Bukankah Membudayakan Toleransi itu Bisa Membantu Kelanggengan Pemerintahan Islam?
Penjelasan untuk pertanyaan diatas adalah rahasi kelanggengan dan keberhasilan setiap pemerintahan, itu berada pada koridor penerimaan masyarakat secara umum atas pemerintahan tersebut dan pemerintahan Islam juga tidak terlepas dari kaidah-kaidah umum seperti ini; untuk terealisasinya acceptance (penerimaan) ini, mesti menghindari pemberlakuan aturan-aturan yang rumit dan bersikap tepo seliro dengan rakyat. Sebagai contoh, pemberlakuan sebagian aturan-aturan Allah Swt seperti qisas, rajam, potong tangan dan lain-ain yang memungkinkan sedikit demi sedikit munculnya kedengkian ditengah-tengah masyarakat yang pada nantinya berubah menjadi sebuah gerakan menentang pemerintahan Islam; anak keturunan pembunuh atau perusak lingkungan yang dihukum gantung akan sentiasa berpikir untuk membalas dendam; pencuri dan keluarganya akan menjadi benci terhadap pemerintah, dan lain sebagainya; jadi untuk menjaga pemerintahan Islam, mestilah memberikan kelonggaran dan bersikap toleran dalam mengaplikasikan aturan-aturan semacam ini.
Tentunya memasyarakatnya budaya toleransi, bisa menjadi sebuah solusi yang cukup stabil dalam menghindari hal-hal yang dapat merusak pemerintahan, terlepas dari hal-hal yang banyak diungkapkan oleh sebagian orang bahwa menarik kerelaan masyarakat secara umum dalam segala kondisi merupakan sesuatu yang sangat mustahil dan pasti ada saja sekelompok orang yang tidak akan senang dan tidak akan rela; jadi untuk terhindar dari bahaya atau bahkan malapetaka yang kelak muncul dari orang-orang yang tidak senang dan tidak rela tersebut, maka jangan pernah bermimpi untuk mendirikan pemerintahan yang agamis dan lebih baik pemerintahan itu mengarah kepada pemerintahan yang sekuler dan adapun terkait dengan urusan agama itu dibatasi hanya pada hal-hal yang sifatnya personal.
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka ada beberapa hal yang perlu dijelaskan disini; pertama, memperjelas peran masyarakat atas pemerintahan Islam dan kedua, memperjelas visi misi pemerintahan Islam dan tujuan pokok serta mendasarnya.
Peran Masyarakat Terhadap Pemerintahan Islam
Secara fundamental para ulama syi’ah menganggap bahwa masyarakat tidak punya peran sama sekali terhadap prinsip legitimasi dan kebenaran pemerintah dan pada sejatinya kekuasaan itu milik mutlak Allah Swt dan tak seorang pun yang lain yang memiliki hal ini kecuali atas izin-Nya; orang lain tidak hanya tidak punya hak kekuasan, tapi bahkan tidak punya hak sama sekali mengintervensi setiap ciptaan yang ada di alam ini. Seluruh alam semesta termasuk manusia merupakan milik hakiki Allah Swt dan segala wujud dan unsure-unsur keberadaan mereka itu kepunyaan-Nya semata dan mereka tidak memiliki sedikit pun dari itu; disamping itu, logika serta akal kita membenarkan bahwa menggunakan atau memanfaat hak milik orang lain (tanpa izin) merupakan perbuatan yang tidak etis, tidak baik dan bahkan dianggap sebuah sikap aniaya; dengan demikian, tidak seorang pun manusia yang berhak -tanpa izin-Nya- melakukan intervensi atas dirinya, orang lain dan makhluk-makhluk lainnya. Dan sangat jelas bahwa konsekuensi sebuah pemerintahan adalah terkadang dengan menangkap dan menahan, memasukkan ke sel tahanan dan membayar denda, mengambil pajak, menghukum gantung dan singkatnya segala bentuk intervensi dan pembatasan yang bervariasi atas sikap-sikap dan kehidupan setiap pribadi masyarakat, dan hakim atau penguasa -atas intervensi-intervensi semacam ini- harus memiliki legitimasi langsung dari Sang Pemilik Mutlak yaitu Allah Swt dan kalau tidak demikian maka menurut hukum akal, segala bentuk intervensinya itu dikategorikan sebagai perbuatan yang sifatnya anarkis, aniaya dan sebuah bentuk pemerkosaan hak-hak.
Berdasarkan dalil dan argument yang kita miliki, Allah Swt telah melimpahkan legitimasi semacam ini kepada Rasulullah saw dan para Imam Ma’shum as (paska beliau saw): “Rasulullah saw bagi orang-orang mukmin adalah lebih utama dari diri mereka sendiri”. “Taatilah oleh kalian Allah Swt, rasul-Nya dan ulil amri dari kalian”.
Demikian halnya berdasarkan dalil-dalil pembuktian wilayat al faqih, pada dekade okultasi (kegaiban) Imam Ma’shum as, hak dan legitimasi semacam ini diserahkan kepada faqih yang memenuhi seluruh syarat-syaratnya (jami’ al syara’ith) dan diangkat oleh Allah Swt dan Imam Ma’shum as untuk memerintah; namun kita tidak punya dalil yang menjelaskan bahwa hak semacam ini, juga diberikan kepada yang lain yang antaranya adalah kepada salah satu masyarakat sebuah lingkungan dan kaum muslimin. Tentunya pada semua dimensi, yang menjadi sumber pemerintahan adalah wahyu ilahi, Rasulullah saw dan para Imam Ma’shum as, dan pada masa okultasi ini, seorang faqih yang telah memenuhi syarat-syarat juga harus mengikut kepada wahyu ilahi dan ia harus berada pada barisan paling awal dalam menjalankan dan mengamalkan taklif dan kewajiban dari Allah Swt tersebut. Bahkan sang pembawa wahyu ilahi, ia sendiri bukanlah sumber kebenaran, akan tetapi pengikut kebenaran dan sama sekali tidak punya intervensi pada wahyu dan aturan Ilahi.
Oleh karena itu, pada tahapan pemberlakuan syari’at atau aturan, pemerintahan itu berasal dari Allah Swt dan Ia memilih orang-orang yang akan memimpin serta memerintah ditengah-tengah masyarakat dan Ia pula memberikan izin dan serta legitimasi kepada orang-orang tersebut untuk memerintah. Sumber pemerintahan seperti ini adalah Allah Swt dan hak dan legitimasi kekuasaan semacam ini merupakan hak penuh Allah Swt, baik itu masyarakat mau menerimanya dengan penuh kerelaan atau pun tidak; pada tahapan ini, penerimaan atau penolakan masyarakat tidak memiliki peran sama sekali. Tentunya menilik ungkapan Allamah Thabathabai: “pada sebuah masyarakat ilmu dan takwa yang mana merupakan hasil didikan Islam, mayoritas tidak akan pernah mendahulukan kehendak serta keinginan hawa nafsu atas hakikat dan kebenaran”.
Setelah melalui tahapan ini, kehendak dan keinginan masyarakat secara mendasar punya peran penting pada tiga dimensi berikut ini:
Pertama: masyarakat, untuk merealisasikan dan mewujudkan penguasaan dan pemerintahan, punya peranan penuh dan masalah ini secara keseluruhan sangat bergantung pada penerimaan masyarakat; yakni masyarakat yang menyediakan lahan atau lapangan untuk terbentuknya sebuah pemerintahan, dan selama masyarakat tidak mau maka pemerintahan Islam tidak akan pernah terwujud dn para nabi, imam ma’shum, faqih tidak pernah menggunakan cara-cara anarkis atau dengan pemaksaan untuk meraih kekuasaan serta mendirikan pemerintahan yang Islami dan mereka akan mendirikan pemerintahan ketika masyarakat menghendaki serta menginginkan mereka. Sebagaimana halnya Amirul Mukminin Ali as ketika menjelaskan ihwal pemerintahannya dalam khutbahnya yang sangat populer dengan nama khutbah syaqsyaqiyah, bersabda: “apabila orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujjah, dan apabila tak ada perjanjian dengan Allah dengan ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan kekhalifahan dari bahu saya”.
Dalam hal ini juga, seperti seluruh hukum dan aturan-aturan Ilahi itu, masyarakat menerimanya dengan ikhtiar mereka sendiri serta menaatinya ataukah menolak dan tidak melaksanakannya. Tentunya sepanjang sejarah, masyarakat diharuskan menerima kekuasaan Ilahi dan pemerintahan para nabi dan para imam dan jika tidak, maka di hadapan Allah Swt ia dianggap pembangkan serta pendosa yang akan mendapat balasan azab kelak.
Kedua. Pada hal-hal yang ada hubungannya dengan penentuan kebenaran yang mana merupakan sesuatu yang sangat sulit dan rumit dan para pakar pun bersilang pendapat atau pandangan. Tentunya masalah ini hanya terjadi pada dekade okultasi dan pada masa dimana para Imam Ma’shum as hadir ditengah-tengah kita, hal ini seperti ini tidak terjadi karena Imam as secara langsung punya kontak dengan wahyu Ilahi dan kebenaran itu ia petik langsung dari sumber utama dan sama sekali tidak pernah salah dalam menentukan mana yang hak. Islam mengatakan : Hak adalah sesuatu yang ditetapkan melalui wahyu, namun ketika hal itu tidak jelas, jika mayoritas para pakar dan ulama menganggap atau menetapkan sesuatu itu bersumber atau sesuai dengan kehendak agama maka ia lebih didahulukan daripada yang ditetapkan oleh minoritas.
Perbedaan mendasar mayoritas pada sistem demokrasi dengan mayoritas pada sistem islami terletak pada bahwa dalam pemerintahan Islam, hak dan aturan lebih utama dari mayoritas dan mayoritas merupakan media untuk mengungkap dan menyingkap kebenaran, bukan yang memproduksi serta yang mewujudkan kebenaran ; akan tetapi pada sistem demokrasi dan non-agama, mayoritas itu berada pada posisi sebelum hak dan aturan dan ia berperan sebagai produser dan yang mewujudkan kebenaran dan aturan-aturan.
Ketiga. Pada tahapan penerapan dan pelaksanaan ; dalam artian bahwa pilihan mayoritas masyarakat memiliki validitas tersendiri terkait dengan masalah penerapan dan pelaksanaan aktifitas-aktifitas mereka. Orang-orang yang pada sub-sub penyusunan undang-undang dan pada masalah kenabian dan keimamahan ma’shum serta pada bagian legitimasi dan wilayah kepemimpinan, sangat patuh dan taat pada kebenaran maka hasil ketetapan mereka dalam masalah penerapan bisa menjadi hujah dan kehadiran dan pilihannya yang bebas dan penuh analisis memiliki saham dalam menentukan nasibnya dan untuk menyelesaikan segala problemanya dan memenuhi seluruh kebutuhannya, maka mereka memilih orang-orang yang akan menjadi wakilnya di majlis permusyawaratan islami atau yang semisalnya.
Oleh karena itu, masyarakat tidak punya peran sama sekali terkait dengan kebagaimanaan pemerintahan, hukum serta aturan-aturannya ; karena legitimasi pemerintahan Islam berada dalam gengaman Allah Swt dan Ia-lah yang menentukan batas-batasannya dan tidak bisa merubah batasan-batasan tersebut dengan alasan demi menyenangkan masyarakat ; betul bahwa kehendak dan kerelaan masyarakat menjadi syarat terwujudnya serta terbentuknya pemerintahan Islam ; namun setelah pemerintahan Islam terbentuk maka masyarakat berkewajiban untuk menaati serta menjalankan seluruh aturan-aturan yang ada semaksimalnya ; dan pada masalah-masalah yang dianggap kurang jelas dan buram, maka yang menjadi prioritas adalah pendapat mayoritas para pakar dan ulama Islam ; demikian pula cara dan proses pelaksanaan atau penerapan hukum dan aturan-aturan Ilahi, kehendak mayoritas masyarakat menjadi prioritas.
Visi dan Misi Pemerintahan Islam
Kalau sebuah pemerintahan, pikirannya hanya terfokus pada menarik perhatian dan kesenangan rakyatnya dan berkhidmat kepada mereka dan menyerahkan serta mengorbankan seluruhnya demi keridaan masyarakat -kendati para pengklaim pembantu masyarakat seringkali menggunakan syiar dan slogan-slogan ini sebagai taktik politik untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya- ia senantiasa menjadikan keridaan masyarakat sebagai tujuan aslinya ; namun kerelaan dan keridaan yang sifatnya menyeluruh ini tidak akan pernah terealisasi dan mau tidak mau pada ada saja kelompok-kelompok yang berusaha untuk menentang pemerintahan. Dengan alasan inilah, pemerintahan-pemerintahan yang demokratik dan non-agamis senantiasa mengaung-aungkan slogan mayoritas dan pembudayaan sikap toleransi bagi mereka adalah hal yang sangat cocok dan sesuai.
Namun dalam kacamata Islam, berkhidmat dan berbakti kepada manusia dan makhluk bukanlah hal yang dianggap memiliki nilai kemanusiaan paling tinggi, akan tetapi masih ada nilai-nilai yang lebih tinggi lagi dimana kalau ia tidak menjadi prioritas utama maka nilai khidmat dan baktinya akan hilang begitu saja, seperti halnya yang diungkapkan Ustaz Syahid Muthahari (semoga Allah Swt selalu merahmatinya) : anggaplah bahwa kita telah membuat ciptaan-Nya menjadi kenyang dan memberinya pakaian, maka kita baru berbakti kepada seekor hewan.
Kalau saja kita tidak mengakui bahwa pada diri mereka ada nilai-nilai yang lebih tinggi dan nilai-nilai itu hanya terbatas pada berbakti kepada makhluk semata, (bukan pada kita) dan juga bukan pada yang lain tidak ada yang namanya nilai, makhluk Tuhan itu adalah sekumpulan dari domba-domba, kuda dan lain-lain. Tentunya kalau manusia membuat hewan tersebut menjadi kenyang, maka ia telah melakukan sesuatu ; akan tetapi apakah batas maksimal dan tertinggi manusia itu adalah bahwa tetap untuk berada pada posisi hewaniah (kebinatangan-nya) dan batas tertinggi serta maksimal dari khidmat dan bakti saya adalah berbakti kepada binatang-binatang seperti diri saya ? tidak, berbakti kepada manusia memang memiliki nilai tinggi, akan tetapi dengan syarat dan catatan bahwa atas dasar kemanusiaan (insaniah)-nya.
Ada dua tujuan paling penting pemerintahan Islam :
Pertama : membimbing manusia ke arah menjadi khalifah di muka bumi (khalifatullah fil ardh) dan menyiapkan perbekalan-perbekalan perjalanan dan sair suluk mereka ;
Kedua : membentuk sebuah UTOPIA dari negara Islam, menyiapkan dasar-dasar peradaban yang benar dan menjelaskan prinsip-prinsip yang menjadi prioritas terkait dengan masalah hubungan internal maupun eksternal.
Literatur-literatur agama, seperti ayat-ayat Al Qur’an, teks-teks hadits dan juga sejarah para Imam Ma’shum as dan pemimpin-pemimpin Ilahiyah, kendati mengandung ma’arif dan pengetahuan yang cukup banyak serta poin-poin yang banyak memiliki nilai mendidik, akan tetapi itu semua teringkas pada kedua poin diatas. Pada kedua poin diatas, hal yang paling esensial adalah poin pertama ; yakni mengantarkan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ; karena sebuah Utopia ibaratnya seperti badan manusia, dan khalifah Tuhan ibaratnya seperti ruh manusia ; badan kendatipun cukup sehat kelak akan mati dan melebur ; sementara ruh selalu hidup dan bertahan. Demikian halnya sebuah utopia meskipun memiliki peradaban yang cukup tinggi namun hal itu tidak akan bertahan lama ; sementara khalifatullah (khalifah Tuhan) dimana yang dimaksud adalah manusia sempurna akan selalu tetap bertahan dan terjaga dari segala bentuk kehancuran.
Konsekuensi khilafah Ilahi itu adalah bahwa manusia sempurna, yakni khalifatullah, mesti berusaha menyiapkan dan memiliki seluruh kesempurnaan seperti yang dimiliki Allah Swt. Dan pada seluruh kesempurnaan tersebut menjadi penampakan dari diri Allah Swt ; oleh karena itu, keadilan dan yang semisalnya -disebut sebagai tujuan-tujuan utama pemerintahan Islam- kendati dianggap sebagai sebuah kesempurnaan namun semuanya itu masih merupakan cabang-cabang dari kesempurnaan yang asli dan dasar ; karena manusia yang muta’ali (yang tinggi) yang merupakan khalifah Tuhan, adalah menjadi sumber dari seluruh kesempurnaan tersebut.
Untuk mencapai tujuan yang luhur ini, masyarakat mesti dan hendak menjalankan dan menerapkan seluruh perintah Ilahi hingga mereka menjadi bercahaya, dan ketika ia melanggar dan bermaksiat, hendaknya membersihkan wujud dirinya itu dengan melakukan taubat dan penyesalan sehingga kekeruhan dan kegelapan bisa hilang dari mereka dan menjadi dekat ke maqam khalifatullah ; bukan malah memasyarakatkan budaya toleransi barat dan menghancurkan kebahagiaan abadinya dengan bersikap acuh tak acuh dan tidak perduli.
Referensi/Catatan Kaki:
. ulama ahlusunnah juga berpandangan seperti ini terkait dengan pemerintahan Nabi saw dan perbedaan pandangan itu menjadi berbeda terkait dengan pemerintahan paska Nabi saw, dimana mereka biasanya menyebutkan tiga dasar untuk meligitimasi pemerintahan paska Rasulullah saw, tiga dasar tersebut adalah: 1. Kesepakatan ummat (ijma’ ummat), 2. Diangkat oleh khalifah sebelumnya, 3. Penetapan ahlul hal wal ‘aqd. (Ja’far Subhani, al Ilahiyat ‘ala Hudal Kitab was Sunnah wal ‘Aql).
.Qs. Al Ahzab: 6.
. Qs. An Nisa: 59.
. MT. Mishbah Yazdi, Negahi Guzara be Nazhariy-e Wilayat-e Faqih, hal. 70-71.
. Abdullah Jawadi Amuli, Wilayat-e Faqih: Wilayat-e Faqahat wa ‘Idalat, hal. 90.
. Sayyid Muhammad Husein Thabathabai, Majmu’e-e Maqalat wa Pursesy-ha wa Pasukh-ha, jilid 1, hal. 140.
. Nahjul Balaghah, khutbah ketiga.
. Muhammad Mahdi Nadiri Qumi, (diambil dari kajian-kajian MT. Mishbah Yazdi) Negahi Guzara be Nazhariy-e Wilayat-e Faqih, hal. 73-74.
. Abdullah Jawadi Amuli, Wilayat-e Faqih: Wilayat-e Faqahat wa ‘Idalat, hal. 91.
. ibid, hal. 91-91.
. Murtadha Muthahari, Insan-e Kamil, hal. 47-48.
. ibid, hal. 99-100.
(alhassanain/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar