Mukadimah
Di hadapan mata kita, terhampar luas membentang alam semesta dengan berbagai aneka ragam fenomena. Sejak Adam pertama hingga manusia-manusia jenius yang lahir di abad ini, masih belum tuntas mengorek berbagai rahasia dan keajaiban alam semesta raksasa ini. Usaha itu berlanjut terus, sepanjang umat manusia yang memiliki akal pikiran, tetap menjaga naluri rasa ingin tahunya terhadap teka-teki yang terdapat di jagat raya ini. Manusia adalah bagian dari alam semesta. Bahkan orang-orang bijak mengatakan bahwa:
“Manusia adalah makhluk yang penuh keajaiban. Secara fisik ia sangat kecil dan lemah. Tetapi di dalam dirinya terselubung alam yang agung dan penuh rahasia dan keajaiban, melebihi besarnya alam raya itu sendiri. Karenanya, barang siapa yang mengenal dirinya dengan baik, pasti ia dapat mengenal penciptanya dengan baik pula.
Pada alam semesta dan diri manusia, terdapat berbagai fenomena yang selalu bergerak dan berubah. Semakin maju dan canggih sarana yang ditemukan dan digunakan umat manusia untuk menguak tabir alam, semakin beragam pula fenomena alam yang muncul ke permukaan. Keheranan dan kebingungan manusia terhadap keajaiban alam semesta ini tak pernah berakhir.
Manusia yang merupakan bagian kecil dari alam raya ini, memiliki akal sebagai sarana berpikir. Karenanya, mansuia mempunyai pandangan, gagasan dan keyakinan. Jika kita hubungkan akal pikiran manusia dengan alam dunia fana ini, maka dapat kita ketahui, bahwa sebenarnya manusia memiliki pandangan yang beragam dan berbeda-beda terhadap alam dunia ini. Sebagian manusia memandang alam semesta ini, tidak lebih dari alam materi belaka. Mereka hanya melihatnya dengan mata kasatnya semata. Al-hasil -menurut mereka- alam ini sama sekali tidak memiliki tujuan apapun. Sementara sebagian lainnya, memiliki pandangan yang jauh ke depan. Mereka memandangnya bukan hanya dengan mata lahiriyah belaka, tetapi juga dengan mata hati dan batin yang dalam. Dunia bagi mereka hanya merupakan tempat singgah beberapa saat saja. Setelah itu, semuanya akan kembali ke alam lain yang bersifat abadi dan sarmadi. Jadi, alam ini memiliki tujuan tertentu.
Pada perjumpaan kita kali ini, kita akan mengkaji dan mengkritisi berbagai pandangan manusia terhadap alam materi ini. Semoga ada manfaatnya.
Dasar-dasar Pandangan Dunia Materialisme
Kaum materialis, memiliki pandangan yang jauh berseberangan dengan pandangan kaum agamawan. Masing-masing mereka memiliki dasar-dasar pandangan yang berbeda terhadap dunia materi ini. Dasar-dasar pandangan dunia Materialisme dapat didenahkan sebagai berikut:
Pertama : Wujud itu sama dengan materi dan material. Sesuatu itu dianggap ada, apabila ia berupa materi yang memiliki bentuk dan meliputi tiga dimensi, yaitu panjang, lebar dan padat, atau meliputi tipologi materi, sehingga ia disifati dengan kuantitas dan dapat dibagi. Atas dasar inilah, penganut Materialisme mengingkari wujud Tuhan Pencipta. Karena wujud-Nya itu bersifat nonmateri dan metafisis yang tidak dapat diidera dengan kasast mata.
Kedua : Materi itu bersifat azali, abadi, tidak dicipta dan tidak membutuhkan sebab apapun. Jadi, ia bersifat mandiri dan tidak bergantung kepada apa dan siapapun.
Ketiga : kita tidak dapat mengatakan bahwa alam ini memiliki tujuan dan sebab akhir. Karena tidak ada pelaku yang memiliki ilmu dan kehendak, sehingga dapat dinisbahkan suatu tujuan penciptaan kepadanya.
Keempat : sesungguhnya fenomena alam, muncul akibat adanya perpindahan pada atom-atom materi, dan adanya interaksi antara satu dengan lainnya. Dari sini dapat dipahami bahwa fenomena alam yang terdahulu berperan sebagai syarat dan sebab penyiap bagi fenomena-fenomena berikutnya.
Dalam hal ini, kita pun dapat menerima kemungkinan yang paling jauh, yaitu bahwa fenomena alam terdahulu itu, adalah sebagai sebab pelaku alami di antara hal-hal material. Misalnya, sebuah pohon dapat dianggap sebagai pelaku alami bagi munculnya buah-buahan. Sedang hal-hal yang bersifat fisikal dan kimiawi, dapat disandarkan kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun, tidak ada satu pun fenomena yang butuh kepada pelaku dan pencipta Ilahi.
Di sini, dapat pula ditambahkan basis epistemologis sebagai dasar kelima. Dan bisa pula dianggap sebagai prolog bagi semua dasar-dasar lainnya, yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh berdasarkan empiris, adalah satu-satunya pengetahuan yang dapat diakui keabsahannya. Hal itu, mengingat bahwa eksperimen inderawi, hanya dapat membuktikan wujud materi dan hal-hal material belaka. Ia tidak bisa membuktikan wujud lainnya. Karenanya, kita tidak mungkin menerima wujud apa pun yang selain materi. Dalam kajian-kajian sebelumnya, telah jelas kerapuhan pandangan kelima ini. Kami rasa, tidak perlu lagi mengulanginya. Untuk itu, kita akan membahas empat dasar saja.
Kritik atas Dasar Pertama
Dasar ini merupakan dasar yang terpenting dalam pandangan dunia Materialis. Walaupun dasar terebut hanya merupakan klaim dari mereka yang tidak dilandasi dengan argumen. Karena argumen apa pun tidak dapat digunakan untuk menafikan wujud metafisis. Khususnya berdasarkan epistemologi materialistik yang berlandaskan pada indera dan persepsi. Karena eksperimen inderawi apa pun, tidak akan dapat menjelaskan tentang sesuatu di luar lingkup materi dan material, baik penilaiannya itu bersifat positif maupun negatif. Asumsi maksimal -sesuai dengan logika materialis- yang dapat dinyatakan adalah, bahwa wujud metafisis itu tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian, paling tidak kita harus menerima asumsi kewujudannya. Karena sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kewujudannya, tidak berarti bahwa sesuatu itu benar-benar tidak ada. Hal itu sebagaimana ungkapan para filosof, bahwa “Adamu al-wujdan la yadullu ala adami al-wujud”, artinya bahwa sesuatu yang tidak dapat diketahui, tidak berarti bahwa sesuatu itu tidak ada.
Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan bahwa manusia dapat mengetahui berbagai persoalan nonmateri yang tidak memiliki kekhasan materi, seperti ruh. Seseorang dapat mengetahui ruh dengan ilmu hudhuri (ilmu presentif). Bahkan argumen rasional pun telah banyak digunakan untuk membuktikan berbagai wujud abstrak (mujarrad) dalam buku-buku filsafat. Bukti yang paling utama atas keberadaan abstrak ruh ialah adanya mimpi yang nyata, perbuatan-perbuatan para petapa, mukjizat-mukjizat para Nabi dan karamah para wali Allah.
Alhasil, untuk mengikis dasar-dasar Materialisme tersebut, cukup dengan menggunakan dalil-dalil yang digunakan untuk menetapkan wujud Tuhan Pencipta dan ke-nonmaterian-Nya.
Kritik atas Dasar Kedua
Dasar ini, berlandaskan pada keabadian dan keutuhan materi. Kesimpulannya adalah bahwa materi itu bukan yang tercipta.
Kritik atas dasar ini adalah:
Pertama, kita tidak mungkin dapat menetapkan keabadian materi berdasarkan dalil-dalil ilmiah dan eksperimen. Karena, ruang-lingkup eksperimen itu sangat terbatas, yang tidak mungkin dapat mencakup bidang ini. Bahkan, eksperimen apapun tidak akan dapat membuktikan ketidakterbatasan alam semesta ini dari sisi ruang dan waktunya.
Kedua, bahwa keabadian materi tidak memestikan ketakbutuhannya kepada pencipta. Misalnya bahwa asumsi adanya gerak mekanik yang bersifat abadi, menuntut asumsi adanya potensi penggerak yang bersifat abadi pula. Bukan malah membuktikan ketidakbutuhannya kepada potensi penggerak.
Di samping itu, pandangan bahwa materi itu tidak dicipta, berarti ia merupakan wajibul wujud. Pada pembahasan yang telah lalu, telah kita buktikan kemustahilan materi sebagai wajibul wujud.
Kritik atas Dasar Ketiga
Dasar ketiga ini adalah pengingkaran atas tujuan alam semesta sebagai akibat dari mengingkari Sang Pencipta. Tentu, jika kita dapat membuktikan adanya Sang Pencipta yang bijak, dasar pemikiran ini akan gugur.
Di samping itu, ada sebuah pertanyaan yang perlu mereka jawab, yaitu bahwa setiap orang yang berakal –ketika menyaksikan hasil ciptaan manusia– pasti mengetahui bahwa mereka mempunyai tujuan. Tetapi ketika ia menyaksikan tatanan alam semesta yang menakjubkan, dan memiliki hubungan yang serasi antara satu dengan yang lainnya, serta memberikan anugerah kenikmatan yang melimpah ruah, yang tidak terhitung banyaknya, bagaimana mungkin ia meyakini bahwa alam tersebut tidak memiliki tujuan?
Kritik atas Dasar Keempat
Dasar keempat bagi pandangan dunia Materialisme adalah membatasi sebab, hanya pada hubungan materi pada fenomena alam. Banyak sekali kritik yang dilontarkan atas dasar ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, bahwa dasar dan pandangan ini melazimkan tidak ditemukannya realitas yang baru apapun di alam ini. Padahal, senantiasa kita saksikan munculnya fenomena-fenomena materi yang baru, khususnya pada alam manusia dan binatang. Paling utamanya adalah kehidupan, rasa, sensitifitas, indera, pikir, penciptaan dan kehendak. Kaum Materialis menganggap bahwa fenomena-fenomena ini merupakan ciri-ciri khas materi dan bukan sesuatu yang lain.
Ada beberapa catatan untuk menjawab pandangan di atas:
a. Bahwa keunikan yang melazimkan materi dan material -yang tidak mungkin berpisah darinya- adalah imtidad (ekstensi) dan dapat dibagi. Ciri-ciri ini tidak ditemukan pada fenomena-fenomena yang telah kami sebutkan.
b. Tidak diragukan lagi, bahwa fenomena-fenomena yang dinamakan “keunikan materi” tersebut, tidak ditemukan pada materi yang tidak bernyawa. Dengan kata lain, materi tersebut sebelumnya tidak memiliki keunikan masa. Barulah kemudian, keunikan masa ini diwujudkan padanya. Dengan demikian, fenomena-fenomena itu –yang dikenal dengan tipologi materi– butuh kepada pencipta yang telah mengadakannya di dalam materi. Pencipta inilah yang dinamakan ‘illat mujidah (sebab pengada).
Kedua, pandangan ini melazimkan jabariyah (determinisme) atas munculnya seluruh fenomena alam. Karena tidak ada peluang baginya untuk berikhtiar dan berkehendak akibat pengaruh dan reaksi materi. Sedangkan menolak ikhtiar, di samping bertentangan dengan nurani dan realita, juga dapat melazimkan pengingkaran terhadap tanggung jawab, norma-norma moral dan nilai-nilai maknawi. Dan kita tahu, betapa malapetaka yang akan menimpa atas kehidupan manusia akibat mengingkari tanggung jawab dan nilai-nilai akhlak tersebut.
Akhirnya, dengan memperhatikan bahwa materi itu tidak mungkin sebagai wajibul wujud –sebagaimana telah kami buktikan pada pembahasan yang telah lalu– maka ia (materi), harus memiliki sebab. Sebab tersebut mesti bukan berupa sebab natural dan penyiap. Karena, hubungan-hubungan tersebut tidak dapat dipahami kecuali di antara hal-hal material saja. Adapun totalitas materi itu sendiri tidak mungkin memiliki hubungan semacam itu dengan sebabnya. Atas dasar ini, sebab yang mengadakan materi adalah Sebab Pengada yang nonmateri.
Materialisme Mekanika dan Dialektika
Materialisme, memiliki berbagai macam aliran. Setiap aliran menafsirkan fenomena alam ini dengan caranya masing-masing. Di awal era modern, kaum Materialisme –yang terilhami oleh fisika Newton– menafsirkan fenomena alam ini sesuai dengan gerak mekanik. Yaitu bahwa setiap gerak, merupakan akibat dari kekuatan penggerak tertentu. Kemudian masuk ke dalam benda yang bergerak. Artinya, mereka menggambarkan bahwa alam ini merupakan mesin raksasa; yang kekuatan penggerak di dalamnya berpindah-pindah, sehingga mengakibatkan gerak seluruh mesin. Teori ini dinamakan Materialisme Mekanika.
Adanya berbagai kelemahan pada pandangan ini, membuka banyak tanggapan kritis. Di antaranya, apabila setiap gerakan itu disebabkan oleh kekuatan luar, maka mesti diasumsikan adanya kekuatan penggerak lain yang datang dari luar untuk menggerakkan materi pertama bagi alam semesta ini. Hal ini membawa kita untuk beriman kepada maujud di balik materi. Setidaknya, sebagai sebab pada gerak awal yang terdapat pada alam materi ini.
Kritik lain atas pandangan Materialisme Mekanika, bahwa kekuatan mekanika hanya menjelaskan gerak-gerak posisif (wadh’i). Padahal, fenomena alam semesta tidak mungkin dibatasi dengan perubahan posisi dan tempat. Oleh karena itu, kita mesti mengimani adanya sebab dan faktor lain untuk menafsirkan kemunculan seluruh fenomena alam ini. Kritik-kritik tersebut mendorong penganutnya mengkaji faktor lainnya untuk menafsirkan adanya perubahan dan gerak pada alam ini. Paling tidak, mereka berusaha untuk menafsirkan sebagian gerak dengan penafsiran dinamika, sehingga dapat mengasumsikan adanya gerak esensial bagi materi tersebut.
Pendiri Materialisme Dialetika (Marx dan Engels) menilai bahwa faktor gerak tersebut adalah tadhad dakhili (kontradiksi internal) di dalam fenomena-fenomena materi. Dalam masalah ini, mereka menggunakan teori-teori filsafat Hegel. Di samping meyakini bahwa materi itu bersifat abadi, azali, tidak akan rusak, tidak dicipta, memiliki gerak yang menyeluruh, dan adanya interaksi antarfenomena, mereka pun mengajukan tiga prinsip untuk menjelaskan pandangannya:
o Prinsip Kontradiksi Internal.
o Prinsip Lompatan, atau perubahan kuantitas (kamm) kepada kualitas (kaif).
o Prinsip Negasi terhadap Negasi, atau dinamika alami.
Berikut ini penjelasan sekaligus kritik atas tiga prinsip tersebut.
Prinsip Kontradiksi Internal
Materialisme Dialetika percaya, bahwa setiap benda tersusun dari dua kontradiksi (tesis dan antitesis). Kontradiksi ini merupakan faktor utama bagi gerak dan perubahan benda tersebut. Dalam pergulatan tesis dan antitesis, yang kedua ini dapat mengalahkan yang pertama, sehingga munculah materi baru yang disebut dengan sintesis. Misalnya, telur ayam itu mengandung sperma, kemudian secara berangsur mengalami perubahan dan perkembangan dengan mencerna makanan yang terdapat di dalamnya. Dan akhirnya ia melahirkan anak ayam yang merupakan sintesis. Gelombang listrik yang memuat aliran positif dan negatif, adalah contoh lain akan adanya kontradiksi dalam fenomena fisika. Demikian juga dengan teori menghimpun dan membagi dalam Matematika pemula, atau pecahan dan integral dalam Matematika tingkat tinggi.
Materialisme Dialektika, juga berperan dalam berbagai peristiwa sosial dan sejarah. Misalnya pada masyarakat kapitalis, kita dapati adanya golongan proletariat (buruh), yang merupakan antitesis bagi golongan borjuis, dan secara berangsur mengalahkan yang kedua, kemudian muncullah masyarakat sosialis komunis sebagai sintesis. Para pendukung teori Marxis juga menambahkan, bahwa prinsip kontradiksi ini dapat membuktikan kebatilan prinsip metafisika, yakni hukum nonkontradiksi.
Kritik
Perlu kami tekankan bahwa tidak seorang pun yang menolak adanya dua realitas materi yang saling bersentuhan sebegitu rupa, hingga salah satunya mendesak yang lainnya, atau malah menghancurkannya. Sebagaimana hal ini dapat kita saksikan pada air dan api. Meski begitu,
pertama: kondisi seperti ini tidak bersifat mutlak dan tidak mungkin dapat kita terima sebagai sistem alam yang universal. Karena dapat kita menemukan ratusan bahkan ribuan fakta yang menentang kenyataan ini.
Kedua, adanya kontradiksi pada sebagian fenomena alam tidak ada hubungannya dengan kontradiksi yang diyakini kemustahilannya oleh logika klasik dan Filsafat Murni. Karena, kemustahilan yang mereka akui adalah berkumpulnya dua hal yang kontradiktif pada “satu subjek”. Sedangkan contoh-contoh kontradiksi yang diyakini kaum materialis, tidak menyoroti satu subjek. Kita pun tidak butuh kepada contoh-contoh dangkal atas dua hal kontradiktif yang menjadi bahan cemoohan kaum Marxisme seperti; berkumpulnya antara menghimpun dan mengurai, bilangan pecahan dan bilangan yang benar (integral) dan ramalan kosong yang mereka buat-buat tentang munculnya kekuasaan golongan proletariat di negara-negara sosialis.
Ketiga, apabila setiap fenomena mesti terangkap dari dua hal yang kontradiktif (tesis dan antitesis), maka masing-masing dari keduanya itu mesti terangkap pula. Karena mereka itu adalah fenomena. Berdasarkan prinsip kontradiksi, tesis maupun antitesis mesti tersusun dari dua hal yang kontradiktif. Konsekuensinya, bahwa setiap fenomena yang terbatas mesti tersusun dari kontradiksi-kontradiksi yang tak terbatas.
Sekaitan dengan kontradiksi internal yang mereka angkat sebagai faktor penggerak, yang dengan cara ini mereka ingin menutupi sejumlah kelemahan Materialisme Mekanika, maka kritik yang paling ringan atasnya adalah bahwa tidak didapati argumentasi ilmiah apapun yang mendukung prinsip tersebut. Di samping itu, kita tidak dapat mengingkari adanya gerak-gerak mekanis yang terjadi akibat kekuatan luar. Lain halnya jika mereka mengatakan pula, bahwa gerak bola pun muncul akibat adanya kontradiksi internal di dalam bola itu sendiri. Bukan akibat dari tendangan pemain sepak bola?!
Dasar Lompatan
Kita saksikan, bahwa berbagai perubahan alam tidak seluruhnya terjadi secara berangsur dan segaris. Bahkan banyak sekali fenomena yang baru itu muncul, namun tidak semirip fenomena-fenomena sebelumnya. Dalam hal ini, kita tidak dapat menganggap bahwa fenomena yang baru tersebut adalah imtidad (ekstensi) perubahan dan gerak sebelumnya.
Berangkat dari sinilah, kaum materialis meyakini prinsip lain, yaitu lompatan (thafrah), atau perpindahan dari perubahan kuantitas ke perubahan kualitas. Artinya, ketika perubahan kuantitas mencapai tingkat tertentu, ia akan berubah menjadi kualitas yang baru dan menjadi sebab atas terjadinya perubahan kualitas tersebut. Sebagai contoh, air ketika diletakkan di atas api, derajat panasnya akan meningkat. Kemudian jika panasnya itu meningkat sampai derajat tertentu (100 derajat celsius), ia akan berubah menjadi uap. Demikian pula, setiap lempengan tembaga yang memiliki titik leleh tertentu, yang bila dipanaskan sampai derajat tertentu, ia akan berubah dan mencair. Tidak beda halnya dengan masyarakat. Bila terjadi pergulatan antarkelas sosial, pada puncaknya pasti akan terjadi revolusi.
Kritik
Pertama, tidak ada fenomena apa pun yang di dalamnya terjadi perubahan kuantitas kepada kualitas. Maksimal yang bisa kita katakan bahwa terjadinya fenomena tertentu itu tergantung pada wujud kuantitas tertentu, misalnya derajat panas air itu tidak akan berubah menjadi uap. Tetapi, perubahan air menjadi uap itu tergantung pada panas yang telah mencapai tingkat tertentu.
Kedua, tidak mesti kuantitas itu akan terjadi dalam derajat tertentu akibat bertambahnya kuantitas yang sebelumnya secara berangsur. Bahkan hal itu bisa terjadi akibat sedikitnya kuantitas yang sebelumnya, seperti perubahan uap ke air yang bergantung pada turunnya derajat panas.
Ketiga, berbagai perubahan kualitas tidak selamanya terjadi secara seketika dalam satu waktu. Bahkan tidak jarang ia terjadi secara berangsur, seperti melelehnya lilin atau kaca. Karena itu, yang dapat diterima adalah kemestian terpenuhinya kuantitas tertentu dalam mewujudkan sebagian fenomena alam, bukan adanya perubahan kuantitas kepada kualitas, bukan pula bertambahnya kuantitas secara berangsur. Dan kita pun sulit tidak menerima universalitas prinsip ini kepada semua perubahan kuantitas. Jadi, sebenarnya tidak ada sistem alam universal yang dinamakan lompatan (insidental) atau perpindahan dari berbagai perubahan kuantitas menuju perubahan-perubahan kualitas.
Prinsip Negasi terhadap Negasi
Prinsip ini disebut juga dengan hukum perkembangan dua kontradiktif atau dinamika alami. Yaitu, bahwa dalam perubahan dialektis yang bersifat universal, tesis itu bisa lenyap dengan perantara antitesis. Dan antitesis ini –pada gilirannya– akan lenyap dengan perantara sintesis. Ini dapat kita amati pada dunia tumbuh-tumbuhan; sebuah pohon dapat melenyapkan bijinya, lalu pohon itu sendiri pada gilirannya akan dilenyapkan oleh bibit-bibit yang baru. Demikian pula sperma, ia dapat melenyapkan sel telur yang pada gilirannya pun akan dilenyapkan oleh itik. Tetapi dengan proses semacam ini, fenomena yang baru akan lebih banyak memiliki kesempurnaan dibandingkan fenomena sebelumnya. Dengan ungkapan lain, gerak dialektis senantiasa mengalami peningkatan dan penyempurnaan. Pada poin inilah dasar penting ini tersembunyi, karena ia dapat menunjukkan gerak perubahan dan menekankan peningkatan dan kesempurnaan gerak tersebut.
Kritik
Tentu dalam setiap perubahan, keadaan sebelumnya akan sirna, lalu muncul fenomena baru. Apabila prinsip di atas itu mengarah kepada pengertian ini, ia tidak menghasilkan selain interpretasi atas kelaziman suatu perubahan. Tetapi, interpretasi ini –yaitu bahwa arah gerak itu terbatas, bahwa gerak itu senantiasa mengalami peningkatan dan penyem-purnaan, dan bahwa fenomena berikutnya mesti lebih sempurna dari yang sebelumnya– tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang berlaku secara universal atas semua gerak dan perubahan alam. Apakah uranium yang berubah menjadi peluru setelah diproses dan disinari berarti ia lebih sempurna? Apakah air menjadi lebih sempurna ketika ia berubah menjadi uap? Ataukah uap tersebut lebih sempurna ketika berubah menjadi air? Dan apakah ketika pohon itu kering dan layu hingga tidak tersisa lagi buah dan bijinya sedikit pun, berarti ia lebih banyak memiliki kesempurnaan?
Betul, bahwa sebagian realitas alam ini lebih banyak memiliki perkembangan dan kesempurnaan akibat adanya perubahan dan gerak. Meski begitu, hukum ini tidak meliputi setiap gerak dan perubahan. Karenanya, kita tidak dapat menerima prinsip perkembangan dan kesempurnaan sebagai suatu hukum yang universal atas setiap fenomena alam.
Akhirnya, perlu kami tekankan di sini, meskipun diasumsikan bahwa prinsip-prinsip tersebut berlaku atas alam semesta, maksimal yang mungkin dapat ditetapkan olehnya adalah bahwa ia menjelaskan bagaimana terjadinya fenomena tersebut, sebagaimana hal ini terdapat dalam semua hukum yang terdapat pada ilmu-ilmu alam. Tetapi, keberadaan hukum yang bersifat universal dan berlaku pada alam materi ini tidak berarti bahwa berbagai fenomena dan peristiwa tidak butuh lagi kepada pencipta dan sebab pengada. Sebagaimana pada pelajaran sebelumnya, materi itu merupakan mumkinul wujud (wujud mungkin), yang secara pasti ia senantiasa butuh kepada wajibul wujud.(wisdoms4all).
(lenteralangit/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar