Oleh: Mohammad Adlany
Syihabuddin Abul Fatuh Yahya bin Habsy bin Amirak Suhrawardi adalah seorang pendiri aliran Hikmatul Isyraq (Filsafat Iluminasi). Ia dilahirkan di Suhrawad pada tahun 549 H dan populer dipanggil Syaikhul Isyraq.
Beberapa tahun kemudian, ia hijrah ke kota Maraghih untuk
belajar filsafat dan ushul fiqih pada seorang ulama bernama Majduddin
Jily. Setelah itu, ia ke kota Ishfahan mengkaji kitab al-bashair[1] dibawah asuhan Zahîruddin Farsi.
Suhrawardi banyak melakukan safar dan pada setiap kota yang
dilaluinya menyempatkan bertemu dengan tokoh-tokoh dan guru-guru yang
terkenal. Kota terakhir yang disinggahinya adalah Halb dan Dimasyq
(Suria), di kota ini ia mendapatkan kehormatan dari raja Zâhir Syah.
Tetapi, penghormatan raja yang berlebihan ini membuat iri para ulama
fiqih Sunni. Karena itulah, dengan perantaraan fitnah yang sengaja
dibuat, para ulama itu mendesak Shalahuddin Ayyubi untuk menghukum mati
Syaikh Iysraq. Pada akhirnya, di kota ini, pada tahun 587 H dalam usia
37 tahun Syihabuddin Abul Fatuh bin Habsyi menggapai maqam kesyahidan.
Sebagian memandang Suhrawardi sebagai ulama hakiki yang
memiliki banyak karamah, sebagian mengklaimnya sebagai kafir dan
musyrik. Dikatakan bahwa alasan utama kesyahidannya adalah karena
dialognya tentang “akhir kenabian”. Para peneliti kontemporer menegaskan
bahwa Suhrawardi meyakini konsep “wilayah”. Menurutnya, walaupun
kenabian secara resmi telah berakhir, namun “wilayah” yakni kepemimpinan
hakiki pasca Nabi Muhammad saw, sebagaimana keyakinan Mazhab Ahlulbait
(Syiah Imamiyah), akan tetap berlanjut hingga Imam kedua belas (Imam
Mahdi As).
Berikut ini akan kami paparkan beberapa pokok pikiran Syaikh Isyraq tentang masalah-masalah ketuhanan dan alam.
Cahaya dan Hakikatnya
Syaikh Isyraq dalam pembahasan ini beranggapan bahwa cahaya itu merupakan suatu hakikat yang gamblang, badihi,
dan aksioma (tidak memerlukan definisi). Dia menyatakan bahwa apabila
terdapat sesuatu di alam ini yang tidak membutuhkan penjelasan dan
definisi, maka sesuatu itu adalah cahaya. Karena tidak ada sesuatu yang
lebih terang dan lebih jelas dari cahaya. Maka dari itu, tidak ada
sesuatu yang setara dengan cahaya. Selain dari cahaya niscaya memerlukan
keterangan, penjelasan, dan definisi. Dan yang dimaksud dengan “sesuatu
yang tidak memerlukan definisi” di sini ialah sesuatu yang dalam zat
dan sifat-sifatnya tidak bergantung kepada sesuatu yang lain.[2]
1. Cahaya (Nur) dan Kegelapan
Pada pembahasan ini Syaikh Isyraq membagi secara terperinci
maujud-maujud alam ke dalam sembilan kategori, lalu ia menempatkannya
secara umum ke dalam dua kategori yaitu cahaya dan kegelapan. Dan dari
setiap dua kategori ini terbagi lagi ke dalam substansi dan aksiden,
misalnya cahaya terbagi ke dalam substansial dan aksidental. Begitu pula
kegelapan.
Dia menyatakan bahwa segala sesuatu secara substansial
adalah cahaya atau tidak bercahaya (gelap). Oleh karena itu,
maujud-maujud alam terbagi dua, yaitu maujud-maujud bercahaya dan
maujud-maujud gelap. Maujud-maujud bercahaya ini terbagi dua lagi, yaitu
maujud yang cahayanya bergantung kepada yang lain disebut cahaya tak
murni atau cahaya aksidental dan maujud yang cahayanya tak bergantung
kepada yang lain disebut cahaya murni atau cahaya substansial.
Begitu pula maujud-maujud gelap terbagi dua, yaitu maujud
yang eksistensinya tidak memerlukan wadah disebut dengan substansi gelap
(benda, barzakh) dan maujud yang eksistensinya bergantung kepada
maujud-maujud lain disebut dengan aksiden-aksiden gelap. Perlu
diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan barzakh adalah benda (jism)
itu sendiri yang didefinisikan sebagai substansi yang dapat diindera
secara lahiriah dan memiliki arah. Atau benda adalah ‘substansi gelap’
atau barzakh yang hakikatnya tidak lain ialah kegelapan itu sendiri.
Argumen tentang kesamaan benda dengan kegelapan adalah apabila cahaya
tidak terpancar atas benda itu maka ia akan senantiasa berada dalam
kegelapan.
Di sini mungkin akan lahir dua kritikan, pertama, apabila
benda itu kita samakan dengan kegelapan, maka sirnanya cahaya dari
sesuatu yang memungkinkan terpancarnya cahaya darinya adalah tidak
sesuai dengan asumsi itu, dan kedua adalah sebagian benda senantiasa
bercahaya, seperti matahari. Lantas bagaimana kita bisa menempatkan
benda-benda seperti ini ke dalam kategori kegelapan?
Untuk menjawab soal pertama, perlu ditekankan bahwa
kegelapan bukan merupakan sesuatu yang bersifat temporal, namun
kegelapan ialah ketidakmutlakan cahaya. Ketiadaan cahaya bukanlah jenis
ketiadaan yang bersyarat dengan kemungkinan keberadaannya. Oleh karena
itu, jika seluruh alam kita asumsikan sebagai benda (yang tak memiliki
kemungkinan untuk bercahaya), dan karena benda ini tidak memiliki cahaya
maka ia menjadi gelap dan tidak memiliki kemungkinan untuk memancarkan
cahaya. Konklusinya, segala sesuatu yang tidak memiliki cahaya ialah
gelap, dan karena barzakh (benda) kehilangan cahayanya maka dalam
kegelapannya tidak memerlukan sesuatu yang lain. Maka dari itu, semua
benda adalah sama dengan substansi-substansi gelap.
Untuk menjawab kritikan kedua perlu diperhatikan poin ini,
benda-benda yang terus bercahaya seperti matahari, berbeda dengan
benda-benda lain menurut kualitas kegelapan zatnya, satu-satunya
perbedaan matahari dengan benda-benda lain ialah bahwa cahaya pada
matahari bersifat tetap sedangkan cahaya pada benda-benda lain bersifat
tidak tetap (temporal). Ketetapan atau ketemporalan cahaya-cahaya ini
sama sekali tidak berhubungan dengan hakikat benda-benda tersebut.
Oleh karena itu cahaya pada setiap benda-benda tersebut
(yaitu benda yang terus bercahaya dan benda yang terkadang bercahaya)
tidak terpancar dari hakikat zatnya, akan tetapi cahaya tersebut
bersifat aksidental atau “menempel” pada zatnya. Kesimpulannya, hakikat
benda-benda tersebut adalah substansi gelap itu sendiri. Dengan
demikian, setiap benda secara hakiki ialah substansi gelap.[3]
2. Pengada Cahaya-Cahaya (al-Anwar)
Syaikh Isyraq menyusun alam eksistensi itu ke dalam empat
bagian, yaitu cahaya murni (cahaya substansial), cahaya tak murni,
substansi gelap (benda), dan aksiden-aksiden gelap. Ia juga berusaha
menunjukkan bahwa keberadaan tiga bagian dari empat bagian itu adalah
bergantung pada salah satu dari empat bagian.
Tiga bagian itu adalah cahaya tak murni, substansi gelap,
dan aksiden-aksiden gelap. Ketiga bagian ini mesti memerlukan cahaya
murni. Pertama-tama Syaikh Isyraq berupaya menetapkan tentang kebutuhan
hakiki cahaya tak murni, kemudian menunjukkan bahwa kebutuhan cahaya tak
murni bukan kepada aksiden-aksiden gelap dan bukan kepada substansi
gelap, melainkan kepada cahaya murni.
Oleh karena itu, pencipta dan pengada cahaya-cahaya tak
murni tidak lain adalah cahaya murni. Dalam hal ini, Syaikh Isyraq
menjelaskan bahwa cahaya tak murni yang terindera secara lahiriah
merupakan suatu hakikat yang bergantung dan butuh terhadap sesuatu yang
lain, keberadaan cahaya tak murni ini bergantung kepada substansi gelap
(benda, barzakh).
Namun cahaya tak murni bukan akibat dari substansi gelap,
karena: pertama, apabila cahaya tak murni sebagai akibat dari benda,
maka ia harus senantiasa bersama dengan benda di manapun ia berada,
sementara terdapat benda-benda yang tidak mempunyai cahaya tak murni
atau sebaliknya. Kedua, tidak satupun sebab yang akibatnya bias lebih
sempurna darinya, karena cahaya tak murni lebih sempurna dari pada
benda, maka dari itu cahaya tak murni tidak bisa merupakan akibat dari
benda.
Oleh karena itu, sebab pengada dan pencipta cahaya tak murni yang terdapat dalam benda ialah bukanlah benda itu sendiri.
Aksiden-aksiden gelap juga tidak dapat dipandang sebagai
sebab dan pencipta cahaya tak murni, karena: pertama, sebagian besar
dari aksiden-aksiden gelap seperti bentuk dan warna merupakan akibat
dari cahaya tak murni. Walaupun cahaya tak murni juga tergolong aksiden,
namun sebagian aksiden-aksiden itu diwujudkan oleh cahaya tak murni.
Kedua, aksiden-aksiden gelap ini ialah tersembunyi, tidak nampak, dan
tidak terindera oleh mata, lantas bagaimana dapat menjadi sebab bagi
keberadaan cahaya tak murni.
Oleh karena itu, harus ada sebab bagi cahaya tak murni yang
memberikan cahaya bagi benda-benda tersebut yang bukan dari substansi
gelap atau barzakh. Jadi sebab cahaya tak murni adalah bukan benda dan
juga bukan aksiden-aksiden gelap.
3. Benda Bergantung Mutlak kepada Cahaya Murni
Semua benda (barzakh) yang bersama dengan aksiden-aksiden
gelap seperti bentuk, warna, dan ukuran-ukuran tertentu. Walaupun
ukuran-ukuran tertentu ini secara hakiki tidak berada di luar zat
benda-benda. Dengan kata lain (menurut filsafat Iluminasi) ukuran itu
tidak lain adalah benda itu sendiri. Namun, yang pasti ukuran-ukuran ini
berbeda pada seluruh benda, dan setiap benda memiliki ukuran
masing-masing. Segala aksiden yang berefek pada perbedaan benda-benda
adalah bukan akibat dari benda-benda tersebut, karena jika demikian maka
segala benda memiliki aksiden-aksiden yang sama, yakni karena zat semua
benda adalah sama maka segala aksiden yang merupakan akibat dari semua
benda itu harus sama dan identik di semua tempat.
Kesimpulannya bahwa semua benda mesti memiliki bentuk dan warna yang sama, sementara secara faktual tidaklah demikian.
Dengan demikian, ukuran-ukuran itu adalah bukan akibat dari benda, melainkan akibat dari suatu sebab yang non bendawi.
Yang pasti, semua aksiden itu membutuhkan sebab. Kita telah
ketahui bahwa keberadaan semua aksiden memerlukan benda. Dan eksistensi
semua benda adalah bergantung pada aksiden-aksiden. Kebutuhan semua
benda pada aksiden dari sisi bahwa tanpa aksiden mustahil terwujudnya
keragaman dan kejamakan benda. Namun, kesaling-butuhan antara aksiden
dan benda ialah suatu kemestian yang non-esensial. Hal ini tidak berarti
bahwa satu sama lain merupakan sebab hakiki.
Dari sisi lain bisa dikatakan bahwa kalau benda merupakan
sebab hakiki aksiden dan aksiden sebab hakiki benda, maka akan terjadi
lingkaran setan (daur), yakni keberadaan benda bergantung pada aksiden
dan eksistensi aksiden bergantung pada benda. Ini berarti sebelum benda
itu ada maka ia harus mewujudkan aksiden terlebih dahulu yang akan
menghadirkannya dan begitu pula sebaliknya. Hal ini mustahil karena tak
satupun akibat bisa menjadi sebab bagi kehadiran dirinya sendiri.
Dan karena seluruh benda dan aksiden adalah zat-zat yang
secara esensial bergantung pada yang lain, dengan demikian semuanya
memerlukan suatu sebab hakiki yang bukan benda, bukan cahaya tak murni,
dan juga bukan aksiden kegelapan. Dengan demikian, Sebab hakiki itu
tidak adalah cahaya murni.[4]
4. Cahaya Murni Tak Diserap Oleh Indera Lahiriah
Syaikh Isyraq pada bagian ini menekankan bahwa cahaya murni
tidak dapat diketahui oleh indera-indera lahiriah. Dia menjelaskan
bahwa setiap cahaya yang dapat diindera secara lahiriah adalah cahaya
tak murni. Oleh karena itu, jika ada cahaya murni, maka ia pasti tidak
bisa terindera secara lahiriah, tidak bisa ditunjuk, tidak memiliki
arah, dan tidak memerlukan benda.[5]
5. Cahaya Murni, Cahaya Linafsihi
Syaikh Isyraq mengemukakan bahwa cahaya linafsihi ialah cahaya untuk dirinya sendiri dan tidak bergantung kepada selainnya, merupakan cahaya yang murni.
Ia menjelaskan bahwa cahaya tak murni ialah bukan cahaya
bagi dirinya sendiri, karena eksistensi dan keberadaannya tidak mandiri,
melainkan bergantung dan butuh kepada yang lain (benda). Dengan
demikian, cahaya seperti ini adalah cahaya bagi realitas yang lain dan
bukan untuk dirinya sendiri (cahaya lighairihi).
Oleh karena itu, cahaya murni adalah cahaya linafsihi atau cahaya bagi dirinya sendiri, dan setiap cahaya linafsihi merupakan cahaya yang murni.[6]
6. Cahaya Murni Mengetahui Zatnya Sendiri
Syaikh Isyraq beranggapan bahwa seluruh maujud yang
mengetahui zatnya sendiri adalah cahaya murni, sekalipun maujud tersebut
adalah binatang, kalau ia mengetahui dirinya sendiri maka niscaya
merupakan cahaya murni.
Lebih lanjut dia berkata bahwa setiap maujud yang sadar,
mengetahui, dan tak lupa dengan wujudnya sendiri adalah bukan substansi
gelap dan benda, karena zatnya bagi dirinya sendiri adalah cahaya.
Begitu pula ia juga bukan cahaya tak murni, karena ia tidak memahami
dirinya sendiri dan cahayanya tidak bagi dirinya sendiri. Begitu juga ia
bukan aksiden gelap. Dengan demikian, maujud itu tidak lain adalah
cahaya murni.
Syaikh Isyraq memaparkan masalah ini secara lebih luas dan
menyatakan bahwa pengetahuan maujud yang mandiri atas zatnya sendiri
adalah bersifat hudhuri dan bukan hushuli (lewat gambaran pikiran), karena:
- Pengetahuan atas zat sendiri yang berasal dari suatu gambaran pikiran, yang jika dibandingkan dengan subyeknya, ialah bukan subyek itu sendiri. Suatu gambaran pikiran atas zat sendiri senantiasa berada di luar zat subyek. Secara hakiki, karena yang dipahami adalah suatu gambaran atas zat sendiri, konsekuensinya bahwa pengetahuan ‘atas zatnya sendiri’ dan pengetahuan ‘terhadap gambaran atas zat sendiri’ adalah sama. Hal ini mustahil. Perkara ini berbeda ketika kita memahami sesuatu yang berada di luar (obyek yang diketahui) diri subyek dimana gambaran sesuatu itu berada dalam pikiran sedangkan zat sesuatu itu (sebagai obyek yang diketahui) senantiasa berada diluar diri subyek (sebagai yang mengetahui);
- Apabila pengetahuan atas zat sendiri diperoleh dari suatu gambaran pikiran dan ia tidak mengetahui bahwa gambaran itu adalah gambaran dari zatnya sendiri, maka pada dasarnya ia tidak mengetahui dirinya sendiri. Dan kalau ia memahami bahwa gambaran itu adalah dirinya, maka ini berarti ia mengetahui dirinya sebelum gambaran tentang dirinya;
- Dalam bentuk apapun tidak dapat dibayangkan bahwa diri sendiri dapat diketahui dengan perantaraan sesuatu (baca: gambaran) yang bersifat tambahan pada zat. Karena gambaran itu apabila dikaitkan dengan zatnya merupakan suatu sifat, dan kalau sifat ini diposisikan berhubungan dengan zat itu sendiri, maka secara hakiki zat itu sendiri dipahami sebelum sifat itu. Dengan demikian, pengetahuan terhadap diri sendiri tidak dicapai lewat sifat itu.
Pengetahuan atas diri sendiri tidak dicapai dengan gambaran
pikiran atau sifat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap diri sendiri
tidak memerlukan sesuatu yang lain di luar diri sendiri, karena diri
kita hadir “disamping” kita. Maka dari itu, zat dan diri sendiri
dipahami tanpa perantara, dan mustahil kita lupa pada diri kita kecuali
dengan diri kita sendiri.
Segala sesuatu yang bias dilupakan, seperti hati, otak,
jantung, limpa, organ-organ lain, benda-benda, dan aksiden kegelapan
ialah bukan hakikat diri yang diketahui dan dipahami secara hudhuri.
Jadi yang kita ketahui dari diri kita sendiri bukanlah organ-organ dan
benda-benda itu. Kalau demikian adanya, mustahil kita melupakannya,
karena tidak mungkin kita melupakan wujud dan diri kita sendiri.[7]
7. Kaidah Cahaya
Apabila ingin mengetahui tentang kaidah cahaya, maka
pahamilah bahwa hakikat cahaya adalah jelas dan terang dalam dirinya
sendiri, dan secara esensial menyebabkan terang dan jelasnya sesuatu
yang lain. Karena kejelasan dan keterangan bagi cahaya bersifat
esensial, maka cahaya itu lebih terang dan lebih jelas dari segala
sesuatu yang keterangan dan kejelasannya bersifat non-esensial.
Kehadiran cahaya-cahaya yang tak murni juga bukanlah
bersifat tambahan atas zatnya, yakni cahaya-cahaya ini secara esensial
tidak tersembunyi dan tidak nampak, bahkan keterangan dan kehadirannya
adalah bersifat esensial. Dan juga bukan berarti bahwa ‘kemestian’ dari
zat cahaya adalah kejelasan, keterangan, dan kehadiran, karena jika
demikian maka secara esensial cahaya adalah bukan cahaya itu sendiri
karena ia bergantung kepada yang lain dalam kehadirannya. Karena
‘kemestian suatu zat’ pada tingkatan eksistensi berada setelah ‘zat itu
sendiri’. Jadi yang benar, hakikat cahaya adalah kejelasan, keterangan,
dan kehadiran itu sendiri.
Adalah suatu anggapan yang salah jika kita pandang bahwa
cahaya matahari itu merupakan sesuatu yang dihadirkan. Cahaya ialah
kehadiran itu sendiri. Jika semua manusia tiada, maka terangnya suatu
cahaya tidak akan sirna dan punah.
Dengan penjelasan lain, kita jangan memandang bahwa zat,
hakikat, dan diri kita adalah ‘kemestian’ dari suatu kehadiran, yakni
pada tingkat zat itu sendiri tidak terdapat kehadiran. Namun, zat,
hakikat, dan diri kita adalah kehadiran dan cahaya itu sendiri. Karena
kata ‘eksistensi dan wujud’, ‘hakikat’ dan ‘kuiditas’, dan
‘ketidakhadiran’ adalah suatu predikat yang hanya terdapat dalam pikiran
dan bersifat majasi. Semua kata itu tidak bisa menjadi diri kita
sendiri. Oleh karena itu, hakikat kita tidak lain adalah kehadiran itu
sendiri.
Dengan demikian, setiap maujud yang memahami zatnya sendiri
merupakan cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah hadir bagi
dirinya sendiri.
8. Pembagian Cahaya dan Sifat-Sifatnya
Cahaya terbagi dua, pertama adalah cahaya yang terdapat
pada zatnya, bersumber dari zatnya sendiri, dan untuk dirinya sendiri.
Kedua ialah cahaya yang terdapat pada zatnya, tidak berasal dari dirinya
sendiri, dan tidak bagi dirinya sendiri. Sebagaimana cahaya tak murni
yang cahayanya bersumber dari yang lain, karenanya ia bukan cahaya bagi
dirinya sendiri, walaupun dalam zatnya sendiri ada cahaya.
Sementara substansi gelap merupakan benda yang tidak
memiliki kehadiran atau cahaya dalam zatnya sendiri, karena itu ia
tidak dapat mengetahui dirinya sendiri.
Kehidupan hakiki tidak lain adalah sesuatu yang mengetahui
dirinya sendiri. Secara hakiki, suatu maujud disebut hidup apabila
memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aktivitas. Tentang masalah
pengetahuan cahaya atas zatnya sendiri, kami telah membahasnya pada
perbincangan terdahulu. Aktivitas cahaya juga bukan hal yang diragukan,
karena cahaya secara esensial memberikan pancaran realitas. Oleh karena
itu, setiap cahaya murni adalah hidup dan setiap yang hidup merupakan
cahaya murni. Benda gelap atau setiap realitas kegelapan lainnya apabila
mampu mengetahui zatnya sendiri, maka dalam zatnya ada cahaya dan bukan
benda gelap lagi.
Kalau benda dan realitas gelap lain memiliki kehidupan dan
pengetahuan, maka semua benda niscaya hidup dan berilmu, sementara
tidaklah demikian. Jika kehidupan dan pengetahuan benda ialah akibat
dari aksiden-aksiden yang melekat padanya, maka akan muncul masalah
bahwa bagaimana mungkin aksiden itu bisa memberikan pengetahuan
sementara ia sendiri tak memiliki pengetahuan.
Tanpa diragukan bahwa aksiden tidak memiliki ilmu dan tidak
memberikan pengetahuan kepada benda, karena benda secara esensial
adalah gelap, karena itu bagaimana mungkin bisa mengetahui yang lain?
Pada hakikatnya, segala sesuatu yang memahami realitas-realitas lain
maka sebelumnya ia memahami dirinya sendiri, karena tanpa mengetahui
dirinya sendiri, mustahil ia dapat mengetahui maujud-maujud lain.
Karena benda dan aksiden-aksiden tidak mengetahui dirinya
sendiri maka keduanya tidak memiliki pengetahuan atas yang lain. Dengan
dasar ini, menyatunya benda dengan aksiden juga tidak akan menghasilkan
pengetahuan. Karena aksiden senantiasa bergantung kepada wujud yang
lain, maka kebersatuannya dengan benda tidak akan menghilangkan sifat
hakikinya itu (baca: bergantung kepada maujud lain). Sebaliknya,
bendalah yang tidak bergantung kepada aksiden.
Dengan demikian, jika benda atau aksiden diasumsikan
memiliki pengetahuan, maka yang sangat mungkin memiliki pengetahuan
ialah benda, karena lebih mandiri secara eksistensial dibandingkan
aksiden. Benda dan aksiden adalah dua realitas dan bukan satu realitas,
dan telah dipahami bahwa barzakh atau benda tidak mengetahui zatnya
sendiri.
Lebih lanjut Syaikh Isyraq ingin menekankan bahwa
sifat-sifat cahaya yakni memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri
hanya, dimiliki oleh cahaya murni. Dia mengungkapkan bahwa mungkin
sesuatu (A) bisa menjadi penyebab hadirnya pengetahuan pada sesuatu yang
lain (B), seperti cahaya tak murni merupakan perantara hadirnya cahaya
pada sesuatu yang lain. Namun sesuatu (A) yang menjadi penyebab hadirnya
pengetahuan pada sesuatu yang lain (B) bukan berarti bahwa sesuatu (A)
sebagai penyebab hadirnya pengetahuan bagi dirinya sendiri, karena
ketika sesuatu memberikan pengetahuan kepada sesuatu yang lain secara
hakiki, maka sesuatu yang lain harus merupakan maujud yang berilmu
secara mandiri supaya bisa mengetahui dan memahami sesuatu.
Berdasarkan pendahuluan di atas, mesti diketahui bahwa
tidak satupun faktor eksternal yang mampu mengubah sesuatu yang tidak
memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri menjadi sesuatu yang
mengetahui dirinya sendiri, karena sesuatu itu lebih “dekat” dari
dirinya sendiri. Dengan sifat ini, berarti ia tidak mengetahui dirinya
sendiri dan ketidaktahuannya atas dirinya sendiri merupakan suatu sifat
yang esensial. Dengan demikian, tidak satupun faktor yang dapat
menjadikan ia berilmu dan berpengetahuan terhadap dirinya sendiri.
Apakah mungkin sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan atas
dirinya sendiri kemudian karena faktor eksternal bisa memiliki
pengetahuan? Walhasil, sebelum sesuatu memiliki ilmu maka mestilah
memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, dan karena benda tidak
mengetahui zatnya sendiri maka mustahil bisa memiliki pengetahuan kepada
dirinya dan kepada yang lainnya dengan perantaraan faktor eksternal.
Dengan kata lain, jika diasumsikan terdapat faktor
eksternal yang menyebabkan sesuatu yang tidak mengetahui dirinya sendiri
menjadi mengetahui dirinya sendiri, maka faktor ini tak lain adalah
cahaya tak murni. Dalam hal ini, setiap benda yang disinari oleh cahaya
tak murni, niscaya menjadikan benda itu mengetahui dirinya sendiri dan
menjadi hidup, sementara tidaklah demikian. Setiap karakteristik yang
ada pada cahaya tak murni, tetap saja ia tidak bisa mengubah benda
menjadi maujud yang mengetahui dan memahami dirinya sendiri.[8]
9. Kemustahilan Benda Mencipta Benda Lain
Dalam masalah ini Syaikh Isyraq menetapkan secara
argumentatif bahwa benda bukan pencipta hakiki dan sebab esensial bagi
benda lain. Dia menyatakan bahwa jiwa dan akal manusia merupakan cahaya
murni, namun dengan sifat ini manusia tidak bisa mencipta dan mewujudkan
suatu benda dari alam “ketiadaan” ke alam “keberadaan”. Dengan
demikian, apabila cahaya murni yang hidup dan sangat aktif itu tidak
bisa menghadirkan suatu benda, maka benda yang tidak hidup itu mustahil
melakukan hal itu.[9]
Referensi:
[1] . Kitab yang membahas tentang logika dan mantik.
[2] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal 275.
[3] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal 277.
[4] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 279.
[5] . Ibid, hal. 282.
[6] . Ibid, hal. 282.
[7] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 288.
[8] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 291.
[9] . Ibid.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar