hukum Allah saja, tanpa diperkenankan untuk menambahi maupun menguranginya. Pelaku bid’ah dapat divonis sebagai penentang dalam masalah Tauhid penentuan hukum yang menjadi hak prerogatif Tuhan belaka. Hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak untuk itu.
Pada kesempatan kali ini, kita akan menengok kembali hukum ‘Shalat Tarawih’ di bulan suci Ramadhan yang seringnya dilakukan secara berjamaah oleh kebanyakan kaum muslimin, tidak terkecuali di Indonesia. Apakah Rasul pernah mencontohkannya ataukah tidak? Siapa pertama kali yang mempolopori pelaksanaan shalat tarawih berjamaah, dan dengan alasan apa? Jika Rasul tidak pernah mencontohkannya, bahkan memerintahkan untuk shalat sendiri-sendiri, maka pelaksanaannya secara berjamaah apakah tidak termasuk kategori bid’ah, sedang Rasul dalam haditsnya pernah bersabda: “Setiap bid’ah adalah sesat” (Kullu bid’atin dhalalah) dimana ungkapan ini meniscayakan bahwa tidak ada lagi pembagian bid’ah menjadi ‘baik’ (hasanah) dan ‘sesat’ (dhalalah).
Kita akan mulai dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang dinukil dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: ‘Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah).’ Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat di belakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: ‘Inilah sebaik-baik bid’ah!'” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).
Dari riwayat di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa: pertama, shalat tarawih berjamaah tidak pernah dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar; kedua: pertama kali shalat tarawih berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa Rasul maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada; ketiga: atas dasar itulah maka Umar sendiri mengakui bahwa ini adalah ‘hasil pendapat pribadinya’ sehingga ia mengatakan: “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (Nimatul bid’ah hadzihi). Sekarang yang menjadi pertanyaan: Bolehkah seorang manusia biasa mengada-ngada dengan dasar ‘pendapat pribadinya’ untuk membikin hukum peribadatan dalam Islam? Apa hukum mengada-ngada tersebut? Bagaimana memvonis pengada-ngada dan pelaksana hukum bikinan (baca: bid’ah) tersebut?
Kini kita lihat pengakuan beberapa ulama Ahlus-sunnah tentang hakekat hukum shalat tarawih berjamaah itu sendiri. Di sini kita akan mengambil beberapa contoh dari pribadi-pribadi tersebut. Al-Qosthalani dalam mensyarahi ungkapan Umar (“Ini adalah sebaik-baik bid’ah”) dalam kitab Shahih Bukhari tadi mengatakan: “Ia mengakui bahwa itu adalah bid’ah karena Rasul tidak pernah memerintahkanya sehingga shalat sunah di malam Ramadhan harus dilakukan secara berjamaah. Pada zaman Abu Bakar pun tidak pernah ada hal semacam itu. Begitu pula tidak pernah ada pada malam pertama Ramadhan (di malam hari keluarnya perintah Umar tadi. red). Juga dalam kaitannya dengan jumlah rakaat (shalat tarawih) yang tidak memiliki asal” (Irsyad as-Sari jilid 5 halaman 4). Ungkapan dan penjelasan semacam ini juga dapat kita temukan dalam kitab Fathul Bari, Umdah al-Qori dan beberapa kitab lain yang dikarya untuk mensyarahi Shahih Bukhari. As-Suyuthi dalam kitab “Tarikh al-Khulafa’” menjelaskan bahwa, pertama kali yang memerintahkan untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah adalah Umar bin Khatab. Ini pula yang diungkapkan oleh Abu Walid Muhammad bin Syuhnah dalam mengisahkan kejadian tahun 23 H. Sebagaimana juga diakui oleh Muhammad bin Saad sebagaimana yang tercantum dalam jilid ketiga kitab “at-Tabaqoot” sewaktu menyebut nama Umar bin Khatab. Juga yang dinyatakan oleh Ibnu Abdul Bar dalam kitab “al-Isti’ab” sewaktu mensyarahi pribadi Umar bin Khatab. Jadi jelas sekali dan tidak dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara berjamaah adalah ibadah yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan oleh baginda Rasulullah sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi oleh setiap pribadi muslim yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia Rasulullah.
Sementara, dalam hadits-hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah dengan keras melarang umatnya untuk melakukan shalat sunnah secara berjamaah. Sebagai contoh, dalam sebuah hadits sahih disebutkan bahwa Rasul pernah bersabda: “Hendaknya atas kalian untuk melakukan shalat di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat adalah yang dilakukan di rumah, kecuali shalat fardhu (wajib).” (Shahih Muslim dengan Syarh Imam Nawawi jilid 6 halaman 39, atau pada kitab Fathul Bari jilid 4 halaman 252).
Dengan menggabungkan empat argumen di atas tadi –(1) perintah mengikuti Rasul sehingga mendapat ridho Allah, (2) larangan melakukan bid’ah, (3) shalat tarawih tidak dicontohkan Rasul yang meniscayakan bid’ah dalam peribadatan dan (4) perintah Rasul untuk melakukan shalat sunah di rumah, secara sendiri-sendiri- maka banyak dari ulama Ahlus-sunnah sendiri yang mereka melakukan shalat tarawih di rumah masing-masing, tidak berjamaah di masjid ataupun mushalla. Malah dalam kitab “al-Mushannaf” disebutkan, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, bahwa “Ibnu Umar tidak pernah melakukan shalat tarawih berjamaah.” Dan dalam kitab yang sama, Mujahid mengatakan: “Pernah seseorang datang kepada Ibnu Umar dan bertanya: ‘Pada bulan Ramadhan, apakah shalat tarawih kita lakukan dengan berjamaah?’ Ibnu Umar berkata: ‘Apakah kamu bisa membaca al-Quran?’ Ia (penanya tadi) menjawab: ‘Ya!’ Lantas Ibnu Umar berkata: ‘Lakukan shalat tarawih di rumah!'” (Al-Mushannaf jilid 5 halaman 264 hadits ke-7742 dan ke-7743).
Namun, sebagian dari ikhwan Ahlsunnah mengelak bahwa itu (tarawih berjamaah) adalah bid’ah berargumen dengan beberapa dalil. Di sini kita akan sebutkan sandaran mereka dengan kritisi ringkas atas dalil yang mereka kemukakan.
Ada dua hadits yang sering dijadikan argumen sebagai landasan hukum legalitas shalat tarawih berjamaah di bulan Ramadhan:
1. Ummul Mukmin Aisyah berkata: “Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari rumah untuk melaksanakan shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat beliau (sebagai makmum. red). Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang tersebar. Hal itu berjalan hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada malam keempat, setelah melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan masyarakat dengan sabdanya: ‘…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi (dianggap) kewajiban sedang kalian tidak dapat melaksanakannya.’ Sewaktu Rasulullah meninggal, suasana menjadi sedia kala.” (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343).
Menjadikan hadits di atas sebagai dalil akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah lemah dan tidak sempurna. Karena di dalam teks hadits tersebut jelas sekali, bahwa tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu menunjukkan shalat tarawih. Selain karena hadits itu secara sanadnya terdapat pribadi yang bernama Yahya bin Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadits. Hal itu bisa dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20 halaman 40 dan atau Siar A’lam an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. Apalagi jika kita kaitkan dengan pengakuan sahabat Umar sendiri yang mengatakan bahwa tarawih adalah: “Sebaik-baik bid’ah,” sebagaimana yang telah kita singgung di atas.
2. Ibn Wahab menukil dari Abu Hurairah yang meriwayatkan, bahwa suatu saat Rasul memasuki masjid. Beliau melihat para sahabat di beberapa tempat sedang sibuk melaksanakan shalat. Beliau bertanya: “Shalat apa yang mereka lakukan?” Dijawab: “Sekelompok sedang melakukan shalat dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab.” Rasul lantas bersabda: “Apa yang mereka lakukan benar dan mereka telah melakukan kebaikan.” (Fathul Bari jilid 4 halaman 252).
Menjadikan hadits ini sebagai pembenar pelaksanaan shalat tarawih berjamaah pun tidak benar, karena dalam teks hadits jelas tidak dinyatakan shalat apakah yang sedang mereka laksanakan, shalat tarawihkah ataukah shalat fardhu (shalat wajib). Selain itu, Ibnu Hajar sendiri (penulis kitab “Fathul Bari” tadi) setelah menukil hadits tersebut menyatakan kelemahan hadits tersebut dari dua sisi, pertama: terdapat pribadi yang bernama Muslim bin Khalid yang lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadits; kedua: dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasul yang mengumpulkan orang-orang agar shalat di belakang Ubay bin Ka’ab, padahal yang terkenal (ma’ruf) adalah sahabat Umar-lah yang mengumpulkan orang-orang untuk shalat bersama Ubay bin Ka’ab.
Dari sini jelaslah, bahwa pelaksanaan ‘ibadah shalat tarawih berjamaah’ bukan hanya tidak pernah diperintahkan oleh Rasul, bahkan Rasul sendiri tidak pernah mencontohkannya. Dan terbukti pula bahwa sahabat umar-lah yang mempelopori ibadah tersebut. Padahal kita tahu bahwa ‘penentuan amal ibadah’ adalah hak mutlak Allah yang dijelaskan melalui lisan suci Rasulullah. Rasul sendiri tidak berhak menentukan suatu amal ibadah, apalagi manusia biasa, walaupun ia tergolong sahabat. Oleh karenanya, sahabat Umar sendiri mengakui bahwa itu adalah bagian dari Bid’ah. Sedang kita tahu bahwa semua bid’ah adalah sesat, sehingga tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah kepada baik dan tidak baik.
Semoga dalam bulan suci Ramadhan ini kita bisa mengamalkan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, termasuk menjauhi segala macam jenis bid’ah seperti melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Karena bagaimana mungkin kita akan dapat mendekatkan diri kepada Allah swt namun jalan dan sarana yang kita tempuh adalah melalui perbuatan yang dibenci oleh Allah, seperti bid’ah. Mustahil sesuatu yang menjauhkan dari Allah (seperti Bid’ah) akan dapat mendekatkan kepada-Nya (masuk kategori ibadah). Ini adalah dua hal kontradiktif yang mustahil terjadi. Semoga dengan menjauhi semua bid’ah kita dapat meninggalkan bulan Ramadhan dengan kembali ke fitrah yang suci, melalui Iedul Fitri. Amin.
(dedyzulvita/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar