Hizbullah kini tengah menjadi
pusat perhatian dunia. Sejak agresi Israel ke Lebanon pada 12 Juli,
halaman-halaman utama media-media dunia terus memberitakan sepak-terjang
gerakan militan Syiah yang lahir pada 1982 itu dalam menghadang laju
pasukan Zionis. Lantas benarkah Hizbullah merupakan proksi Iran di
Lebanon, atau dapatkah perjuangan Hizbullah disamakan dengan al-Qaeda
yang membabi-buta itu?
Irman Abdurrahman**)
Hizbullah
kini tengah menjadi pusat perhatian dunia. Sejak agresi Israel ke
Libanon pada 12 Juli, halaman-halaman utama media-media dunia terus
memberitakan sepak-terjang gerakan militan Syiah yang lahir pada 1982
itu dalam menghadang laju pasukan Zionis. Orang mulai membuka-buka
referensi untuk memperoleh informasi lebih detail mengenai organisasi
yang didirikan oleh Abbas Musawi tersebut, dan segera mengetahui bahwa
militer hanyalah salah satu aktivitasnya selain politik, sosial, dan
ekonomi.
Di Libanon sendiri, Hizbullah semakin populer sejak berhasil mengakhiri pendudukan Israel
di selatan Libanon yang telah berlangsung selama 18 tahun pada 2000.
Popularitas inilah yang mengantarkan 23 wakil Hizbullah duduk di
parlemen.
Sebagaimana
lazimnya segala sesuatu, Hizbullah pun tak lepas dari pro dan kontra,
termasuk dalam kaitannya dengan serangan militer membabi-buta Israel terhadap Libanon dan Palestina. Penangkapan dua serdadu Israel oleh gerilyawan Hizbullah di Ayta ash-Shaab tiga pekan lalu menjadi alasan sah Israel
untuk meresponnya melalui pengerahan kekuatan militer yang jauh dari
proporsional. Ratusan nyawa melayang dan ribuan orang terusir dari
tanah-tanah mereka, dan Hizbullah pun menuai dua ragam reaksi yang
berbeda: pro dan kontra.
Pro-Kontra Hizbullah
Mari
kita mulai dari yang kontra. Terdapat beragam kecaman dan tudingan
terhadap Hizbullah tetapi utamanya berkisar pada dua hal.
Pertama,
bahwa Hizbullah adalah pemicu konflik ini, dan dengan aksinya telah
membahayakan keamanan regional dan menggagalkan proses perdamaian di
Timur Tengah. Bahkan seorang ulama Saudi lebih jauh lagi mengeluarkan
seruan yang melarang penggalangan bantuan bagi Hizbullah, baik secara
material maupun spiritual. Dalam konteks Indonesia, uniknya seruan ini diamini aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Mohamad Guntur Romli, dalam artikel
Perang tanpa Pemenang.
Kedua, bahwa Hizbullah tengah menjalankan agenda dua “orang tua asuhnya”—meminjam istilah Romli—Suriah dan Iran.
Keduanya sama-sama berupaya untuk mengalihkan perhatian dunia
Internasional dari problem masing-masing: Suriah dalam kasus pembunuhan
mantan Perdana Menteri Libanon, Rafik Hariri, sementara Iran dalam kasus program pengembangan nuklirnya.
Dua
pendapat di atas ingin menunjukkan bahwa hanya koneksi Iran dan
Suriah-lah yang mempunyai kepentingan terhadap konflik ini, dan
sekaligus mengabaikan kemungkinan adanya kepentingan AS dan juga Israel,
dua negara yang justru seringkali memiliki agenda terselubung. Dua
pendapat tersebut tampak ingin menyimpulkan bahwa: Iran, Suriah, Hizbullah, dan Hamas-lah yang bertanggung jawab atas krisis ini sedangkan Israel hanya membela diri.
Kini
bagaimana suara-suara yang mendukung, atau setidaknya berempati kepada
Hizbullah menjawab kedua opini tersebut. Dalam menghadirkan opini
pembanding ini, akan menarik jika penulis mengutipnya dari sumber-sumber
yang notabene independen.
Anders
Strindberg, penasehat politik Timur Tengah untuk Uni-Eropa, memandang
pendapat yang pertama sama sekali tidak berdasar. Bagi Strindberg, yang
juga mantan profesor tamu pada Universitas Damaskus, aksi Hizbullah
menangkap dua tentara Israel tidak bisa begitu saja dilepaskan dari
kenyataan agresi berkesinambungan Israel terhadap Libanon yang tidak
diekspos media.
Menurut laporan-laporan PBB—yang dikutip Strindberg dalam artikelnya
Hizbullah’s Attacks Stem from Israeli Incursions into Lebanon pada
Christian Science Monitor,
sejak penarikan mundur pasukannya dari selatan Libanon pada 2000,
Israel nyaris setiap hari melanggar “Blue Line”, batas demarkasi yang
ditetapkan dan diawasi PBB antara Israel dan Libanon. Sementara itu,
berdasarkan atas doktrin militernya yang digariskan pada 1990-an, Hizbullah akan menembakkan roket Katyusha ke Israel hanya dalam merespon serangan-serangan Israel terhadap penduduk sipil Libanon.
Selama
6 tahun sejak terusir dari wilayah yang didudukinya di selatan Libanon,
Israel secara konsisten melakukan teror terhadap penduduk sipil Libanon
secara keseluruhan, menghancurkan rumah-rumah, dan bahkan membunuh
beberapa di antaranya. Yang paling anyar adalah penembakan atas Yusuf
Rahil (15 tahun) oleh penjaga perbatasan Israel pada Februari 2006. Gembala ternak yang malang ini tewas ketika hendak mengandangkan ternak-ternaknya di selatan Libanon. Selain itu, adanya fakta bahwa Israel tidak mematuhi kesepakatan untuk melepaskan tanah pertanian Sheeba yang dikuasainya kepada Libanon. “
What peace did Hizbullah shatter?” (‘kesepakatan damai mana yang Hizbullah langgar?’) tulis Strindberg.
Mengenai tudingan keterlibatan Iran
dan Suriah yang mendorong Hizbullah untuk memicu krisis ini, Uri
Avnery, seorang penulis-aktivis Not In My Name—sebuah komunitas orang Israel pro-perdamaian—memiliki pandangan yang berbeda.
Menurut
Avnery, Hasan Nasrullah, Sekjen Hizbullah, adalah jauh dari kemungkinan
menjadi boneka Iran atau Suriah sebab memimpin sebuah gerakan orang
Libanon yang otentik: lahir dari perlawanan orang Libanon terhadap
Israel. Andaipun diminta Iran atau Suriah
untuk melakukan hal itu—yang dalam hal ini tidak ada bukti —dan melihat
bahwa permintaan tersebut berada di luar tujuan-tujuan gerakannya, maka
Nasrullah tidak akan melaksanakannya.
Lalu,
apa yang meyakinkan Nasrullah untuk memasuki petualangan yang penuh
risiko ini dan akan menempatkannya dalam pro-kontra? Jawabannya, menurut
Avnery, adalah Palestina.
Dua pekan sebelum 12 Juli, serdadu Israel telah lebih dulu memulai perang atas penduduk sipil di Jalur Gaza. Memang ini diawali oleh aksi militan Palestina yang menangkap Ghilad Shalid, seorang kopral Israel. Namun bagaimanapun, pemerintah Israel
menggunakan momen ini untuk melaksanakan sebuah agenda yang telah
ditetapkan jauh sebelumnya: menghancurkan pemerintahan Hamas yang baru
terpilih. Inilah salah satu operasi Israel yang paling brutal di Gaza.
Maka,
satu hal yang paling jelas—baik bagi Strindberg maupun Avnery—adalah
bahwa karena situasi dan kondisi di Palestina-lah, Nasrullah bangkit
melawan Israel dengan risiko digelarnya agresi militer besar-besaran terhadap negaranya dan dengan kemungkinan Iran dan Suriah yang tidak ingin mengambil risiko membantunya secara nyata.
Manusia
normal, siapa pun, tentunya tidak menginginkan peperangan dan
kehancuran. Namun, jika kemuliaan dan kehormatan sebagai sesama manusia
serta kebenaran dikangkangi, maka perlawanan dalam bentuk
perang—meskipun niscaya menimbulkan kerusakan-kerusakan fisik—terpaksa
harus dijalani. Ini bukan demi menang atau kalah karena perang sejati
bukanlah memenangkan wilayah tetapi memenangkan hati manusia. Dan,
inilah yang diyakini benar rakyat dan bangsa Libanon, seperti tergambar
dalam polling yang dilakukan kantor-kantor berita di AS—seperti dikutip
Aljazeera—bahwa: 81% Kristen, 85% Muslim Sunni, dan 86% Muslim Syiah memandang Hizbullah sebagai pembela tanah air mereka.
*) Tulisan ini dimuat di Harian
Republika edisi 7 Agustus 2006.
**) Irman Abdurrahman adalah staf Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta.
(husainku/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar