Imam Jawad as sekalipun usianya masih muda, namun pintar berpolitik. Ma'mun dengan politik dan kepicikannya menikahkan putrinya kepada beliau. Karena Ma'mun telah membunuh Imam Ridha as, maka ia tidak banyak ikut campur dalam urusan Imam Jawad as.
Abu Ishak (Ibrahim bin Harun ) yang terkenal dengan panggilan Mu`tasham saudara Ma'mun al-Rasyid adalah lelaki durjana, pemabuk dan bodoh.[32] Ia tidak mampu membaca politik Ma'mun. Oleh sebab inilah, sepanjang masa khilafahnya selama kurang lebih delapan tahun terjadilah beberapa kajadian pahit, di antaranya adalah pembunuhan Imam Jawad as.
Abdullah bin Zarrin Asy'ari mengatakan: Di Madinah, aku bertetangga dengan Abu Ja'far Jawad as dan aku melihat beliau setiap hari di waktu Dzuhur pergi ke masjid Rasulullah saw untuk berziarah ke pusara beliau. Kemudian beliau masuk ke rumah Fatimah as dan melakukan shalat didalamnya.
Imam Jawad as meninggal dunia di Bagdad dan dikebumikan di sisi kakeknya Imam Musa bin Ja'far as, Imam ketujuh di kota Kadzimain.[33]
1. Pernikahan dengan Ummu Fadl Putri Ma'mun
Setelah meracuni Imam Ridha as di kota Thus pada hari Jum'at tanggal 23 Ramadhan tahun 202 H atau akhir bulan Shafar 203,[34] Ma'mun al-Rasyid pergi ke Baghdad guna menyelesaikan persoalan yang terjadi di ibu kota Irak.[35]
Setelah itu, Ma'mun memanggil Imam Muhammad Taqi as yang baru berumur sembilan tahun ke Baghdad dengan penuh penghormatan dan sambutan. Ia berniat untuk menikahkan putrinya Zainab yang terkenal dengan panggilan Ummu Fadl kepada beliau.[36]
Mas'udi, Thabari, Ya'qubi dan mayoritas ahli sejarah menulis bahwa Ma'mun sebelumnya sudah menikahkan putrinya yang lain (Ummu Habibah ) kepada Imam Ridha as.[37]
Ma'mun dalam perkawinan ini menampakkan niat baiknya dan rasa cintanya kepada Imam Muhammad Taqi as, padahal bukti-bukti sejarah telah membuktikan bahwa pada kenyataannya ia tidak punya niat selain mengelabuhi dan meredahkan kemarahan keluarga Imam Ridha as dan Alawiyun (para pengikut beliau) dan menutup-nutupi pembunuhan Imam Ridha as.
Bagaimanapun juga, ketika Ma'mun berniat menikahkan putrinya dengan Imam Muhammad Taqi as, ia mendapat protes dan tantangan dari sahabat dan pencinta ahlul bait. Bahkan Bani Abbas juga berunjuk rasa di depan Ma'mun. Tapi dengan alasan: Pertama, Imam Taqi as masih kecil. Kedua, karena dengan perkawinan ini khilafah dan kekuasaan akan keluar dari kelurga Bani Abbas. Di samping itu, kelurga dekat Ma'mun sendiri berkumpul di rumahnya dan menyebut-nyebut permusuhan lama dan mengakar antara Bani Hasyim dan Bani Abbas. Mereka menyuruh Ma'mun untuk membatalkan perkawinan ini.[38]
Ma'mun menolak keberatan pertama Bani Abbas dengan mengatakan: "Sesungguhnya Allah SWT telah mengkhususkan ilmu dan keutamaan kepada keluarga ini (ahlu bait). Mereka lebih utama dari orang lain dan sedikitnya usia tidak menghalangi kesempurnaan dan kemuliaan mereka. Tidakkah kalian tahu bahwa ketika Rasulullah saw mengajak Amirul Mu'minin Ali as kepada Islam ia masih berusia 10 tahun? Lalu ia menerima Islam, padahal beliau tidak mengajak seseorangpun masuk Islam dalam usia seperti itu. Begitu juga Hasan dan Husain as berbaiat kepada Rasulullah saw tatkala mereka berusia 6 tahun dan beliau tidak mengambil baiat dari anak kecil selain mereka? Jadi, mereka ini adalah keluarga luar biasa dan tidak seorangpun bisa disamakan dengan mereka."[39]
Acara Pernikahan
Setelah perdebatan selesai antara Imam Muhammad Taqi as yang masi kecil dan Yahya bin Aktsam, Hakim Baghdad yang paling pintar dan dimenangkan oleh Imam, Ma'mun berkata kepada para hadirin: Karena inilah aku memilih Abu Ja'far as. Sekalipun dia masih kecil akan tetapi keilmuan, keutamaan dan kesempurnaannya melebihi semua orang dan kalian tidak mengenalnya dengan baik.
Aku lebih tahu tentang pemuda ini daripada kalian. Anggota keluarga ini mendapatlkan ilmu dan pengetahunnya dari ilham Allah. Ayah-ayahnya dalam ilmu agama, sastra dan kesempurnaan insani tidak pernah bisa ditandingi oleh siapapun.[40]
Ma'mun berkata kepada Imam Muhammad Taqi as: Aku datang untuk menikahkan putriku kepadamu dan bacalah akad nikahnya. Imam Mohammad Taqi as menyampaikan khotbah nikahnya sebagai berikut:
"Puji syukur kepada Allah SWT atas nikmat-nikmat-Nya. Tiada Tuhan selain Allah, shalawat serta salam kepada Muhammad saw dan keluarganya. Amma ba'du, sesunguhnya pernikahan adalah anugerah Allah kepada manusia. Dan orang yang paling utama adalah orang adalah yang tahu tentang hukum halal dan haram. Allah SWT berfirman:
وانکحو الا?ام? منکم والصالح?ن من عبادکم وامائکم ان ?کونو فقرا ?غنهم الله من فضله والله واسع عل?م.
Dan sesunguhnya Muhammad bin Ali bin Musa melamar Ummu Fadl, putri Abdullah al-Mu`tasham dengan maskawin neneknya Fatimah as, putri Muhammad saw yaitu 500 Dirham. Apakah Anda mau menikahkan aku denganya, wahai Amirul Mu'mimin dengan maskawin tersebut?
Ma'mun setuju dan menerima maskawin yang telah ditentukan. Lalu ia berkata kepada Imam as: Apakah kamu menerima perknikahan ini? Imam as menjawab: Aku terima dan aku rela."[40]
Muhammad bin Rayyan meriwayatkan bahwa setelah akad nikah dibaca Ma'mun menyuruh masyarakat umum, orang-orang khusus dari para ulama, hakim, para pembesar dan pejabat pemerintah untuk menghadiri acara dan mengucapkan selamat kepada Imam as. Kemudian mereka menikmati berbagai bermacam hidangan yang sudah siap di atas meja makan. Dan Ma'mun memberikan hadiah kepada setiap orang yang hadir di situ.[41]
Setelah itu, seratus budak sambil membawa bejana emas mengarak mempelai wanita menuju rumah yang sudah disiapkan untuk Imam as.
Imam as dengan penuh ketenangan, wibawa dan tidak perhatian terhadap gemerlapnya dunia, menasihati lelaki tua berjenggot panjang yang mereka panggil untuk membacakan syair-syair (yang kadang-kadang merendahkan kedudukan Imam) supaya berhenti dari pekerjaan ini.[42]
Kemudia Imam as mulai hidup bersama dengan putri khalifah tersebut.
Setelah satu tahun Imam as tinggal di Baghdad, beliau (yang saat itu berusia 15 tahun, menurut Thabari[43]) bersama Ummu Fadl meninggalkan Baghdad pergi ke Madinah. Ma'mun di samping memberi hadiah kepada orang-orang, juga menghormati Imam as, dan mereka mengatar ke Madinah.[44] Akhirnya Imam agak sedikit bebas dan menjalani kehidupan biasanya serta melanjutkan misi yang ada di pundaknya.
Ya'qubi menulis: Ma'mun sering mengatakan, Aku melakukan pernikahan ini karena aku ingin Abu Ja'far punya keturunan dari putriku dan aku menjadi kakek sorang bayi dari keluarga Nabi saw dan Ali bin Abi Thalib.[45]
Namun takdir Tuhan tidak mengizinkan Imam bertahu-tahun untuk memiliki keturunan dari putri Ma'mun dan beliau menikah dengan wanita suci dan agung dari selain Arab yang bernama Sammanah dari Maroko.
Jawaban atas satu pertanyaan:
Mengapa Imam Jawad as mau menjadi menantu Ma'mun, padahal menurut satu pendapat Ma'mun telah membunuh ayah beliau, Imam Ridha as?
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan ini, kita harus melihat kembali pergerakan yang dilakukan oleh para imam as dan sejauh mana pergerakan ini terjadi di zaman Imam Ridha as dan anaknya Imam Jawad as...[46]
2. Pernikahan dengan Sammanah Maghribiyah
Muhammad bin Faraj Rukhji-yang berasal dari Rukhj salah satu desa dikota
Kirman (Iran)[47] dan termasuk salah satu sahabat Imam Ridha as, Imam
jawad as dan Imam Hadi as, meriwayatkan: Abu Ja'far Imam Jawad as pada suatu hari memanggilku dan memberikan 70 Dirham kepadaku sambil mengatakan: Dalam waktu singkat rombongan pedagang akan memasuki kota Madinah dengan membawa budak-budak untuk diperdagangkan, salah satu dari budak itu memiliki ciri-ciri khusus yang beliau jelaskan kepadaku dan memerintahkanku untuk membelinya.
Sesuai dengan perintah beliau tatkala rombongan itu memasuki Madinah, aku mendatangi mereka guna membeli budak itu. Namun pemiliknya beralasan kalau budak itu sakit. Akan tetapi, sesuai pesan Imam aku beli budak itu dan aku bawa kepada beliau.[48]
Imam Jawad as menikah dengan budak Maroko (Afrika) itu. Menurut versi Kulaini[49], Tabari[50] dan Ibn Tsalaj Bagdadi (wafat tahun 325 H) Imam Hadi as, anak Imam Jawad lahir pada tanggal 5 Rajab tahun 214 H.[51] Dengan melihat pendapat ini, maka kita bisa memprediksikan bahwa Imam Jawad as pada tahun itu juga menikah dengan wanita besar ini.
Ummu Fadl mengatakan: Pada suatu hari tatkala aku sedang duduk di rumah, tiba-tiba masuk seorang wanita dan memberikan salam kepadaku. Aku bertanya, Siapa Anda?
Ia menjawab: Aku dari keluarga Ammar Yasir, istri Ja'far Muhammad bin Ridha as suamimu. Ketika aku mendengar kabar ini, diriku tidak terkontrol karena marah, dan rasa-rasanya aku ingin pergi ke padang pasir, syetan membujukku untuk kurang ajar kepada perempuan itu, namun aku kendalikan rasa marahku.[52]
Ketika Imam Jawad as dikaruniai anak laki-laki dari permpuan ini, Ummu Fadl sedemikian iri dan marah sehingga dari satu sisi memusuhi Imam dan dari sisi lain menulis surat keluhan kepada bapaknya di Baghdad dan meminta supaya melakukan sesuatu untuknya.
Akan tetapi Ma'mundi salah satu suratnyamenjawab: Bertahanlah! Karena beliau adalah darah daging Rasulullah saw.[53]
Disurat yang lain Ma'mun menjawab keluhan Ummu Fadl: Aku tidak menikahkan engkau dengan Aba Ja'far as untuk mengharamkan sesuatu yang halal (poligami), maka dari sekarang engkau tidak boleh menulis surat lagi tentang itu.[54]
Imam Jawad as syahid diusianya yang ke 25 tahun (tiga bulan dua belas hari) pada bulan Dzulqo'dah tahun 220 H di tangan Mu`tasham Abbasi, di Baghdad.
3. Hakimah Khatun as
Hakimah adalah wanita yang agung, cerdas dan perawi hadis. Ia sempat
bertemu dengan empat Imam ma'sum as dan berbakti kepada mereka, dan juga
pernah menimang serta menciumi Imam Mahdi as.Wanita muda dan cerdik ini, sekalipun ayahnya yang masih muda dan ma'sum dibunuh oleh isteri beliau sendiri-Ummu Fadl-atas perintah Mu'tasham Abbasi, namun dengan jiwa insaniahnya dan cerminan dari ahlul bait ia mau menemui wanita pengkhianat tersebut guna mengucapkan bela sungkawa dan tidak memutuskan hubungan dengannya.
Abu Nasr Hamadani mengatakan: Hakimah putri Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja'far as yang sekaligus bibi Imam Hasan Askari as meriwayatkan kepadaku: Setelah ayahku, Muhammad bin Ali as syahid, aku menemui istri beliau,Ummu Fadl putri Mu'tasham untuk mengucapkan bela sungkawa. Ia sangat sedih dan menangis tersedu-sedu dan hampir-hampir mati akibat tangisan dan rintihannya. Namun aku hibur sehingga agak sedikit tenang dan pahitnya kematian ayahku bertambah kurang baginya. Di saat itulah ia mulai membuka keagungan, keutamaan, kemuliaan akhlak ayahku, dan keikhlasan yang Allah berikan kepadanya.
Lalu ia melanjutkan: Aku sangat cemburu dan iri terhadap suamiku. Beliau aku jaga ketat dan bahkan unek-unek dan keluhan-keluhanku yang menyangkut beliau aku sampaikan dan laporkan kepada ayahku. Namun ayahku menjawab: Putriku, bersabarlah dan tahanlah, sebab suamimu adalah darah daging Nabi saw.[55]
Hakimah setelah memiliki suami, keturunan dan usia yang panjang dan penuh berkah, meninnggal dunia pada tahun 274 H di Samarro' dan dikebumikan di pemakaman saudaranya Imam Hadi as dan keponakannya Imam Hasan Askari as, Imam yang kesebelas.[56]
قال الامام الهاد? عل?ه السلام :" وارفض الشهوات وخالف الهو? واعلم انک لن تخلوا من ع?ن الله فانظر ک?ف تکون.
"Jauhilah syahwat dan perangilah hawa nafsu serta ketauhilah bahwasanya Allah selalu melihatmu, maka lihatlah apa akan yang engkau lakukan"
Referensi:
[32] Tatimmatu al-Muntaha, hal. 219.
[33] Biharul Anwar, juz 50, hal. 16.
[34] Biharu Anwar,juz 49, hal. 292, Dalaiul Imamah, hal. 351, al Kafi, juz 1, hal. 406, Tazkiratu Khowas, hal. 355.
[35] Al-Imam Ali bin Musa al-Ridha, Dukhayyal, hal. 97.
[36] Biharul Anwar, juz 50, hal. 73.
[37] Muruju al-Dzahab, juz 3, hal. 441, Tarikh Ya'qubi, juz 2, hal. 453, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, juz 5, pasal 10, hal. 251.
[38] Biharul Anwar, juz 50, hal. 74 dan 311.
[39] Tuhaful Uqul, hal. 334, al-Ihtijaj, juz 2, hal. 245, Biharul Anwar, juz 50, hal. 74-75.
[40] Biharul Anwar, juz 50, hal. 77, al-Irsyad, hal. 321 dan Tarjumah 273.
[41] Biharul Anwar, juz 50, hal. 72, Manaqibi Ibnu Syahr Osyub, juz 2, hal. 428.
[42] Manaqibi Ali Abi Thalib, juz 2, hal. 427, Usul Kafi, juz 1, hal. 495.
[43] Dalail al-Imamah, hal. 319.
[44] Al-Irsyad, hal. 321, Biharul Anwar, juz 50, hal. 77.
[45] Tarikh Ya'qubi, juz 2, hal. 454.
[46] Di masa khilafah Ma'mun, pergerakan ini berubah menjadi satu pergerakan dimana beliau bisa menyusup dalam pemerintahan dan mengambil manfaat darinya. Pada hakikatnya Imam as dalam hal ini sudah sampai pada dua tujuan; a. dari pernikahannya dengan putri Ma'mun, beliau dapat membatalkan niat Ma'mun untuk membunuhnya. (Ma'mun tidak menghiraukan keluhan putrinya tentang Imam as dan dia sendiri tidak mau meracuni beliau atau mengganggunya. Adapun kenapa Ma'mun menggunakan politik semacam ini, ini adalah kajian lain.). b. Dari perkawinan ini Imam as mampu menghalangi segala bentuk gangguan dan penyiksaan dari pihak pemerintahan dan bawahannya terhadap para pemimpin pergerakan Syiah.(Hidayatgaroni Rohi Nur, juz 2, hal. 259 dan 260).
Semua pernyataan dan jawaban ini bisa dilontarkan dan dikoreksi terlepas dari ilmu dan pengetahuan beliau terhadap maslahat dirinya dan Syiah. Begitu juga halnya dengan penerimaan ayahnya Imam Ridha as terhadap wilayatul ahdi. Mengetahui revolusi dan pergerakan Alawi dari anak-anak dan cucu-cucu para imam yang suci di zaman pemerintahan Bani Abbasi adalah memperkuat ucapan Ayatullah Mudarrisi dan para pemikir lain yang telah memperhatikan poin menarik ini. Lihatlah satu contoh dari pergerakan serius ini pada Mohammad bin Qosim bin Ali bin Umar bin Zainal Abidin as (Hidayatgaroni Rohi Nur, hal. 263), Imaman wa Junbasyhaye Maktabi, hal. 290- 313, Maqotil al-Thalibin, no 79, hal. 536, Hadiqotu al-Syiah, karya Moqoddas Ardabili dan Ihtijaj, karya Thabarsi.
[47] Imam Jawad as Minal Mahdi Ilal Lahdi.
[48] Dalâilul Imâmah, hal. 410.
[49] Usul Kafi, juz 1, hal. 479.
[50] Dalailul Imamah, hal. 409.
[51] Tarikhul Aimmah, hal. 8.
[52] Biharul Anwar, juz 50, hal. 96.
[53] Biharul Anwar, juz 50, hal. 96.
[54] Biharul Anwar, juz 50, hal. 80, al Irsyad, hal. 323.
[55] Biharul Anwar, juz 50, hal. 96.
[56] Imam Jawad as Minal Mahdi Ilal Lahdi, hal. 87, Muntahal Amal, juz 2, hal. 238, Zindiqoni-e Jawadul Aimmah, Ardistani.
(alhassanain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar