SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany

Menurut Syaikh Isyraq kaidah tersebut tidak terlalu memerlukan argumentasi dan hanya sedikit memerlukan perhatian yang saksama dari fitrah manusia, dari konteks ini bisa dikatakan bahwa kaidah tersebut bersifat aksiomatis (badihi, gamblang), ia berkata: “Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak terpancar dari Yang Satu kecuali satu (kaidah al-wâhid), kalau telah terwujud mumkin akhas dari Wâjib al-Wujûd maka mumkin asyrâf pasti terwujud sebelumnya. Jika diasumsikan bahwa telah terwujud mumkin asyrâf dari Wâjib al-Wujûd tetapi tidak terwujud dengan alasan bahwa Dia zat yang tunggal dan hanya mewujudkan satu wujud saja yakni mumkin akhas maka ini berarti bahwa kita meniscayakan keberadaan sisi asyrâf pada wujud Tuhan yang nantinya menjadi sebab perwujudan mumkin asyrâf, konsekuensi dari pernyataan ini adalah tak terdapat sisi asyrâf pada wujud Tuhan yang berimplikasi pada kemustahilan perwujudan mumkin asyrâf dari zat Wâjib al-Wujûd dan juga mustahil kita mengasumsikan tentang keberadaan kesempurnaan pada wujud-Nya apalagi terpancar dari wujud-Nya.[1]

Berkaitan dengan burhan kaidah imkân asyrâf Mulla Hadi sabzewari berkata: “Apabila mumkin akhas terwujud maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya, apabila tidak demikian maka hanya terdapat tiga alternatif:
  1. Mumkin asyrâf mustahil terwujud dari Sumber Keberadaan dengan perantara atau tanpa perantara;
  2. Mumkin asyrâf hadir dengan perantaraan mumkin akhas (yakni terwujud setelah mumkin akhas);
  3. Mumkin asyrâf bersamaan dengan mumkin akhas (pada derajat yang sama) terpancar dari zat Tuhan.

Ketiga alternatif tersebut di atas mustahil terjadi dan yang benar hanyalah apa yang telah ditetapkan di atas. Alasannya adalah kalau mumkin asyrâf tidak terwujud sebelum perwujudan mumkin akhas atau mumkin asyrâf tak terpancar dari zat Tuhan, dengan memandang bahwa asumsi tentang perwujudan mumkin asyrâf adalah sangat mungkin dan tidak mustahil, maka dikatakan bahwa mesti terdapat satu dimensi yang lebih sempurna (asyrâf) dari sesuatu yang terdapat pada wujud Tuhan dimana menjadi penyebab penciptaan mumkin asyrâf, ini berarti bahwa tidak terdapat sisi yang lebih sempurna pada wujud Tuhan dan karena Dia adalah sumber kesempurnaan dan derajat wujud-Nya pada tingkatan yang tertinggi dimana memiliki intensitas wujud yang terkuat maka dari itu adalah sangat mustahil apabila terdapat kekurangan (kurang sempurna) dan keterbatasan pada wujud-Nya. Apabila diasumsikan bahwa mumkin asyrâf tercipta dengan perantara mumkin akhas, maka dari itu, akibat ini (mumkin asyrâf) menjadi lebih sempurna (asyrâf) dari sebab (mumkin akhas), dan hal seperti ini juga mustahil terjadi, karena sebab sebagai pemberi wujud kepada akibat maka mustahil lebih rendah kesempurnaannya daripada akibatnya sendiri, dan hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi, “Sesuatu yang tidak memiliki mustahil dapat memberi”. Dan kalau dikatakan bahwa mumkin asyrâf dan mumkin akhas kedua-duanya secara bersamaan terpancar dari wujud Tuhan, maka ini berarti bahwa Tuhan Yang Tunggal, terpancar dari wujud-Nya dua maujud sekaligus, yakni dari sisi kesatuan qua kesatuan terpancar dua realitas akibat atau terwujudnya kejamakan qua kejamakan dari kesatuan qua kesatuan, karena hal ini, bertentangan dengan konsep al-wâhid, maka dari itu asumsi tersebut mustahil terjadi.[2]

Syaikh Isyraq dalam kitabnya Hikmah al-Isyraq juga menjabarkan argumentasi tentang kaidah imkan asyrâf, ia berkata, “Kalau mumkin akhas telah mengada sementara mumkin asyrâf belum terwujud sebelumnya, maka persoalan ini secara logis akan menyebabkan hadirnya empat konsekuensi, yaitu:
  1. Bertolak belakang dengan asumsi yang ada;
  2. Perwujudan kejamakan dari wujud yang tunggal (satu) secara bersamaan adalah tidak mustahil;
  3. Dibolehkannya perwujudan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) dari yang lebih rendah (akhas);
  4. Kemestian keberadaan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) pada tataran Wâjib al-Wujûd.

Kalau ditetapkan bahwa perwujudan mumkin asyrâf dengan perantaraan, maka perantaranya pastilah mumkin akhas (jika kita menolak kaidah imkân asyrâf), tapi dalam kondisi tersebut akan melahirkan kenyataan bahwa akibat lebih sempurna (asyrâf) daripada sebab. Apabila kita mau menghindar dari realitas tersebut dan kita katakan bahwa mumkin akhas (A) merupakan akibat dari sebab (B) yang lebih sempurna (asyrâf) dari dirinya (A) dimana terdapat jarak antara (A) dan Wâjib al-Wujûd. Keadaan seperti ini juga bertolak belakang dengan perkataan tersebut karena fokus pembahasan kita berkaitan dengan akibat pertama atau mumkin pertama yang terwujud dari Wâjib al-Wujûd, apakah akibat pertama tersebut adalah mumkin asyrâf atau mumkin akhas. Oleh karena itu, asumsi tentang keberadaan perantara dan wasilah di antara wujud (A) dan Wâjib al-Wujûd adalah menyalahi asumsi itu sendiri.

Disamping itu, jika eksistensi yang lebih rendah (akhas) terpancar dan teremanasi tanpa perantara dari Wâjib al-Wujûd dan pada saat yang sama terdapat kemungkinan perwujudan sesuatu eksistensi yang lebih sempurna (asyrâf) dari Wâjib al-Wujûd, maka konsekuensi kedua tersebut di atas akan menjadi nyata, yakni kejamakan (eksistensi yang beragam) dapat terpancar dari kesatuan (eksistensi tunggal) secara bersamaan. Kalau dibolehkan, eksistensi yang lebih sempurna tercipta dari eksistensi yang lebih rendah, maka akan menyebabkan hadirnya konsekuensi yang ketiga, yakni tidak mustahil eksistensi yang asyrâf terpancar dari eksistensi yang akhas. Dan apabila diasumsikan bahwa mustahil terjadi perwujudan mumkin asyrâf dari Wâjib al-Wujûd dan mumkin akhas, maka konsekuensi keempat tersebut akan menjadi kenyataan. Kesimpulannya, adalah mustahil semua konsekuensi di atas, apabila didasarkan dan berpijak pada kaidah-kaidah filsafat.

Mir Damad merumuskan dua argumen dan burhan untuk pembuktian kaidah imkân asyrâf. Menurutnya, kedua argumen ini sangat akurat dan sederhana. Burhan Pertama, argumen ini memiliki pendahuluan yang telah dijabarkan sebelumnya. Berdasarkan pendahuluan tersebut, ketika di antara dua eksistensi tidak terdapat keselarasan esensial dan kekhususan hubungan, maka mustahil terwujud hubungan sebab-akibat (kausalitas). Oleh karena itu, apabila Tuhan memancarkan dan mewujudkan akibat pertama (baca: emanasi pertama) di alam penciptaan, namun emanasi pertama itu bukanlah eksistensi yang paling sempurna (asyrâf) di antara ciptaan-ciptaan-Nya, maka konsekuensinya adalah tidak terdapat keselarasan esensial dan hubungan kausalitas di antara keduanya (Sebab Pertama dan emanasi pertama), dan hal ini adalah mustahil. Emanasi pertama adalah eksistensi pertama yang diwujudkan oleh Tuhan, karenanya ia lebih dekat kepada eksistensi Tuhan dan tingkatan eksistensinya setelah eksistensi Tuhan, dan karena terdapat kesesuaian esensial dan hubungan kausalitas di antara keduanya, oleh karena itu, ia niscaya lebih sempurna, lebih tinggi dan lebih mulia di antara makhluk-makhluk-Nya. Dengan demikian, eksistensi pertama yang diwujudkan Tuhan adalah mumkin asyrâf dan setelahnya diwujudkanlah mumkin akhas secara bergradasi.[3]

Burhan kedua, apabila suatu eksistensi emanasi (wujud akibat) disandarkan kepada Wâjib al-Wujûd (bi adz-dzat, niscaya-wujud dengan sendirinya) dengan perantara atau tanpa perantara, maka dalam hal ini, wujud emanasi ini secara esensial adalah wâjib al-wujûd (bil ghair, niscaya-wujud dengan selain-Nya). Tapi, kalau “wujud emanasi” itu tidak kita sandarkan kepada Wâjib al-Wujûd, maka ia pasti mustahil (mumtani’ bil ghair) terwujud. Oleh karena itu, jika wujud emanasi di sandarkan kepada Wâjib al-Wujûd, tetapi ia tidak terwujud dan tidak asyrâf, maka “Wâjib al-Wujûd” itu bukanlah Wâjib al-Wujûd yang sesungguhnya (yang hakiki) atau eksistensi emanasi itu bukan eksistensi yang niscaya-ada dengan selain-Nya (wâjib bil ghair), konsekuensi ini bertolak belakang dengan asumsi bahwa Dia adalah Wâjib al-Wujûd hakiki dan wujud emanasi adalah juga wâjib al-wujûd bil ghair hakiki. Dipandang dari perspektif ini, eksistensi emanasi niscaya terwujud, maka dari itu, ia pun mesti mumkin asyrâf, karena keniscayaan eksistensial yang terdapat pada emanasi, juga mengharuskan kehadiran keniscayaan kesempurnaan pada eksistensinya.[4] Dan kesempurnaan eksistensi-eksistensi emanasi berdasarkan tingkatan dan level mereka, apabila suatu eksistensi semakin dekat dengan eksistensi Tuhan maka semakin sempurna pula eksistensinya, dan begitu pula sebaliknya.

Argumen Sadrul Muta’allihin tentang kaidah imkân asyrâf dapat disimpulkan sebagai berikut: mumkin akhas ketika telah terwujud dari Sebab Pertama maka mesti mumkin asyrâf terwujud sebelum mumkin akhas. Karena kalau dibolehkan mumkin asyrâf diwujudkan bersamaan dengan mumkin akhas, maka berarti bahwa dari Wujud yang tunggal qua tunggal terpancar dua eksistensi sekaligus, hal ini adalah mustahil. Apabila mumkin asyrâf terwujud setelah mumkin akhas dan sekaligus sebagai perantara dari perwujudannya, maka konsekuensinya adalah akibat mesti lebih sempurna (asyrâf) dari sebabnya, dan ini juga adalah mustahil.[5]

Allamah Thabathabai dalam kitab Nihâyah al-Hikmah juga memaparkan argumen imkân asyrâf, ia berkata, “Ketinggian dan kerendahan merupakan dua sifat eksistensi yang bersumber dari intensitas derajat-derajat kesempurnaan eksistensi. Dan derajat-derajat kesempurnaan eksistensial secara hakiki tidak lain berasal dari bentuk hubungan kausalitas. Dan hubungan sebab-akibat mengharuskan keberadaan suatu wujud mandiri hakiki (wujûd al-mustaqil fi nafsihi, Wâjib al-Wujûd) dan wujud bergantung hakiki (wujûd ar-râbith bi ghairihi, mumkin al-wujûd), dengan demikian setiap tingkatan wujud yang tercipta dari tingkatan wujud yang lebih tinggi darinya, maka ia mesti lebih rendah kesempurnaannya (wujud akhas) dan bersifat bergantung, tapi bila ia dibandingkan dengan tingkatan wujud yang di bawahnya, maka ia lebih tinggi kesempurnaannya (wujud asyrâf) dan bersifat mandiri. Jadi, apabila di asumsikan terdapat dua wujud dimana derajat yang satu asyrâf dan lainnya akhas, maka wujud yang asyrâf niscaya terwujud lebih dahulu dari wujud yang akhas. Kelebih dahuluan (anterioritas) ini mestilah bersifat eksistensial, jika tidak, maka wujud yang akhas pastilah bersifat mandiri dan tidak bergantung kepada wujud yang asyrâf, hal ini adalah mustahil karena bertolak belakang dengan asumsi yang ada, yakni mengasumsikan bahwa wujud yang akhas bergantung secara mutlak dan hakiki kepada wujud yang asyrâf.[6]

Inti argumen di atas adalah bahwa hubungan kausalitas merupakan hubungan esensial antara wujud hubungan (râbith) dan wujud mandiri (mustaqil), persoalan ini sangat erat hubungannya dengan gagasan gradasi khusus pada wujud (tasykik al-wujûd). Dilihat dari perspektif ini, jika mumkin asyrâf tidak terwujud pada tingkatan sebelum mumkin akhas, maka mumkin akhas pasti tidak mempunyai sebab yang berkaitan langsung dengan perwujudannya, dan hal ini mustahil terjadi karena mumkin akhas menjadi suatu eksistensi yang mandiri, bebas dan tak bergantung kepada sebab.

Kritik atas Argumen Imkân Asyrâf
Kita telah kemukakan argumen-argumen yang dirumuskan oleh para filosof tentang kaidah imkan asyrâf. Pada kesempatan ini, kita akan menganalisis dan membedah sebuah kritikan yang dialamatkan kepada argumen imkân asyrâf. Seorang peneliti bernama Dawany, dalam tulisannya berupa komentar-komentar atas kitab Hayâkil an-Nur Syaikh Isyraq, melontarkan sejumlah kritikan dan sanggahan yang bermaksud untuk menguatkan struktur logikal argumen tersebut.

Mir Damad dan Mulla Sadra justru memandang bahwa sanggahan dan kritikan Dawany kurang tepat. Menurut kedua filosof ini, Dawany tidak memisahkan antara “mustahil-ada dengan selainnya” (mumtani’ bil ghair) dan “mungkin-ada dengan sendirinya” (imkan bi adz-dzat) atau antara mustahil-ada dengan selainnya dan mungkin-ada dengan perbandingan selainnya (imkân bil qiyas ila al-ghair), karena sesuatu yang mustahil-ada dengan selainnya dapat menjadi mungkin-ada apabila dibandingkan dengan selainnya[7], dan mungkin-ada dengan sendirinya (mumkin bi adz-dzat) juga dapat terwujud manakala bersifat mungkin-ada jika dibandingkan dengan mustahil-eksistensi dengan selainnya (mumtani’ bil ghair).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara hakiki adalah mustahil perwujudan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) dari apa-apa yang telah terdapat pada Wâjib al-Wujûd, tetapi apabila dibandingkan dengan perwujudan mumkin asyrâf dimana mengharuskan keberadaan dimensi yang lebih sempurna (asyrâf) adalah menjadi sesuatu yang bersifat tidak mustahil, dengan demikian adalah keliru kritikan dan sanggahan atas asumsi ini ( mustahil terwujudnya mumkin asyrâf dari mumkin akhas dan dari eksistensi Tuhan) dimana berujung pada keberadaan eksistensi yang lebih sempurna (asyrâf) pada eksistensi Tuhan.[8]

Dawany kemudian melontarkan kritikannya, ia menyatakan, “Pembatalan asumsi terakhir[9] akan sempurna apabila kemungkinan akibat mengharuskan kemungkinan sebab, sementara persoalan ini tidaklah realistis dan logis. Karena ketiadaan emanasi pertama adalah sesuatu yang mungkin terjadi atau ketak-beradaan wujud Tuhan adalah mustahil terjadi. Maujud yang telah tercipta tidak lebih sempurna (asyrâf) dari maujud yang tercipta setelahnya, apabila proposisi ini kita balik, maka menjadi: sebelum perwujudan mumkin asyrâf telah tercipta suatu maujud (yang akhas). Penjelasan proposisi: kalau sesuatu yang pertama dicipta adalah mumkin asyrâf, maka pasti terwujud dari Tuhan dengan tanpa perantara, dengan asumsi sebelumnya bahwa mumkin akhas tercipta dari Tuhan dengan tanpa perantara, dengan demikian Tuhan mewujudkan dan menciptakan sesuatu yang beragam, yakni Tuhan mewujudkan mumkin asyrâf dan mumkin akhas secara bersamaan, atau dengan perantaraan tercipta kejamakan maujud dari eksistensi Tuhan. Konsekuensi dari kenyataan seperti ini adalah bahwa perantara itu tak lain adalah mumkin akhas itu sendiri, dan juga mengakibatkan ketaksempurnaan sebab (‘illah) dari akibat (ma’lul), kedua kemestian ini adalah mustahil, maka dari itu, asumsi kita yang berpijak pada keberadaan mumkin asyrâf sebelum mumkin akhas adalah juga mustahil.[10]

Dawany akhirnya menyadari sendiri kekeliruan kritikannya, ia menyatakan bahwa apabila yang dimaksud dengan kemustahilan mumkin asyrâf adalah sesuatu yang tergolong kepada mustahil-ada dengan selainnya (imtinâ’ bil ghair), maka argumentasi tersebut adalah benar, dan kalau yang dimaksud adalah mustahil-eksistensi dengan sendirinya (imtinâ’ bi adz-dzat), maka argumentasi tersebut adalah salah. Mir Damad dan Mulla Sadra menyatakan bahwa kritikan Dawany tersebut adalah keliru dan jalan keluar yang diajukannya masih kurang sempurna. Mir Damad menjelaskan bahwa mustahil mumkin asyrâf berada pada satu tingkatan kesempurnaan, yang karenanya, menuntut suatu kesempurnaan dan kemuliaan yang mesti-ada pada wujud sebab (Tuhan), tetapi dalam hal ini, kesempurnaan dan keagungan tersebut tidak aktual dan tidak terdapat pada wujud Tuhan. Oleh karena itu, setiap tingkatan kesempurnaan yang dituntut oleh mumkin asyrâf niscaya terdapat pada dirinya dan pada wujud Tuhan secara aktual dan tak terbatas. Jadi sangat keliru pandangan Dawany yang berbunyi: mumkin asyrâf mustahil terwujud secara esensial (mumkin asyrâf mustahil-wujud dengan sendirinya), karena mengharuskan suatu tingkatan kesempurnaan pada wujud Tuhan dimana kesempurnaan tersebut secara aktual tidak terdapat pada eksistensi Tuhan sebagai Penyebab dari mumkin akhas. Maka dari itu, adalah mustahil ketiadaan mumkin asyrâf dengan ketiadaan wujud sebabnya atau niscaya-ada mumkin asyrâf karena niscaya-ada sebabnya, karena semua kesempurnaan yang dituntut dan hadir pada mumkin asyrâf secara aktual dan tak terbatas mesti terdapat pada wujud Tuhan.[11]

Penjelasan di atas merupakan syarat argumen kaidah imkan asyrâf, mumkin asyrâf mustahil menuntut suatu kesempurnaan yang tidak terdapat pada eksistensi sebabnya, tetapi sebab yang tidak mempunyai kesempurnaan yang tak terbatas bukanlah sebab (baca: sebab hakiki). Inti dalil ini adalah mustahil secara esensial pada wujud sebab tidak mengaktual suatu kesempurnaan tertinggi dan tidak terbatas, wujud sebab meniscayakan dan mengharuskan kesempurnaan dan kemuliaan tertinggi, jadi bukan bermakna bahwa karena tuntutan mumkin asyrâf sehingga mengharuskan terwujudnya kesempurnaan tak terbatas pada eksistensi sebab, tuntutan mumkin asyrâf itu sendiri adalah mustahil secara esensial.

Adalah benar apa yang dilontarkan oleh Dawany, ia menyatakan bahwa secara prinsipil suatu ‘kemungkinan’ (mungkin-ada) tidak meniscayakan ‘kemustahilan’ (mustahil-ada), namun yang mengharuskan ‘kemustahilan’ adalah ketak-beradaan emanasi pertama meniscayakan ketiadaan Sebab Pertama (Wâjib al-Wujûd). Tapi, ketiadaan emanasi pertama itu sendiri adalah mustahil secara esensial (mustahil-tiada dengan selainnya), karena emanasi pertama bersandar kepada wujud yang mustahil-tiada dengan sendirinya, emanasi pertama bergantung kepada Sebab Pertama yang niscaya-eksistensi dengan sendirinya (swa-eksistensi).[12]

Dengan berpijak pada gagasan Mulla Sadra tentang teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujûd), akibat pertama, apabila dipandang dari dimensi kuiditasnya, tidak meniscayakan dan tidak mengharuskan keberadaannya, karena sama sekali tidak terdapat hubungan antara Sebab Pertama dan kuiditas (mâhiyah) akibat pertama, baik dari sisi keberadaan maupun dari dimensi ketiadaan.[13] Oleh karena itu, sifat dan watak kuiditas akibat pertama tidak memestikan keberadaan dan ketiadaan Sebab Pertama, karena kalau ia meniscayakan eksistensi dan ketiadaan Sebab Pertama, maka pasti mempunyai hubungan dengan Sebab Pertama, pasti ia yang dicipta (maj’ûl) oleh Sebab Pertama.[14]

Apabila dipandang dari eksistensi akibat pertama, maka yang kita dapatkan tidak lain kecuali dimensi keniscayaan eksistensinya yang ia peroleh dari Wâjib al-Wujûd (Sebab Pertama), keniscayaan ini biasa disebut dengan niscaya-ada dengan selainnya (wâjib bil ghair). Adalah mustahil kita dapatkan keniscayaan yang lain bagi akibat pertama selain kemestian eksistensinya, mustahil juga kita mengasumsikan ketiadaannya, karena akan mengakibatkan inner kontradiksi. Eksistensi makhluk dapat bermakna: niscaya-ada atau mustahil-tiada, sementara berkaitan dengan Wujud Tuhan hanya berarti: niscaya-ada dengan sendirinya (wâjib bi adz-dzat). Karena kita tidak dapat menyangkal keberadaan makhluk, maka eksistensinya berarti: mesti-ada dengan selainnya (dengan perantaraan wujud Tuhan).

Mulla Sadra dalam menjawab kritikan tersebut menawarkan metode lain yang berbeda dengan cara yang dilakukan oleh Mir Damad, ia menyatakan bahwa niscaya-ada dengan sendiri (wâjib bi adz-dzat) lebih tinggi dan lebih sempurna dari sesuatu yang dapat dibayangkan, bahkan mustahil bisa digambarkan oleh akal-pikiran. Kita hanya dapat katakan bahwa segala kesempurnaan pasti terdapat pada wujud-Nya secara tak terbatas. Karena Tuhan adalah niscaya-ada dengan sendirinya (Wâjib al-Wujûd bi adz-dzat), maka Dia pun niscaya-sempurna dari segala dimensi dan sisi. Setiap kesempurnaan yang dimiliki oleh makhluk mesti terdapat pada wujud Tuhan secara lebih sempurna dan tak terbatas, karena wujud makhluk bergantung secara mutlak kepada-Nya dimana wujud-Nya adalah yang paling sempurna, paling tinggi dan paling mulia. Wujud Tuhan mempunyai intensitas yang sangat tinggi, begitu pula kesempurnaan-Nya, karenanya, mustahil kita mengasumsikan ketidak-beradaan pancaran wujud-Nya, manifestasi wujud-Nya, emanasi kesempurnaan-Nya dan tajalli kesempurnaan-Nya.

Referensi:
[1] Majmu’e-ye Mushannafat-e Syaikh Isyraq, jilid pertama, hal.434.
[2] Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzumah, hal. 728. Dengan catatan kaki oleh Ayatullah Hasan Zodeh Amuly.
[3] Mir Damad, Qabasât, hal. 375-376.
[4] Karena wujud dan eksistensi itu sendiri adalah identik dengan kesempurnaan, kebaikan dan kemuliaan.
[5] Husain Haqqani Zanjany, Syarh Nihayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 337.
[6] Husain Haqqâni Zanjany, Syarh an-Nihayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 338.
[7] Bukan mungkin-ada dengan selainnya (mumkin bil ghair), karena kita tidak memiliki mungkin-ada dengan selainnya (imkan bil ghair), dalam penggunaan kata ‘mumkin’ dan ‘imkan’ terdapat perbedaan yang mendasar, kata ‘mumkin’ menunjuk kepada maujud yang nyata dan hakiki, sedangkan kata ‘imkan’ lazimnya digunakan hanya berhubungan dengan watak dan sifat dari kuiditas (mahiyah) untuk mewujud atau meniada.
[8] Sadrul Muta’allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 249-250.
[9] Mustahil terwujud mumkin asyraf dari mumkin akhas dan dari wujud Tuhan.
[10] Muhaqqiq Dawany, Syarh Hayakil an-Nur, hal. 45.
[11] Mir Damad. Qabasât, hal, 377.
[12] Sadrul Muta’allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal, 253.
[13] Karena berdasarkan teori kehakikian wujud, wujudlah yang membentuk realitas, bahkan realitas itu adalah wujud itu sendiri, kuiditas dalam hal ini, hanyalah bersifat penampakan dan majazi, kuiditas hanyalah cerita, gambaran dan hikayat tentang realitas. Oleh karena itu, kuiditas tidak mempunyai hukum sehingga dapat dihukumi. Ini bukan berarti bahwa kuidtas itu sendiri tidak memiliki “realitas”, karena apabila kuiditas diibaratkan sebagai hikayat dan gambaran tentang wujud dan realitas, maka ini bermakna bahwa ia juga mempunyai “realitas”, ia juga “nyata”, karena “sesuatu” yang menceritakan dan menggambarkan tentang suatu kenyataan (wujud), mesti juga bersifat “nyata”, mesti juga “berwujud”, walaupun, intensitas ‘kenyataannya’ dan “keadaannya” sangat rendah. Tapi, bagaimanapun kuiditas tidak dapat dibandingkan dengan wujud, wujudlah yang hakiki dan mendasar, sementara kuiditas bersifat majazi dan I’tibar. Kuiditas juga diartikan sebaga bayangan wujud (dalam perspektif ilmu irfan dan tasawuf), bayangan wujud bukanlah wujud itu sendiri, bayangan adalah bayangan dan wujud adalah wujud. Kuiditas merupakan batasan wujud (dalam perspektif Hikmah Muta’aliyah). Jadi, jelaslah perbedaan antara keduanya bagi orang-orang yang tercerahkan
[14] Yang mempunyai hubungan dengan Sebab Pertama adalah wujud itu sendiri, begitu pula wujudlah yang dicipta oleh Sebab Pertama. Ini berdasarkan konsep kehakikian Wujud.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top