Oleh: Mohammad Adlany
Menurut Syaikh Isyraq kaidah tersebut tidak terlalu memerlukan argumentasi dan hanya sedikit memerlukan perhatian yang saksama dari fitrah manusia, dari konteks ini bisa dikatakan bahwa kaidah tersebut bersifat aksiomatis (badihi, gamblang), ia berkata: “Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak terpancar dari Yang Satu kecuali satu (kaidah al-wâhid), kalau telah terwujud mumkin akhas dari Wâjib al-Wujûd maka mumkin asyrâf pasti terwujud sebelumnya. Jika diasumsikan bahwa telah terwujud mumkin asyrâf dari Wâjib al-Wujûd tetapi tidak terwujud dengan alasan bahwa Dia zat yang tunggal dan hanya mewujudkan satu wujud saja yakni mumkin akhas maka ini berarti bahwa kita meniscayakan keberadaan sisi asyrâf pada wujud Tuhan yang nantinya menjadi sebab perwujudan mumkin asyrâf, konsekuensi dari pernyataan ini adalah tak terdapat sisi asyrâf pada wujud Tuhan yang berimplikasi pada kemustahilan perwujudan mumkin asyrâf dari zat Wâjib al-Wujûd dan juga mustahil kita mengasumsikan tentang keberadaan kesempurnaan pada wujud-Nya apalagi terpancar dari wujud-Nya.[1]
Berkaitan dengan burhan kaidah imkân asyrâf Mulla Hadi sabzewari berkata: “Apabila mumkin akhas terwujud maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya, apabila tidak demikian maka hanya terdapat tiga alternatif:
- Mumkin asyrâf mustahil terwujud dari Sumber Keberadaan dengan perantara atau tanpa perantara;
- Mumkin asyrâf hadir dengan perantaraan mumkin akhas (yakni terwujud setelah mumkin akhas);
- Mumkin asyrâf bersamaan dengan mumkin akhas (pada derajat yang sama) terpancar dari zat Tuhan.
Ketiga alternatif tersebut di atas mustahil terjadi dan
yang benar hanyalah apa yang telah ditetapkan di atas. Alasannya adalah
kalau mumkin asyrâf tidak terwujud sebelum perwujudan mumkin akhas atau mumkin asyrâf tak terpancar dari zat Tuhan, dengan memandang bahwa asumsi tentang perwujudan mumkin asyrâf adalah sangat mungkin dan tidak mustahil, maka dikatakan bahwa mesti terdapat satu dimensi yang lebih sempurna (asyrâf) dari sesuatu yang terdapat pada wujud Tuhan dimana menjadi penyebab penciptaan mumkin asyrâf,
ini berarti bahwa tidak terdapat sisi yang lebih sempurna pada wujud
Tuhan dan karena Dia adalah sumber kesempurnaan dan derajat wujud-Nya
pada tingkatan yang tertinggi dimana memiliki intensitas wujud yang
terkuat maka dari itu adalah sangat mustahil apabila terdapat kekurangan
(kurang sempurna) dan keterbatasan pada wujud-Nya. Apabila diasumsikan
bahwa mumkin asyrâf tercipta dengan perantara mumkin akhas, maka dari itu, akibat ini (mumkin asyrâf) menjadi lebih sempurna (asyrâf) dari sebab (mumkin akhas),
dan hal seperti ini juga mustahil terjadi, karena sebab sebagai pemberi
wujud kepada akibat maka mustahil lebih rendah kesempurnaannya daripada
akibatnya sendiri, dan hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi,
“Sesuatu yang tidak memiliki mustahil dapat memberi”. Dan kalau
dikatakan bahwa mumkin asyrâf dan mumkin akhas
kedua-duanya secara bersamaan terpancar dari wujud Tuhan, maka ini
berarti bahwa Tuhan Yang Tunggal, terpancar dari wujud-Nya dua maujud
sekaligus, yakni dari sisi kesatuan qua kesatuan terpancar dua realitas
akibat atau terwujudnya kejamakan qua kejamakan dari kesatuan qua
kesatuan, karena hal ini, bertentangan dengan konsep al-wâhid, maka dari itu asumsi tersebut mustahil terjadi.[2]
Syaikh Isyraq dalam kitabnya Hikmah al-Isyraq juga menjabarkan argumentasi tentang kaidah imkan asyrâf, ia berkata, “Kalau mumkin akhas telah mengada sementara mumkin asyrâf belum terwujud sebelumnya, maka persoalan ini secara logis akan menyebabkan hadirnya empat konsekuensi, yaitu:
- Bertolak belakang dengan asumsi yang ada;
- Perwujudan kejamakan dari wujud yang tunggal (satu) secara bersamaan adalah tidak mustahil;
- Dibolehkannya perwujudan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) dari yang lebih rendah (akhas);
- Kemestian keberadaan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) pada tataran Wâjib al-Wujûd.
Kalau ditetapkan bahwa perwujudan mumkin asyrâf dengan perantaraan, maka perantaranya pastilah mumkin akhas (jika kita menolak kaidah imkân asyrâf), tapi dalam kondisi tersebut akan melahirkan kenyataan bahwa akibat lebih sempurna (asyrâf) daripada sebab. Apabila kita mau menghindar dari realitas tersebut dan kita katakan bahwa mumkin akhas (A) merupakan akibat dari sebab (B) yang lebih sempurna (asyrâf) dari dirinya (A) dimana terdapat jarak antara (A) dan Wâjib al-Wujûd.
Keadaan seperti ini juga bertolak belakang dengan perkataan tersebut
karena fokus pembahasan kita berkaitan dengan akibat pertama atau mumkin pertama yang terwujud dari Wâjib al-Wujûd, apakah akibat pertama tersebut adalah mumkin asyrâf atau mumkin akhas. Oleh karena itu, asumsi tentang keberadaan perantara dan wasilah di antara wujud (A) dan Wâjib al-Wujûd adalah menyalahi asumsi itu sendiri.
Disamping itu, jika eksistensi yang lebih rendah (akhas) terpancar dan teremanasi tanpa perantara dari Wâjib al-Wujûd dan pada saat yang sama terdapat kemungkinan perwujudan sesuatu eksistensi yang lebih sempurna (asyrâf) dari Wâjib al-Wujûd,
maka konsekuensi kedua tersebut di atas akan menjadi nyata, yakni
kejamakan (eksistensi yang beragam) dapat terpancar dari kesatuan
(eksistensi tunggal) secara bersamaan. Kalau dibolehkan, eksistensi yang
lebih sempurna tercipta dari eksistensi yang lebih rendah, maka akan
menyebabkan hadirnya konsekuensi yang ketiga, yakni tidak mustahil
eksistensi yang asyrâf terpancar dari eksistensi yang akhas. Dan apabila diasumsikan bahwa mustahil terjadi perwujudan mumkin asyrâf dari Wâjib al-Wujûd dan mumkin akhas,
maka konsekuensi keempat tersebut akan menjadi kenyataan.
Kesimpulannya, adalah mustahil semua konsekuensi di atas, apabila
didasarkan dan berpijak pada kaidah-kaidah filsafat.
Mir Damad merumuskan dua argumen dan burhan untuk pembuktian kaidah imkân asyrâf.
Menurutnya, kedua argumen ini sangat akurat dan sederhana. Burhan
Pertama, argumen ini memiliki pendahuluan yang telah dijabarkan
sebelumnya. Berdasarkan pendahuluan tersebut, ketika di antara dua
eksistensi tidak terdapat keselarasan esensial dan kekhususan hubungan,
maka mustahil terwujud hubungan sebab-akibat (kausalitas). Oleh karena
itu, apabila Tuhan memancarkan dan mewujudkan akibat pertama (baca:
emanasi pertama) di alam penciptaan, namun emanasi pertama itu bukanlah
eksistensi yang paling sempurna (asyrâf) di antara
ciptaan-ciptaan-Nya, maka konsekuensinya adalah tidak terdapat
keselarasan esensial dan hubungan kausalitas di antara keduanya (Sebab
Pertama dan emanasi pertama), dan hal ini adalah mustahil. Emanasi
pertama adalah eksistensi pertama yang diwujudkan oleh Tuhan, karenanya
ia lebih dekat kepada eksistensi Tuhan dan tingkatan eksistensinya
setelah eksistensi Tuhan, dan karena terdapat kesesuaian esensial dan
hubungan kausalitas di antara keduanya, oleh karena itu, ia niscaya
lebih sempurna, lebih tinggi dan lebih mulia di antara
makhluk-makhluk-Nya. Dengan demikian, eksistensi pertama yang diwujudkan
Tuhan adalah mumkin asyrâf dan setelahnya diwujudkanlah mumkin akhas secara bergradasi.[3]
Burhan kedua, apabila suatu eksistensi emanasi (wujud akibat) disandarkan kepada Wâjib al-Wujûd (bi adz-dzat,
niscaya-wujud dengan sendirinya) dengan perantara atau tanpa perantara,
maka dalam hal ini, wujud emanasi ini secara esensial adalah wâjib al-wujûd (bil ghair, niscaya-wujud dengan selain-Nya). Tapi, kalau “wujud emanasi” itu tidak kita sandarkan kepada Wâjib al-Wujûd, maka ia pasti mustahil (mumtani’ bil ghair) terwujud. Oleh karena itu, jika wujud emanasi di sandarkan kepada Wâjib al-Wujûd, tetapi ia tidak terwujud dan tidak asyrâf, maka “Wâjib al-Wujûd” itu bukanlah Wâjib al-Wujûd yang sesungguhnya (yang hakiki) atau eksistensi emanasi itu bukan eksistensi yang niscaya-ada dengan selain-Nya (wâjib bil ghair), konsekuensi ini bertolak belakang dengan asumsi bahwa Dia adalah Wâjib al-Wujûd hakiki dan wujud emanasi adalah juga wâjib al-wujûd bil ghair hakiki. Dipandang dari perspektif ini, eksistensi emanasi niscaya terwujud, maka dari itu, ia pun mesti mumkin asyrâf,
karena keniscayaan eksistensial yang terdapat pada emanasi, juga
mengharuskan kehadiran keniscayaan kesempurnaan pada eksistensinya.[4]
Dan kesempurnaan eksistensi-eksistensi emanasi berdasarkan tingkatan
dan level mereka, apabila suatu eksistensi semakin dekat dengan
eksistensi Tuhan maka semakin sempurna pula eksistensinya, dan begitu
pula sebaliknya.
Argumen Sadrul Muta’allihin tentang kaidah imkân asyrâf dapat disimpulkan sebagai berikut: mumkin akhas ketika telah terwujud dari Sebab Pertama maka mesti mumkin asyrâf terwujud sebelum mumkin akhas. Karena kalau dibolehkan mumkin asyrâf diwujudkan bersamaan dengan mumkin akhas, maka berarti bahwa dari Wujud yang tunggal qua tunggal terpancar dua eksistensi sekaligus, hal ini adalah mustahil. Apabila mumkin asyrâf terwujud setelah mumkin akhas dan sekaligus sebagai perantara dari perwujudannya, maka konsekuensinya adalah akibat mesti lebih sempurna (asyrâf) dari sebabnya, dan ini juga adalah mustahil.[5]
Allamah Thabathabai dalam kitab Nihâyah al-Hikmah juga memaparkan argumen imkân asyrâf,
ia berkata, “Ketinggian dan kerendahan merupakan dua sifat eksistensi
yang bersumber dari intensitas derajat-derajat kesempurnaan eksistensi.
Dan derajat-derajat kesempurnaan eksistensial secara hakiki tidak lain
berasal dari bentuk hubungan kausalitas. Dan hubungan sebab-akibat
mengharuskan keberadaan suatu wujud mandiri hakiki (wujûd al-mustaqil fi nafsihi, Wâjib al-Wujûd) dan wujud bergantung hakiki (wujûd ar-râbith bi ghairihi, mumkin al-wujûd),
dengan demikian setiap tingkatan wujud yang tercipta dari tingkatan
wujud yang lebih tinggi darinya, maka ia mesti lebih rendah
kesempurnaannya (wujud akhas) dan bersifat bergantung, tapi
bila ia dibandingkan dengan tingkatan wujud yang di bawahnya, maka ia
lebih tinggi kesempurnaannya (wujud asyrâf) dan bersifat mandiri. Jadi, apabila di asumsikan terdapat dua wujud dimana derajat yang satu asyrâf dan lainnya akhas, maka wujud yang asyrâf niscaya terwujud lebih dahulu dari wujud yang akhas. Kelebih dahuluan (anterioritas) ini mestilah bersifat eksistensial, jika tidak, maka wujud yang akhas pastilah bersifat mandiri dan tidak bergantung kepada wujud yang asyrâf, hal ini adalah mustahil karena bertolak belakang dengan asumsi yang ada, yakni mengasumsikan bahwa wujud yang akhas bergantung secara mutlak dan hakiki kepada wujud yang asyrâf.[6]
Inti argumen di atas adalah bahwa hubungan kausalitas merupakan hubungan esensial antara wujud hubungan (râbith) dan wujud mandiri (mustaqil), persoalan ini sangat erat hubungannya dengan gagasan gradasi khusus pada wujud (tasykik al-wujûd). Dilihat dari perspektif ini, jika mumkin asyrâf tidak terwujud pada tingkatan sebelum mumkin akhas, maka mumkin akhas pasti tidak mempunyai sebab yang berkaitan langsung dengan perwujudannya, dan hal ini mustahil terjadi karena mumkin akhas menjadi suatu eksistensi yang mandiri, bebas dan tak bergantung kepada sebab.
Kritik atas Argumen Imkân Asyrâf
Kita telah kemukakan argumen-argumen yang dirumuskan oleh para filosof tentang kaidah imkan asyrâf. Pada kesempatan ini, kita akan menganalisis dan membedah sebuah kritikan yang dialamatkan kepada argumen imkân asyrâf. Seorang peneliti bernama Dawany, dalam tulisannya berupa komentar-komentar atas kitab Hayâkil an-Nur Syaikh Isyraq, melontarkan sejumlah kritikan dan sanggahan yang bermaksud untuk menguatkan struktur logikal argumen tersebut.
Mir Damad dan Mulla Sadra justru memandang bahwa sanggahan
dan kritikan Dawany kurang tepat. Menurut kedua filosof ini, Dawany
tidak memisahkan antara “mustahil-ada dengan selainnya” (mumtani’ bil ghair) dan “mungkin-ada dengan sendirinya” (imkan bi adz-dzat) atau antara mustahil-ada dengan selainnya dan mungkin-ada dengan perbandingan selainnya (imkân bil qiyas ila al-ghair), karena sesuatu yang mustahil-ada dengan selainnya dapat menjadi mungkin-ada apabila dibandingkan dengan selainnya[7], dan mungkin-ada dengan sendirinya (mumkin bi adz-dzat) juga dapat terwujud manakala bersifat mungkin-ada jika dibandingkan dengan mustahil-eksistensi dengan selainnya (mumtani’ bil ghair).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa secara hakiki adalah mustahil perwujudan sesuatu yang lebih
sempurna (asyrâf) dari apa-apa yang telah terdapat pada Wâjib al-Wujûd, tetapi apabila dibandingkan dengan perwujudan mumkin asyrâf dimana mengharuskan keberadaan dimensi yang lebih sempurna (asyrâf)
adalah menjadi sesuatu yang bersifat tidak mustahil, dengan demikian
adalah keliru kritikan dan sanggahan atas asumsi ini ( mustahil
terwujudnya mumkin asyrâf dari mumkin akhas dan dari eksistensi Tuhan) dimana berujung pada keberadaan eksistensi yang lebih sempurna (asyrâf) pada eksistensi Tuhan.[8]
Dawany kemudian melontarkan kritikannya, ia menyatakan, “Pembatalan asumsi terakhir[9]
akan sempurna apabila kemungkinan akibat mengharuskan kemungkinan
sebab, sementara persoalan ini tidaklah realistis dan logis. Karena
ketiadaan emanasi pertama adalah sesuatu yang mungkin terjadi atau
ketak-beradaan wujud Tuhan adalah mustahil terjadi. Maujud yang telah
tercipta tidak lebih sempurna (asyrâf) dari maujud yang tercipta setelahnya, apabila proposisi ini kita balik, maka menjadi: sebelum perwujudan mumkin asyrâf telah tercipta suatu maujud (yang akhas). Penjelasan proposisi: kalau sesuatu yang pertama dicipta adalah mumkin asyrâf, maka pasti terwujud dari Tuhan dengan tanpa perantara, dengan asumsi sebelumnya bahwa mumkin akhas
tercipta dari Tuhan dengan tanpa perantara, dengan demikian Tuhan
mewujudkan dan menciptakan sesuatu yang beragam, yakni Tuhan mewujudkan mumkin asyrâf dan mumkin akhas
secara bersamaan, atau dengan perantaraan tercipta kejamakan maujud
dari eksistensi Tuhan. Konsekuensi dari kenyataan seperti ini adalah
bahwa perantara itu tak lain adalah mumkin akhas itu sendiri, dan juga
mengakibatkan ketaksempurnaan sebab (‘illah) dari akibat (ma’lul), kedua kemestian ini adalah mustahil, maka dari itu, asumsi kita yang berpijak pada keberadaan mumkin asyrâf sebelum mumkin akhas adalah juga mustahil.[10]
Dawany akhirnya menyadari sendiri kekeliruan kritikannya, ia menyatakan bahwa apabila yang dimaksud dengan kemustahilan mumkin asyrâf adalah sesuatu yang tergolong kepada mustahil-ada dengan selainnya (imtinâ’ bil ghair), maka argumentasi tersebut adalah benar, dan kalau yang dimaksud adalah mustahil-eksistensi dengan sendirinya (imtinâ’ bi adz-dzat),
maka argumentasi tersebut adalah salah. Mir Damad dan Mulla Sadra
menyatakan bahwa kritikan Dawany tersebut adalah keliru dan jalan keluar
yang diajukannya masih kurang sempurna. Mir Damad menjelaskan bahwa
mustahil mumkin asyrâf berada pada satu tingkatan kesempurnaan,
yang karenanya, menuntut suatu kesempurnaan dan kemuliaan yang
mesti-ada pada wujud sebab (Tuhan), tetapi dalam hal ini, kesempurnaan
dan keagungan tersebut tidak aktual dan tidak terdapat pada wujud Tuhan.
Oleh karena itu, setiap tingkatan kesempurnaan yang dituntut oleh
mumkin asyrâf niscaya terdapat pada dirinya dan pada wujud
Tuhan secara aktual dan tak terbatas. Jadi sangat keliru pandangan
Dawany yang berbunyi: mumkin asyrâf mustahil terwujud secara esensial (mumkin asyrâf
mustahil-wujud dengan sendirinya), karena mengharuskan suatu tingkatan
kesempurnaan pada wujud Tuhan dimana kesempurnaan tersebut secara aktual
tidak terdapat pada eksistensi Tuhan sebagai Penyebab dari mumkin akhas. Maka dari itu, adalah mustahil ketiadaan mumkin asyrâf dengan ketiadaan wujud sebabnya atau niscaya-ada mumkin asyrâf karena niscaya-ada sebabnya, karena semua kesempurnaan yang dituntut dan hadir pada mumkin asyrâf secara aktual dan tak terbatas mesti terdapat pada wujud Tuhan.[11]
Penjelasan di atas merupakan syarat argumen kaidah imkan asyrâf, mumkin asyrâf
mustahil menuntut suatu kesempurnaan yang tidak terdapat pada
eksistensi sebabnya, tetapi sebab yang tidak mempunyai kesempurnaan yang
tak terbatas bukanlah sebab (baca: sebab hakiki). Inti dalil ini adalah
mustahil secara esensial pada wujud sebab tidak mengaktual suatu
kesempurnaan tertinggi dan tidak terbatas, wujud sebab meniscayakan dan
mengharuskan kesempurnaan dan kemuliaan tertinggi, jadi bukan bermakna
bahwa karena tuntutan mumkin asyrâf sehingga mengharuskan terwujudnya kesempurnaan tak terbatas pada eksistensi sebab, tuntutan mumkin asyrâf itu sendiri adalah mustahil secara esensial.
Adalah benar apa yang dilontarkan oleh Dawany, ia
menyatakan bahwa secara prinsipil suatu ‘kemungkinan’ (mungkin-ada)
tidak meniscayakan ‘kemustahilan’ (mustahil-ada), namun yang
mengharuskan ‘kemustahilan’ adalah ketak-beradaan emanasi pertama
meniscayakan ketiadaan Sebab Pertama (Wâjib al-Wujûd). Tapi,
ketiadaan emanasi pertama itu sendiri adalah mustahil secara esensial
(mustahil-tiada dengan selainnya), karena emanasi pertama bersandar
kepada wujud yang mustahil-tiada dengan sendirinya, emanasi pertama
bergantung kepada Sebab Pertama yang niscaya-eksistensi dengan
sendirinya (swa-eksistensi).[12]
Dengan berpijak pada gagasan Mulla Sadra tentang teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujûd),
akibat pertama, apabila dipandang dari dimensi kuiditasnya, tidak
meniscayakan dan tidak mengharuskan keberadaannya, karena sama sekali
tidak terdapat hubungan antara Sebab Pertama dan kuiditas (mâhiyah) akibat pertama, baik dari sisi keberadaan maupun dari dimensi ketiadaan.[13]
Oleh karena itu, sifat dan watak kuiditas akibat pertama tidak
memestikan keberadaan dan ketiadaan Sebab Pertama, karena kalau ia
meniscayakan eksistensi dan ketiadaan Sebab Pertama, maka pasti
mempunyai hubungan dengan Sebab Pertama, pasti ia yang dicipta (maj’ûl) oleh Sebab Pertama.[14]
Apabila dipandang dari eksistensi akibat pertama, maka yang
kita dapatkan tidak lain kecuali dimensi keniscayaan eksistensinya yang
ia peroleh dari Wâjib al-Wujûd (Sebab Pertama), keniscayaan ini biasa disebut dengan niscaya-ada dengan selainnya (wâjib bil ghair).
Adalah mustahil kita dapatkan keniscayaan yang lain bagi akibat pertama
selain kemestian eksistensinya, mustahil juga kita mengasumsikan
ketiadaannya, karena akan mengakibatkan inner kontradiksi. Eksistensi
makhluk dapat bermakna: niscaya-ada atau mustahil-tiada, sementara
berkaitan dengan Wujud Tuhan hanya berarti: niscaya-ada dengan
sendirinya (wâjib bi adz-dzat). Karena kita tidak dapat
menyangkal keberadaan makhluk, maka eksistensinya berarti: mesti-ada
dengan selainnya (dengan perantaraan wujud Tuhan).
Mulla Sadra dalam menjawab kritikan tersebut menawarkan
metode lain yang berbeda dengan cara yang dilakukan oleh Mir Damad, ia
menyatakan bahwa niscaya-ada dengan sendiri (wâjib bi adz-dzat)
lebih tinggi dan lebih sempurna dari sesuatu yang dapat dibayangkan,
bahkan mustahil bisa digambarkan oleh akal-pikiran. Kita hanya dapat
katakan bahwa segala kesempurnaan pasti terdapat pada wujud-Nya secara
tak terbatas. Karena Tuhan adalah niscaya-ada dengan sendirinya (Wâjib al-Wujûd bi adz-dzat),
maka Dia pun niscaya-sempurna dari segala dimensi dan sisi. Setiap
kesempurnaan yang dimiliki oleh makhluk mesti terdapat pada wujud Tuhan
secara lebih sempurna dan tak terbatas, karena wujud makhluk bergantung
secara mutlak kepada-Nya dimana wujud-Nya adalah yang paling sempurna,
paling tinggi dan paling mulia. Wujud Tuhan mempunyai intensitas yang
sangat tinggi, begitu pula kesempurnaan-Nya, karenanya, mustahil kita
mengasumsikan ketidak-beradaan pancaran wujud-Nya, manifestasi
wujud-Nya, emanasi kesempurnaan-Nya dan tajalli kesempurnaan-Nya.
Referensi:
[1] Majmu’e-ye Mushannafat-e Syaikh Isyraq, jilid pertama, hal.434.
[2] Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzumah, hal. 728. Dengan catatan kaki oleh Ayatullah Hasan Zodeh Amuly.
[3] Mir Damad, Qabasât, hal. 375-376.
[4] Karena wujud dan eksistensi itu sendiri adalah identik dengan kesempurnaan, kebaikan dan kemuliaan.
[5] Husain Haqqani Zanjany, Syarh Nihayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 337.
[6] Husain Haqqâni Zanjany, Syarh an-Nihayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 338.
[7] Bukan mungkin-ada dengan selainnya (mumkin bil ghair), karena kita tidak memiliki mungkin-ada dengan selainnya (imkan bil ghair), dalam penggunaan kata ‘mumkin’ dan ‘imkan’ terdapat perbedaan yang mendasar, kata ‘mumkin’ menunjuk kepada maujud yang nyata dan hakiki, sedangkan kata ‘imkan’ lazimnya digunakan hanya berhubungan dengan watak dan sifat dari kuiditas (mahiyah) untuk mewujud atau meniada.
[8] Sadrul Muta’allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 249-250.
[9] Mustahil terwujud mumkin asyraf dari mumkin akhas dan dari wujud Tuhan.
[10] Muhaqqiq Dawany, Syarh Hayakil an-Nur, hal. 45.
[11] Mir Damad. Qabasât, hal, 377.
[12] Sadrul Muta’allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal, 253.
[13]
Karena berdasarkan teori kehakikian wujud, wujudlah yang membentuk
realitas, bahkan realitas itu adalah wujud itu sendiri, kuiditas dalam
hal ini, hanyalah bersifat penampakan dan majazi, kuiditas hanyalah
cerita, gambaran dan hikayat tentang realitas. Oleh karena itu, kuiditas
tidak mempunyai hukum sehingga dapat dihukumi. Ini bukan berarti bahwa
kuidtas itu sendiri tidak memiliki “realitas”, karena apabila kuiditas
diibaratkan sebagai hikayat dan gambaran tentang wujud dan realitas,
maka ini bermakna bahwa ia juga mempunyai “realitas”, ia juga “nyata”,
karena “sesuatu” yang menceritakan dan menggambarkan tentang suatu
kenyataan (wujud), mesti juga bersifat “nyata”, mesti juga “berwujud”,
walaupun, intensitas ‘kenyataannya’ dan “keadaannya” sangat rendah.
Tapi, bagaimanapun kuiditas tidak dapat dibandingkan dengan wujud,
wujudlah yang hakiki dan mendasar, sementara kuiditas bersifat majazi
dan I’tibar. Kuiditas juga diartikan sebaga bayangan wujud
(dalam perspektif ilmu irfan dan tasawuf), bayangan wujud bukanlah wujud
itu sendiri, bayangan adalah bayangan dan wujud adalah wujud. Kuiditas
merupakan batasan wujud (dalam perspektif Hikmah Muta’aliyah). Jadi,
jelaslah perbedaan antara keduanya bagi orang-orang yang tercerahkan
[14]
Yang mempunyai hubungan dengan Sebab Pertama adalah wujud itu sendiri,
begitu pula wujudlah yang dicipta oleh Sebab Pertama. Ini berdasarkan
konsep kehakikian Wujud.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar