“Hari
ini adalah hari yang menyedihkan bagi negara-negara non-proliferasi.
Tak lama berselang, Perdana Menteri Israel membanggakan senjata-senjata
nuklirnya. Alih-alih mengerdipkan sebelah alis matanya kepada ancaman
serius terhadap perdamaian internasional itu…, Dewan Keamanan justru
menjatuhkan sanksi terhadap satu negara anggota non-proliferasi…”
(Dr. Javad Zarif, Duta Republik Islam Iran di hadapan Dewan Keamanan-PBB, 23 Desember 2006)
Ironisnya, hal tersebut justru banyak disebabkan oleh NWS, yang seringkali menolak berkomitmen kepada perlucutan senjata-senjata nuklir mereka sebagaimana diamanatkan Pasal VI NPT. Selain itu, kasus kesepakatan penempatan bom-bom nuklir Amerika Serikat di sejumlah negara non-NWS anggota NATO (lihat jurnal Science for Democratic Action, vol. 9, no. 3, May 2001) juga sempat menimbulkan kritik dari banyak anggota NPT—yang sebagian besarnya adalah anggota Gerakan Non-Blok—bahwa Amerika telah melanggar Pasal I dan II NPT. Kasus ini pun berlalu menjadi ironi sementara, hingga 2005, Amerika Serikat diestimasi terus menempatkan 100-480 bom nuklir di negara-negara anggota NATO.
Dari sisi yang berbeda, kini ironi yang sama lahir ketika Dewan Keamanan (DK) PBB secara bulat mengesahkan resolusi 1737 yang memuat sanksi atas Iran, sebuah negara anggota NPT non-NWS. Adalah ironi, menjatuhkan sanksi atas Iran, salah satu negara yang menerima Fissile Material Cut-Off Treaty atau “Fissban” (Fissile adalah bahan pembuat senjata nuklir) dalam Konferensi PBB untuk Perlucutan Senjata 2004; sementara Amerika menolaknya dan Inggris serta Israel abstain (lihat “Solution in Sight”, Noam Chomsky).
Adalah ironi, menghukum sebuah negara yang telah mengharamkan pengembangan, penyimpanan, dan penggunaan senjata nuklir (lihat fatwa Ayatullah Ali Khamenei dalam suratkabar Kayhan 6 November 2004; dan www.war4report.com); sementara misteri amunisi nuklir Israel perlahan mulai terkonfirmasi, di antaranya melalui pernyataan Ehud Olmert saat diwawancara beberapa televisi Jerman.
Adalah ironi, menghukum sebuah negara yang terus berupaya memenuhi kewajiban internasional (di antaranya dengan menjadi anggota NPT dan mengimplementasikan Protokol Tambahan IAEA) untuk dapat menggunakan haknya; sementara banyak negara lain yang merasa berhak meskipun tidak memiliki itikad baik terhadap kesepakatan-kesepakatan komunitas internasional. Dalam kasus Iran, ironi-ironi “Tatanan Dunia Baru” tersebut telah menjustifikasi zero-sum game dalam diplomasi yang selama ini dimainkan negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang dan miskin.
Zero-sum Game: Diplomasi yang Sia-sia
Zero-sum game adalah diplomasi palsu (pseudo-diplomacy). Sejatinya, sebuah diplomasi berupaya mencari solusi yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) di antara dua kepentingan.
Sebaliknya, diplomasi palsu hanya mengupayakan terpenuhinya tuntutan pihak yang kuat di atas terampasnya hak pihak yang lebih lemah (the winner takes all). Hal itulah yang juga terjadi dalam proses panjang diplomasi (2002-2006) tiga negara Eropa (EU3: Inggris, Perancis, dan Jerman) plus Amerika Serikat (AS) yang berujung dengan resolusi 1737.
EU3, terutama AS, terus mendesak Tehran untuk melaksanakan “penundaan tanpa batas waktu” terhadap program pengayaan uraniumnya (pengayaan uranium sah menurut NPT) seakan-akan Iran tidak pernah melaksanakannya.
Faktanya, IAEA (International Atomic Energy Agency) berulang kali memverifikasi bahwa Iran telah secara penuh menunda programnya sejak November 2003-Februari 2006 (lihat IAEA-GOV no. 11, 34, dan 60/2004; no. 67 dan 87/2005). Namun selama lebih dari dua tahun periode penundaan tersebut, adakah yang dilakukan EU3 dan AS untuk mencari solusi jika memang ini tujuan dari diplomasi mereka. Jawabannya tidak ada. Apakah EU3 dan AS mempertimbangkan tawaran terakhir Iran untuk membentuk konsorsium internasional guna menjalankan program nuklir damainya dalam negosiasi, pada September dan Oktober 2006, di Wina dan Berlin (lihat usatoday.com, 15-09-2006; dan New York Times, 4 Oktober 2006)?
Sebuah tawaran yang jika saja dipertimbangkan dan disetujui akan menjadi sebuah model untuk memperkuat NPT dan menghilangkan kekhawatiran tentang aktivitas pengayaan uranium.
Jawabannya, seperti tergambar dalam resolusi tersebut, negara-negara pendorong sanksi sama sekali tidak menyebutkan usulan tersebut. Sejak awal, para negara sponsor resolusi memang mencurigai niat baik Tehran. Namun, persoalannya apakah sebuah sanksi lantas dijatuhkan hanya atas dasar kecurigaan? Resolusi 1737 semata-mata berdasarkan atas “ketidakmampuan” (baca: keengganan) IAEA untuk menjamin bahwa Iran tidak memiliki material dan aktivitas nuklir yang dirahasiakan.
Faktanya, kecurigaan AS berulang kali meleset. Pada Maret 1992, di hadapan Kongres, Direktur CIA saat itu, Robert Gates, mengklaim bahwa Iran akan memiliki senjata nuklir sebelum 2005 (lihat The Washington Post, 28 Maret 1992). Kini, lembaga intelijen yang sama mengatakan bahwa Iran belum akan memilikinya sebelum 2010 (The Washington Post, 2 Agustus 2006). Faktanya pula, IAEA pernah menyebut laporan Komite Intelijen Kongres AS tentang nuklir Iran sebagai penuh dengan ketidakjujuran karena memuat klaim-klaim yang tidak benar dan menyesatkan (lihat Guardian, 15 September 2006).
Singkatnya, proses diplomasi “atas dasar kecurigaan” yang panjang dan melelahkan ini—dan berujung sanksi atas Iran—hanyalah sebuah alat yang bertujuan untuk mengalienasi Iran (dan negara-negara berkembang anggota NPT) dari teknologi nuklir apa pun, termasuk reaktor air ringan sekalipun *).
Politik Luar Negeri Iran: Perspektif Global
Indonesia Council on World Affairs (ICWA), sebuah lembaga yang
didirikan almarhum Ali Alatas, mantan Menlu Indonesia, kemarin
menyelenggarakan sebuah forum kuliah politik dengan pembicara Menlu
Iran, Dr. Javad Zarif. ICWA adalah lembaga yang beranggotakan para
diplomat yang berada di Indonesia (baik diplomat Indonesia maupun
negara-negara sahabat), serta para akademisi dan think tank di bidang
politik luar negeri. Peneliti Global Future Institute, Dina Y. Sulaeman,
berkesempatan hadir dalam acara tersebut dan menuliskan laporannya
berikut ini.
***
Berakhirnya Era Zero-Sum
Dalam kuliah politik bertajuk Foreign Policy of the Islamic Republic of Iran: A Global Perspective yang diselenggarakan Indonesia Council on World Affairs (ICWA), 7 Maret 2014, Menlu Iran Javad Zarif menjelaskan bahwa era politik zero-sum sudah habis. Di zaman globalisasi ini, apapun yang terjadi di satu sudut bumi, akan berpengaruh pada hampir semua penduduk bumi. Misalnya, masalah perubahan iklim; tidak ada satu negara pun yang mengklaim bisa menghadapinya seorang diri; selalu membutuhkan kerjasama antarnegara.
Hubungan internasional kini tidak lagi didominasi oleh dua negara besar (AS dan Uni Soviet) yang mendeterminasi arah kebijakan global seperti era Perang Dingin. Dunia tengah beralih dari community of nations (komunitas negara-negara) ke arah global community (komunitas global), di mana individu, kelompok, jaringan, mampu mempengaruhi hubungan internasional, dan artinya mampu berperan untuk mengubah situasi ke arah yang baik bagi kemanusiaan.
Dalam situasi seperti ini, isu security (keamanan) tidak mungkin lagi dipandang sebagai isu zero-sum (aku menang, engkau kalah). Sebuah negara tidak mungkin lagi meraih keamanan dengan cara mengorbankan keamanan negara-negara lain. Tidak ada yang bisa aman, ketika pihak lain tidak aman. Bukti terbesar dari pendapat ini adalah Tragedi 9/11. Mr. Zarif menceritakan, dirinya pernah bertugas di PBB, New York, sebelum dan setelah 9/11. Dengan matanya sendiri dia melihat ekspresi cemas dan ketakutan orang-orang New York.
Zarif bertanya retoris, “Bagaimana mungkin AS, sebuah negara dengan bujet militer terbesar di dunia, ternyata tak mampu memberikan keamanan kepada warganya sendiri? Bahkan gedung yang seharusnya paling aman, Pentagon, juga tak luput dari serangan teroris.”
Amerika, yang memiliki nuklir, dan satu-satunya negara di dunia yang pernah mengebom negara lain (Jepang) dengan bom nuklir, ternyata tetap tidak aman.
“Tetapi mengapa sebagian pemerintah negara-negara sulit sekali memahami ini?” tanya Zarif. “Dalam perang, tidak ada yang menang. Semua pihak akan kalah (rugi), meski kekalahannya punya derajat berbeda-beda, ada yang minus satu, ada yang minus sepuluh. Tapi sama-sama minus, sama-sama rugi.”
Atas dasar perspektif ini, Iran atau siapapun, menurut Zarif, sesungguhnya tidak memerlukan senjata nuklir. Senjata nuklir tidak menjamin keamanan kepada negara manapun. Perjanjian NPT (Non Proliferasi Treaty) didirikan atas tiga pilar, tidak memproduksi senjata nuklir, perlucutan senjata nuklir yang telah ada, dan penggunaan nuklir untuk kepentingan damai.
“Ketika Iran ditekan dan diintimidasi dengan alasan nuklir, artinya, justru ada pelanggaran terhadap NPT, yaitu menghalangi Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir damai,” tandas Zarif.
Saat Iran disanksi, perdagangan di pasar gelap meningkat. Segelintir pedagang akan mengambil keuntungan besar, sementara rakyat Iran kebanyakan akan dirugikan oleh harga yang sangat tinggi.
“Lalu, rakyat Iran menjadi sangat marah kepada negara-negara pemberi sanksi. Mereka menilai bahwa kesulitan ekonomi yang ada adalah gara-gara negara-negara pemberi sanksi. Mereka tidak marah kepada pedagang yang mengambil keuntungan di pasar gelap itu. Jadi, siapa yang rugi sebenarnya?” Zarif kembali memberi pertanyaan retoris.
Di sini, Zarif memberi pesan bahwa AS dan Eropa dengan segala sanksinya itu, telah merugikan rakyat Iran dan diri mereka sendiri sekaligus; dan telah menciptakan segelintir oportunis yang bergelimang uang dengan memanfaatkan sanksi.
Selain itu, dijelaskan oleh Zarif, terbukti bahwa meski disanksi belasan tahun, Iran tetap berhasil menambah mesin sentrifugalnya, dari 200 unit (di awal tahun 2000-an) menjadi 19.000 unit.
Dukungan rakyat kepada pemerintah pun justru semakin meningkat. Padahal, salah satu tujuan sanksi Barat adalah agar rakyat menjadi marah kepada pemerintah dan terjadi pergantian rezim. Namun, yang terjadi adalah turn-out vote (jumlah peserta pemilu) yang sangat tinggi, menunjukkan dukungan rakyat terhadap sistem. Hal ini memberikan legitimasi yang besar kepada pemerintah; memberi mereka kekuatan untuk bernegosiasi dengan pihak luar.
Tentang Suriah
Dalam sesi tanya-jawab, penulis berkesempatan mengajukan pertanyaan kepada Mr. Zarif, “Sejak konflik Suriah, di Indonesia banyak pihak yang melakukan hate-speech (pidato/pernyataan kebencian ) terhadap Iran. Apakah Anda melihat masalah ini akan jadi hambatan bagi hubungan Iran-Indonesia?”
Mr. Zarif menjawab, “Siapa saja yang memandang konflik Suriah sebagai konflik Sunni-Syiah, hanya akan merugikan Dunia Islam dan kemanusiaan. Konflik ini sama sekali bukan masalah sektarian. Umat Islam harus bersatu menghadapi terorisme yang terjadi di Suriah. Allah berfirman, qul yaa ahlal kitaab ta’aalaw ilaa kalimatin sawaa… “ (Zarif mengutip ayat Quran dengan fasih, yang berisi seruan dari Allah kepada semua pemegang kitab wahyu agar bersatu dalam kalimat yang tunggal, bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah).
Situasi yang terjadi di Suriah saat ini, selain menyedihkan, juga sangat mempermalukan Islam. Kita lihat sesama Al Qaida di Suriah saat ini saling memenggal kepala. Mereka mengklaim diri sebagai muslim sehingga perilaku mereka itu benar-benar mempermalukan Islam,“ kata Zarif.
“Barat berusaha memberikan ilusi bahwa konflik Suriah adalah rentetan dari Arab Spring dan bahkan berilusi bahwa dalam dua bulan Assad bisa digulingkan. Ilusi ini harus dihapus. Rakyat Suriah harus dibiarkan untuk menentukan sendiri nasib mereka, tanpa campur tangan asing. Iran memandang bahwa sama sekali tidak boleh ada intervensi asing dan solusi militer untuk Suriah,” tambahnya.
Mr Zarif juga kembali mengingatkan bahwa ilusi zero-sum harus dihapus dalam memandang konfik Suriah. Kondisi Suriah saat ini membuktikan, tidak ada yang menang; semua pihak sama-sama kalah dan rugi di Suriah.
“Namun upaya [untuk mengubah ilusi] itu, sepertinya masih memerlukan waktu yang panjang,” kata Zarif.
Tak Ada yang Lebih Mahal dari Kemerdekaan
Lebih lanjut, terkait nuklir, Iran mengambil langkah untuk lebih memperkuat hubungan dengan negara-negara yang sevisi dengannya dalam masalah pemanfaatan nuklir damai. Menurut Zarif, lebih baik memperkuat tangan negara-negara yang tidak setuju dengan sanksi daripada Iran daripada terus berseteru dengan negara-negara yang berkeras kepala untuk menerapkan sanksi kepada Iran.
“Negara-negara itu, terutama diplomatnya, punya kepentingan pribadi dengan terus mengangkat isu sanksi, demi peningkatan karir mereka,” kata Zarif yang disambut tawa peserta kuliah politik itu, yang sebagian besarnya adalah para diplomat.
“Yang diperlukan Iran kini adalah masalah kepercayaan internasional. Dengan hitung-hitungan logis saja, tanpa perlu melibatkan masalah ideologi, Iran tahu bahwa upaya memperluas power (kekuasaan) dan dominasi di kawasan, justru akan melemahkan power Iran sendiri,” lanjutnya.
“Barat seharusnya mengakui bahwa sanksi telah gagal,” tandas Zarif. Tapi yang terjadi, sebagian negara tetap mau berbisnis dengan Iran; saat diancam sanksi oleh AS, mereka bisa balik mengancam akan menuntut ke WTO. Zarif juga menceritakan, selain tekanan embargo, Iran juga diserang melalui terorisme. Hingga kini ada lima ilmuwan nuklir yang dibunuh oleh agen Israel.
“Kami telah membayar mahal demi mempertahankan proyek nuklir damai ini. Namun, tidak ada yang lebih mahal dari kemerdekaan, harga diri, dan integritas,” tegas Zarif. **)
Catatan ringan:
Usai acara, Mr Zarif menerima orang-orang yang antri ingin bicara informal dengannya. Mr Zarif dengan ramah mengiyakan saat kami (saya dan bersama beberapa teman lulusan HI yang sedang mengikuti masa pendidikan diplomat di Kemlu) meminta foto bersama. Dubes Iran (Mr. Farazandeh) dengan ramah menawarkan untuk memotretkan. Sayang hasil fotonya goyang. :)
(The Global Review/IRIB Indonesia/husainku.wordpress/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar