Oleh: Euis Daryati
Masalah wanita merupakan masalah yang begitu pelik dan kompleks. Berbagai artikel memperbincangkan wanita, belum lagi forum-forum diskusi sudah banyak dilakukan. Namun demikian, wanita dan kewanitaan selalu menjadi topik yang selalu hangat dan tetap banyak digemari. Sebetulnya, siapakah “wanita”? bagaimana keberadaannya? bukankah substansi wanita dimulai sejak munculnya kehidupan manusia? Sebagaimana Tuhan menciptakan lelaki, maka Dia pun menciptakan perempuan sebagai pasangan hidupnya. Akan tetapi di sepanjang sejarah, kenapa wanita selalu diperlakukan secara tidak adil?
Keterhinaan, ketertindasan dan ketersiksaan merupakan fenomena yang sering kita lihat dalam sejarah hidup wanita, terlebih sebelum munculnya agama Islam. mungkin saja fenomena semacam itu masih bisa didapati setelah munculnya Islam, meskipun tidak separah sebelum kemunculannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kita akan sedikit mengulas masalah wanita menurut pandangan Islam; agama yang selalu mengajarkan keseimbangan dalam segala hal, agama yang tidak mengajarkan seseorang untuk berada pada dua titik ekstrim, sebagaimana Rasul SAWW bersabda: ”Sebaik-baiknya perkara adalah titik tengah”. Tak terkecuali dalam masalah wanita. Sebab, Islam memandang wanita secara komprehensif. Dari satu sisi, wanita itu sama dengan lelaki, namun dari sisi lain ia berbeda dengannya.
Sebaiknya, sebelum membahas permasalahan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam, marilah kita mengulas terlebih dahulu secara eksplisit kedudukan perempuan dalam pandangan berbagai kaum dan agama sebelum kemuncul Islam, sehingga kita dapat melihat dan membandingkan dari sekian pendapat yang ada. Berdasarkan prolog di atas, terlebih dahulu kita menguraikan beberapa tradisi non-Islam:
Perempuan dalam Tradisi Kesukuan
Dalam kehidupan masyarakat primitif yang berasaskan kesukuan, dimana tatanan kehidupan hanya berlandaskan adat serta kebiasaan, perempuan tidak dianggap sebagai manusia, apalagi anggota masyarakat. Bagi mereka, ia diperlakukan sebagai hewan piaraan yang berfungsi sekedar untuk memenuhi desakan biologis lelaki. Lebih dari itu, ketika pada musim sulit seperti musim kemarau, daging perempuan malah dijadikan santapan. Keadaan seperti ini berlangsung ketika mereka hidup bersama ayahnya sampai mereka berumah tangga. Pemilik rumah dapat menjual perempuan ataupun memberikannya kepada orang lain sekedar untuk pesta pora. Begitu pula, dia dapat menyewakannya ataupun meminjamkan kepada orang lain, dan kalau perempuan tersebut tidak mematuhi perintahnya, maka dia berhak menyiksanya ataupun membunuhnya.[1]
Perempuan dalam Tradisi Kerajaan
Dalam masyarakat kerajaan (kekaisaran) seperti yang pernah terjadi di India, Persia (Iran) dan Cina dan masyarakat maju pada abad seperti Yunani dan Romawi, dimana tatanan kehidupan mereka berdasarkan aturan dan undang-undang, kendati nasib perempuan sedikit lebih baik, akan tetapi mereka belum mendapatkan hak-hak yang sepenuhnya.
Dalam pandangan peradaban Yunani, dimana masa itu merupakan puncak keemasan dan pusat kemajuan bagi peradaban barat. Di mata mereka, perempuan adalah mahluk yang sangat hina, tugasnya hanyalah kerja di rumah dan hanya untuk memenuhi nafsu birahi dan sebagai penjelmaan setan. Andaikan ia melahirkan anak yang cacat, maka ia akan dibunuh. Dan, seorang suami dapat meminjamkan dan memberikan istrinya kepada seseorang yang ia kehendaki. Begitu pula pernikahan dan perceraian biasa dilakukan oleh seorang wali wanita tanpa sepengetahuannya.
Masih Di era puncak peradaban Yunani, dimana masa itu merupakan masa keemasan dan kemajuan bagi masyarakat Barat, keberadaan perempuan tidak dihormati dan tidak mempunyai hak untuk belajar kecuali wanita bangsawan saja.[2] Singkat kata, dalam pandangan mereka perempuan tidak mempunyai hak-hak individu maupun sosial.
Pun, nasib perempuan di Romawi Kuno tak jauh beda dengan yang lainnya. Dalam pandangan mereka, perempuan tidak mempunyai ruh manusiawi, oleh karena itu pada hari kiamat kelak para perempuan tidak akan dibangkitkan, karena yang akan dibangkitkan pada hari itu ialah yang memiliki ruh manusiawi saja. mereka menganggap perempuan tidak lebi dari sebagai barang. Selain itu mereka memandang perempuan sebagai penjelmaam setan dan berbagai macam arwah pengganggu dengan tipu dayanya selalu berusaha untuk menutup akal dan hati. oleh karena itu mereka melarang perempuan dari tertawa dan berbicara.
Perempuan sebagai barang dagangan yang diperjualbelikan, di hadapan suami dan ayah tidak mempunyai hak milik, hak bergaul, hak bepergian, bahkan lebih parah dari itu tidak mempunyai hak hidup. Kapan saja si ayah merasa perlu, ia dapat menjualnya, disewakan bahkan dibunuh. Begitupun perempuan tidak mempunyai hak dalam memilih calon suaminya. Apapun yang diputuskan walinya, maka perempuan harus menerimanya.[3]
Tak jauh beda dengan yang lainnya keadaan perempuan dalam peradaban Persia pun terhina dan tertindas serta tidak mendapatkan hak-hak sebagaimana halnya manusia. Di mata mereka, perempuan hanyalah sebagai budak dan tawanan dimana dapat diperlakukan dan diperjualbelikan sesuka hati. jual beli wanita sudah menjadi kebiasaan masyarakat Persia dan India waktu itu. Setiap tahunnya, kurang lebih dua belas ribu wanita yang diperjualbelikan. Disebutkan dalam sejarah bahwa Hhosru Parwiz, raja dinasti Sasanian ke-23, mempunyai dua puluh tiga ribu istri di istana pribadinya, belum lagi simpanan penyanyi dan penari khusus.
Begitupula pada beberapa masa sebelum kedatangan Islam, tatkala tatanan masyarakat Persia berdasarkan struktur sosial -yang membagi masyarakat pada beberapa golongan yaitu golongan bangsawan dan masyarakat biasa- kedudukan perempuan bangsawan dibedakan dengan perempuan masyarakat biasa. Meski begitu, perempuan dari golongan bangsawan belum mendapatkan hak-hak yang semestinya. Misalkan, mereka tidak mempunyai hak pilih dan hak berpendapat. Kalaupun perempuan itu dari golongan bangsawan, tapi jika dibandingkan dengan laki-laki dari golongan bangsawan juga, tetap saja kedudukannya -dalam pandangan mereka- lebih rendah dan lebih hina.[4]
Perempuan dalam Tradisi masyarakat beragama
Di bawah ini sekilas tentang pandangan beberapa agama selain Islam mengenai perempuan, antara lain;
Pandangan Hinduisme; Dalam litelatur agama Hindu, senjata paling efektif yang digunakan oleh para dewa untuk menyelewengkan kebaikan adalah seorang perempuan. Biasanya terkadang sosok peri angkasa atau perempuan yang tidak senonoh merupakan sumber segala kejahatan dalam pandangan Hindu Ortodoks. (Baldick, Radice, dan jones:36). Dalam Kitab Mahabrata disebutkan: ”Aku akan mengatakan kepadamu, anakku, bagaimana Dewa Brahma menciptakan perempuan amoral…,tiada yang jahat ketimbang perempuan…Tuhan kakek yang mengajarkan apa yang ada di hati para dewa, menciptakan perempuan jahat melalui ritual magis untuk memperdayai manusia…”(13.40.3-10).
Praktek Sati merupakan gambaran ketundukan para istri kepada suami dalam adat Hindu, dimana istri membakar tubuh mereka sendiri hidup-hidup diatas tumpukan kayu yang membakar jasad suaminya. Pada tahun 1780 ketika raja Mawar mangkat di India, 64 istri membakar tubuh mereka di atas tumpukan kayu yang membakar jasad suami mereka. Meskipun pemerintah melarangnya, namun mereka tetap melakukannya dengan cara ilegal dengan dalih agama.
Pandangan keagamaan Cina; Dalam teori mistis mereka, perihal bagaimana alam semesta bergerak, para filosof Cina menemukan konsep Yin dan Yang. Mereka mengatakan bahwa alam semesta diketahui berdasarkan keseimbangan Yin (keburukan atau sisi negatif) dan Yang (kebaikan atau sisi positif). Penjelasannya adalah Yin merupakan kekuatan negatif di alam semesta, dimana ini tampak dan terjelma pada kegelapan, kesejukan, “jiwa perempuan”, cairan,…dan bayang-bayang. Sedangkan Yang adalah kekuatan positif di alam semesta, ini terlihat dalam cahaya, kehangatan, “jiwa lelaki”,…dan matahari.(Hopfe:207).
Pandangan Yahudi; Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam pandangan Yahudi, maka kita dapat merujuk ke dalam kitab suci mereka, seperti Taurat atupun Talmud (kitab suci kedua setelah Taurat). Dalam Taurat yang beredar sekarang ini di sebutkan: ”perempuan lebih pahit dari kematian, dia tidak akan dapat sampai pada kesempurnaan, dan dia tercipta dari tulang rusuk nabi Adam”. (Safar takwin,fasal:1,ayat:1-13/bab:2,ayat 2-23). Begitu dalam Talmud disebutkan: ”Seorang suami dapat mencerai istrinya dikarenakan tidak mampu mengatur rumah tangga ataupun dikarenakan ada perempuan lain yang lebih cantik”. (sastra Ibrani hal :7).
Pandangan Kristen; Kristen merupakan agama besar yang membentuk pemikiran Barat, menampilkan perempuan lebih rendah dari lelaki. Menurur keterangan Injil, kaum pria pemilik perempuan, sebagaimana hewan dimiliki. Keluaran 20:17 yang menyatakan sepuluh perintah terkenal, mengumpulkan seorang istri dengan para budak, hewan piaraan dan rumahnya. Ketundukan perempuan kepada kaum lelaki ini ada ada di Injil yang membentuk pemikiran Barat tentang isu tersebut, dijelaskan dalam Leviticus 12:1-18; Setelah kelahiran anak lelaki, secara ritual perempuan tersebut dalam keadaan kotor selama empat belas hari menurut hukum Injil, Timotius 2:11-14 dari Perjanjian Baru Injil menyatakan: ”Seharusnya perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan seorang perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkanya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan, barulah Hawa. Lagi pula bukan Adam yang tergoda melainkan perempuan itulah yang tergoda”.
Perempuan dalam Tradisi Arab Jahiliyah
Sumber otentik yang bisa kita jadikan rujukan untuk mengetahui keadaan wanita pada masa Jahiliyah adalah Al-Quran, yang dengan gamblang menyebutkan pembunuhan bayi perempuan sebagai sebuah praktek yang umum di kalangan Arab pada masa Nabi Muhammad SAWW. Bahkan, Al-Quran akan mengambil pertanggungjawaban pada Hari Pengadilan, sebagaimana yang dapat kita sinyalir dari firman Allah SWT: “Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dibunuh”. (QS.Al-Takwir:8-9).
Begitupula Nabi Muhamad diutus, saat kerusakan moral terjadi dimana-mana dan menguasai semua aspek kehidupan, salah satu bentuk dekadensi moral yang terjadi pada waktu itu adalah wa’d, yaitu pembunuhan anak perempuan. Mereka merasa terhina disaat mempunyai anak perempuan, karena perempuan merupakan sumber kehinaan dan kelemahan bagi kaumnya. Kalau disampaikan kepada mereka perihal kelahiran anak perempuannya, maka memerahlah muka mereka karena marah, serperti yang digambarkan dalam ayat: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah”. (QS.Al-Nahl:58).
Seorang ibu harus berusaha membunuh naluri keibuannya dengan menyerahkan anaknya kepada ayahnya untuk dikubur hidup-hidup demi terlepas dari keterhinaan dan cemoohan kaumnya, atau tetap menjaganya (tidak membunuhnya) tapi hidup dengan rasa keterhinaan. Karena tidak semua mereka membunuh anak perempuannya, melainkan harus memilih salah satu di antara dua pilihan, yakni antara membiarkan hidup dan terhina atau membunuhnya tapi tidak terhina di mata kaumnya. “Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)”. (QS.Al-Nahl:59).
Memang sungguh ironis sekali, menurut keyakinan Arab Jahiliyah bahwa malaikat itu dianggap sebagai anak perempuan Tuhan, tetapi ketika mempunyai anak perempuan mereka merasa terhina. Padahal kalau mereka yakin bahwa malaikat itu anak perempuan-nya Tuhan, mestinya mereka bangga punya anak perempuan, yakni antara konsep dan praktek terjadi kontradiksi. Al-Quran secara eksplisit menjelaskan perihal tersebut: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak perempuan”. (QS.Al-Nahl:57).
Dari kumpulan ayat di atas, kita dapat memahami bagaimana Islam muncul pada situasi dan kondisi seperti ini, dimana pribadi pembawa risalahnya pun hanya mempunyai satu anak perempuan[5], padahal kita ketahui mempunyai anak perempuan pada masa itu adalah keterhinaan. Kalau kita kaji lebih dalam lagi, pasti ada rahasia dibalik semua itu, yakni untuk mengangkat derajat kaum perempuan dan merubah kultur, dari kultur Jahiliyah menjadi kultur Islami. Islam menggabungkan antara teori dan praktek, sekaligus. Islam mengajarkan bagaimana memandang dan memperlakukan perempuan. Kemudian Rasulullah mempraktekkannya, sehingga terwujud keutuhan dan keselarasan di antara keduanya.
Diakui bahwa dalam makalah sederhana ini tidak mungkin menyebutkan semua analisa berkenaan dengan sejarah ketertindasan wanita seperti nasib wanita di benua Afrika atau benua Australia.
Dari uraian sejarah diatas kita dapat mengambil beberapa poin sebagai berikut:
1. Keberadaan wanita pernag disamakan dengan hewan dan dianggap manusia lemah serta hina, dimana jika perempuan tersebut hidup bebas dan terlepas dari ikatan maka yang lain tidak akan aman dari kejahatan dan kerusakannya.
2. Wanita tidak dianggap sebagai anggota masyarakat kecuali kalau diperlukan oleh masyarakat, atau ia dianggap sebagai tawanan yang tertangkap yang harus dipekerjakan dan harus diwaspadai tipu dayanya.
3. Perempuan tidak mendapatkan hak-hak kecuali hak-hak tersebut bermanfaat untuk laki-laki yang menguasainya.
4. Perlakuan lelaki atas perempuan berasaskan prilaku orang kuat terhadap orang lemah, yakni perempuan hanya sebagai pelayan dan tidak mempunyai hak apapun.
Benarkah Hawa Diciptakan dari Tulang Rusuk Adam?
Perempuan dalam Pandangan Islam
Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam prespektif Islam, terlebih dahulu kita perlu mengetahui beberapa premis berikut ini:
1. Agama Islam adalah agama samawi terakhir. Artinya, ajaran Islam harus mencakup semua permasalahan yang diperlukan oleh manusia sampai akhir zaman, sebagaimana yang dapat kita petik dari
surat al-Ahzab ayat:40. Di sana Allah SWT mengatakan bahwa Nabi Muhamad SAWW adalah penutup para nabi, dan pembawa agama Islam ialah Nabi terakhir, maka ajarannya secara otomatis menjadi ajaran terakhir pula.
2. Agama Islam adalah agama fitrah [6]. Artinya, semua ajarannya sesuai dengan fitrah manusia; sesuai dengan tuntutan maslahat manusia, dalam surat Rum ayat:30 dijelaskan: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus, fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu…(Al-Ruum:30).
3. merupakan realita yang tidak bisa dipungkiri antara lelaki dan perempuan -selain mempunyai sisi kesamaan (jiwa insani), juga mempunyai sisi perbedaan (gender).
Dari premis-premis di atas, kita dapat mengambil konklusi bahwa perempuan di mata Islam, selain mempunyai kesamaan dengan laki-laki, juga mempunyai perbedaan, di mana persamaan dan perbedaan tersebut sesuai dengan fitrah (watak penciptaan manusia). Akan tetapi, yang perlu kita ketahui sekarang adalah apakah perbedaan ini menyebabkan perempuan tersingkir dari komunitas manusia? Dan, apakah perbedaan tersebut menjadi kendala bagi wanita untuk mencapai kesempurnaan? Lalu, kita juga harus mengetahui di sisi manakah letak insaniyatul-insan (esensi manusia) itu? Sehingga kita tidak salah kaprah dalam memahaminya, dan tidak berusaha untuk “me-lelaki-kan” perempuan, karena sistem universal alam memerlukan adanya lelaki dan perempuan, sehingga kehidupan bisa terus berlanjut. Oleh karena itu, pembahasan pertama ialah mengenai titik persamaan antara lelaki dan perempuan:
Sisi Kesamaan
1. Perempuan dan penciptaannya.
Untuk mengetahui perihal penciptaan perempuan, maka kita harus kembali membuka sejarah penciptaan manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, karena semua silsilah keturunan manusia berakhir pada keduanya. Oleh sebab itu, apakah dalam proses penciptaan keduanya terjadi perbedaan atau tidak? Karena mengenai hal ini terdapat beberapa pendapat yang saling kontradiksi, begitupula terdapat beberapa hadis yang saling menyalahkan, satu mengatakan perempuan diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam, tapi lainnya mengatakan “tidak”. Sebenarnya apakah betul perempuan diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam, ataukah sama seperti halnya nabi Adam diciptakan dari tanah juga? kalau memang hal tersebut benar, apakah menunjukkan derajat perempuan lebih rendah dari lelaki?
Untuk memahami prihal tersebut sebaiknya kita merujuk ke beberapa ayat sebagai berikut:
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu (nafs wahidah), dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”(Qs Al-Nisaa’:1).
“Dia menciptakan kamu dari seorang jiwa (nafs wahidah) kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya…”(QS,az-Zumar:6). Dan, “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (nafs wahidah) dan daripadanya Dia menciptakan istrinya…”(QS,Al-A’raf:189).
Audiensi dalam surat an-Nisa’ adalah suluruh manusia, dan kita ketahui pula bahwa manusia mencakup lelaki dan perempuan. Artinya, Tuhan memerintahkan kepada seluruh manusia baik lelaki dan perempuan untuk bertaqwa. Taqwa itu sendiri merupakan urusan dan hidangan ruhani.[7] Dari sisi lain, ruh adalah sesuatu nonmateri, dan di dalam kenonmaterian tidak ada istilah lelaki-perempuan.
Kemudian dalam lanjutan ayat tersebut dan dua ayat berikutnya Allah berfirman: “Dia yang telah menciptakan kamu dari “nafs wahidah”, Apakah yang dimaksud dengan “nafs” ? Nafs merupakan substansi manusia, dimana dengan nafs itulah manusia dapat dikatakan sebagai manusia. Ketika ia hidup di dunia tersusun dari dua sisi; sisi jasmani dan sisi ruhani (dimensi materi dan nonmateri)[8] dan sewaktu hidup di alam barzah ia hanya memiliki sisi ruhani (dimensi nonmateri) saja. Ayat di atas seakan ingin mengatakan; wahai manusia (lelaki dan perempuan)! kamu sekalian diciptakan dari substansi yang sama.[9]
Kemudian dalam terusan ayat Allah berfirman: “dan daripadanya (“nya” kata ganti dari “nafs wahidah”) Dia menciptakan istrinya..”. Dalam kaidah bahasa arab kata min mempunyai beberapa makna diantaranya ba’dhiyyah (bagian) dan jinsiyyah (jenis)”. Sebagian mengartikan min dalam kata minha adalah “bagian”, mengingat bahwa Hawa tercipta dari bagian Adam, yaitu dari tulang rusuknya. Dan sebagian mengartikan jinsiyah (jenis) sebagaimana Tuhan menciptakan Adam dari jenis manusia, maka diciptakanlah pula pasangannya dari jenisnya Adam, yaitu jenis manusia.
Pada hakikatnya, ayat di atas ingin menyampaikan bahwa istri Adam tercipta dari jenis Adam pula, atau dengan kata lain substansi Hawa dan Adam adalah sama. Hal ini dikuatkan juga oleh ayat-ayat lain seperti dalam surat Rum ayat:21 yang berbunyi :”Dan dari tanda-tandaNya Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri…” atau dalam surat Al-Nahl ayat: 72 dan ayat lainnya.
Dalam tafsir Al-Kassyaf jilid ke-2/244 mengartikan kata min sebagai min bayaniyah dengan argumen bahwa semuanya diciptakan dari jenis yang satu, yaitu dari “tanah” sebagaimana dalam ayat dijelaskan : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah…(Al-Rum:20).
Oleh karena itu, dari zahir ayat ini kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk nabi Adam, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa hadis. Selain itu juga ada hadis yang menunjukan proses penciptaan Hawa terpisah dari penciptaan Adam, dimana seseorang bertanya kepada Imam Baqir ;”wahai imam dari apakah Tuhan menciptakan Hawa? Imam seraya berkata:”Apa pendapat orang –orang tentang hal ini? ia menjawab : mereka berpendapat bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam. Kemudian imam kembali berkata: “mereka berkata bohong, apakah Tuhan tidak mampu menciptakan Hawa selain dari tulang rusuk nabi Adam?” dia kembali bertanya: lantas dari apakah Hawa diciptakan? Beliau menjawab: “Ayahku meriwayatkan dari kakek-kakekku bahwa Rasul bersabda: Allah SWT mengambil segenggam tanah dan mencampurnya dengan tangan kanan-Nya[10], kemudian dari tanah tersebut diciptakanlah Adam, sisa dari tanah tersebut diciptakanlah Hawa”.[11]
Dari penjelasan di atas dapat diambil konklusi bahwa dari sisi penciptaan lelaki dan perempuan sama, begitupula dari sisi insaniyah (esensi kemanusiaan) keduanya sama. Tentu, dari sisi ini tidak dapat dikatakan bahwa lelaki lebih utama dari perempuan, begitu pula sebaliknya.
2. Perempuan dan Konsep Kesempurnaan
Apakah tujuan penciptaan? Apakah relasi antara tujuan penciptaan dan kesempurnaan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu harus diperhatikan beberapa premis di bawah ini:
1. Seorang yang bijaksana dan berakal tidak akan mungkin melakukan suatu pekerjaan tanpa tujuan. Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Bijaksana dan Berakal,[12] maka Dia tidak akan menciptakan sesuatu tanpa tujuan.
2. Dari sisi lain, Dzat Allah SWT adalah Dzat Yang Mahasempurna, yang kesempurnaan-Nya bersifat Absolut dan tak terbatas. Sebagai sebuah kesempurnaa, penciptaan Allah niscaya bertujuan, yakni penciptaan yang berkebijakasanaan. Jelas, bahwa tujuan dan manfaat penciptaan -terkhusus penciptaan manusia- tidak kembali kepada Tuhan sebagai subjek penciptaan melainkan kepada obyek, yaitu makhluk. Berbeda dengan makhluk yang serba terbatas, semua prilaku dan usahanya untuk menutupi kekurangan yang ada pada dirinya. Kita bisa contohkan, tujuan orang belajar adalah untuk menghilangkan kekurangan yang ada pada dirinya yaitu untuk menghilangkan kebodohan. dengan kata lain, tujuan kembali ke-predikat, sedang Allah karena Maha Mengetahui tidak perlu mencari ilmu apalagi melalui proses belajar karena Allah bukan obyek proses.
Berdasarkan dua premis di atas ini, lalu apakah tujuan di balik penciptaan? Tujuan penciptaan ialah untuk menggapai kesempurnaan. Artinya, semua makhluk diciptakan oleh Allah agar mereka dapat mencapai kesempurnaannya yang khas. Untuk mencapai kepada tujuan tersebut, Allah memberikan sarana berupa hidayah takwini (petunjuk alami) yang ada pada semua makhluk, dan hidayah tasri’i (petunjuk nonalami) yang khusus diberikan untuk manusia. “Tuhan kami ialah (Tuhan ) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu penciptaannya, kemudian memberinya petunjuk”.(Thaha:50). Hidayah takwini pada manusia ialah berupa akal dan fitrah, sedangkan hidayah tasri’i ialah berupa pengutusan para rasul.
Apa itu kesempurnaan? Kesempurnaan ialah “terealisasinya segala potensi yang ada pada setiap makhluk”, dengan kata yang lebih sederhana kesempurnaan adalah sampainya substansi setiap makhluk pada batas akhir yang harus ditempuh. Dengan mengetahui potensi-potensi yang ada pada setiap mahluk, kita akan mengetahui kesempurnaannya. Dan kita ketahui pula bahwa potensi yang ada pada setiap makhluk tidaklah sama. Potensi yang ada pada makhluk hidup akan berbeda dengan potensi yang ada pada benda mati. begitu pula potensi yang ada pada tumbuhan akan berbeda dengan potensi yang ada pada hewan. Batu mempunyai potensi menjadi padat dan keras, maka kesempurnaan batu terletak pada kekerasannya dan kepadatannya, pohon mempunyai potensi untuk berbuah dan berkembang dengan baik, maka disaat ia berbuah dan berkembang dengan baik itulah kesempurnaannya.
Jelas untuk terrealisasinya kesempurnaan ada hal-hal yang harus terpenuhi. Hal itu bisa diringkas pada satu kalimat, yaitu “terpenuhinya semua syarat dan tidak adanya semua kendala”. Pohon akan berkembang baik kalau semua syaratnya terkumpul lengkap seperti: sinar matahari, jenis tanah yang subur, pupuk,…dll, juga tidak ada kendala seperti tidak adanya hama…dll. Tentu, potensi yang terdapat dalam manusia berbeda dengan potensi yang ada pada benda mati, tumbuhan, dan hewan. Disamping itu manusia memiliki nilai plus dan kelebihan jika dibanding dengan makhluk yang lain. manusia merupakan makhluk hidup yang rasional dan ruhnya dinisbatkan kepada Tuhan.[13] maka di saat itu, kesempurnaan yang akan diraihnya lebih unggul dari yang lainnya. Kesempurnaan yang dapat diraih oleh manusia ialah sampainya ke-maqom qurb, yakni tercapainya derajat yang “dekat” dengan Sumber Kesempurnaan; “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah” (Al-Dzariyat:56).
Tujuan dari ibadah ialah untuk mendekatkan (qurb) diri kepada Allah sebagai sumber segala kesempunaan. Dengan kata lain, untuk mencapai derajat kedekatan Ilahi )maqam qurb( hanya bisa dicapai melalui ibadah. Salah satu arti qurb ialah “menyerupakan diri” dengan Allah dalam sifat-sifat kesempurnaan. Dialah sumber kesempurnaan mutlak (absolut), semakin dekat kita dengan-Nya semakin banyak pula sifat kesempurnaan Allah yang terjelma dalam diri kita. Yakni, jauh-dekatnya seseorang dari Allah berarti kuat-lemahnya realisasi sifat Tuhan pada diri manusia. yang menjadi pertanyaan ialah siapakah yang dapat mencapai kesempurnaan dan dapat sampai ke maqam qurb ? Ayat di atas dengan jelas telah mensinyalir bahwa manusialah yang dapat sampai ke maqam tersebut. Dari sisi lain, manusia terdiri dari lelaki dan perempuan, maka tidak ada bedanya baik lelaki maupun perempuan. Keduanya mempunyai potensi untuk mencapai derajat kedekatan Ilahi ( maqam qurb).
3. Perempuan dan Persamaan nilai
Sebagaimana yang telah kita ulas dalam pembahasan sebelumnya, bahwa perempuan dalam pandangan al-Quran mempunyai potensi untuk mencapai kesempurnaan sebagaimana halnya lelaki, di bawah pancaran ma’rifat dan amal ia akan dapat mencapai mi’raj dan kedudukan paling tinggi yang mungkin didapat oleh manusia. Dalam masalah ini, tidak ada keraguan lagi dan sebagaimana yang Al-Quran dengan ekplisit telah menyinggungnya. Setiap kali Al-Quran berbicara masalah kesempurnaan dan nilai-nilai tinggi yang akan dicapai oleh manusia, ia akan menyebutkan perempuan bersamaan dengan lelaki: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan permpuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut namaAllah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.(Al-Ahzab:35).
Dalam ayat tersebut membuktikan betapa Islam tidak membedakan lelaki dan perempuan dari sisi nilai dan kesempurnaan, baik lelaki maupun perempuan –berdasarkan premis di atas- dapat mencapai kesempurnaan dan kenaikan derajat.“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):Sesungguhnya Aku tidak menia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu baik laki-laki maupun perempuan, sebagian kamu ialah sebagian yang lain…”.(Al-Imran:195) Dalam ayat lain Allah berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk kedalam sorga dan mereka tidak dianiya walau sedikitpun”. (Al-Nisaa’:124).
Demikianlah ayat menjelaskan bahwa Tuhan akan memberikan balasan berdasarkan kerja kerasnya, dan jikalau balasan tersebut dibedakan atas dasar jenis kelamin (gender), berarti Tuhan telah berlaku zalim, sementara kita tahu Tuhan tidak akan melakukan kezaliman[14]. “Barang siapa yang melakukan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kamiberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(Al-Nahal:97). Ayat terakhir ini mengisyaratkan pada persamaan dalam mendapatkan pengaruh dan akibat amal saleh, baik didunia maupun akhirat.
4. Perempuan dan keteladanan
Manusia dimana pun dan kapan pun berada senantiasa akan mencari sosok yang akan dijadikan figur dan teladan dalam kehidupannya. Dapat kita lihat hal ini dalam perkembangan kehidupan manusia mulai dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa, bahkan sampai masa tuapun tetap memerlukan figur. Ketika masa kanak-kanak, karena pergaulannya masih terbatas dalam lingkup keluarga, maka seseorang yang dijadikan figur dan teladan baginya tak lepas dari keluarganya seperti ayah dan ibunya. Namun lain halnya ketika beranjak remaja, dimana pergaulannya lebih meluas begitupula pengetahuannya, ia akan berusaha mencari sosok figur yang lain, begitupula ketika menginjak dewasa dan seterusnya. Ini semua menunjukkan bahwa pencarian figur dan teladan merupakan fitrah manusia (ciri alamiah manusia) yang kembalinya ke fitrah cinta kesempurnaan, dimana fitrah cinta kesempurnaan manusia akan senantiasa berusaha meminimalisasi kekurangan–kekurangan yang ada pada dirinya.
Karena ia merasa ada orang yang lebih baik dan utama darinya, maka ia jadikan orang tersebut sebagai figur dan teladan baginya dengan tujuan untuk ditiru dan dicontoh. Ini semua menunjukan betapa pentingnya peranan seorang figur dalam membentuk pribadi seseorang, karena seseorang akan berusaha berprilaku seperti orang yang ia teladani. Berkenaan dengan hal ini, supaya manusia tidak salah dalam memilih seorang figur, Al-Quran memberi petunjuk kepada kita bahwa figur dan teladan kita adalah Rasul: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu…(Al-Ahzab:21).
Berdasarkan ayat di atas, Rasulullah SAWW ialah manusia sempurna, figur dan tauladan bagi masyarakat, dimana anggota masyarakat terdiri dari laki-laki dan perempuan. Maka, Rasulullah merupakan tauladan bagi laki-laki dan perempuan. Perlu diketahui, bahasa Al-Quran adalah bahasa percakapan, dan dalam bahasa percakapan Arab kata ganti (zamir) ”kum” kadang pula digunakan untuk kata ganti masyarakat, yaitu laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, jangan sampai kita mengambil kesimpulan bahwa ayat di atas khusus untuk kaum lelaki saja.
Menurut pandangan Al-Quran, manusia sempurna seperti Rasul SAWW dan para Imam as merupakan tauladan dan figur bagi manusia yang lainnya. Oleh karena itu, jika manusia sempurna tersebut ialah seorang lelaki, maka ia bukan saja teladan dan figur bagi laki-laki bahkan ia juga tauladan bagi semua manusia yang patut diikuti. Begitupula jika manusia sempurna tersebut ialah seorang perempuan, maka ia bukan hanya teladan bagi perempuan saja, bahkan lebih dari itu ia juga tauladan dan figur bagi seluruh manusia –lelaki maupun perempuan- yang harus diikuti. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam Al-Quran, dimana dua orang merupakan wanita teladan baik, yaitu Maryam as dan Asiyah (istri fir’aun), sedang dua wanita lagi yang merupakan contoh wanita buruk, yaitu istri nabi Nuh dan istri nabi Luth. Jadi perempuan -baik ataupun buruk- bukan teladan/contoh bagi perempuan saja, akan tetapi merupakan perempuan teladan/contoh bagi segenap masyarakat, sebagaimana yang dapat disinyalir dalam ayat sebagai berikut: “Dan Allah membuat istri Fira’un perumpamaan bagi orang –orang beriman…(Al-Tahrim:11).
Dalam ayat di atas, Al-Quran dengan jelas tidak mengatakan bahwa istri Fir’aun merupakan contoh bagi kaum wanita, akan tetapi Al-Quran mengatakan bahwa perempuan baik merupakan contoh dan tauladan bagi orang-orang beriman, baik laki-laki maupun perempuam. Di sini, bukan hanya perempuan yang harus mengambil pelajaran darinya, tetapi segenap masyarakat Islampun demikian.
Begitupula Maryam as adalah salah satu wanita yang mencapai derajat kesempurnaan. Ia bukan saja teladan bagi kaum wanita, tapi juga tauladan ketaqwaan dan kemuliaan bagi kaum lelaki dan perempuan. Begitu tinggi derajatnya di sisi Tuhan, sampai-sampai diturunkan kepadanya hidangan dari surga yang membuat takjub Nabi Zakaria as dan membuat beliau terilhami untuk memohon kepada Tuhan agar dikaruniai seorang anak. Dan karena kecintaannya kepada Maryam as, kemudian Tuhan menamai surat yang berhubungan dengannya dengan nama wanita agung itu;“Dan (ingatlah) ketika malaikat Jibril berkata:”Hai Maryam sesungguhnya Allah telah memilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita didunia (pada masa itu) (Al-Imran :42).
Begitu pula Fatimah zahra as, putri tunggal Rasul SAWW, adalah manusia sempurna yang merupakan tauladan bagi seluruh manusia. Berdasarkan riwayat, Fatimah bukan hanya penghulu wanita dimasanya, tapi juga penghulu wanita seluruh alam dan seluruh masa, sebagaimana Rasul bersabda:” Adapun anakku Fatimah dia ialahpenghulu wanita seluruh alam dari awal penciptaan sampai hari akhir”.
Dari sini dapat dikatakan bahwa perempuan dengan sendirinya mampu menjadi tauladan bagi yang lainnya, tanpa perlu digandengkan di samping lelaki, misalkan istri yang baik dari seorang suami sebagaimana halnya laki-laki. Kita tidak memungkiri bahwa hal tersebut –yaitu istri yang baik berkat peran suami- merupakan hal yang baik dan bisa diterima, akan tetapi maksud kami di sini hanya ingin mengatakan bahwa secara independen wanita pun dapat menjadi seorang tauladan dan figur bagi masyarakat.
Dan persamaan-persamaan yang lain yang tidak mungkin kita ulas secara detail dalam artikel ringkas ini, seperti persamaan dalam mencapai maqam khalifatullah sebagaimana yang disinggung dalam surat al-Baqarah ayat:30, karena yang bisa mencapai maqam tersebut ialah manusia sempurna dan manusia sempurna terdiri dari laki-laki dan perempuan, atau persamaan dalam mendapatkan taklif (kewajiban) seperti: shalat, puasa, zakat…, atau persamaan untuk berperan serta dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, dan lain sebagainya.
(Hikmah Dibalik Perbedaan Hak-Hak Lelaki dan Perempuan)
Penjelasan di artikel sebelumnya ini menunjukkan bahwa betapa tingginya kedudukan wanita dalam Islam. Dari sisi substansinya, nilai dan kemuliaan antara lelaki dan perempuan tidak ada beda, namun kenapa dalam beberapa hal hak-hak lelaki dan perempuan dibedakan sehingga menyebabkan munculnya protes dari orang-orang yang mengaku pembela hak-hak wanita dengan mengatakan bahwa disaat keduanya sama-sama manusia, maka dalam segala hal harus sama pula? apa landasan hak-hak wanita dalam Islam?
Untuk menjawab pertanyaan diatas ada beberapa hal yang harus kita pahami terlebih dahulu;
Pertama: kita harus bedakan antara nilai dan hak. Kita harus tahu di mana letak nilai? dan di mana letak hak? Oleh karena itu, kalau seseorang mencari hak insaninya sebatas dalam kemampuan materi saja dan dianggapnya sebagai kesempurnaan hakiki, maka pemikiran semacam ini jelas sangat tidak benar, dan dengan berpikiran semacam ini kita tidak akan mampu menganalisa dengan benar segala yang berkenaan dengan persamaan atau perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Kedua: mari kita mengingat kembali premis-premis yang telah disebutkan di atas, telah kita sebutkan bahwa ajaran Islam sesuai dengan fitrah manusia, maka landasan hukum-hukum dan hak-hak wanita dalam Islampun adalah berdasarkan fitrah -yakni sesuai dengan kodrat penciptaannya. Dan telah menjadi realita yang tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan penciptaan tersebut ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, perbedaan tersebut merupakan ciri khas masing-masing yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Maksudnya, kekhususan yang dimiliki oleh laki-laki berbeda dengan kekhususan yang dimiliki oleh perempuan. Contoh, kondisi fisik perempuan memungkinkannya mengandung, menyusui, sementara laki-laki tidak demikian. kulit perempuan lebih lembut dan sebagainya.
Kemudian dari sisi kejiwaan (psikis) antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, perempuan merupakan simbol kelembutan, dan laki-laki adalah simbol keperkasaan. perbedaan yang ada ini tidak menunjukan bahwa salah satu lebih utama dari pada yang lainnya, akan tetapi justru dengan perbedaan yang ada ini menunjukan salah satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan saling menyempurnakan. Selain dari itu juga adanya perbedaan antara keduanya merupakan suatu keharusan untuk berlangsungnya kehidupan. Coba kita bayangkan andaikan di dunia ini hanya dari jenis laki-laki saja atau sebaliknya hanya dari jenis perempuan saja, apa yang akan terjadi? Oleh karena itu, dalam Irfan disebutkan bahwa perempuan merupakan perwujudan (madzhar) isim jamal Tuhan, yaitu perwujudan kasih sayang dan kelembutan Tuhan, sementara laki-laki merupakan perwujudan isim jalal Tuhan yaitu perwujudan hikmah Tuhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka selain ada persamaan juga dituntut adanya perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan, karena kalau disamakan dalam segala hal, berarti Allah SWT telah berlaku tidak adil. Sebagian orang kadang terjerumus dalam kesalahan di saat mendefinisikan kata adil dengan mengartikan dan mengidentikkannya dengan persamaan, padahal tidak ada konsekuensi antara keadilan dengan persamaan. Memang sebagian keadilan mempunyai arti persamaan tapi tidak semua persamaan itu berarti keadilan. Oleh karena itu, definisi yang tepat untuk keadilan ialah “memberikan hak kepada pemiliknya” atau “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Berdasarkan definisi di atas, Islam telah berlaku adil dengan memberikan hak dan menempatkan perempuan pada tempatnya sesuai dengan kodrat yang ia miliki.
Ketiga: di alam materi (dunia), pembagian tugas berdasarkan kekhususan alamiah (kudrat alamiah) yang dimiliki juga kondisi fisik-lahiriyah. Sebagian tugas dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, sebagian lagi hanya dapat dilakukan oleh laki-laki saja atau perempuan saja. Pembagian tadi hanya sebatas dalam pelaksanaan dan pembagian tugas saja. maka itu, jika perempuan dalam melaksanakan tugasnya tersebut lebih bagus dari aspek ibadahnya,[15] baik secara kualitas maupun kuantitas, maka posisinya akan lebih baik dari laki-laki. Begitupula sebaliknya.
Masalah lain yang perlu disinggung disini ialah berkenaan dengan sebagian hadis yang secara zahir menunjukan kekurangan (baca: kelemahan) perempuan yang menimbulkan pro dan kontra seperti: jauhilah bermusyawarah dengan perempuan karena pendapat dan tekadnya lemah”[16], atau “perempuan memiliki kekurangan dari sisi iman dan akal…”dll. Apakah ini menunjukan sama sekali tidak bolehnya bermusyawarah dengan perempuan? Apakah menunjukan kekurangan wanita secara eksistensial? Jika menunjukan kekurangan eksistensial perempuan, bagaimana halnya dengan pribadi-pribadi seperti: Maryam as, Asyiah as, Masyithah as, Khadijah as, Fathimah Zahra as dll, dimana mereka merupakan manusia sempurna dan sewaktu mereka adalah manusia sempurna maka akal dan iman merekapun pasti sempurna? Untuk menjawab pertanyaan di atas terdapat beberapa jawaban sebagai berikut:
Pertama: kita harus terlebih dahulu menganalisa hadis tersebut dari sisi sanadnya, apakah ia memenuhi standar yang diperlukan atau tidak? Jika ternyata dari sisi sanad tidak ada cacat, maka langkah selanjutnya ialah memahami teks hadis tersebut, dan untuk memahami teks suatu hadis terutama seperti hadis di atas tentunya kita tidak boleh langsung terburu-buru mengambil kesimpulan dari satu hadis itu saja tapi kita harus melihat semua teks hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah tersebut. Misalkan, hadis berkenaan dengan masalah yang telah kita sebutkan diatas bahwa perempuan mempunyai kekurangan dari sisi iman dan akal, sedangkan dalam riwayat lain menunjukan akan kesempurnaan akal sebagian perempuan seperti hadis sebagai berikut dimana mengatakan “Jauhilah bermusyawarah dengan perempuan kecuali dengan perempuan yang dikarenakan mempunyai kesempurnaan akal maka ia telah berpengalaman…”[17] atau riwayat lain yang mengatakan “Tidak beragama orang yang tidak berakal” dimana kita ketahui bahwa orang yang beragama bukan laki-laki saja. Atau bahkan sebaliknya, dalam riwayat-riwayat lain disebutkan sebagian laki-laki bukan hanya akalnya kurang bahkan ada yang akalnya telah rusak. Selain itu kita juga dianjurkan untuk melihat kondisi-kondisi ketika haids tersebut diriwayatkan sehingga dapat mempermudah untuk memahaminya.
Oleh karena itu, banyak riwayat yang menjelaskan bahwa maksud dari akal tersebut bukanlah hakikat akal (dzat aql), tetapi aql-iktisabi (akal subjektif) yang diupayakan seseorang melalui pengetahuan dan pengalaman. Begitupula hadis mengenai kekurangan iman perempuan, dimana di antara empat hadis itu tiga hadis menggunakan ungkapan; “memiliki kurangan dan kelemahan dari sisi agama “ dan satu hadis menggunakan ungkapan; “Memiliki kekurangan dari sisi iman “.Kekurangan dari sisi agama yakni berkurangnya taklif (kewajiban) dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan nilai kemuliaan. Oleh karena hal itu merupakan kemurahan yang diberikan oleh Allah kepada wanita seperti tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika dalam keadaan haid, yang dalam bahasa hadis tersebut diungkapkan sebagai kekurangan, walaupun jelas salah jika ada yang menganggap hal tersebut satu bentuk kekurangan dari sisi agama.
Sebenarnya, adanya kemurahan tersebut tidak menunjukan rendahnya kedudukan perempuan karena; pertama, perempuan tidak melaksanakan shalat dan puasa ketika sedang haid, sebenarnya hal ini adalah dalam rangka mentaati perintah Tuhan karena Tuhanlah yang melarang wanita shalat dan puasa dalam keadaan seperti itu. Dan tiada yang bernilai kecuali ketaatan pada perintah-Nya. Bukankah Iblis bisa beribadah sampai akhir, tapi akhirnya terusir karena Tuhan menginginkan ketaatan dari makhluk yang bernama Iblis.
Kedua, meskipun perempuan mendapatkan kemurahan dalam beberapa ibadah, tapi bukankah perempuan lebih cepat mencapai usia taklif -dimana perempuan pada umur sembilan tahun mencapai umur balig dan laki-laki pada umur lima belas tahun- dan melaksanakan ibadah. Oleh karena itu, dari sisi ukuran ibadah antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Dari sini kita tahu bahwa maksud dari riwayat yang mengatakan bahwa perempuan mempunyai kekurangan dari sisi iman ialah ingin mengisyaratkan, bahwa dengan adanya kemurahan dalam beberapa jenis ibadah akan menjadikan lahan (baca: potensi) untuk melemahnya iman.
Untuk menghindari hal itu, para maksumin as memberikan pesan kepada para wanita yang sedang haid ketika waktu shalat tiba untuk membersihkan dirinya kemudian berwudhu setelah itu menghadap kiblat untuk berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT. Cara-cara seperti ini akan mengganti hubungan maknawi yang terputus akibat datang haid. Dari penjelasan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hadis-hadis di atas tidak berkenaan dengan semua perempuan, tapi situasi dan kondisi yang menyebabkan Imam Ali as ketika dalam perang Jamal mengatakan seperti ini -bisa dirujuk lebih lanjut dalam kitab Nahjul-Balaghah khotbah ke-80. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama besar, faqih, arif dan mufasir besar Ayatullah Jawadi Amuli bahwa Khutbah Imam Ali as berkenaan dengan perempuan merupakan proposisi eksternal (qadziyah-kharijiyah) maksudnya tidak mencakup semua jenis perempuan.
Riwayat yang berkenaan dengan larangan bermusyawarah dengan perempuan merujuk pada situasi dan kondisi pada waktu itu kebanyakan wanita hanya sibuk dalam mengurus urusan rumah tangga saja, dan jarang sekali –walau tidak menutup adanya beberapa figur yang terjun kebidang sosial dan politik akan tapi jarang sekali- perempuan yang terjun di bidang sosial politik, ekonomi. Adapun sebab ketidakmampuan mayoritas perempuan saat itu untuk terjun di bidang-bidang itu karena keterbatasan tingkat pendidikan yang mereka dapati kala itu. Oleh karena itu, pelarangan tersebut lebih di karenakan kondisi wanita saat itu dan bukan pelarangan mutlak atas wanita. wallahu-a’lam [islamalternatif.com]
Penulis: Mahasiswi S1 Jurusan Pendidikan Islam di Jamiah Bintul Huda Qom, Republik Islam-Iran
Rujukan:
[1] Allamah Thababa’i, Islam dan sosial/Yahya Nuri, hak-hak wanita dalam Islam dan dunia.
[2] Tarikh-e tamaddun (sejarah peradaban) hal:519, dan huquuq-e zan dar Islam wa erupa, karya:Hasan Sadr,hal:32.
[3] Islam wa aqayid wa araa-e basyar, hal:30.
[4] Syakhsiat-e zan az didgah-e qur’an, karya:Hadi dust muhamadi hal:35-36.
[5] .Nabi Muhamad mempunyai beberapa anak, tapi yang tetap hidup sampai dewasa hanyalah satu yaitu Fatimah az-Zahra AS adapun yang lainnya seperti Ibrahim dan Qosim meninggal pada usia yang relatif kecil.
[6] Kata “Fitrah” berasal dari kata “fitrun” yang artinya; terbelahnya sesuatu dari arah panjangnya, dan kemudian kata ini digunakan untuk setiap yang terbelah. Salah satu arti dari kata fitrun adalah” penciptaan” oleh karena itu arti kata fitrat yang merupakan masdar nau’ (kata benda yang menunjukkan jenis) adalah jenis penciptaan manusia seperti ini (ciri almiah manusia).
[7]Sebagaimana yang telah kita singgung bahwa manusia selain memiliki tubuh jasmani iapun memiliki tubuh ruhani. Sebagaimana tubuh jasmani perlu makanan untuk kelangsungan hidupnya maka tubuh rohanipun memerlukan makan pula untuk kelangsungan hidupnya. Dikarenakan tubuh rohani bersifat imaterial maka jenis makanan yang ia butuhkanpun berjenis imaterial pula. Ketaqwaan adalah eksistensi nyata dari makanan imaterial yang diperlukan tubuh ruhani, sebagaimana yang telah banyak disinggung dalam pembahasan filsafat etika dalam Islam.
[8] Kita bisa merujuk pada ayat-ayat yang berhubungan dengan proses penciptaan manusia dimana disebutkan bahwa substansi manusia mempunyai dua dimensi. Sebagai contoh yang tercantum dalam surat an-Nur ayat 12 dimana pertama Allah berfirman: “aku ciptakan manusia dari mani,kemudian aku jadikannya segumpal darah,…kemudian aku ciptakan dalam bentuk yang lain” . Proses pertama adalah sisi jasmaniah-nya setelah itu Allah berfirman :“kemudian aku ciptakan dalam bentuk yang lain“ menunjukkan proses penciptaan yang lain diluar dari sisi jasmaniah-nya. Atau dalam surat al-A’raf ayat: 11 Allah berfirman “sesungguhnya kami telah menciptakan kamu, lalu kami bentuk (shurat/form) kamu”.
[9] Tafsir Mizan karya Allamah Thaba’thaba’i dalam penafsiran ayat an-Nisaa’ ayat:1, dan wawancara Ayatullah Jawadi Amuli tentang Islam dan Feminisme.
[10] Tentu yang dimaksud dengan tangan Tuhan adalah bukan arti sesungguhnya yang berarti arti materi, karena Allah bukan materi maka yang dimaksud dengan tangan disitu adalah kekuasaanNya (kudrat). Dan karena kanan diidentikkankan dengan hal yang baik maka setiap tangan yang dimiliki oleh Allah adalah tangan kanan.
[11] Tafsir al-Mizan jil:4 hal:151
[12] Kenapa Tuhan harus bijaksana dan berakal? argumen ringkasnya; Dikarena Dzat Allah Maha Sempurna dimana kesempurnaan-Nya absolut dan tidak terbatas, sewaktu kesempurnaanNya absolut dan tidak terbatas maka segala bentuk kesempurnaan ada pada-Nya, disisi lain bijaksana dan berakal adalah kesempurnaan maka konklusinya Tuhan pasti Maha Bijaksana dan Berakal.
[13] Dalam surat Shaad ayat:72 Allah berfirman:”…dan Kutiupkan kepadanya ruhKu…”.
[14] Kenapa Tuhan tidak mungkin berbuat zalim? Karena kalau kita teliti kenapa seseorang bisa berbuat zalim maka akan kita dapati beberapa sebab yang menyebabkan seseorang bisa berbuat zalim di antaranya: Pertama: Karena dia tidak tahu kalau hal tersebut adalah perbuatan zalim, sementara kita tahu bahwa Tuhan Maha Mengetahui, maka berdasarkan hal ini tidak mungkin Tuhan melakukan kezaliman dikarenakan ketidaktahuan. Kedua: Seseorang berbuat zalim dikarenakan butuh atau perlu, sementara kita tahu Tuhan Maha Kaya, maka berdsarkan hal ini tidak mungkin Tuhan berbuat zalim dikarenakan perlu. Ketiga: seseorang berbuat zalim dikarenakan terpaksa, sementara kita tahu Tuhan Maha Kuat tidak ada dzat lainpun dapat memaksa-Nya, maka berdasarkan hal ini tidak mungkin Tuhan berbuat zalim karena terpaksa. Berdasarkan premis-premis diatas konklusinya tidak mungkin Tuhan berbuat zalim.
[15]Yang dimaksud dengan ibadah di sini adalah ibadah dalam arti yang luas yang tidak terbatas pada peribadatan ritual saja. Karena fungsi setiap ibadah adalah untuk pembersihan jiwa agar bisa sampai pada tujuan penciptaan manusia –yaitu kebahagiaan abadi- maka niat adalah kunci segala bentuk peribadatan. Dikarena kualitas peribadatan diukur dari kualitas niat, sedang kualitas niat didapat melalui pengetahuan tentang yang Dzat yang diibadahi juga tentang arti ibadah itu sendiri, maka pengetahuan turut menentukan kualitas ibadah.
[16] Nahjul-balaghah surat ke-31
[17] Nahjul balaghah surat ke:31, Biharul-anwar jil:100 hal:253.
(lenteralangit/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar