Oleh: Mohammad Adlany
Karena
yang mewujudkan al-Quran tidak lain adalah Zat yang juga menciptakan
manusia, maka ajaran dan syariat-syariat hukum yang ada di dalam
al-Quran identik dan sesuai dengan hakikat, tujuan, dan mekanisme
penciptaan, tidak ada sedikitpun pertentangan pada lingkup ini dan
senantiasa berdasarkan hakikat wujud manusia. Dia senantiasa membimbing
umat manusia.
Dari perspektif ini, di dalam mekanisme Islam seluruh usaha
diletakkan untuk mempersiapkan lahan pertumbuhan dan pembinaan, bukan
bermaksud menambahkan sesuatu kepada wujud manusia, melainkan bermakna
mengembangkan dan menyempurnakan wujud manusia. Dan apabila Tuhan
memberikan perintah kepada mereka, seluruhnya berada dalam tahapan
berikut yaitu mereka akan dipersiapkan untuk berkembang, menyempurna,
dan mengaktualkan seluruh potensinya.
Agama Islam tidak menganggap manusia sebagai sebuah pita
kosong yang bisa diisi sesuka hati, melainkan persis sebagaimana sebuah
bibit yang kita semaikan di lahan subur pertanian, dan kualitas dari
unsur-unsur seperti air, cahaya, jenis tanah, dan pupuk, akan menentukan
kualitas buah yang dihasilkannya. Apa yang dipersembahkan oleh sebatang
kurma tidak lain adalah apa yang dikandungnya secara potensial dan
sekarang dipersembahkan dalam bentuk buah yang sebelumnya secara
potensial telah berada dalam wujudnya dan apabila dia memberikan buah
yang lebih baik, maka hal ini hanya dikarenakan pengaruh dari
unsur-unsur terbaik dalam tanah dan tersedianya kondisi-kondisi
pertumbuhan yang lebih sesuai baginya.
Demikianlah, agama suci Islam melakukan satu ‘perdagangan’
dengan manusia, karena Tuhan mengetahui bahwa Dia telah menciptakan
fitrah dan mengetahui bahwa jiwa dan ruhnya lebih baik dari yang
lainnya, dan fitrah dan jiwa itu sendiri merupakan tolok ukur untuk
kebaikan dan keburukan.
Dalam salah satu firmannya, Allah swt berfirman, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”[1].
Allah telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga dengan adanya
ilham Ilahi, mereka mampu membedakan antara yang baik dan buruk.
Demikian juga pada ayat yang lain, al-Quran mengutarakan tentang
kesesuaian agama dengan fitrah, dalam firman-Nya, “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui.”[2]
Dari sini, Tuhan telah menyediakan media sebagai lahan
untuk tumbuh-menyempurnanya fitrah manusia, dalam bentuk dimana
kadangkala manusia merasakan adanya hasil dari sebuah pembinaan dan
hanya al-Quran-lah yang melakukan hal ini kepada manusia. Atas dasar
inilah, sehingga Islam memberikan jawaban yang positif kepada maktab
empirisme, yang hal ini tidak pernah dilakukan oleh aliran-aliran etika
yang manapun. Para manusia sempurna seperti para Nabi dan Rasul serta
pengikut-pengikut terdekat mereka dan juga orang-orang yang pada
sepanjang perjalanan sejarah mengikuti seluruh perintah dan
aturan-aturan Ilahi, seluruh kesempurnaan mereka ini berada di atas
gambaran para pencetus dan pemimpin aliran etika dan pemikiran yang
mengklaim dirinya sebagai pembimbing manusia.
Karena Islam menganggap manusia sebagai sebuah eksistensi
unggul dan mulia yang tidak memiliki rival dan saingan dalam mekanisme
penciptaan ini, maka Islam memilihkan para Nabi dan Rasul sebagai
pembimbing untuk manusia, para pembimbing yang suci dan sempurna ini
diletakkan sebagai pengemban risalah-Nya yang perintah-perintah dan
aturan-aturannya harus diikuti oleh manusia supaya mereka mampu
melangkahkan kaki dengan mantap dan sepenuh keyakinan pada jalan yang
lurus menuju ke arah tujuan tertinggi penciptaan manusia, sebuah
tingkatan dan derajat kesempurnaan yang paling dekat dengan Sang
Pencipta Alam.
Al-Quran dalam masalah ini berfirman, “Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus”[3], dan juga berfirman, “Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”[4],
Dia menciptakan dengan rencana dan tujuan khusus, dan membimbing
seluruh manusia dengan bimbingan-Nya yang khas pula, lalu memperkenalkan
tujuan suci penciptaan manusia dengan firman-Nya, “Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali.”[5]
Menyatunya Ilmu dan Amal
Agama Islam dengan jalannya yang lurus ini, menganggap
bahwa ilmu dan amal sebagai suatu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan,
dimana melakukan yang satu tanpa mewujudkan yang lainnya, sama sekali
tidak akan bermanfaat. Al-Quran menyebut keduanya sebagai penyempurna
satu terhadap yang lainnya dan pada sebagian ayat-Nya, al-Quran
mendahulukan menuntut ilmu dari pensucian diri (amal), dengan
firman-Nya, “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As
Sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata”[6], dan pada sebagian ayat yang lain mendahulukan pensucian diri dari menuntut ilmu, dengan firman-Nya, “Ya
Tuhan Kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka,
yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada
mereka Alkitab dan al-Hikmah (Al-Quran) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”[7].
Yang diterima oleh agama suci ini adalah kebersamaan dan
kesatuan antara ilmu dan amal dimana keberadaan yang satu tanpa
kehadiran yang lainnya bukan saja tidak akan berguna melainkan akan
merusak tatanan dan aturan.
Imam Ali As dalam salah satu haditsnya bersabda, “Dua jenis
manusia akan mematahkan tulang punggungku, yaitu lelaki berilmu
bermulut manis yang fasik dan lelaki jahil keras hati yang beramal.
Jangan sekali-kali kalian mendekati ulama yang fasik dan menghindarlah
dari orang jahil yang taat, karena yang pertama akan menipu dengan
ilmunya dan yang kedua dengan ibadahnya, dan seseorang yang tertipu,
maka ketahuilah bahwa dia telah tertipu dengan pengetahuan tanpa taqwa
dan ibadah tanpa ilmu”.[8]
Hakikat Islam sedemikian membenci orang-orang jahil yang
taat beramal, sehingga Imam Ali As bersabda, “Tidur dan makannya
orang-orang yang hidup hatinya dan berilmu adalah lebih baik, lebih
diterima, dan lebih layak untuk dipuji daripada shalat malam dan
puasanya orang-orang yang bodoh”.[9]
Prinsip-Prinsip Pembelajaran
Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, manusia
ketika memasuki alam eksistensi ini meskipun dia tidak memiliki
sedikitpun ilmu dalam bentuk aktual, akan tetapi dia memiliki potensi
yang tidak terbatas. Dengan berlalunya waktu, dengan sendirinya akal
manusia akan menemukan dimensi-dimensi rasionalitas seperti hukum
sebab-akibat (kausalitas), kemustahilan kontradiksi dan sebagainya.
Manusia dengan aspek-aspek rasionalitas yang sederhana ini
mempersiapkan dirinya untuk menerima proses pembelajaran pada waktu yang
tepat. Tentunya sebagaimana yang telah kami katakan bahwa premis-premis
rasionalitas yang sederhana tersebut, bukannya diperoleh lewat
pembelajaran dari istilah-istilah resmi dan filosofis melainkan muncul
bersamaan dengan kehadiran fitrahnya sejak awal kelahirannya. Misalnya
ketika mendengar sebuah suara, dia akan berusaha untuk menemukan
penyebabnya, dan tidak akan percaya bahwa suara tersebut ada dengan
sendirinya, dia juga mengetahui bahwa keberadaan itu tidak sama dengan
ketiadaan dan dia memahami keberadaannya sendiri tanpa diberitahukan
oleh yang lain serta dia tak menyukai kebohongan dan orang yang
berbohong.
Pengetahuan-pengetahuan semacam di atas merupakan
pengetahuan-pengetahuan fitri yang telah ada di dalam wujud manusia
sejak lahir dan ada sebelum dia menerima proses belajar serta menuntut
ilmu apapun.
Salah satu metodologi paling penting dalam proses belajar
adalah memunculkan motivasi pada manusia untuk menuntut ilmu dan hidup
berdasarkan ilmu. Apabila motivasi seperti ini telah ada pada manusia
dan mereka telah memberikan perhatiannya terhadap pengaruh dan hasil
pengetahuan, maka mereka akan memasuki proses pembelajaran dan menuntut
ilmu dengan kehendak dan motivasi yang kuat, mampu menanggung
kesulitan-kesulitan yang ada, dan berusaha untuk menghilangkan
rintangan-rintangan yang menghalangi perjalanan wujudnya.
Berkaitan dengan ini, dalam agama Islam begitu banyak
kalimat-kalimat yang mengungkapkan nilai penting dan hakiki dari ilmu
dan pengetahuan serta mendorong manusia untuk menuntutnya dan berusaha
menanggung segala kesulitan dalam menuntutnya.
Pada kesempatan ini, kami akan menyebutkan contoh dari
perhatian yang luar biasa yang diperlihatkan oleh seorang Ulama besar
Islam atas penting masalah menuntut ilmu, ada baiknya jika kita merujuk
pada mukadimah kitab Ma’ani al-Akhbar. Di sana dikatakan,[10] untuk mendengarkan hadits dan menziarahi para ulama, Syeikh Shaduq ra memasuki kota Sarakhs.[11]
Lebih lengkapnya dikatakan, “Dia memasuki kota Sarakhs untuk mendengar
hadits dari Muhammad bin Ahmad bin Tamim, lalu memasuki Samarkan untuk
mendalami hadits dari Abu Muhammad bin Abdus, dia juga pergi ke Faghanah[12]
untuk menulis hadits dari Tamim bin Abdillah bin Tamim, dan dikatakan
pula bahwa pada hari-hari tersebut dia juga memasuki kota Baghdad dan
berkhidmat pada sekelompok ulama, lalu pergi ke Kuffah untuk
mendengarkan hadits di masjid Kufah, dan …”.[13]
Apakah perhatian yang menakjubkan dari para ulama-ulama
Islam yang begitu banyak dinukilkan seperti ini, bukan merupakan hikayat
adanya perhatian mengagumkan maktab Islam terhadap pendidikan dan
proses belajar?
Dari sudut ini, usaha dan kerja keras dari para ulama –
yang menukilkan dan menyampaikan hadits-hadits tersebut dari generasi ke
generasi – telah banyak dikenal, dan perhatian mereka yang tinggi dan
suci ini telah banyak mendapat pujian dan tercatat dalam sepanjang
sejarah Islam.
1. Motivasi Menuntut Ilmu
Sekarang ada baiknya kami menyinggung beberapa ayat dan
hadits yang mendorong dan memotivasi manusia untuk menimba ilmu dan
pengetahuan.
Dalam kitab Ushul Kafi dikatakan, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang menuntut ilmu.”[14]
Pada salah satu hadits, Imam Shadiq as bersabda, “Mencari ilmu merupakan salah satu kewajiban”.[15] Beliau juga bersabda, “Aku menyukai cemeti menghajar sahabat-sahabatku supaya mereka menuntut ilmu dan mencari pengetahuan.”[16]
Banyak pula ayat yang berkaitan dengan persoalan ini. Guru
Pertama yang ada di dalam al-Quran tidak lain adalah Allah Swt, Dia
berfirman, “Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya”.[17] Pada ayat yang lain Dia berfirman, “Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”.[18]
Ayat al-Quran di atas hanya layak ditujukan untuk para
ulama dan orang-orang yang berilmu, pada kelanjutan ayat tersebut dengan
penegasan khas, Tuhan berfirman, “Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran“, pada tempat lain Dia berfirman, “Dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”[19], dan juga berfirman, “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”[20]
2. Menghargai Waktu dan Kesempatan
Prinsip-prinsip lain yang berkaitan dengan proses belajar
adalah menghargai waktu pada masa-masa belajar dan masa-masa luang.
Kesempatan-kesempatan ini harus digunakan dengan sangat cermat di dalam
lingkungan keluarga, karena hilangnya waktu dan kesempatan sama sekali
tidak akan pernah bisa tergantikan, kesempatan-kesempatan ini begitu
cepat berlalu dan dengan kelalaian yang sekecil apapun, umur yang
bernilai akan terbuang sia-sia, hari-hari yang berharga akan terlewati,
dan akhirnya kehidupan yang tanpa hasil tidak akan bernilai sama sekali.
Imam Shadiq As bersabda, “Bebaskanlah anak-anak kecil
kalian untuk bermain selama tujuh tahun, kemudian paksalah mereka untuk
belajar tujuh tahun kemudian dan tujuh tahun setelah itu, dia harus
belajar tentang apa yang harus dikerjakan dan apa yang mesti
ditinggalkan.”[21]
3. Menghalangi Penyimpangan Fitrah
Prinsip ketiga dalam proses belajar dan menuntut ilmu
adalah menghindari penyimpangan fitrah, karena manusia memiliki fitrah
Ilahi yang apabila hal ini tetap dalam diri manusia, maka seberapapun
kemajuan akal dan ilmunya, fitrah ini akan semakin sempurna dan mekar,
dan fitrah ini secara bertahap akan tumbuh dan berkembang hingga pada
tahapan tertentu dimana akan menerangi jiwanya dan jiwa orang-orang yang
mendapatkan ilmu dan bimbingan darinya. Hal ini kebalikan dengan
orang-orang yang menyembunyikan fitrahnya di balik awan-awan gelap
egoisme, egosentrisme, fragmatisme, liberalisme, komunisme, humanisme,
imperialisme, dan isme-isme lainnya yang bertolak belakang dengan fitrah
hakiki manusia. Orang-orang semacam ini, selain dia tidak bermanfaat
bagi dirinya sendiri dan untuk masyarakat, semakin dia berkembang dalam
keilmuannya, maka dia akan semakin berbahaya. Karena ilmunya – yang
menyimpang dari fitrah hakiki manusia – akan menjadi kacung bagi
egoismenya.
4. Tujuan Menuntut Ilmu
Prinsip keempat dari proses belajar dan pengajaran adalah
adanya penekanan tentang tujuan dalam mekanisme belajar mengajar. Ilmu
yang mengarah kepada Tuhan dan bergerak ke arah keridhaan-Nya akan
memberikan nilai penting dan hakiki pada pengetahuan manusia. Ketiadaan
tujuan yang pasti dalam menuntut ilmu akan menyebabkan manusia
kehilangan arah kehidupan dan sebagaimana yang dikatakan dalam al-Quran
“akan tersesat dan menyesatkan”. Hal ini juga dikatakan dalam sebuah
hadits, “Dia akan berjalan mengikuti ke manapun arah angin bergerak”,[22] dia tidak akan mengetahui hakikat kebenaran dan dia akan bergerak mengikuti setiap suara dan pandangan.
Allah Swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara golongan berikut (iman atau kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir)”[23], mereka
bingung dan tidak mengetahui harus mengikuti golongan yang mana. Bahkan
bisa dikatakan manusia yang dalam masalah-masalah pribadinya terutama
dalam mekanisme berpikir dan ilmunya tidak memiliki tujuan hakiki, maka
dia akan asing bagi dirinya sendiri, dia akan lalai terhadap hakikat
dirinya, dan sama sekali tidak akan pernah mengetahui keadaan,
pandangan, dan hasil akhir dari perilakunya. Manusia semacam ini bisa
jadi akan dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bermoral untuk diarahkan
menjadi penggerak bagi kerusakan masyarakat atau kemerosotan moral dan
tingkah laku.
5. Mengarahkan Setiap Potensi
Menentukan dan mengarahkan setiap potensi internal para
penuntut ilmu serta membimbingnya ke arah pertumbuhan yang layak dan
hakiki baginya akan menyebabkan gerak langkah dan pencapaian tujuan
menjadi lebih cepat dan memberikan hasil yang lebih baik dan sempurna.
Penentuan potensi dan bakat penuntut ilmu ini, akan mengarahkannya pada
bidang spesialisasi keilmuan yang disukainya dan menyebabkannya tumbuh
dengan cepat.
6. Pertumbuhan Spiritual dan Pengetahuan
Tujuan dari proses belajar adalah pencapaian pengetahuan,
pertumbuhan spiritual, mengenal diri, dan mengenal hakikat alam. Tujuan
hakiki mencari ilmu bukan untuk memenuhi kebutuhan material, karena
pekerjaan yang paling tercela dalam Islam adalah manusia menjadikan ilmu
sekedar sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmaninya.
Sebagaimana yang terjadi saat ini, dimana kebanyakan manusia mengikuti
jenjang pendidikan hanya untuk memperoleh ijazah dan mencari pekerjaan
dengan ijazah itu, tujuannya tidak lain adalah sekedar memenuhi
kebutuhan hidup materialnya. Masalah ini merupakan keburukan yang sangat
besar yang akan menghentikan gerak ilmu, dan mencukupkan diri hanya
dengan mendapatkan ijazah saja akan berarti mematahkan tunas usaha dan
jerih payah. Salah satu faktor paling penting yang menyebabkan sebuah
bangsa tertinggal dalam kemajuannya adalah karena sebagian mereka
meletakkan ilmu untuk berkhidmat dalam kehidupan material belaka. Perlu
diketahui bahwa ketiadaan tujuan suci dalam menuntut ilmu hanya akan
memberikan hasil yang tak lebih besar dari sekedar pemenuhan kebutuhan
materi.
7. Menghindar dari Penyimpangan
Prinsip ketujuh, bimbingan dalam berbagai spesifikasi ilmu
dan menjaga dari segala bentuk penyimpangan ilmu dimana banyak dialami
oleh orang-orang yang memiliki pandangan yang keliru dan sama sekali
tidak mampu memilih yang baik di antara pandangan-pandangan yang ada.
Demikian juga menjaga pengaruh dan kecenderungan terhadap aliran-aliran
sesat yang merusak dimana di dalam aliran-aliran tersebut tujuan politik
lebih kental daripada tujuan keilmuan. Aliran-aliran ini seperti
aliran-aliran materialisme dan positivisme yang terbentuk di Eropa
setelah renaissance.
Referensi:
[1] . Qs. As-Syams: 8.
[2] . Qs. Ar-Ruum: 30.
[3] . Qs. Hud: 56.
[4] . Qs. Al-A’la: 2-3.
[5] . Qs. Al-‘Alaq: 8.
[6] . Qs. Al-Jum’ah: 2.
[7] . Qs. Al-Baqarah: 129.
[8] . Khishal Shaduq, hal. 69.
[9] . Nahjul Balaghah, hikmah 145.
[10]. Rujuk: Ma’ani al-Akhbar , hal. 24-25.
[11] . Nama salah satu kota di Masyhad.
[12] . Nama salah satu kota di Myanmar.
[13] . Ma’ani al-Akhbar, hal. 22.
[14] . Ushul Kafi, bab Keutamaan Ilmu, hadits 1.
[15] . Ibid, hadits 2.
[16] . Ibid, hadits 8.
[17] . Qs. Al-‘Alaq: 3-5.
[18] . Qs. Az-Zumar: 9.
[19] . Qs. Yunus: 100.
[20] . Qs. Al-Ankabut: 43.
[21] . Biharul Anwar, jilid 6, hal. 6.
[22] . Nahjul Balaghah, hikmah 147.
[23] . Qs. An-Nisa: 143.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar