Pertanyaan:
Apakah Imam Ali As menyepakati pengerahan pasukan Abu Bakar dan Umar ke beberapa negara untuk memperluas wilayah Islam?
Jawaban Global:
Terkait peperangan yang berkecamuk, seperti perang dengan Iran (Persia) dan Roma serta pembebasan Baitul Muqaddas, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As diajak bermusyawarah meski beliau sendiri tidak ikut dalam peperangan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, Imam Ali As memandang tak
hanya berdasarkan kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin akan tetapi juga
berdasarkan kemaslahatan seluruh umat manusia, khususnya kaum tertindas
dan kalangan mustadh’afin.
Dalam perang melawan Iran, Imam Ali As sebagai Imam Maksum sekaligus seorang Pemimpin, begitu peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya; mengarahkan semua peperangan tersebut agar minim risiko dan tak terlalu banyak korban dan biaya. Demikianlah yang terjadi.
Namun yang patut diperhatikan, seandainya Rasulullah Saw masih hidup atau Imam Ali As yang menjadi khalifah paska Rasul, tentu saja berbagai penaklukan tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Artinya, semua penaklukan yang diraiih pada masa para khalifah tidak mendapat dukungan mutlak dari Imam Ali As.
Dalam perang melawan Iran, Imam Ali As sebagai Imam Maksum sekaligus seorang Pemimpin, begitu peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya; mengarahkan semua peperangan tersebut agar minim risiko dan tak terlalu banyak korban dan biaya. Demikianlah yang terjadi.
Namun yang patut diperhatikan, seandainya Rasulullah Saw masih hidup atau Imam Ali As yang menjadi khalifah paska Rasul, tentu saja berbagai penaklukan tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Artinya, semua penaklukan yang diraiih pada masa para khalifah tidak mendapat dukungan mutlak dari Imam Ali As.
Jawaban Detil:
Para khalifah pada masa itu sengaja menyingkirkan dan merumahkan Imam Ali As. Sehingga pada masa khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, beliau lebih banyak berdiam di rumah. Namun ketika para khalifah memerlukan, mereka tetap meminta pendapat dan selalu berkonsultasi dengan Imam Ali As.
Imam
Ali As dalam hal-hal seperti ini, tak hanya berpendapat berdasar
kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin saja, namun juga berasaskan
kemaslahatan dan manfaat bagi orang banyak, khususnya kaum mustadh’afin dan orang-orang tertindas.
Pada sebagian peperangan, seperti perang dengan Iran dan Roma, Amirul Mukminin diajak bermusyawarah meski beliau sendiri tidak turut serta dalam peperangan tersebut.
Misalnya
terkait peran Imam Ali As dalam penaklukan dan perang melawan Iran
disebutkan, ketika Umar bin Khattab memahami bahwa lasykar Iran tengah
melakukan persiapan besar-besaran untuk menyerang. Untuk itu, ia datang ke masjid dan mengajak semua yang hadir di tempat itu untuk berkumpul kemudian meminta pendapat dari mereka. Thalha mengusulkan, “Engkau
sendiri harus ke medan perang sehingga kaum Muslimin dengan melihatmu
akan menjadi lebih kuat dan berperang dengan gagah berani.” Usman berpendapat, “Gerakkan
seluruh warga Syam, seluruh warga Yaman, warga Madinah dan warga Mekkah
dan pergi ke medan perang sehingga kaum Muslimin dan seluruh lasykar
ini dengan melihatmu akan berperang dengan gagah berani.” Usman lalu
duduk dan tidak ada orang lagi yang berdiri. Umar bin Khattab kembali
angkat suara, “Wahai kaum Muslimin, berilah pendapat!” Imam Ali As
berujar, “Tidak benar warga Syam Anda gerakkan untuk ke medan perang
karena kalau demikian orang-orang Roma akan menyerang dan membunuh
anak-anak mereka. Jangan (juga) gerakkan warga Yaman karena lasykar
Habsya (Afrika) akan menyerang dan membunuh serta merampas harta
orang-orang Yaman. Apabila engkau membawa keluar orang-orang Madinah dan
Mekkah maka orang-orang Arab di sekelilingnya akan menyerang dan akan
merebut dua kota ini. Engkau pun
jangan pergi tetapi tulislah surat ke Basrah agar mengirim sejumlah
pasukan dari sana untuk membantu kaum Muslimin.” Pendapat Imam Ali ini
diterima oleh Umar bin Khattab seraya berkata, “Pendapat inilah yang
benar dan saya harus bertindak berdasarkan pendapat ini.”[1]
Imam
Ali as dengan pendapatnya juga menyinggung poin penting ini: Bahwa pada
masa Rasulullah Saw kaum muslimin tidak berperang dengan mengandalkan
besarnya jumlah pasukan melainkan berperang dengan bantuan Allah Swt.
Karenanya, engkau tak perlu gentar dengan minimnya jumlah pasukan kaum
Muslimin.
Dengan
pengaturan seperti ini, Imam Ali telah menyelamatkan baik warga
Muslimin Syam, Yaman, Mekkah maupun Madinah dari mara bahaya, disamping
menyelamatkan warga Iran dari pembunuhan di medan perang. Karena, bila
Roma menyerang maka wanita dan anak-anak kaum Muslimin akan terbunuh.
Apabila Habasya (Afrika) melakukan agresi maka mereka akan membunuh
wanita dan anak-anak Yaman. Dan jika orang-orang
Arab sekitar Madinah dan Mekkah menginvasi dua kota ini maka
orang-orang yang tinggal di dua kota ini semuanya akan terbunuh.
Dari
sisi lain, apabila seluruh lasykar perang ini menyerang Iran maka,
hanya Allah yang tahu, petaka dan musibah apa yang akan menimpa
masyarakat Iran karena pada masa itu (masa Yazdgerd III, raja terakhir
dinasti Sasaniyah) pemerintahan Iran sangat lemah dan berada di ambang keruntuhan[2].
Dengan jumlah lasykar kaum Muslimin yang sedikit saja mereka akan mampu mengalahkan pasukan Iran. Apalagi
bila pasukan yang menyerang sepuluh kali lipat jumlahnya dari pasukan
yang bersiaga di medan Iran, maka tentu akan lebih banyak jatuh korban
harta dan jiwa dari kedua belah pihak.
Karena
itu, Imam Ali As sebagai Imam Maksum dan wali atas kaum muslimin,
sangat peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan
untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan
pandangannya yang mengarahkan berbagai perang ini supaya tidak terlalu
mengambil resiko dan tidak terlalu menelan banyak korban dan biaya. Dan
demikianlah kenyataan yang terjadi.
Dari
apa yang disampaikan di atas menjadi jelas bahwa pada masa agresi kaum
Muslimin ke Iran, peradaban Iran sejatinya berada di ambang keruntuhan
dan kepunahan. Dengan datangnya Islam, peradaban ini mendapatkan jiwa
baru dan dapat melanjutkan
kehidupannya. Hal ini tak mungkin tercapai tanpa konsultasi elegan dan
musyawarah jitu dengan Amirul Mukminin Ali As.
Dalam
perang Islam melawan Imperium Roma, karena kaisar Roma termasuk salah
satu musuh besar Islam, pada masa Rasulullah saw, beliau senantiasa
memikirkan hal ini. Atas dasar itu, pada tahun 7 Hijriah, Rasulullah saw
mengirim satu pasukan yang dikomandoi oleh Ja’far bin Abi Thalib untuk
berperang melawan pasukan Roma yang berujung pada kesyahidan Ja’far dan
sebagian orang lainnya.
Pada
tahun 9 Hijriah, Rasulullah saw dengan pasukan lengkap bergerak ke arah
Tabuk namun sebelum kontak senjata dengan pasukan Roma, beliau kembali
ke Madinah. Pada akhir masa hidupnya, beliau menugaskan pasukan Usamah
untuk bertempur melawan pasukan Roma. Namun sebelum keberangkatan
pasukan Usamah, Rasulullah saw wafat dan misi ini tak jadi dijalankan.
Setelah
berdirinya pemerintahan Abu Bakar di Madinah, Abu Bakar bermusyawarah
dengan para sahabat Nabi Saw tentang masalah ini dan masing-masing
melontarkan pendapatnya, namun tak diterima oleh khalifah.
Pada
akhirnya Abu Bakar bermusyawarah dengan Imam Ali As. Imam Ali As
mendorongnya untuk menunaikan instruksi Rasulullah saw dan memberikan
berita gembira bahwa kaum Muslimin akan meraih kemenangan dalam perang
melawan Roma. Khalifah sangat senang menerima motivasi dari Imam Ali as
dan berkata, “Anda telah memberikan pertanda baik dan berita gembira
kepada kami.”[3]
Sehubungan
dengan penaklukan Bait al-Muqaddas, ketika Khalifah Kedua bermusyawarah
dengan Imam Ali, beliau pun memberikan motivasi kepadanya terhadap
perang ini.[4]
Demikian
juga dalam peperangan dan pengerahan pasukan lainnya, apabila
bermusyawarah dengan Imam Ali As, maka beliau melontarkan pendapat
dengan penguasaan dan kebijaksanaan sempurna, mengkaji seluruh dimensi
perbuatan dengan menimbang kemaslahatan Islam, kaum Muslimin dan
khalayak umum, bahkan kemaslahatan generasi mendatang seperti yang
terjadi paska eskalasi pasukan Islam ke Irak. Sebagian orang meminta
Umar untuk membagi-bagi tanah-tanah rampasan di antara kaum Muslimin
sebagai milik pribadi masing-masing orang. Umar pun berkonsultasi dengan
Imam Ali As terkait pembagian tanah Irak tersebut. Imam Ali As
bersabda, “Pembagian tanah-tanah yang dilakukan untuk generasi kaum Muslimin sekarang ini tidak akan membuahkan manfaat bagi generasi-generasi mendatang..”[5]
Ada baiknya Anda memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Sesuai
dengan tuntutan pakem-pakem dan ideologi Islam; artinya dengan
memperhatikan kandungan agama Islam –yang mencakup jihad, pembelaan,
amar makruf, nahi mungkar, menuntut keadilan, menolong orang-orang
tertindas dan melawan penindasan dan lain sebagainya– dan sirah
Rasulullah Saw serta para Imam Maksum As dapat disimpulkan bahwa jihad
dan pembelaan diri (defâ’)
untuk menyingkirkan berbagai rintangan yang menghadang dalam upaya
penyebaran Islam, hingga pada batasan tertentu, itu pun dengan adanya
berbagai pakem dan syarat-syarat tertentu dapat diterima. Peperangan
yang mendapat dukungan Islam bukanlah peperangan untuk melakukan
ekspansi dan penaklukan raja-raja, melainkan perlawanan untuk
membebaskan. Slogan Rasulullah Saw adalah slogan kejayaan, kebebasan dan
pembebasan manusia (qulu laa ilaha illaLlah tuflihu)[6]
dan berusaha dengan melakukan berbagai aktifitas kultural membimbing
masyarakat ke jalan kemenangan. Peperangan bagi Rasulullah Saw adalah
semata-mata untuk menyingkirkan berbagai rintangan karena para musuh
menciptakan berbagai rintangan dan halangan terhadap berbagai aktifitas
konstruktif Rasulullah Saw.
Nah,
apabila Rasulullah Saw tidak menyingkirkan berbagai rintangan tersebut
maka beliau tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuan mulianya yaitu
memberikan petunjuk dan kebahagiaan manusia; maka mau tak mau beliau
menggunakan strategi jihad dan pembelaan diri supaya dapat menghilangkan
berbagai rintangan yang menghadang di jalan untuk mencapai kebahagiaan
dan kejayaan. Sejatinya, Islam membenarkan penggunaan kekuatan militer
hanya pada tiga perkara: Pertama, untuk menghilangkan pengaruh syirik
dan penyembahan berhala. Karena dalam pandangan Islam, syirik dan
penyembahan berhala, adalah penyimpangan, penyakit dan khurafat (superstisi).
Karena itu, Rasulullah saw pertama-tama menyeru para penyembah berhala
kepada tauhid, baru kemudian melakukan perlawanan dan menggunakan
kekuatan senjata. Kedua, untuk menghilangkan konspirasi dan plot
musuh-musuh serta orang-orang yang
membuat konspirasi menghancurkan Islam dan menyerang kaum Muslimin, maka
Islam mengeluarkan instruksi jihad dan menggunakan kekuatan militer
untuk melawan mereka. Ketiga, demi kebebasan dalam penyebaran agama,
karena setiap ajaran memiliki hak secara bebas dan dalam bentuk yang
logis memperkenalkan dirinya. Apabila ada orang yang mencoba menghalangi
maka ia dapat menggunakan cara-cara kekerasan untuk merebut haknya ini.
Namun ketiga hal ini dapat ditempatkan pada daur pembelaan terhadap
kemajuan, kemuliaan dan kesempurnaan manusia.[7]
2. Apa
yang telah dijelaskan tentang pandangan konsultatif Imam Ali As tidak
dapat disimpulkan bahwa berbagai penaklukan pada masa khalifah mendapat
dukungan mutlak sesuai aturan-aturan Islam dan Imam Ali As setuju dengan
segala tindakan yang telah dilakukan para khalifah dalam
penaklukan-penaklukan ini. Artinya bahwa sekiranya Rasulullah Saw hidup
atau Imam Ali yang menjadi khalifah paska Rasulullah Saw, tentu saja
berbagai penaklukan yang terjadi tidak akan seperti itu. Dengan kata
lain, ekspansi wilayah Islam tanpa agenda yang jelas dan dengan tiadanya
Imam Ali di pucuk pemerintahan, maka apabila terjadi berbagai
penyimpangan sudah pasti semua itu tidak sesuai dengan agenda-agenda
Imam Ali As. Kami akan menyebutkan beberapa penyimpangan ini di sini
sebagai contoh. Adapun pembahasan rinci tentang hal ini akan kami
alokasikan pada kesempatan yang lain:
Pertama,
sekelompok orang dalam masyarakat Islam secara perlahan muncul. Mereka
adalah orang-orang yang cinta kepada Islam, beriman kepada Islam,
meyakini namun hanya mengenal Islam dari kulitnya saja tanpa mengenal
ruhnya; sebuah kelompok yang hanya mengenal Islam sebatas ritual,
misalnya shalat, bukan berdasar pengetahuan dan pengenalannya terhadap
tujuan-tujuan Islam.
Kedua,
mengambil jarak dari keadilan Islam dan menyebarnya diskriminasi;
misalnya warga kota – non Arab – di Irak dikenal sebagai warga kelas dua
dan atas dalil ini semenjak pertama, pekerjaan-pekerjaan berat seperti
mendirikan pasar dan membuat jalan diserahkan kepada mereka.
Pada
masa khalifah kedua, orang-orang Ajam tidak diberi kesempatan masuk ke
kota Madinah agar mereka tidak bercampur dengan orang-orang Arab.
Demikian juga dengan orang-orang Iran, agar mereka tidak memberikan
pengaruhnya di sentral-sentral Islam. Khalifah ketika itu melihat bahwa
masyarakat bebas memiliki budak Ajam dan tidak pantas melihat ada orang
Arab yang menjadi budak.
Ibnu Jarih menulis, “…Tatkala
Khalifah Kedua menyaksikan pada waktu thawaf dua orang yang
bercakap-cakap Persia, ia berkata kepada mereka, ‘Bercakaplah dengan
bahasa Arab, karena apabila seseorang bercakap-cakap dengan bahasa
Persia dan mempelajarinya maka kehormatannya akan hilang.”
Sesuai aturan yang dibuat Khalifah Kedua, orang-orang Arab boleh
menikahi para wanita Ajam namun tidak membolehkan orang-orang Ajam
menikahi para wanita Arab.
Mengikuti
tradisi ini, pada masa Muawiyah, anak-anak dari istri-istri Ajam tidak
memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah. Hajjaj, khalifah masa itu di
Irak berkata, “Tidak seorang Ajam pun yang boleh menjadi imam jamaah di
Kufah.” Ia bahkan dengan paksa
membawa mawali ke medan perang. Atau mawali turut serta dalam peperangan
namun ketika pembagian harta rampasan perang maka jatah orang-orang
Ajam lebih minim dibandingkan jatah orang-orang Arab. Hal yang lebih
menyedihkan lagi, yakni memberikan harta baitul mal kepada masyarakat,
namun tidak memberikan saham kepada mawali.[8]
Namun hal ini telah menyebabkan kaum Muslimin terjauhkan dari Islam
hakiki dan menyangka bahwa Islam adalah apa yang mereka saksikan dan
dengarkan. Hal inilah yang telah menyebabkan paska berbagai penaklukan,
terjadi banyak pemberontakan di daerah-daerah yang ditaklukan. Itulah
yang membuat Imam Ali terpaksa mengirim satu pasukan ke Qazwin dan dua
lasykar ke Khurasan, karena kota-kota Khurasan seperti Naisyabur memang
harus ditaklukan kembali.[9]
Akhir
kata, bahwa tujuan Imam Ali As dalam pemerintahannya yang singkat
adalah mengoreksi berbagai penyimpangan yang terjadi pada umat
Rasulullah Saw paska kepergian Rasulullah Saw.
Referensi:
[1]. Silahkan lihat, al-Irsyâd, Syaikh Mufid, hal. 207. Nahj al-Balâghah, Khutbah 144. Târikh Thabari, jil. 4, hal. 237-238. Târikh Kamil, jil. 3, hal. 3. Târikh Ibnu Katsir, jil. 7, hal. 107. Bihâr al-Anwâr, jil. 9, hal. 501.
[2]. Târikh Irâniyân wa Arabhâ dar Zamân Sasâniyân (Geschichte der Perser und Araber zur Zeit der Sasaniden), Theodor Nöldeke, hal. 418, terjemahan Dr. Abbas Zaryab.
[3].
Dr. Abdulhusain Zarrin Kub dalam hal ini menulis, “Jatuhnya dinasti
Sasaniyah di tangan Arab namun bukan karena kekuatan Arab melainkan
lantaran kelemahan dan kerusakan yang mendominasi pemerintahan
Sasaniyah. Sejatinya, bersamaan dengan invasi Arab, pemerintahan Iran
sudah di ambang keruntuhan. Dinasti Sasaniyah pada masa itu laksana
kondisi wafatnya Nabi Sulaiman As yang bersandar pada tongkatnya dan serangga menggerogoti tongkat tersebut kemudian setelah itu Nabi Sulaiman As tersungkur. Kelemahan dan kerusakan di seluruh fondasi negara yang telah menjerumuskan Dinasti Sasaniyah pada lembah kehinaan dan kesengsaraan. Târikh Irân ba’d az Islâm, hal. 57, Cetakan Kedua. Pemikir dan filosof besar Syahid Muthahhari dalam buku Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân menganalisa dengan seksama kekalahan orang-orang Iran. Ia berkata, “Iran pada masa itu, dengan segala chaos
dan kerusuhan yang terjadi dari sudut pandang militer, merupakan
kekuasaan dan imperium yang sangat kuat. Pada masa itu, dua imperium
besar yang memerintah dunia, Iran dan Roma. Masyarakat Iran pada masa
itu yang ditaksir berpopulasi seratus empat puluh juta orang lebih
didominasi oleh serdadu dan lasykar Muslimin pada perang melawan
orang-orang Iran tidak sampai enam ratus ribu orang jumlahnya. Apabila
orang-orang Iran mundur, komunitas ini akan hilang di tengah masyarakat
Iran, namun dengan semua ini, Dinasti Sasaniyah musnah dan punah di
tangan beberapa orang pasukan Muslimin. Syahid Muthahhari mengatakan,
“Hakikatnya faktor utama kekalahan dinasti Sasaniyah harus ditelusuri
pada ketidakpuasan orang-orang Iran terhadap kondisi pemerintahan,
ajaran dan tradisi pemerasan yang menggejala pada masa itu. Hal ini
merupakan suatu hal yang pasti yang diterima oleh sejarawan Timur dan
Barat bahwa rezim dan kondisi sosial dan agama pada masa itu telah rusak
yang telah membuat hampir seluruh masyarakat tidak puas terhadap
pemerintah. Agama Zoroaster di Iran telah rusak di tangan para imamnya
dan masyarakat Iran yang cerdas tidak dapat menerima keyakinan yang
tidak sesuai dengan kata hatinya. Dan apabila Islam pada waktu itu tidak
datang ke Iran, maka orang-orang Kristen akan menguasai Iran dan
melenyapkan ajaran Zoroaster.” Karena itu, kondisi sosial dan agama yang
tidak normal di Iran telah mengundang ketidakpuasan masyarakat dan
telah memotivasi orang-orang Iran untuk menyelamatkan diri mereka. Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân, Murtadha Muthahhari, hal. 77 dan seterusnya.
[4]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Ya’qubi, jil. 2, hal. 132. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 168.
[5]. Furûgh Wilâyat, hal. 285.
[6]. Katakanlah tiada tuhan selain Allah maka kalian akan berjaya.
[7]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Ya’qubi, jil. 2, hal. 151. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 170.
[8]. Târikh Tasyayyu’ dar Iran, Rasul Ja’fariyan, jil. 1, hal. 111 dan seterusnya.
[9]. Târikh Thabari, Peristiwa-peristiwa Tahun 38 Hijriah.
(islamquest/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar