Oleh: Dhiya’an Fathiya Alifah1
Kecantikan hijab dan penutup (hijab) kecantikan, ini lah yang telah diupayakan oleh Zahra Rahnavard (lahir. 1945) untuk menjelaskan hijab secara menyeluruh. Uniknya, professor politik ini berhasil menunjukkan makna hijab secara komprehensif pada segala lapisan dan dimensinya dengan padat dan lugas, membuat kita sebagai umat muslim menonggakkan kepala, percaya diri sebagai wanita muslimah berhijab, seraya bersuara dalam lubuk bahwa ya, benar, hijab itu indah sebab dia memiliki makna yang menunjukkan hakikat keberadaan eksistensial diri yang agung dan indah.
***
Dengan paparan retoris, pada 16 Dey (5 Januari ’86), Rahnavard menyampaikan pidatonya dengan judul ‘zeebai-e hejab va hejab-e zeebayi’ (Kecantikan Hijab dan Hijab Kecantikan).2 Istri mantan Perdana Mentri Iran ini membuka tesisnya dengan analogi unik tentang wanita berhijab. Hijab, ia menyimpan keindahan, dan diumpamakan bagai taman dengan panaroma yang mempesona, penuh warna, buah-buah tumbuh subur, menyegarkan, dan terasa damai melihatnya. Taman hijab ini dapat kita pandangi melalui salah satu dari banyak jendela yang ada.
Referensi:
1. Mahasiswi Maktab Nargis Al-Musthafa Internasional University, Mashad. ( dhiyanfathiya@gmail.com).
2. Paper ini diadaptasikan dari pemaparan Zahra Rahnavard dalam seminar bertemakan Studying Hejab. Berlangsung pada 5 Januari 1986 di Farhank Hall, Teheran.Transkripannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dr. Sayyid Ali Raza Naqvi pada bulan Juli 1987.
Tergantung jendela mana yang kita pilih, bisa jadi jendela berbingkaikan kayu Sidra asal surga, dari situ taman bisa kita lihat jelas keindahannya, tak terlupakan, warna-warnanya terpancar ke kedalaman jiwa yang murni. Atau, bisa juga kita malah memilih jendela yang rusak dan kacanya buram nan kabur, jadinya yang kita lihat malah taman yang tidak ada bagusnya sama sekali.
Begitulah hijab, misterinya begitu misterius. Lalu apa yang ingin disampaikan oleh Rahnavard sebetulnya? Zahra Rahnavard menggiring kita untuk melihat hijab dari jendela yang paling tepat, memperlihatkan taman ini dengan jujur dan misterinya dibuka dengan lebih jelas. Dia juga menganalisa hijab dari jendela yang buruk yang dia pandang harus dihindari dan tak digunakan, karena justru menjadikan makna hijab salah dipahami bahkan menyesatkan.
Ketika terjun ke dunia sosial, maka kita didorong untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kemudian menerima justifikasi-justifikasi dari masyarakat. Bagaimana pun, diri kita harus terjun ke masyarakat sosial karena dalam satu sisi manusia adalah makhluk sosial. Dengan demikian kita berada di tengah masyarakat dan menerima beragam perlakuan, mengenakan jenis pakaian tertentu, beserta segala hal lainnya yang musti kita pakai supaya dapat diterima oleh lingkungan. Termasuk di antaranya tempat tinggal, status, reputasi, kelas, baju, bentuk tubuh, paras, dsb. Semua ruang, waktu, momen, dan kejadian yang melibatkan hidup kita menjadi pakaian yang menutupi personalitas diri kita. Lantas, diri kita ini sebetulnya siapa? Jadi diri kita ini apa? Diri kita masing-masing ditodong untuk mempertanyakan identitas diri sebenarnya secara telanjang tanpa ada pakaian penutup apapun?
Eksistensialisme menjelaskan jawabannya. Apa yang menjadi persoalan inti diri masyarakat Barat yang juga merebak dan menjangkit keseluruh lapisan dunia saat ini adalah keterasingan diri sendiri, tak mengenal diri masing-masing; alienasi diri. Manusia-manusia saat ini tidak memahami dirinya sendiri, tidak sadarkan diri, kesadarannya mengalami inersia, tidak aktif bekerja. Mereka semua terasingkan oleh dirinya sendiri di tengah kumpulan masyarakat, kehidupan sosialnya. Diri manusia terhadap kehidupan sosialnya seperti tubuh yang membutuhkan pakaian-pakaian sebagai atribut sosialnya. Sebagaimana yang telah disinggung dan dipertanyakan, tubuh kita memang perlu dan tak bisa lepas dari pakaian sosialnya seperti status, reputasi, paras, dsb. Namun jangan terlena terlalu memikirkan pakaian yang mau dipakai, tapi kesehatan tubuh kita yang sedang tidak bagus kita hiraukan. Orang-orang yang teralienasi adalah orang yang tubuh ‘jiwa’nya sakit dan sedang borok tapi ditutupi aibnya dengan pakaian-pakaian yang bagus, kalau memang bagus. Ini sama saja bohong! Apalah artinya kekayaan dan kedudukan tinggi bila kesehatan diri kita kritis?!
Tidak seperti Barat, masyarakat Timur sudah terbiasa dengan pencarian pengenalan diri secara eksistensial dalam segala aktifitas spiritualnya dan intektualnya. Dalam kemajuan pemikiran filsafatnya, sejak lahirnya pemikiran Ibnu Arabi (1665-1240) hakikat eksistensi telah mulai ditemukan gagasan metafisikanya secara matang; wahdatul wujud. Dengan begini, dari dasar filosofisnya, masyarakat Islam tertuntun pada pengenalan Diri, meskipun secara metafisika dan kurang akrab secara awam. Namun Toshihiko Izutsu (1914-1993) percaya krisis identitas saat ini, yang sumbernya dari problematika humanisme Barat, adalah persoalan bersama antara Timur maupun Barat. Yaitu bagaimana caranya refleksi metafisika eksistensialisme Timur dapat dielabolarasikan dengan eksistensialisme Barat yang berangkat dari humanisme. Eksistensialisme Barat akan butuh belajar banyak pada
rekannya dari Timur untuk menyelesaikan budaya nihilisme. Di Barat, benturan yang terjadi dalam mekanisme kehidupannya memunculkan adanya keresahan dan kegelisahan. Sedangkan pada filsafat Timur, untuk konteks ini, tidak terlihat mampu untuk melestarikan nilai spiritualitasnya agar merasuki problematika yang alami terus terjadi pada kehidupan secara aktual.1 Dengan elabolarasi yang tepat, jadilah solusi terhadap alienasi diri terungkapkan. Sebagaimana yang diinginkan Rahnavard, semua ini adalah tentang bagaimana menjadi insan yang penuh kesadaran diri dalam posisi yang berada ditengah masyarakat sosial.
Pada kenyataannya, persoalan ini amat terkait dan melibatkan kondisi perempuan dan peran perempuan di tengah masyarakat. Memang, sejumlah pakaian perlu kita balutkan pada tubuh kita, namun ada juga yang tidak baik untuk kita kenakan. Hijab jenis yang kedua ini adalah pakaian yang justru menutupi diri kita secara hakiki, bahkan yang menjadi tersangka dimana membuat kita lupa diri, tak sadarkan diri, terasingkan, tidak mau merawat kesehatan jiwa. Hijab-hijab terkutuk ini adalah pakaian yang kudu ditanggalkan karena malah akan merusak keindahan identitas diri kita, kecantikan orisinil kita bisa terhapus. Sementara sejatinya keindahan diri kita adalah manifestasi dari keindahan Ilahi, turunan dari sifat Tuhan Yang Maha Indah. Dengan kata lain, kita boleh jadi memiliki keberhasilan dalam membina dan menjadi bagian dari masyarakat, tapi juga tetap jangan sampai jadi tidak memperhatikan kesuksesan kita dalam aspek eksistensial, jadi diri kita.
Referensi:
1. Toshihoko Izutsu, Creation and the Timeless Order of Things: Esssays in Islamic Mystical Philosophy. White Cloud Press: Oregon. 1993. Hal 186.
Balik lagi pada poin utama yang ingin disampaikan pada bagian ini, perempuan-perempauan Islam menyadari urgennya keberadaan
mereka, betapa mereka menentukan kemaslahatan manusia-manusia baik untuk lahir dan batin, mereka adalah standar keselamatan umat, terutama sekali demi pencapaian substansi ilahi dan surgawi diri setiap insan, menuju pengenalan jati dirinya secara orisinil. Peran perempuan amat menolong manusia secara keseluruhan untuk mencapai kesempurnaan dirinya dan kemurniannya. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang telah menyucikan jiwanya.”1
Pada Islam, perempuan bukanlah dipahami dengan kecantikan dan fungsi seksualnya seperti yang disuarakan Barat, melainkan substansinya secara ilahi. Ruhullah Khomeini pernah berkata: “Dari pangkuan perempuanlah laki-laki dapat mendaki hingga sampai ke kaki langit.” Tidak seperti Barat, wanita-wanita Timur meyakini dan memperhatikan dua aspek diri, yaitu sisi eskternal, lahir, dan juga internal, batin. Lebih jauh lagi, tak hanya dianugerahi akal dan jiwa sebagaimana laki-laki, namun mereka juga memiliki karakter jiwa yang unik. Keunikannya membuat mereka memiliki kelebihan tersendiri dan di antaranya memiliki keidentikan lebih erat dengan Eksistensi Diri Sejati. Perempuan Timur menyimpan nilai yang lebih radikal dan sejarah yang mengakar dibandingkan perempuan lainnya. Posisi spesial yang ditempatkan pada perempuan ini menjadikan laki-laki dipandang musti dibantu dengan peran perempuan yang layak demi pencapaian jati dirinya sendiri dan juga memperindah pakainnya demi kemaslahatan personal-eksistensial maupun sosial dalam kehidupan bermasyarakat. “Perempuan adalah manifestasi kehormatan yang agung dan sempurna bagi setiap insan.”, tulis Rahnavard. Ini artinya perempuan yang mengarahkan moral orang-orang sekitar, sebagaimana kehormatan masyarakat dilihat dari adab dan moralitasnya.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah supaya karakter perempuan menjadi layak disebut sebagai manifestasi kehormatan dan pangkauan laki-laki menuju langit itu? Rahnavard menegaskan, Islam menyodorkan, tanpa bermaksud idealis, sejumlah fakta yang memperlihatkan bahwa sistem hijab adalah wujud upaya pelestarian karakter perempuan yang terbaik, paling maju, (selalu) mutakhir, aji pamungkas. Justru, sistem hijab perempuan adalah manifestasi kehormatan manusia-manusia secara keseluruhan, dan khususnya sangat berkaitan dan identik dengan Islam, pelindung nilai-nilai utama, simbol, dan ejawantah karakter Islami. Hijab membuktikan keseimbangan lapisan lahir dan batin, menetralisasi penampakan spiritual dengan penampakan diri dalam bermasyarakat. Inilah perwujudan kemerdekaan diri, menuju insan kamil penuh kesadaran diri.
Referensi:
1. QS. Syams (91): 9
Kiranya, ada fenomena yang masih hangat dibincangkan saat ini dan layak direnungkan juga. Masih Alinejad, Seorang jurnalis Iran yang berkediaman di London membuat akun Facebook My Stealthy Freedom. Sejak 3 Mei ia merangkap perannya menjadi pejuang kebebasan berhijab secara online. Dengan alasan kebebasan yang-- dipandang--layak diperjuangkan bagi perempuan-perempuan Iran, ia mengajak publik bersama-sama mengkritik kebijakan berhijab yang wajib. Hijab, baginya dan pendukungnya yang sudah mencapai 500 ribu likers, adalah bukan hal yang musti, namun sebuah pilihan. Setiap perempuan berhak menuntukan pilihannya memakai hijab atau tidak. Dapat kita simpan pertanyaan reflektif dari sini, apa sebetulnya makna hijab perempuan itu? Apakah layak kita pilih sebagai bagian dari sistem kehidupan kita?
Sistem hijab merupakan solusi untuk menciptakan stabilitas moralitas masyarakat dunia. Penanaman kesadaran hijab adalah upaya pengendalian ego manusia-manusia supaya tidak terjerumus pada jurang krisis identitas; yang seharusnya mendapatkan diri kembali pada jati diri kemanusiaannya, malah jatuh ke level hewani yang penuh hasrat pemenuhan nafsu danmaterialisme. Fitrahnya manusia adalah menjadi manusia berakal dengan kesadaran moralitas yang luhur. Dengan demikian, hijab perempuan adalah hijab tercantik yang memperindah diri mereka dan para laki-laki, juga seluruh manusia secara umum. Kecantikan hijab adalah kemampuannya memelihara dan memperisai kecantikan jati diri manusia yang dihijabi sebagai pertanda kehormatannya yang tak ternilai dan layak dijaga. “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”1
Hijab menjaga eksistensialisme manusia luar dan dalam, mengajak kita melihat taman diri dari cakrawala jendela yang terbaik.
Referensi:
1. QS. al Ahzab (33): 59
Akan tetapi, sangat disayangkan, masih banyak orang yang melihat keindahan hijab dari jendela yang rusak. Dari jendela ekonomi-liberalis, mungkin kita akan merasa budaya hijab adalah upaya yang menurunkan komoditas. Pasalnya, Penggunaan perempuan untuk memperbesar keuntungan, produksi, dan menambah nilai jual serta bahan-bahan dan alat kecantikan akan laku begitu banyak. Selain itu, dari jendela materialis lainnya, mungkin juga di antara kita ada yang melihat sinis pemberlakuan hijab karena merusak kecantikan perempuan, menghilangkan keindahan perempuan. Rahnavard dengan lantang menuliskan, “Betapa anehnya mereka memaknai kecantikan!” Ya, sebetulnya jendela besar yang kita bicarakan ini adalah jendela materialisme yang memperlihatkan wujudnya dengan pemikiran liberalis dan sosialis.
Untuk menilai cara pandang mereka tentang kecantikan hijab adalah dengan menimbang pola pandangan mereka tentang kecantikan wanita. Sejak awal inspirasi mereka dari peradaban Yunani yang nilai-nilainya masih dipertahankan hingga saat ini. Betapa mereka berkiblat bahwa kecantikan berkaitan dengan Venus, dewa cinta dan kecantikan, dan juga Helen si manusia setengah dewa. Lihat saja, Venus dan Helen adalah pahlawan kerusakan, gairah yang berlebihan, dan juga kelicikan. Inilah bentuk pemikiran dari peradaban yang diikuti oleh Barat.
Pada akhirnya, dengan apologi ‘karena wanita itu sumber keindahan’ mereka melakukan amoralitas, mengeksploitasi kecantikan mereka. Lihatlah, betapa mereka acuh pada sosok ibu yang menjadi inspirasi lahirnya epik tentang pengorbanan. Universalitas moral dan nilai kebaikan mereka indahkan.
Kecantikan fisik sendiri adalah penilaian yang tidak pernah objektif, bergantung pada justifikasi publik. Sementara itu, pandangan publik dikendalikan oleh kalangan elit tertentu sehingga terarahkan untuk kembali pada mereka lagi demi keuntungan sendiri. Kalau begitu, bagaimana mereka bisa melihat keindahan hijab dan adanya keindahan eksistensial di baliknya, sementara kacamata mereka yang digunakan untuk menilai kecantikan berdasarkan standar fisik? Perempuan adalah alat bagi Barat; alat pemenuhan kebahagiaan, untuk mencapai kekuatan politik. Tak peduli diri mereka sendiri sebetulnya sakit. Dan bodohnya juga, para perempuan membiarkan nasibnya hancur secara batin dan lahir semata untuk dieksploitasi keberadaannya dirinya.
Inilah yang disebut krisis eksistensial. Barat melakukannya. Jendela materialisme memang selalu gagal mengungkapkan jati diri manusia, padahal mereka terus membuat inovasi baru, berambisi mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam satu sisi Barat tampak menonjol sebagai neraca kekinian dan yang-modern, tapi aslinya dari dalam mereka mengidap kanker, kekeringan nilai spiritual dan teralienasi oleh dirinya sendiri.
Hijab. Penguasa-penguasa dari kalangan liberalis bermaksud melepaskan perempuan dari pemakaian hijab yaitu supaya orang-orang ikut lupa pada diri dan eksitensi sejatinya. Islam dengan komitmen hijabnya adalah penghambat terbesar bagi rencana kolonialis mereka. kalau kesadaran berhijab bertahan maka mereka akan sadar tentang dirinya. Mereka tahu hal ini, tapi membangkang, mereka takut semua sadarkan diri karena pemberlakuan hijab. Begitupun kelompok sosialis urung dan hirau terhadap urgensi perempuan mengenakan hijab, padahal alangkah vitalnya perempuan demi kesejahteraan masyarakat sosial secara merata dalam segala lapisannya.
Dari semua ini, sejumlah garis besar dapat kita petik dan disusun menjadi sketsa pola-pola pandang hijab seperti jendela-jendela yang beragam, dan hijab adalah pusatnya yang menyimpan keindahan sejati diri manusia-manusia. Pertama, hal mendasar yang perlu diketahui adalah jati diri manusia adalah Diri yang sejati, bersifat immateri. Fitrahnya manusia cenderung untuk kembali pada Dirinya yang menyimpan keagungan sifat-sifat ilahi, menyerupakan Dirinya sedekat mungkin dengan nama-nama ilahi, dan di antaranya adalah Tuhan Yang Maha Indah. Kedua, diri manusia bagaimanapun tetap perlu dibaluti oleh pakaian yang baik dan cantik. Pakaian yang dikenakan untuk terjun pada ranah sosial itu tidak lah menutupi kesejatian diri yang terpancar pada dirinya, namun selalu dapat memberikan keselamatan bagi kesehatan diri dan justru memperisai keindahan diri sejati yang terhormat dan terjaga.
Dari sini, dapat diketahui bahwa peran vital perempuan adalah poin penting yang ketiga. Keseimbangan kehidupan manusia secara lahir dan batin ditentukan oleh peran serta perempuan di masyarakat. Setidaknya ada dua jendela kecil yang bisa digunakan, yaitu jendela moralitas dan jendela akal. Jendela moralitas memperlihatkan bahwa perempuan dapat mengendalikan moralitas masyarakat supaya terjaga dari mara bahaya virus-virus ego, sensualitas, dan semangat materialisme. Penyakit ini dapat menggerogoti jiwa manusia berubah menjadi makhluk bermentalkan hewan yang selalu haus pemuasan nafsu dan hasrat material, jatuh dari keluhuran level eksistensi manusiawinya. Adapun jendela akal adalah sisi yang menjadikan manusia bertahan dan terus melejit pada penyempurnaan dirinya, begerak menjadi manusia malaikat. Sejatinya, begitulah manusia, manusia yang kamil seutuhnya. Insan-insan ini, berkat perempuan, berhasil menaklukkan ego di bawah kendali akal sucinya.
Selanjutnya, yang ketiga adalah sistem hijab perempuan merupakan jalan terbaik yang ditawarkan Islam untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia-manusia bermasyarakat. Hijab perempuan adalah solusi kerusakan moralitas manusia secara keseluruhan, menghindarkan kejatuhan manusia pada level hewani. Ia juga menjadi perisai yang menjaga kehormatan dan keluhuran identitas perempuan yang unik secara khusus, juga identitas setiap manusia secara umum. Hijab menolong setiap orang, baik perempuan sendiri maupun laki-laki, untuk melijit pada level sejatinya, manusia yang berintelek.
Namun, penting juga untuk diketahui ada jendela besar lainnya yang harus dihindari, karena merusak penglihatan keindahan hijab dan kecantikan diri yang tersimpan di dalamnya. Yaitu jendela materialisme yang membentuk dua pola pandang liberalisme dan sosialisme. Jendela ini buram dan kotor, menodai keaslian diri yang direduksi dengan memberikan penilaian secara fisik dan materialis, tidak objektif dan relatif. Kita harus waspada pada misi-misi materilisme pihak-pihak dominan tertentu. Bagaimanapun, liberalisme adalah sistem yang memusatkan kehidupan masyarakat sosial pada satu arah yaitu petinggi-petinggi pemilik modal, sementara kalangan bawah dengan segala tipu dayanya dikendalikan dan dimanipulasi identitas dirinya. Bagi mereka, bagaimana caranya supupa pihaknya selalu menang dan mengalahkan. Jawabannya dengan menjadikan publik ada dalam kontrol pola pandanganya, terhipnotis agar mengikuti kendalinya, hingga lupa pada indentitas jadi dirinya, dan teralienasi.
Dengan demikian, kita sebagai umat Islam telah ditanamkan tentang nilai-nilai kesejatian dan kehakikian. Kita juga sudah dituntun untuk melestarikan amal perbuatan yang menjaga kesejatian diri kita, tidak mengalami keterasingan. Kita punya hukum syariat yang memperlihatkan keindahan dan keagungan diri yang tersimpan, khususnya pada diri perempuan yang begitu vital. Kita memiliki sistem hijab. Maka, dalam segala dilematika dan benturan yang terjadi dalam ranah sosial, jangan sampai kita terpengaruh untuk melepaskan nilai-nilai ini. Maka, jangan sampai terlena untuk memakai jendela materialisme.[]
(Majalahfatimah/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar