Mukadimah
“Jika tuhan bisa di observasi di bawah pisau bedah, maka saat itu pula saya akan meyakini keberadaan Tuhan“. Ungkapan yang di lantunkan oleh Jean Paul Sartre penganut paham Eksistensialisme-ateisme ini, bukanlah sebuah gubahan syair. Tetapi mengajarkan kepada kita sebuah epistemologi, bagaimana kita meyakini sebuah keberadaan. Barang kali Anda bertanya; epistemologi apakah yang dikumandangkan oleh Sartre?
Sederhana saja, Sartre meyakini bahwa “Sesuatu yang bisa kita yakini keberadaannya di luar, hanyalah bila sesuatu tersebut dapat diindera, yakni dilihat, disentuh ,diraba atau dicicipi. Dengan kata lain, ia hanya membatasi keberadaan hanya pada materi saja, artinya bahwa keberadaan adalah materi itu sendiri. Di sinilah letak perbedaaan mencolok antara pandangan dunia Materialisme dan pandangan dunia Ilahi.
Sartre hanya salah satu dari mereka yang mengingkari keberadaan non-materi. Jika kita membuka ensiklopedia Filsafat Barat, akan kita temukan puluhan Sartre lainnya, dalam bentuk yang berbeda.
Tema pembahasan kita kali ini tidak untuk menjelaskan secara jeluk tentang epistemologi yang berkenaan dengan pembahasan di atas. Tetapi terfokus pada bagaimana kita meyakini akan keberadaan non materi, metode apakah yang harus kita pakai. Apakah metode empiris (eksperimentasi) mampu membuktikan keberadaan alam non-materi?
Lantaran dalam pembuktian non-materi, dapat ditempuh dengan pelbagai metode, karenanya kami akan membahas secara ringkas metode tersebut. Dalam artian yang lain, kita akan mengevaluasi metode apakah yang cocok dalam membuktikan alam non-materi tersebut. Asumsi kami untuk sementara, bahwa metode yang paling praktis untuk membuktikan alam non-materi adalah dengan metode rasional (menggunakan piranti akal). Mengapa? Dengan izin Tuhan, Kami akan menjelaskan satu persatu metode yang dapat dipakai dalam membuktikan alam non-materi, dan membuktikan pula mengapa metode rasional merupakan metode yang paling unggul dan baik dalam membuktikan alam non-materi.
Satu hal yang ingin kami jelaskan adalah bahwa yang dimaksud dengan membuktikan alam non-materi ialah: ”Ketika kita mampu membuktikan salah satu ekstensi atau obyek luar (mishdâq) dari non-materi -misalnya jika ruh manusia kita yakini sebagai salah satu wujud non-materi- maka dengan sendirinya kita akan menyakini akan keberadaan alam non-materi, jika tidak , lalu di manakah keberadaan ruh setelah ia berpisah dari jasad?
1. Metode pengalaman spiritual[1]:
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membuktikan alam non-materi adalah dengan melihat langsung, atau meyakini orang-orang yang dapat menghadirkan ruh manusia yang telah meninggal. Cerita ini sering terekam dalam sinema-sinema , sinetron-sinetron atau melalui cerita-cerita tetangga kita di kampung yang sarat dengan mistik. Saking seringnya ia dinukil, terkadang mempengaruhi psikologi kejiwaan kita. Buktinya ketika kita berada dalam sebuah ruangan yang hanya terdapat diri kita dan mayat, kita akan merinding, walaupun kita yakini secara rasio bahwa mayat tidak mungkin melakukan sesuatu. Tetapi karena jiwa kita telah dipengaruhi cerita-cerita di atas, maka kita merasa yakin bahwa ruh manusia berbeda dengan badannya. Artinya walaupun badannya telah mati tetapi ruhnya bisa hadir kapan saja.
Salah satu kisah menarik yang diceritakan oleh Allamah Thabathabai yang berkaitan dengan menghadirkan ruh manusia, seseorang -yang hingga saat ini masih hidup di Tabriz- menuturkan kepadaku sebagai berikut, “Suatu saat saya sangat berkeinginan mengkaji masalah-masalah Filsafat, namun saya tidak tahu buku apa yang harus saya baca, dalam kondisi seperti ini, saya mencoba menghadirkan ruh seseorang, setelah ruh tersebut hadir di hadapanku, lalu saya bertanya kepadanya: buku apakah yang harus saya baca, dan pada siapakah saya harus merujuk, jika saya ingin mempelajari pembahasan pembahasan filsafat lebih dalam? Kemudian ruh tersebut menjawab: “Engkau belajar kitab Asfar Al–Arbaah pada seseorang yang bernama Sayyid Husain Thabathabai yang tinggal di jalan X, lorong x dan rumahnya seperti ini.
Saya sama sekali tidak mengetahui Allamah Sayyid Husain Thabathabai, apatah lagi mengetahui jalan, lorong dan bentuk rumahnya. Dengan keyakinan yang penuh saya datangi Allamah Thabathabai sesuai dengan petunjuk yang diceritakan oleh ruh tersebut. Ketika saya ketuk rumah tersebut, ternyata Allamah sendiri yang membuka pintunya, lalu saya katakan pada Allamah tolong ajarkan padaku Filsafat”.[2] Cerita di atas dapat dijadikan sebagai salah satu bukti wujud non-materi, yaitu bahwa di dalam diri manusia terdapat sesuatu yang hakiki yang independen dari raga manusia, bahwa jika raga manusia tak lebih dari sebuah materi, maka raga senantiasa berubah dan sirna setiap waktu.
Demikianlah hukum materi, ia berbeda dengan jiwa manusia yang merupakan inti diri manusia. Jiwa itu bersifat transenden dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Walaupun badan dan raga sirna, namun jiwa senantiasa eksis.
Tetapi metode di atas hanya bermanfaat bagi mereka yang melihat langsung melalui pengalaman spiritual seseorang, atau yang yakin terhadap apa yang di katakan oleh Allamah Thabathabai. Lalu bagaimana bagi mereka yang tidak melihat langsung atau tidak menyakini ucapan Allamah Thabathabai? Anggaplah cerita tersebut dapat dibenarkan, tetapi apakah hal tersebut dapat digeneralisasikan? Bukankah pengalaman spiritual terkadang mengalami kesalahan? Oleh karena itu, ada baiknya jika kita mencoba metode lainnya yang lebih memiliki nilai universal.
2. Metode Agama (Kalam)
Jika kita membuka ayat suci al-Quran ataupun hadis, kita menemukan berbagai perbendaharaan kata yang berhubungan dengan alam non-materi. Misalnya hari akhir, yauma yaqumu al-hisâb, hari perhitungan, malaikat dan sebagainya. Bahkan lebih dari itu salah satu ciri ciri orang beriman dalam Islam adalah “alladzina yu’minuna bilghaib” yaitu mereka yang meyakini pada hal hal yang ghaib dan syahadah.
Metode seperti ini yakni dengan menyakini apa yang di sampaikan oleh Allah SWT melalui Qur’annya yang disebut sebagai metode kalam atau ta’abbudi , jika kita membuktikan alam non materi dengan metode ini walaupun sangat bermanfaat bagi mereka yang menyakininya, namun metode ini pada saat yang sama hanya membatasi lawan bicara kita pada kaum muslim saja yang menyakini pada Qur’an lalu bagaimana cara kita membuktikan alam non materi pada penganut agama lain, khususnya bagi mereka yang tidak menyakini agama?
Dalam kesempatan kali ini pembicaraan kita tidak di khususkan pada kaum muslim saja, karena itu kita menggunakan metode ini dalam pembahasan mendatang.
3. Metode eksperimentasi
Sebelum kami menjelaskan apa yang dimaksud dengan metode eksperimentasi, kami akan menjelaskan terlebih dahulu tentang kata eksperimentasi itu sendiri. Pada kesempatan ini, kami tidak akan menjelaskan secara rinci maknanya satu persatu.Tetapi yang ingin kami tekankan adalah bahwa kata eksperimentasi dipredikatkan dengan inderawi, dimana inderawi tersebut terkadang hanya difokuskan pada inderawi lahiriah dan juga terkadang dapat dipredikatkan pula pada inderawi internal yaitu jiwa.
Misalnya dalam pembahasan ilmu Kalam -yang saat ini masih mendapatkan perhatian besar oleh para teolog- terdapat pembatasan yang disebut sebagai “religious experience” atau pengalaman keberagamaan. Salah satu persoalan penting yang dikaji dalam pembahasan tersebut adalah apakah pengalaman keberagamaan di antara agama-agama yang ada mengalami kesamaan atau tidak? Apakah memiliki substansi yang sama atau tidak .
Berkaitan dengan masalah ini, muncul sebuah pertanyaan sebagai berikut apakah metode pengalaman ruhani dapat membuktikan alam non materi?
Pertama, sebenarnya pertanyaan di atas mirip dengan pertanyaan yang berkaitan dengan metode pengalaman spiritual. Karena itu, jawabannya sama dengan yang telah kami jelaskan pada pembahasan sebelumnya. Kedua, dalam persoalan spritual terdapat hukum universal yang dapat berlaku bagi semua orang. Siapapun yang menjalankan riyadhah (latihan menempa jiwa), ia akan memperoleh mukasyafah (penyingkapan visioner) baik Anda percaya agama ataupun tidak. Kami tidak akan menjelaskan secara panjang lebar pembahasan ini di sini. Yang ingin kami tekankan adalah bahwa metode eksperimentasi yang kami maksudkan di sini adalah sebuah eksperimentasi yang bertumpu pada inderawi lahiriah (eksternal), artinya pengetahuan manusia harus kembali kepada eksprimentasi inderawi. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut sama sekali tidak memiliki makna. Oleh karena itu kebanyakan dari pemikir Barat mengingkari keberadaan konsepsi-konsepsi universal, karena konsepsi-konsepsi tersebut didapatkan melalui potensi akal. Namun mereka sama sekali tidak meyakini kemampuan potensi akal. Pemikiran yang seperti ini biasa disebut sebagai positivisme yang lahir pada abad ke 19 oleh August Comte.[3]
Pembahasan panjang lebar berkaitan dengan Positivisme dapat dikaji pada pembahasan khusus yang disebut sebagai Epistemologi. Oleh karena itu, yang ingin kami sampaikan di sini adalah bahwa metode eksperimentasi yang diusung oleh kaum Positivisme tidak akan pernah dapat membuktikan keberadaan alam non materi. Karena metode ini hanya mengakui hal hal yang sifatnya inderawi. Sedangkan subyek kita kali ini adalah membuktikan alam non materi sebagai sebuah alam yang tidak dapat dipersepsi oleh panca indera kita.
4. Metode akal
Sebelum kami menjelaskan pembahasan ini, dan menjelaskan metode akal, kami mencoba menkritisi secara ringkas metode eksperimentasi. Hal ini kami anggap penting, karena metode eksperimentasi tidak menyakini potensi akal. Dan jika ada pengetahuan yang di proleh oleh akal, maka hal itu dianggap tidak memiliki makna. Di sisi lain kami mencoba untuk masuk dalam metode akal dalam membuktikan alam non materi. Sebagaimana hipotesa kami sebelumnya bahwa metode akal sangat praktis dalam membuktikan alam non materi. Karena metode ini sifatnya universal dan diyakini secara hudhuri (presentif) oleh setiap orang, sekarang kami mencoba mengkritisi ajaran Positivisme :
1. Positivisme hanya membatasi eksperimentasi pada hal-hal yang bersifat inderawi dan tidak meyakini eksperimentasi internal seperti ilmu hudhuri di mana ilmu hudhuri adalah ilmu yang memiliki tingkat kebenaran yang tak dapat di ragukan. Karenanya tatkala Descartes mengatakan “cogito ergo sum “secara tidak langsung ia mengatakan pada diri kita bahwa hanya ilmu hudhuri yang dapat memberikan keyakinan pada kita. Ketika ia meragukan segala hal, pasti ia menemukan sebuah hakikat yang tidak mungkin ia ragukan, yakni keraguan itu sendiri. Artinya ia yakin bahwa ia ragu. Keyakinannya atas keraguan dirinya itulah yang tidak mungkin ia ragukan.
2. Dengan mematikan ilmu hudhuri dan hukum-hukum badihi (swabukti, gamblang dengan sendirinya) ini, maka berarti kita telah menutup jalan untuk membuktikan nilai pengetahuan. Karena dengan membatasi pengetahuan pada inderawi semata, kita telah membunuh dasar-dasar pengetahuan yang paling hakiki, yakni ilmu hudhuri dan hukum swabukti akal. Akhirnya kita tidak mempunyai alat justifikasi sama sekali dalam membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan.
3. Di antara pengetahuan-pengetahuan yang ada, pengetahuan inderawi lebih banyak memiliki kemungkinan kesalahan. Dengan memperhatikan ciri-ciri dan kekhususan persepsi inderawi, secara mendasar persepsi inderawi tidak bisa membuktikan keberadaan objektif dan ia tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dikemukakan oleh aliran Idealisme. Positivisme pada hakikatnya telah merugikan seluruh premis-premis universal dan hasil-hasil sains yang universal, karena premis-premis seperti “keseluruhan” kepastian dan lain-lain tidak dapat dibuktikan dengan inderawi.
4. Metode eksperimentasi bergantung pada prinsip kausalitas dimana kausalitas tidak dapat dibuktikan metode ini karena :
A. Sebelum kita mengadakan eksperimentasi, kita harus membuktikan terlebih dahulu keberadaan sesuatu yang ingin kita eksprimentasikan.
B. Kita harus meyakini secara pasti akan hasil eksperimentasi.
Dimana kedua hal tersebut di atas bergantung pada prinsip kausalitas, sebelum eksperimentasi tersebut kita lakukan.
Untuk membahas lebih luas lagi, kami persilahkan Anda merujuk pada pembahasan-pembahasan Epistemologi. Karena kami mencoba memfokuskan pembahasan pada pembuktian alam non materi dengan metode akal.
Menurut pandangan kami, pengetahuan manusia tidak terbatas pada ilmu-ilmu yang dihasilkan oleh indrawi semata, namun terdapat ilmu lain yang dihasilkan oleh akal. Misalnya prinsip non-kontradiksi. Prinsip ini mengatakan bahwa tidak mungkin dua keberadaan bekumpul pada satu tempat pada sisi yang sama dan pada waktu yang bersamaan. Misalnya tidak mungkin kita katakan pada diri kita, bahwa diri kita ada sekaligus tidak ada dalam waktu yang bersamaan.
Premis di atas kita yakini 100% tanpa perlu masuk pada laboratorium terlebih dahulu. Kalaupun kita mencoba membawanya pada laboratorium tidak ada alat laboratorium sama sekali yang dapat membuktikannya. Bahkan orang orang akan menertawakan diri kita jika kita ingin membawa premis tersebut ke laboratorium hanya untuk membuktikan kebenaran premis di atas.
Materi dan Non Materi
Sebelum kita masuk pada pembahasan inti, kita harus menjelaskan terlebih dahulu kedua kata di atas, dan menjelaskan ciri cirinya. Kata materi dan non materi adalah dua kata yang berlawanan, artinya jika materi adalah X, maka non materi adalah non X. Ciri ciri materi yang paling jelas adalah memiliki tiga dimensi, yaitu panjang, tinggi dan lebar. Atau bisa dinisbahkan padanya ke tiga sisi tersebut. Misalnya materi berbentuk bola, walaupun tidak secara jelas kita bisa perhatikan ketiga sisinya, namun kita bisa menisbahkan padanya ketiga sisi tersebut. Ciri lainnya memiliki tempat, dapat di ketahui melalui indera dan memiliki zaman.
Dengan memperhatikan ciri ciri di atas, kita dapat mengatahui ciri dari wujud non materi tersebut. Dimana wujud non materi kebalikan dari unsur materi. Yang ingin kami tambahkan bahwa para urafa dan filosof Iluminasi membuktikan jenis ketiga dari keberadaan. Wujud ketiga adalah perantara adalah alam materi mutlak dan non materi mutlak dan menyebutnya sebagai wujud mitsâli. Mulla Shadra menyebut wujud tersebut dengan istilah mujarrad mitsâli dan barzakhi.[4]
Pembuktian alam non materi
Dalam pembahasan selanjutnya, kami akan membuktikan alam non materi dengan dalil akal. Dan kami akan memulainya dengan membuktikan kenonmaterian sebuah ilmu. Lalu melalui kenonmaterian sebuah ilmu akan terbukti pula kenonmaterian jiwa dan alam nonmateri.
Dalil kenonmaterian ilmu
Membuktikan kenonmaterian ilmu, merupakan hal yang sangat penting, karena dengan membuktikan bahwa ilmu adalah non materi, maka pada saat yang sama, kita dapat membuktikan kenonmaterian wujud nafs (jiwa). Jika kedua hal tersebut berhasil kita buktikan, berarti teori kaum materialisme yang menyatakan bahwa “ eksistensi adalah materi itu sendiri“ tidak memiliki dasar sama sekali. Sebab ternyata terdapat sebuah eksistensi yang tidak memiliki ciri materi sama sekali.
Dalil bahwa ilmu itu merupakan wujud non materi adalah bahwa “gambaran persepsi” (suwar idraki) tidak memiliki sifat materi. Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa materi memiliki ciri ciri sebagai berikut:
1. Dapat dibagi.
2. Mengalami perubahan.
3. Partikular (juz’i ).
4. Disharmonisasi (ketidakcocokan) suatu yang kecil pada yang besar.
Perkara yang kami sebutkan di atas, merupakan ciri ciri materi. Sebab setiap wujud materi dapat dibagi, mengalami perubahan partikular, dan materi yang kecil tidak dapat dicocokkan pada hal yang besar. Di sisi lain “gambaran inderawi“ (suwar idrak) sama sekali tidak memiliki ciri-ciri di atas. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa “ gamabaran inderawi“ atau ilmu adalah wujud non materi.
Dalam buku Bidâyat al-Hikmah terdapat empat dalil yang membuktikan bahwa ilmu adalah non materi :
1. Ilmu tidak mengalami perubahan, ia senantiasa tetap. Sejak ilmu tersebut didapatkan, ilmu tidak mengalami perubahan. contoh sederhana misalnya ketika kita mengunjungi sebuah tempat. Di tempat tersebut kita temukan pohon kelapa yang tingginya ± 2 meter. kemudian tempat tersebut kita tinggalkan. 20 tahun kemudian kita kunjungi lagi tempat tersebut, ternyata kita temukan pohon kelapa tersebut setinggi 10 meter. Lalu kita kabarkan pada kawan kita situasi yang ada pada 20 tahun yang lalu dengan saat ini, “Lihatlah pohon itu, 20 tahun yang lalu aku temukan pohon tersebut tingginya masih dua meter, dan sekarang ± 10 meter”. Pertanyaanya, mengapa kita bisa membandingkan pohon tersebut?Jawabnya: Karena “gambaran persepsi“(ilmu) kita terhadap pohon tersebut yang kita miliki 20 tahun lalu, masih terdapat dalam alam konsep kita, hingga kita dapat membandingkan keduanya. Pertanyaan selanjutnya, mengapa ilmu kita 20 tahun lalu tidak pernah berubah?. Jawabnya, karena ia tidak lagi memiliki ciri materi,oleh karena itu, pohon kelapa (yang ada di luar) akan senantiasa berubah, karena keberadaanya tak lepas dari materi.
2. Ilmu tak dapat di bagi: Bila gambaran ilmu itu bersifat materi, maka tentunya ilmu kita dapat di bagi sebagimana halnya materi. Jika kita mengambil sebuah batang lidi dan kita mampu membagi lidi tersebut menjadi dua bagian. Kemudian masing-masing dari dua bagian tersebut kita bagi lagi dan bagitu seterusnya, dan selama ia memiliki dimensi pasti lidi tersebut masih bisa dibagi. Namun perhatikan dengan gambaran sebuah pohon yang kita persepsi di alam mental kita, kemudian pohon tersebut kita bagi dua. Pertanyaanya adalah setelah kita membagi pohon tersebut menjadi dua bagian, apakah pohon sebelumnya telah sirna ataukah ia masih berada dalam alam mental kita? Jawabnya adalah bahwa pohon tersebut masih tetap ada, karena walaupun kita telah membaginya, tetapi pada hakikatnya ia masih tetap berada dalam alam mental kita. Karena pohon yang pertama (utuh, belum terbagi) masih bisa kita hadirkan untuk kita bagi lagi. Oleh karena itu, pada hakikatnya pohon tersebut tidak pernah kita bagi. Yang terjadi adalah kita memiliki dua pengetahuan terhadap pohon tersebut, pertama ilmu kita terhadap “pohon tersebut“, kedua ilmu kita terhadap “pohon yang di bagi dua “. Karena penciptaan gambaran pohon tersebut begitu cepat seolah-olah pohon yang pertama kali kita persepsi itulah yang kita bagi .
3. Gambaran gambaran pengetahuan kita tidak lekang oleh waktu. Contoh pada bagian pertama membuktikan bahwa ilmu kita terhadap pohon kelapa 20 tahun yang lalu -walaupun telah melewati waktu selama 20 tahun- namun ilmu kita terhadap pohon tersebut tetap saja seperti itu .
4. Gambaran ilmu tidak tersekat dalam ruang atau tempat. Sebab, jika demikian maka gambaran ilmu tersebut dapat dipersepsi dengan inderawi. Artinya kita tidak pernah dapat menyatakan bahwa ilmu berada dalam sudut ruang X hingga kita dapat menunjuknya, mengontrolnya dengan seksama, selain dari pada hal di atas maka ia dapat menitis pada ruang dan tempat, padahal otak kita lebih kecil dari pada gambaran yang ia persepsi seperti persepsi kita terhadap langit, gunung, laut dan sebagainya. Jika semua ini adalah materi lalu bagaimana mungkin ia dapat masuk ke dalam otak kita yang kecil? Bisakah lubang semut menampung gajah?
Keempat hal di atas adalah bukti akan ke “nonmaterian “ ilmu pengetahuan. Tidak mengherankan jika salah satu isi surat Imam Khomeini kepada Gorbachev, selain dari pembuktian Tuhan terlampir juga pembuktian keberadaan non materi dengan membuktikan kenonmaterian ilmu (ilmu gambaran dan persepsi). Namun mereka menjawab surat Imam Khomeini dengan jawaban yang sangat sederhana: Anda telah ikut campur dalam urusan dalam negeri kami, Imam menjawabnya dengan sangat indah: ”Mereka tidak memahami pesanku secara mendalam, yang aku inginkan – hanyalah – membuka sebuah pintu ghaib untuk mereka” [5].wisdoms4all
Referensi:
[1]Naqd-e Fesyurde Bar Marxisme, Mizbah Yazdi, hal 25,1367
[2]ibid.,
[3].Epistimologi, Muassasah Pazuhesy Imam khomeini, hal 64
[4] A^muzesye Falsafeh, jil 2, hal 135
[5] Furughe Hikmat, Muhsin Dehqani, hal 281.
(lenteralangit/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar